Anda di halaman 1dari 18

IJTIHAD FIQIH DALAM MUHAMMADIYAH

(Definisi Ijtihad, Pola Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Pokok-


Pokok Manhaj atau metode dalam Mengintimbatkan Hukum)

Dipresentasikan dalam Forum Diskusi Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah Kemuhammadiyahan 4

OLEH:
KELOMPOK III :
KURNIATI SULAM (180101068)
NURFAH (180101087)
RINI ANGRIANI (180101066)

Dosen Pengampu:
Dr. Muh. Syukri, M.Pd.

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH SINJAI
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ.
yang telah memberikan kekuatan dan keteguhan hati kepada kami untuk
menyelesaikan makalah ini. Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah
limpahan kepada Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Salam. yang menjadi tauladan
para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Kami menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui
ilmu tentang Kemuhammadiyaan 4 yang diberikan oleh dosen mengenai Definisi
Ijtihad, Pola Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Pokok-Pokok Manhaj
atau metode dalam Mengintimbatkan Hukum.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat kerjasama yang
solid dan kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat
diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak
seberapa yang masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta
berdayaguna di masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat
bermanfaat dan maslahat bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb
Penyusun

Kelompok III

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
A. Latar Belakang ............................................................................................. 2
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
C. Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................... 4
PEMBELAJARAN ................................................................................................. 4
A. Definisi Ijtihad ............................................................................................. 4
B. Pola Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah ................................................ 7
C. Pokok-Pokok Manhaj atau Metode dalam Mengintimbatkan Hukum ....... 10
BAB III ................................................................................................................ 14
PENUTUP ............................................................................................................. 14
A. Kesimpulan ................................................................................................ 14
B. Saran .......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kajian ushul fiqh dikenal istilah al-ijtihad yang berasal dari kata
ijtahada yang berarti , yakni bersungguh-sungguh dan mencurahkan
segala kemampuannya, maka ijtihad secara etimologi adalah, kesungguhan,
kegiatan dan ketekunan. Sedangkan secara terminologi adalah, “Mencurahkan
semua kemampuan untuk mencari (jawaban) hukum yang bersifat zanni, hingga
merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”
Adapun Wahbah Zuhaili, menyimpulkan dengan singkat tentang makna
ijtihad dari pengertian-pengertian yang ia dapatkan, yakni : “Dan defenisi yang
paling sesuai menurut pendapat kami dari defenisi-defenisi yang disadur adalah,
apa yang telah disampaikan oleh Qadi al-Baidhawi, bahwa (Ijtihad) adalah
mengarahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syara’.”
Membahas tentang metode Ijtihad berarti harus mengkaji lebih mendalam
tentang ushul al-fiqh yang dipakai sebagai sarana untuk mendalami keilmuan
seorang mujtahid sekaligus sebagai salah satu sayarat untuk menjadi seorang
mujtahid. Adapun dalam pengaplikasinnya, ijtihad terbagi menjadi dua gerak, yang
pertama, ijtihad fardhi (individual), yakni suatu ijtahad yang dilakukan oleh orang
seorang atau beberapa orang, tidak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang
lain menyetujuinya. Jenis ijtihad ini mungkin dilakukan jika masalah atau kasus
yang menjadi objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi di tengah-tengah
masyarakat yang sederhana, sehingga tidak memerlukan penelitian atau kajian dari
berbagai disiplin ilmu. Kedua, ijtihad jama’i (kolektif) : Suatu ijtihad yang
dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif (bersama) dan disepakati oleh semua
mujtahid. Ijtihad dalam bentuk ini terjadi karena masalah yang diselesaikan sangat
kompleks (rumit) meliputi bidang yang luas, sehingga perlu melibatkan banyak ahli
dari berbagai disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang spesialis pada
satu bidang tertentu.

2
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang paling populer diterapkan di
Indonesia adalah pola ijtihad jama’i, hal ini dikarenakan tidak adanya penyebutan
dan otoritas mufti yang luas dan diangkat oleh negara dalam menjawab
permasalahan-permasalahan hukum Islam di Indonesia, oleh karenanya muncullah
lembaga-lembaga Islam non government seperti MUI, NU dan Muhammadiyah.
Namun kesempatan in penulis akan membahas tentang ijtihad majelis tarjih
Muhammadiyah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimankah definisi Ijtihad?
2. Bagaimanakah pola ijtihad majelis tarjih muhammadiyah?
3. Bagaimanakah pokok-pokok manhaj atau metode dalam mengitibatkan
hukum?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi Ijtihad?
2. Untuk mengetahui pola ijtihad majelis tarjih muhammadiyah?
3. Untuk mengetahui pokok-pokok manhaj atau metode dalam mengitibatkan
hukum?

3
BAB I
PEMBELAJARAN

A. Definisi Ijtihad
Dalam kajian ushul fiqh dikenal istilah al-ijtihad yang berasal dari kata
1
ijtahada yang berarti , yakni bersungguh-sungguh dan mencurahkan
segala kemampuannya, maka ijtihad secara etimologi adalah, kesungguhan,
kegiatan dan ketekunan.2 Sedangkan secara terminologi adalah, “Mencurahkan
semua kemampuan untuk mencari (jawaban) hukum yang bersifat zanni, hingga
merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”3
Adapun Wahbah Zuhaili, menyimpulkan dengan singkat tentang makna
ijtihad dari pengertian-pengertian yang ia dapatkan, yakni :

Artinya : “Dan defenisi yang paling sesuai menurut pendapat kami dari
defenisi-defenisi yang disadur adalah, apa yang telah disampaikan oleh Qadi al-
Baidhawi, bahwa (Ijtihad) adalah mengarahkan segala kemampuan untuk
menemukan hukum-hukum syara’.”
Ijtihad (Arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu
untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis
dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab ‫ )اجتهاد‬Al-jahd atau al-juhd
yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan
dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan: “..walladzi lam yajidu illa

1
Al-Abi Lowis Ma`luf Al-Yasu’i, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A'lam, (Beirut: Daar
AlMasyriq, 2003), Cet-10, h. 106.
2
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawwir, 1984), Edisi Lux, h. 235.
3
Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1996), Juz IV, h. 309.

4
juhdahum..” (at-taubah:79) artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak
memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan” (at-Taubah:79).
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam
pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata: “Shallu ‘alayya wajtahiduu
fiddua’” artinya: ”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam
dua”
Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata
“ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian
ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa
persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan
sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat
Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran
untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul,
baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul
nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah
syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul
flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang
mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan
pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas. Menurut
mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih
atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum
syara’ (hukum Islam).
Membahas tentang metode Ijtihad berarti harus mengkaji lebih mendalam
tentang ushul al-fiqh4 yang dipakai sebagai sarana untuk mendalami keilmuan

Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), juz II,
4

h. 7.

5
seorang mujtahid sekaligus sebagai salah satu sayarat untuk menjadi seorang
mujtahid. Adapun dalam pengaplikasinnya, ijtihad terbagi menjadi dua gerak, yang
pertama, ijtihad fardhi (individual), yakni suatu ijtahad yang dilakukan oleh orang
seorang atau beberapa orang, tidak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang
lain menyetujuinya. Jenis ijtihad ini mungkin dilakukan jika masalah atau kasus
yang menjadi objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi di tengah-tengah
masyarakat yang sederhana, sehingga tidak memerlukan penelitian atau kajian dari
berbagai disiplin ilmu. Kedua, ijtihad jama’i (kolektif) : Suatu ijtihad yang
dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif (bersama) dan disepakati oleh semua
mujtahid. Ijtihad dalam bentuk ini terjadi karena masalah yang diselesaikan sangat
kompleks (rumit) meliputi bidang yang luas, sehingga perlu melibatkan banyak ahli
dari berbagai disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang spesialis pada
satu bidang tertentu.5
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang paling populer diterapkan di
Indonesia adalah pola ijtihad jama’i, hal ini dikarenakan tidak adanya penyebutan
dan otoritas mufti yang luas dan diangkat oleh negara dalam menjawab
permasalahan-permasalahan hukum Islam di Indonesia, oleh karenanya muncullah
lembaga-lembaga Islam non government seperti Muhammadiyah.
Tujuan ijtihad
Untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam
beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Fungsi Ijtihad
Meski al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak
berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh al-Quran
maupun al-Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya al-Quran
dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran Islam
dalam kehidupan beragama sehari-hari.

5
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,
2005), h. 115-116.

6
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu
atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara
yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al-Quran atau al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaimana disebutkan dalam al-Quran atau Al-Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya
dalam al-Quran dan al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan
ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti
dan paham al-Quran dan al-Hadist.

B. Pola Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah


Muhammadiyah sebagai ormas Islam tertua di Indonesia yang mengusung
isu tajdid, memilki satu lembaga fatwa yang bertugas untuk berijtihad secara
kolektif6 yang bernama Majelis Tarjih. Tugas mereka yang pertama adalah,
menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.
Kedua, menyusun tuntunan ‘aqidah, akhlak, ibadah dan mu’amalah dunyawiyyah.
Ketiga, memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri
memandang perlu. Keempat, menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam
bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. Kelima, mempertinggi mutu ulama.
keenam, hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan
Persyarikatan.7 Dan untuk mempermudah proses berijtihad di dalam tubuh
Muhammadiyah ini, maka diputuskanlah kriteria orang yang dapat ikut berijtihad
di dalamnya, karena kualitas manusia yang berijtihad tetap harus dituntut di dalam
Lajnah Tarjih. Di dalam Qaidah Lajnah Tarjih-nya Pasal 4 ayat (1) disebutkan
bahwa peserta musyawarah tarjih adalah, “ulama (laki-laki atau perempuan)
anggota persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih”8.

6
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1995), h. 63.
7
Ahmad Rajafi, Ijtihad Eksklusif; Telaah Atas Pola Ijtihad 3 Ormas Islam di Indonesia,
Jurnal Ilmu Pendidikan, (http://www.ahmadrajafi-Ijtihadeksklusif.id, diakses 23 Februari 2020). h.
9.
8
Ibid., h. 9

7
Dalam hal ini Fathurrahman berkesimpulan bahwa yang disebut dengan
“ulama” di sini adalah orang yang ahli dalam agama, sedangkan “yang mempunyai
kemampuan bertarjih” adalah orang yang mampu melakukan kegiatan di bidang
istinbath hukum atau lebih tegas lagi berijtihad,9 namun spesifikasi khusus peserta
tarjih yang terjadi saat ini adalah hanya warga Muhammadiyah. Padahal di dalam
Qaidah Lajnah Tarjih Pasal 6 ayat (3) menyebutkan adanya peserta lain dari ormas
Islam lainnya seperti NU, al-Irsyad dan Peris. Hal ini pernah terjadi pada acara
Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Malang tahun 1989.10
Adapun di dalam berijtihad, Muhammadiyah berpendapat bahwa, yang
pertama, sumber utama hukum dalam Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah al
Shahihah. Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang
persoalan itu tidak berhubungan dengan ibadah mahdhah11 dan tidak terdapat nash
sharih dalam al-Qur’an dan al-Hadits, digunakan ijtihad dan istinbath dari nash
yang ada melalui persamaan ‘illat. Kedua, dalam menggunakan hadits,
Muhammadiyah lebih menekankan pada kritik sanad. Bahkan dalam menerima
hadits dha’if sebagai hujjah pun, tolak ukur yang digunakan adalah, hadits itu harus
diriwayatkan dengan sanad yang banyak. Ketiga, ijma’ yang diterima hanyalah
yang terjadi pada masa sahabat Nabi. Pola seperti ini pada dasarnya hasil adopsi
dari madzhab Hanbali. Di mana menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Imam Ahmad
dan Syafi'i mengatakan bahwa barangsiapa yang mengakui ijma' sebagai dasar
hukum, ia telah berdusta, sebab mungkin masih ada seorang mujtahid yang tidak
setuju.” Karena itu, sangat sulit untuk mengetahui terwujudnya ijma' sebagai dasar
hukum. Apabila ada orang yang bertanya, apakah ijma' itu bisa terjadi? Menurut
Imam Ahmad, jawabannya yang paling tepat adalah, “La na’lam al-nash ikhtalafu.”
Karenanya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagai penganut mazhab Hanbali,
menyatakan tidak menerima ijma' kecuali ijma' yang dilakukan para sahabat.
Keempat, qiyas yang diterima oleh Muhammadiyah dengan catatan tidak mengenai

9
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1995), h. 68.
10
Ibid., h. 69.
11
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
2001), h. 593

8
masalah ibadah mahdhah. Kelima men-ta’lil (dalam arti menggali hikmah dan
tujuan hukum) dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an
dan Hadits. Jika diperhatikan secara seksama maka pola seperti sama erat kaitannya
dengan metode istihsan yang diterapkan oleh Imam Abu Hanifah. Keenam,
menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus
diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan
mu’amalah, peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan
itu. Pola ini dalam ushul fiqh disebut dengan mashlahat al-mursalah, sebuah teori
yang diterapkan oleh Imam Malik. Di mana menurut Ramadan al-Buti,
kemaslahatan dunia itu pada dasarnya juga untuk meraih kemaslahatan akhirat.
Ketujuh, metode lain yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah sadd al-
dzari’ah, sebagai alat untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.12

Jalan Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah

Kemudian lebih lanjut disebutkan bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad


menempuh tiga jalur, yang pertama, al-Ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan
hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadits. Kedua, al
Ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara

12
Ahmad Rajafi, Ijtihad Eksklusif; Telaah Atas Pola Ijtihad 3 Ormas Islam di Indonesia,
Jurnal Ilmu Pendidikan, (http://www.ahmadrajafi-Ijtihadeksklusif.id, diakses 23 Februari 2020). h.
11.

9
menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan
Hadits. Ketiga, al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapara kasus baru
yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum di atas, dengan cara menggunakan
penalaran yang di dasarkan atas kemaslahatahan.13

C. Pokok-Pokok Manhaj atau Metode dalam Mengintimbatkan Hukum


Lembaga ijtihad di lingkungan Muhammadiyah lazimnya disebut “lembaga
Mejalis Tarjih” lembaga ini ibarat jantung bagi tubuh Muhammadiyah. Atau
diibaratkan sebagai laboratorium dari prosedurmekanisme ijtihad dikalangan
Muhammadiyah. Dan ini telah terbukti ditengah-tengah masyarakat, walaupun
putusan-putusan yang dihasilkan masih belum banyak.
Tuntunan atau Pedoman hidup beragama yang dihasilkan Majelis Tarjih, yang
bersumber kepada Alquran dan as-Sunnah, pada waktunya telah berhasil mengubah
cara hidup beragama dan paham agama dikalangan masyarakat umat Islam. Aqidah
dimurnikan dari hal-hal syirik dan khurafat serta bid’ah. Ibadah dituntunkan sesuai
dengan pedoman sunnah Rasulullah Saw. Sementara amalan ibadah-ibadah sosial terus
digerakkan sesuai ajaran Islam, spirit ijtihad senantiasa digelorakan dan dikembangkan.
Adapun Yang menjadi pijakan prosedur-mekanisme ijtihad dikalangan
Muhammadiyah khususnya regulasi sebagai dasar hukum adalah Putusan Mukhtamar
Tarjih tahun 1954/1955 yang menetapkan dua hal penting; pertama; bahwa dasar
mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-quran dan hadis shahihah, kedua
; bahwa dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat diperlukan untuk
diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak berhubungan dengan ibadah mahdah
sementara untuk alasan atasnya tidak terdapat nash sharih di dalam al-quran dan sunnah
shahih, maka dipergunakan alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath atas nash-nash
yang ada, melalui persamaan I’llat, sebagai yang telah dilakukan para ulama salaf dan
khalaf.14

13
Ahmad Rajafi, Ijtihad Eksklusif; Telaah Atas Pola Ijtihad 3 Ormas Islam di Indonesia,
Jurnal Ilmu Pendidikan, (http://www.ahmadrajafi-Ijtihadeksklusif.id, diakses 23 Februari 2020). h.
12.
14
Ahmad Azhar Basyir., Refleksi atas Persoalan Keislaman seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi., Cet. IV; (Bandung : Mizan, 1996), h. 278

10
Majelis Tarjih sebagai lembaga mekanisme ijtihad Muhammadiyah telah
memiliki pokok-pokok manhaj atau metode dalam mengintimbatkan hukum. Pokok-
pokok manhaj dimaksud adalah sebagai berikut15:
1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Quran dan sunnah shahihhah
(maqbulah). Ijtihad dan istinbath atas dasar illat terhadap hal-hal yang tidak
disebutkan di dalam nash dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang
ta’abuddi dan memang merupakan hal yang dihajatkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Dengan kata lain Majelis Tarjih menerima ijtihad,
termasuk qiyas sebagai salah satu metodenya.
2. Dalam menetapkan suatu putusan dilakukan dengan cara musyawarah.
Menetapkan masalah-masalah ijtihadiyah di lakukan dengan ijtihad jama’i.
Pendapat seseorang dari anggota Majelis Tarjih tidak dapat dipandang sebagai
pendapat majelis.
3. Dalam menetapkan suatu ketentuan hukum, Majelis Tarjih tidak mengingatkan
diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat imam-imam mazhab dapat menjadi
bahan pertimbangan, sepanjang bsesuai dengan jiwa Alquran dan sunnah atau
dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
4. Majelis Tarjih berprinsip terbuka dan toleran, tidak beranggapan bahwa hanya
putusan Majelis Tarjih yang paling benar. Putusan diambil atas dasar dalil yang
paling kuat ketika putusan diambil. Kemudian koreksi terhadap putusan yang
telah diambil, dari siapapun datangnya, akan diterima sepanjang dapat
dikemukakan dalil yang lebih kuat. Dengan demikian sangat di mungkinkan
Majelis Tarjih mengubah putusannya yang pernah diambil.
5. Dalam menetapkan ajaran bidang akidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang
mutawatir
6. Majelis Tarjih menerima ijma’ sahabat Nabi Saw sebagai dasar menetapkan
suatu putusan.
7. Terhadap dalil-dalil yang tampak berta’arudh, digunakan cara-cara al-jam’u
wataufiq, jika tidak mungkin baru di gunakan tarjih

15
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi., Cet. IV; (Bandung : Mizan, 1996), h.279-281.

11
8. Majelis Tarjih menggunakan saddudz dzarai guna menghindari terjadinya
fitnah dan mafsadah
9. Majelis Tarjih menerima penggunaan ta’lilul ahkam guna memahami dalildalil
hukum Alquran dan sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syariat. Kaidah ;
al-hukmu yaduru ma’aillatih wu judan wa adaman dalam hal-haltertentu dapat
berlaku.
10. Majelis Tarjih menggunakian dalil-dalil untuk menetapkan hukum secara
konprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah-pisah satu dari lainnya sepanjang
saling berhubungan.
11. Majelis Tarjih dapat menerima takhshish dalil umum Alquran dengan hadis
ahad, kecuali dalam bidang aqidah
12. Dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, Majelis Tarjih berpegang kepada
prinsip taysir, menghindari ta’sir.
13. Dalam bidang aqidah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan
sunnah, Majelis Tarjih dapat menerima pemahamannya dengan menggunakan
akal sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya, meskipun harus
diakui bahwa bakal bersifat nisbi, sehingga prinsip “mendahulukan nash
daripada akal” memiliki kelenturan dalam menghadapi situasi dan kondisi
14. Dalam hal-hal yang termasuk al-umuru ad-dunyawiyah, yang tidak termasuk
tugas para nabi, Majelis Tarjih berpendapat bahwa penggunaan akal sangat
diperlukan, guna tercapainya kemaslahatan hidup yang merupakan tujuan
utama syariat Islam.
15. Untuk memahami nash yang musytarak, Majelis Tarjih dapat menerima tafsir
sahabat.
16. Dalam memahami nash tentang akidah, Majelis Tarjih mendahulukan makna
dzahir daripada takwil. Takwil sahabat dalam bidang akidah tidak harus
diterima.
17. Majelis Tarjih telah menempuh jalan ijtihad meliputi :
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum
jelas makna yang dimaksud, maupun karena suatu lafadz yang
mengandung makna ganda (musytarak) atau karena pengertian lafadz

12
dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti nyang jumbuh
(mutasyabih), ataupun adanya dalil-dalil yang tampak ditempuh jalan al-
jam’ kemudian tarjih.
b. Ijtihad qiyasi, yaitu menganalogikan hokum yang disebut dalam nash
kepada masalah baru yang belum ada hukumnya dalam nash, karena
adanya persamaan I’llat.
c. Ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak disebutkan di
dalam nash sama sekali secara khusus, maupun tidak ada nash mengenai
masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan
hukum dilakukan berdasarkan I’llat untuk kemaslahatan.
18. Dalam menggunakan hadis, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi
putusan Majelis Tarjih sebagai berikut :
a. Hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah
b. Hadis mauquf yang dihukum marfu’ dapat menjadi hujjah
c. Hadis mursal shahabi dapat dijadikan hujjah apabila ada qarinah yang
menunjukkan persambungan sanadnya.
d. Hadis-hadis mursal tabi’ semata, tidak dapat dijadikan hujjah.
e. Hadis-hadis dha’if yang kuat-menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah,
kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dapat
dijadikan hujjah, dan tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah
shahih.
f. Dalam menilai perawi hadis, jarh didahulukan atas ta’dil setelah adanya
keterangan yang mukhtabar berdasarkan alasan syara’.
g. Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima, jika ada
petunjuk bahwa hadis itu muttashil, sedangkan tadlis tidak mengurangi
keadilan.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari definisi pengertian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut: Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang
lain. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang
berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan
hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi, Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh
ijtihad adalah dhanni. Adapun tujuannya untuk memenuhi keperluan umat manusia
akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau
pada suatu waktu tertentu. Meski al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan
lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh
al-Quran maupun al-Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya
al-Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus
berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran Islam
dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Adapun di dalam berijtihad, Muhammadiyah berpendapat bahwa, yang
pertama, sumber utama hukum dalam Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah al
Shahihah. ijma’, qiyas, istihsan, mashlahat al-mursalah, sadd al-dzari’ah,
Adapun Yang menjadi pijakan prosedur-mekanisme ijtihad dikalangan
Muhammadiyah khususnya regulasi sebagai dasar hukum adalah Putusan
Mukhtamar Tarjih tahun 1954/1955 yang menetapkan dua hal penting; pertama;
bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-quran dan hadis
shahihah, kedua ; bahwa dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat
diperlukan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak berhubungan dengan
ibadah mahdah sementara untuk alasan atasnya tidak terdapat nash sharih di dalam
al-quran dan sunnah shahih, maka dipergunakan alasan dengan jalan ijtihad dan
istinbath atas nash-nash yang ada, melalui persamaan I’llat, sebagai yang telah
dilakukan para ulama salaf dan khalaf. Majelis Tarjih sebagai lembaga mekanisme

14
ijtihad Muhammadiyah telah memiliki pokok-pokok manhaj atau metode dalam
mengintimbatkan hukum. Pokok-pokok manhaj dimaksud sudah disebitkan diatas.

B. Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran,
serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih
baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini,
dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para
pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rajafi, Ijtihad Eksklusif; Telaah Atas Pola Ijtihad 3 Ormas Islam di
Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan, (http://www.ahmadrajafi-
Ijtihadeksklusif.id, diakses 23 Februari 2020).
Azhar Basyir, Ahmad, Refleksi atas Persoalan Keislaman seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi., Cet. IV; Bandung : Mizan, 1996.
Aziz Dahlan, Abdul, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:
Logos Publishing House, 1995.
Hamid al-Ghazali, Abu. al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, t.th..
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta:
Amzah, 2005.
Lowis Ma`luf Al-Yasu’i, Al-Abi. Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A'lam, Beirut: Daar
AlMasyriq, 2003.
Rajafi, Ahmad, Ijtihad Eksklusif; Telaah Atas Pola Ijtihad 3 Ormas Islam di
Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan, (http://www.ahmadrajafi-
Ijtihadeksklusif.id, diakses 23 Februari 2020).
Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad Al-Amidi, al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam, Beirut: Daar Al-Fikr, 1996.
Warson Munawwir, Ahmad, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.

16

Anda mungkin juga menyukai