Anda di halaman 1dari 17

KAMUHAMMADIYAHAN IV

“LEMBAGA IJTIHAD MUHAMMADIYAH”

Di susun
Oleh
Kelompok 3:

1. Julmiati (190311015)
2. Nirwana Herman (190311017)
3. Rahma Sari (190311019)

Dosen Pembimbing
Imam Zakasyi Mubhar, M.Ag

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH SINJAI
T.A 2021/2022
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karna dengan
rahmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat sehat-Nya baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang
berjudul “Lembaga Ijtihad Muhammadiyah” ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah KEMUHAMMDIYAHAN IV. Penulis telah berusaha
semaksimal mungkin sesuai harapan.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan
didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nanti dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih

Rabu , 17 Maret 2021

Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... iii
A. LATAR BELAKANG ........................................................................ iii
B. RUMUSAN MASALAH .................................................................... iii
C. TUJUAN PENULISAN ..................................................................... iv
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 1
A. Sejarah Terbentuknya Lembaga/Majlis Tarjih Muhammadiyah 1
B. Tugas, Fungsi dan Wewenang Majlis Tarjih Muhammadiyah .... 5
C. Syarat Keanggotaan Majlis Tarjih Muhammadiyah .................... 7
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 10
A. KESIMPULAN................................................................................... 10
B. SARAN ................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara sosiologis diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami
perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan
tata nilai yang ada masyarakat itu. Semakin maju cara berfikir suatu
masyarakat, maka akan semakin terbuka untuk menerima kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bagi umat beragama, dalam hal ini umat Islam,
kenyataan ini dapat menimbulkan masalah, terutama apabila kegiatan itu
dihubungkan dengan norma-norma agama. Akibatnya, pemecahan atas
masalah tersebut diperlukan, sehingga syariat Islam dapat dibuktikan tidak
bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih dari
itu dapat diyakini bahwa syariat Islam sesuai untuk setiap masyarakat
dimana dan kapan pun mereka berada.
Pemikiran hukum Islam sebagai produk pemahaman dari pesan-
pesan teks Al-Quran dan Hadis selalu mengalami perkembangan. Hal ini
tidak lepas dari kondisi dan tuntutan masyarakat yang sarat dengan
dinamika. Dalam kaitan ini pula maka peran ijtihad sebagai upaya untuk
menggali dan mengembangkan hukum Islam menjadi sangat penting.
Dalam perjalanan sejarahnya, hukum Islam menjadi suatu kekuatan
yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Rasulullah saw.
Kepada sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu.
Akan tetapi dalam melakukan ijtihad, mereka tidak mengalami problem
metodologis, karena apabila mereka mendapatkan kesulitan dalam
menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi kepada Nabi.
Ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga karena ijtihad adalah
buah pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar
dengan seluruh kemampuan yang ada padanya untuk memahami kaidah-
kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Qur’an, kaidah-
kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam hadits dan
merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada
suatu kejadian tertentu.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah Terbentuknya Lembaga/Majlis Tarjih
Muhammadiyah
2. Bagaimana Tugas, Fungsi dan Wewenang Majlis Tarjih
Muhammadiyah
3. Bagaimana Syarat Keanggotaan Majlis Tarjih Muhammadiyah

iii
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mengetahui Sejarah Terbentuknya Lembaga/Majlis Tarjih
Muhammadiyah.
2. Mengetahui Tugas, Fungsi dan Wewenang Majlis Tarjih
Muhammadiyah.
3. Unyuk Mengetahui Syarat Keanggotaan Majlis Tarjih
Muhammadiyah.

iv
BAB II
PEMBAHSAN

A Sejarah Terbentuknya Lembaga/Majlis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih didirikan memang tidak bersamaan dengan kelahiran


Muhammadiyah yang dideklarasikan pada tahun 1330 H bertepatan dengan
tahun 1918 M. Keberadaan Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah merupakan
hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan pada tahun
1927, yang saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah di bawah kepemimpinan
KH. Ibrahim (1878-1934). Pada Kongres itu diusulkan perlunya
Muhammadiyah memiliki Majelis yang memayungi persoalan-persoalan
hukum. Melalui Majelis ini, persoalan-persoalan hukum yang dihadapi warga
Muhammadiyah dapat diputuskan oleh Majelis ini sehingga warga
Muhammadiyah tidak terbelah ke dalam berbagai pendapat dalam
mengamalkan ajaran Islam, khususnya terkait dengan masalah khilafiyah.
KH. Mas Mansur, ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
selaku peserta Kongres mengusulkan kepada Kongres Muhammadiyah ke-16,
agar di Muhammadiyah dibentuk tiga Majelis, yaitu Majelis Tasyrî`, Tanfîẓ
dan Taftîsyî. Usul Mas Mansur ini didasarkan pada fakta, khususnya di Jawa
Timur, tentang berkembangnya perdebatan masalah khilafiyah. Tidak jarang
persoalan khilafiyah ini menjadikan warga masyarakat terbelah, pertikaian
bahkan sampai berujung pada benturan fisik antar warga. Hal demikian harus
menjadi perhatian Muhammadiyah sehingga warga Muhammadiyah dapat
dihindarkan dari peristiwa demikian.1
Usul dan gagasan yang disampaikan Mas Mansur ini menarik perhatian
peserta Kongres dan menjadi pembicaraan semua peserta. Oleh karena
urgenitas gagasan tersebut, khususnya untuk mengantisipasi agar antar warga
Muhammadiyah tidak terjadi perdebatan yang berujung pada benturan fisik,
maka usul dan gagasan Mas Mansur telah diterima secara aklamasi oleh peserta
Kongres, dengan perubahan nama dari tiga Majelis yang diusulkan menjadi
satu Majelis, yakni Majelis Tarjih. Melalui Kongres ke-16 di Pekalongan ini,
diputuskan diterimanya Majelis baru di Muhammadiyah, yaitu Majelis Tarjih.
Dalam keputusan Kongres ke-16 ini, kepengurusan Majelis Tarjih belum
terbentuk, begitu juga Manhaj Tarjih atau Qaidah Tarjih belum dibuat. Ini
berarti bahwa Majelis Tarjih belum dapat bekerja sebagai organisasi.
Untuk melengkapi kepengurusan dan kelengkapan lainnya dari Majelis
Tarjih yang baru diputuskan, Kongres ke-16 di Pekalongan membentuk sebuah
komisi untuk dapat mempersiapkan segala sesuatunya berkaitan dengan
terbentuknya Majelis Tarjih, termasuk di dalamnya Qaidah Tarjih. Komisi ini

1
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Agenda Musyawarah Nasional Ke-27 Tarjih
Muhammadiyah, pada Tanggal 1-4 April 2010, di Universitas Muhammadiyah, hal. 49.

1
diberi tugas untuk mempersiapkan segala kelengkapannya dan harus sudah
berhasil merumuskannya untuk selanjutnya akan diputuskan dalam Kongres
ke-17 di Yogyakarta. Tim komisi ini terdiri dari tokoh-tokoh Muhammadiyah
sebagai berikut:

1. KH. Mas Mansur (Surabaya)


2. Buya AR Sutan Mansur (Sumatra Barat)
3. H. Muhtar (Yogyakarta)
4. H. A. Mukti Ali (Kudus)
5. Kartosudharmo (Betawi)
6. M. Kusni
7. M. Junus Anis (Yogyakarta).

Pada Kongres Muhammadiyah ke-17 yang diselenggarakan di Yogyakarta,


tempat kelahiran Muhammadiyah, telah diputuskan Qaidah Tarjih sebagai
pedoman dalam bertarjih sekaligus menetapkan struktur kepengurusan Majelis
Tarjih periode Kongres ke-17. Adapun susunan kepengurusan Majelis Tarjih
Pusat adalah sebagai berikut:

1. KH. Mas Mansur : Ketua


2. KHR. Hadjid : Wakil Ketua
3. HM. Aslam Zainuddin : Sekretaris
4. H. Jazari Hisyam : Wakil Sekretaris
5. K.H. Badawi : Anggota
6. K.H. Hanad : Anggota
7. K.H. Washil : Anggota
8. K.H. Fadlil : Anggota2

Dari uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan di sini bahwa sejarah


adanya Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah dapat dilacak dari dua Kongres
Muhammadiyah, yaitu kongres ke-16 dan ke-17. Dari dua Kongres ini dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya gagasan perlunya dibentuk Majelis Tarjih
diputuskan pada Kongres ke-16 di Pekalongan. Sedangkan pada Kongres ke 17
di Yogyakarta, kepengurusan Majelis Tarjih dan Qaidah Tarjih sebagai
pedoman dalam bertarjih telah ditetapkan. Jadi, secara resmi berdirinya Majelis
Tarjih secara lengkap, baik Qaidah dan kepengurusan memang terbentuk pada
tahun 1928, yaitu pada saat Kongres Muhammadiyah ke-17. Dengan kata lain,
Majelis Tarjih sebagai organisasi mulai bekerja sejak periode Kongres
Muhammadiyah ke-17. Pada Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo, Majelis

2
Oman Fathurrahman SW, Fatwa-fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah: Telaah Metodologiis Melalui Pendekatan Usul
Fiqh (Yogyakarta: Laporan Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999/2000), hlm. 11.

2
Tarjih telah memutuskan Kitab Iman dan Pedoman Salat. Dua hal ini, kini telah
menjadi bagian penting dari Himpunan Putusan Tarjih.
Gagasan tentang perlunya Majelis Tarjih di Muhammadiyah tidak bisa
dilepaskan dari faktor-faktor, baik internal maupun eksternal. Dengan kata lain,
kelahiran sutau Majelis Tarjih tidak vakum dari suatu masalah yang
mengitarinya. Sebab, kelahirannya sesunguhnya dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan warga Muhammadiyah yang hidup di tengah perubahan
sebagai akibat dari perkembangan Muhammadiyah itu sendiri. Untuk
memperoleh gambaran yang memadai tentang faktor ini, ada baiknya disimak
pidato iftitah seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang disampaikan di
depan peserta sidang khususi Tarjih tahun 1960. Pidato itu disampaikan oleh
K.H. Fakih Usman.
Seperti diketahui bahwa Muhammadiyah telah berkembang secara cepat
seiring perjalanan waktu, baik dari aspek amal usaha maupun wilayah. Dari
aspek amal usaha, misalnya, Muhammadiyah telah memiliki amal usaha mulai
dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dan lain-lain. Dari
perkembangan wilayah tidak hanya menyebar di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah tetapi juga sampai di luar Jawa. Perkembangan
yang cepat ini menunjukkan sambutan yang luar biasa atas kehadiran
Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan Islam di Indonesia.
Pada tahun 1925, Haji Rasul, seorang tokoh dari Minangkabau Sumatera
Barat datang ke Pulau Jawa untuk menemui Pimpinan-pimpinan
Muhammadiyah di Yogyakarta setelah ia mendengar tentang adanya gerakan
pembaharuan Islam yang dikembangkan di Yogyakarta. Ia sangat tertarik
dengan gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan yang dikembangkannya untuk
memajukan umat Islam Indonesia. Setelah menemui pimpinan
Muhammadiyah ini, Haji Rasul kembali ke kampung halamannya. Di kampung
halaman ini, Haji Rasul memperkenalkan Muhammadiyah kepada masyarakat
Minangkabau. Untuk mempercepat penerimaan Muhammadiyah oleh
masyarakat Minagkabau ini, cara Haji Rasul memperkenalkannya adalah
dengan merubah organisasi yang pernah didirikan, yaitu Samdi Aman menjadi
Cabang Muhammadiyah. Melalui cara ini, Muhammadiyah berkembang
sangat cepat di Minangkabau. Dari tanah Minangkabau ini Muhammadiyah
kemudian berkembang ke Bengkulu dan tempat-tempat lain di Sumatera dan
Kalimantan Timur, seperti Banjarmasin dan Amuntai pada tahun 1927.3
Penyebaran Muhammadiyah ke berbagai wilayah di Indonesia ini secara
otomatis menambah kuantitas warga Muhammadiyah. Penambahan anggota
ini tentu dapat dipastikan berdampak pada pengelolaan organisasi
Muhammadiyah yang harus memperhatikan kondisi warga Muhammadiyah,
termasuk dalam bidang keagamaan. Ragam latar belakang warga
Muhammadiyah tentu ikut memberikan kontribusi pada ragam aktifitas

3
Oman Fathurrahman, Fatwa-fatwa Majlis Tarjih, hlm. 15.

3
keagamaan warga Muhammadiyah sesuai dengan kondisi daerah masing-
masing. Oleh karena itu, untuk dapat memperkokoh soliditas warga
Muhammadiyah dari perbedaan ragam keagamaan maka perlu adanya lembaga
yang secara khusus menangani problem-problem keagamaan bagi warga
Muhammadiyah. Berdasarkan keadaan ini, maka lahirlah Majelis Tarjih.
Adapun faktor eksternal adalah dinamika-dinamika di luar Muhammadiyah
yang sedikit banyak pasti akan berpengaruh pada warga Muhammadiyah
karenamereka hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Dinamika
itu adalah fenomena perdebatan atau perselisihan masalah keagamaan,
khususnya masalah khilafiyah. Pada tahun-tahun itu persoalan khilafiyah ini
memang sering menimbulkan problema tersendiri bagi umat Islam. Persoalan
fiqh dianggap sebagai persoalan serius dalam agama. Di samping itu, kalau
disimak secara cermat pidato iftitah KH. Fakih Usman di muka, persoalan yang
medorong perlunya segera dibentuk Majelis Tarjih adalah kehadiran
Ahmadiyah. Berlajar dari kehadiran Ahmadiyah ini, Muhammadiyah dianggap
perlu melakukan usaha khusus yang mempelajari masalah ini.4
Gambaran faktor eksternal yang diprediksi oleh Pimpinan Muhammadiyah
dapat mempengaruhi eksistensi soliditas warga Muhammadiyah ke depan
terlihat dengan jelas pada uraian-uraian sebagaimana disebutkan dalam Beach
Congres ke-26. Faktor eksternal yang sangat kuat mendorong kelahiran Majelis
Tarjih adalah diseputar persoalan khilafiyah. Tampaknya Muhammadiyah
menyadari betul dampak perdebatan khilafiyah yang berkembang di
masyarakat terhadap warga Muhammadiyah. Perdebatan khilafiyah
merupakan hal yang biasa terjadi, namun waktu itu persoalan khilafiyah
dianggap sebagai inti dari agama itu sendiri, karenanya, persoalan khilafiyah
dianggap sebagai persoalan serius dalam beragama. Saat itu, dalam perbedaan
masalah khilafiyah ini, masing-masing orang berpegang teguh dengan
pendapatnya, dan bahkan pada tingkat tertentu tanpa mengindahkan sikap
toleran terhadap pendapat yang lain. Akibat sikap-sikap yang demikian,
terjadinya benturan secara fisik antar warga masyarakat sulit dapat
dikendalikan. Oleh karena itu, untuk memayungi warga Muhammadiyah dari
imbas perselisihan khilafiyah dirasa perlu dibentuk dan didirikan Majelis
Tarjih. Fungsi dari Majelis Tarjih ini adalah untuk menimbang dan memilih
segala masalah yang diperdebatkan oleh warga Muhammadiyah sehingga akan
dapat diketahui mana pendapat-pendapat itu yang lebih kuat dan berdalil sesuai
dengan al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.
Di samping persoalan khilafiyah sebagai faktor eksternal, ada faktor
eksternal lainnya yang ikut memberikan andil atas kelahiran Majelis Tarjih,
yaitu keberadaan Ahmadiyah di Indonesia, sekte dalam Islam yang datang dari
India. Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia, kira-kira tahun 1924 M, melalui dua
orang tokohnya, yaitu Mirza Wali Aḥ mad Baiq dan Maulana Aḥ mad, pada

4
Ibid., hlm. 17.

4
awalnya dimaksudkan untuk membendung arus kristenisasi di Indonesia.
Namun, dalam perkembangannya, Ahmadiyah ini mampu „memurtadkan”
seorang tokoh Muhammadiyah, yaitu M. Ng. Joyosugito, ketua pertama
Majelis Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Muhammadiyah.
Keberhasilan Ahmadiyah mengajak Joyosugito ke luar Muhammadiyah bukan
hanya persoalan kehilangan salah satu kadernya tetapi, bagi Muhgammadiyah,
hal ini menjadi persoalan serius karena salah satu doktrin Ahmadiyah adalah
bahwa Mirza Gulam Aḥ mad adalah seorang Nabi. Doktrin ini jelas-jelas
bertentangan dengan akidah yang diyakini Muhammadiyah bahwa Muhammad
saw adalah Nabi dan Rasul terakhir.
Keberhasilan Ahmadiyah „memurtadkan‟ warga Muhammadiyah ini terus
menjadi perbincangan oleh banyak kalangan, tidak hanya di kalangan warga
Muhammadiyah, khususnya para pimpinan Muhammadiyah, tetapi juga
dikalangan masyarakat Muslim Indonesia. Karena itu, kitab Himpunan Putusan
Tarjih (HPT) yang kini telah dicetak berulangkali itu, meskipun merupakan
kitab fikih, namun pembahasannya diawali dengan persoalan keimanan. Ini
berbeda dengan kitab-kitab fikih pada umumnya yang tidak diawali dengan
pembahasan keimanan. Sebab, persoalan keimanan merupakan suatu yang
mendasar bagi keberislaman warga Muhammadiyah. Dari uraian keimanan
pada kitab HPT nampak dengan jelas bahwa Muhammadiyah menganggap
Ahmadiyah adalah aliran sesat di Indonesia. Sebab, Ahmadiyah mempercayai
Mirza Gulam Aḥmad sebagi nabi setelah Nabi Muhammad saw.5

B Tugas, Fungsi dan Wewenang Majlis Tarjih Muhammadiyah

Tarjih sebagai salah satu metode penetapan hukum agama dalam


Islam, merupakan bagian upaya Muhammadiyah untuk menghindari taklid
buta terhadap salah satu madzhab. Jadi sebagai Organisasi Keagamaan,
Muhammadiyah memilik peran penting dalam menentukan Ijtihad. Dalam
Kaidah Lajnah Tarjih yang disusun oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada tahun 1971, dalam pasal 2 disebutkan bahwa tugas Lajnah Tarjih
adalah sebagai berikut:
1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh
kemurniannya.
2. Menyusun tuntunan Aqidah, Akhlak, Ibadah, dan Mu’amalah
Dunyawiyyah.
3. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri
memandang perlu.
4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke
arah yang lebih maslahat.

5
Syahlan Rasyidi, Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Solo: Majelis PPK, t.t.),
hlm. 66.

5
5. Mempertinggi mutu ulama.
6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan
Persyarikatan.

Selain itu, berdasarkan Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor


08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II Pasal 4 sebagai berikut:
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam pelaksanaan
tajdid dan antisipasi terhadap perkembangan masyarakat.
2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan
Persyarikatan gunamenentukan kebijaksanaan dalam menjalankan
kepemimpinan serta membimbing umat, khususnya anggota dan
keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam
membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam.
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan
meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang
keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

Dalam Persyarikatan selain istilah Majelis Tarjih, dikenal juga istilah


Lajnah Tarjih, yaitu lembaga persyarikatan dalam bidang agama yang dibentuk
pada tingkat Pusat, Wilayah, dan Daerah. Hubungannya dengan Majelis Tarjih
adalah Lajnah Tarjih menjadi lembaga keagamaan, sedangkan Mejelis Tarjih
sebagai pelaksanaan produk dari Lembaga Tajnah Tarjih tersebut.
Dalam keputusan Munas Tarjih XXVI juga dijelaskan tentang fungsi dan
wewenang Lajnah Tarjih. Penjelasan tentang fungsi dan wewenang ini dirasa
penting untuk mempertegas kedudukan Lajnah Tarjih dalam Muhammadiyah.6

Adapun fungsi Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:


(a) Legislasi bidang agama.
(b) Pengkajian, penelitian dan pengembangan pemikiran masalah-masalah
keagamaan.
(c) Memberi fatwa di bidang keagamaan.
(d) Menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang
Keagamaan.

Adapaun Wewenang Lajnah Tarjih sebagai berikut:


1. Membahas dan membuat keputusan dalam bidang agama.
2. Memberikan fatwa dan nasehat.
3. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap keputusan
Lajnah.

6
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos, 1995),hlm 66.

6
4. Menyebarluaskan keputusan Lajnah.
5. Menyalurkan perbedaan pendapat dan faham keagamaan.7

C Syarat Keanggotaan Majlis Tarjih Muhammadiyah

Sebagaimana telah di jelaskan pada anggaran rumah tangga Pasal 4 tentang


Keanggotaan.

1. Anggota Biasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :


a. Warga Negara Indonesia beragama Islam.
b. Laki-laki atau perempuan berumur 17 tahun atau sudah menikah.
c. Menyetujui maksud dan tujuan Muhammadiyah.
d. Bersedia mendukung dan melaksanakan usaha-usaha Muhammadiyah.
e. Mendaftarkan diri dan membayar uang pangkal.

2. Anggota Luar Biasa ialah seseorang bukan warga negara Indonesia,


beragama Islam, setuju dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah serta
bersedia mendukung amal usahanya.

3. Anggota Kehormatan ialah seseorang beragama Islam, berjasa terhadap


Muhammadiyah dan atau karena kewibawaan dan keahliannya diperlukan
atau bersedia membantu Muhammadiyah.

4. Tatacara menjadi anggota diatur sebagai berikut:


a. Anggota Biasa
1) Mengajukan permintaan secara tertulis kepada Pimpinan Pusat
dengan mengisi formulir disertai kelengkapan syarat-syaratnya
melalui Pimpinan Ranting atau Pimpinan amal usaha di tempat yang
belum ada Ranting, kemudian diteruskan kepada Pimpinan Cabang.
2) Pimpinan Cabang meneruskan permintaan tersebut kepada Pimpinan
Pusat dengan disertai pertimbangan.
3) Pimpinan Cabang dapat memberi tanda anggota sementara kepada
calon anggota, sebelum yang bersangkutan menerima kartu tanda
anggota dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bentuk tanda anggota
sementara ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
4) Pimpinan Pusat memberi kartu tanda anggota Muhammadiyah kepada
calon anggota biasa yang telah disetujui melalui Pimpinan Cabang
yang bersangkutan.
5) Mengajukan permintaan secara tertulis kepada Pimpinan Pusat
dengan mengisi formulir disertai kelengkapan syarat-syaratnya

7
Gandhung Fajar Panjalu, “Implementasi Teori Maslahah dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah (Studi Kasus
Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Keluarga Berencana dan Aborsi)” (Tesis, Universitas UIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2012),hlm 82.

7
melalui Pimpinan Ranting atau Pimpinan amal usaha di tempat yang
belum ada Ranting, kemudian diteruskan kepada Pimpinan Cabang.
6) Pimpinan Cabang meneruskan permintaan tersebut kepada Pimpinan
Pusat dengan disertai pertimbangan.
7) Pimpinan Cabang dapat memberi tanda anggota sementara kepada
calon anggota, sebelum yang bersangkutan menerima kartu tanda
anggota dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bentuk tanda anggota
sementara ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
8) Pimpinan Pusat memberi kartu tanda anggota Muhammadiyah kepada
calon anggota biasa yang telah disetujui melalui Pimpinan Cabang
yang bersangkutan.

b. Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan


Tata cara menjadi Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan
diatur oleh Pimpinan Pusat.

5. Pimpinan Pusat dapat melimpahkan wewenang penerimaan permintaan


menjadi Anggota Biasa dan memberikan kartu tanda anggota
Muhammadiyah kepada Pimpinan Wilayah. Pelimpahan wewenang
tersebut dan ketentuan pelaksanaannya diatur dengan keputusan Pimpinan
Pusat.
6. Hak Anggota
a. Anggota biasa:
1) Menyatakan pendapat di dalam maupun di luar permusyawaratan.
2) Memilih dan dipilih dalam permusyawaratan.
3) Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan mempunyai hak
menyatakan pendapat.

7. Kewajiban Anggota Biasa, Luar Biasa, dan Kehormatan :


a) Taat menjalankan ajaran Islam.
b) Menjaga nama baik dan setia kepada Muhammadiyah serta
perjuangannya.
c) Berpegang teguh kepada Kepribadian serta Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah.
d) Taat pada peraturan Muhammadiyah, keputusan musyawarah, dan
kebijakan Pimpinan Pusat.
e) Mendukung dan mengindahkan kepentingan Muhammadiyah serta
melaksanakan usahanya.
f) Membayar iuran anggota.
g) Membayar infaq.

8. Anggota Biasa, Luar Biasa, dan Kehormatan berhenti karena:


a) Meninggal dunia.

8
b) Mengundurkan diri.
c) Diberhentikan oleh Pimpinan Pusat

Tata cara pemberhentian anggota.


a) Anggota Biasa
1) Pimpinan Cabang mengusulkan pemberhentian anggota kepada
Pimpinan Daerah berdasarkan bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan.
2) Pimpinan Daerah meneruskan kepada Pimpinan Wilayah usulan
pemberhentian anggota dengan disertai pertimbangan.
3) Pimpinan Wilayah meneruskan atau tidak meneruskan usulan
pemberhentian anggota kepada Pimpinan Pusat setelah melakukan
penelitian dan penilaian.
4) Pimpinan Wilayah dapat melakukan pemberhentian sementara
(skorsing) yang berlaku paling lama 6 (enam) bulan selama menunggu
proses pemberhentian anggota dari Pimpinan Pusat,
5) Pimpinan Pusat, setelah menerima usulan pemberhentian anggota,
memutuskan memberhentikan atau tidak memberhentikan paling lama
6 (enam) bulan sejak diusulkan oleh Pimpinan Wilayah.
6) Anggota yang diusulkan pemberhentian keanggotaannya, selama
proses pengusulan berlangsung, dapat mengajukan keberatan kepada
Pimpinan Cabang, Pimpinan Daerah, Pimpinan Wilayah, dan Pimpinan
Pusat. Setelah keputusan pemberhentian dikeluarkan, yang
bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Pimpinan Pusat.
7) Pimpinan Pusat membentuk tim yang diserahi tugas mempelajari
keberatan yang diajukan oleh anggota yang diberhentikan. Pimpinan
Pusat menetapkan keputusan akhir setelah mendengar pertimbangan
tim.
8) Keputusan pemberhentian anggota diumumkan dalam Berita Resmi
Muhammadiyah.

b. Anggota Luar Biasa dan Kehormatan diberhentikan atas keputusan


Pimpinan Pusat.8

8
“KEANGGOTAAN MUHAMMADIYAH” blog pcm wanareja,
https://muhammadiyahwanareja.web.id/2016/09/27/keanggotaan-muhammadiyah/ , diakses pada tgl 17 maret 2021, pkl
22.14

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Keberadaan Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah merupakan hasil
keputusan Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan pada tahun 1927,
yang saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah di bawah kepemimpinan KH.
Ibrahim (1878-1934). Pada Kongres itu diusulkan perlunya Muhammadiyah
memiliki Majelis yang memayungi persoalan-persoalan hukum. Melalui
Majelis ini, persoalan-persoalan hukum yang dihadapi warga
Muhammadiyah dapat diputuskan oleh Majelis ini sehingga warga
Muhammadiyah tidak terbelah ke dalam berbagai pendapat dalam
mengamalkan ajaran Islam, khususnya terkait dengan masalah khilafiyah.
Dalam Kaidah Lajnah Tarjih yang disusun oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah pada tahun 1971, dalam pasal 2 disebutkan bahwa tugas
Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:
1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh
kemurniannya.
2. Menyusun tuntunan Aqidah, Akhlak, Ibadah, dan Mu’amalah
Dunyawiyyah.
3. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih
sendiri memandang perlu.
4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan
ke arah yang lebih maslahat.
5. Mempertinggi mutu ulama.
6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh
Pimpinan Persyarikatan.
Adapun fungsi Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:
1. Legislasi bidang agama.
2. Pengkajian, penelitian dan pengembangan pemikiran masalah-
masalah keagamaan.
3. Memberi fatwa di bidang keagamaan.
4. Menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang
Keagamaan.
Adapaun Wewenang Lajnah Tarjih sebagai berikut:
1. Membahas dan membuat keputusan dalam bidang agama.
2. Memberikan fatwa dan nasehat.
3. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap
keputusan Lajnah.
4. Menyebarluaskan keputusan Lajnah.
5. Menyalurkan perbedaan pendapat dan faham keagamaan.

10
Sebagaimana telah di jelaskan pada anggaran rumah tangga Pasal 4
tentang Keanggotaan.

B. SARAN
Demikian makalah ini kami selesaikan sebagai salah satu tugas
perkuliahan pada semester empat ini. Namun kami sebagai penyusun,
menyadari terdapat kekurangan maupun kekhilafan atau kesalahan, baik
dalam penyelesaian maupun pemaparan dari makalah kami ini.
Dari itu, kami sangat mengharapkan dari para pembaca sekalian,
baik teman-teman maupun bapak/ibu dosen sebagai pembimbing dalam
mata kuliah ini, untuk turut serta dalam memberikan kritik yang
membangun dan saran yang baik agar kedepannya nanti kami akan dan bisa
menjadi lebih maju dan baik dari sebelumnya. Amin… ya rabbal ‘Alamin.

11
Daftar Pustaka

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Agenda


Musyawarah Nasional Ke-27 Tarjih Muhammadiyah, pada Tanggal 1-4 April
2010, di Universitas Muhammadiyah.

Oman Fathurrahman SW, Fatwa-fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah: Telaah


Metodologiis Melalui Pendekatan Usul Fiqh (Yogyakarta: Laporan Penelitian
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999/2000).

Syahlan Rasyidi, Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah


(Solo: Majelis PPK, t.t.).

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta:


Logos, 1995).

Gandhung Fajar Panjalu, “Implementasi Teori Maslahah dalam Putusan Majelis


Tarjih Muhammadiyah (Studi Kasus Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Tentang Keluarga Berencana dan Aborsi)” (Tesis, Universitas UIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2012).

“KEANGGOTAAN MUHAMMADIYAH” blog pcm wanareja,


https://muhammadiyahwanareja.web.id/2016/09/27/keanggotaan-muhammadiyah/
, diakses pada tgl 17 maret 2021, pkl 22.14

12

Anda mungkin juga menyukai