Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PRAKTIKUM IBADAH

PUASA

Dosen Pengampu

Dosen Pengampu: Bapak Saifudin, M. Pd. I

Disusun oleh Kelompok 8 :


Ade Basyuri (11190950000027)
Nurul Al Fiani (11190950000028)
Vika Purnama Restiani (11190950000011)

PROGRAM STUDI/JURUSAN BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019

Page 1
DAFTAR ISI

Halaman

Judul………..…………………………………………………………………………i

Kata Pengantar………………………………………………………………………ii

Daftar Isi……………………………………………………………………………..iii

BAB I : Pendahuluan

1.1 Latar belakang………………………………………………….….…..1

1.2 Rumusan masalah……………………………………………………...1

1.3 Tujuan penulisan……………………………………………….……...2

BAB II : Pembahasan

2.1 Pengertian puasa……...................................................................................3

2.2 Sejarah puasa……………………………..……………………………….4

2.3 Rukun, syarat, dan sunnah puasa………………………............................10

2.4 Macam-macam puasa………………………………………………….…14

2.5 Kedudukan puasa di antara ibadah-ibadah yang lain……………………..18

2.6 Hal yang dapat membatalkan puasa………………………………………18

2.7 Hikmah puasa…………………………………………………………….20

BAB III : Penutup

3.1 Kesimpulan………………………………………………….……………..21

3.2 Saran………………………………………………….………….…...……16

Page 2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Praktikum Ibadah dengan judul “Puasa:
Puasa Wajib, Sunnah, dan Haram”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
praktikum ibadah kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Ciputat, 27 November 2019

Penulis

Page 3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam bukanlah agama baru yang lahir bersamaan dengan diturunkannya wahyu
pertama kepada Nabi Muhammad SAW karena beliau sendiri adalah pelanjut dari rangkaian
tugas para rasul yang telah diutus Allah SWT sejak Nabi Adam AS.

Allah memerintahkan puasa bukan tanpa sebab. Karena segala sesuatu yang
diciptakan tidak ada yang sia-sia dan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya pasti demi
kebaikan hambanya. Kalau kita mengamati lebih lanjut ibadah puasa mempunyai manfaat
yang sangat besar karena puasa tidak hanya bermanfaat dari segi rohani tetapi juga dalam
segi lahiri. Barang siapa yang melakukannya dengan ikhlas dan sesuai dengan aturan maka
akan diberi ganjaran yang besar oleh allah.

Puasa mempunyai pengaruh menyeluruh baik secara individu maupun masyarakat


dalam hadits telah disebutkan hal-hal yang terkait dengan puasa seperti halnya mengenai
kesehatan, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan puasa secara tidak langsung telah
diajarkan perilaku-perilaku yang baik seperti halnya sabar, bisa mengendalikan diri dan
mempunyai tingkah laku yang baik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, kami akan merumuskan masalah yang akan

dibahas dalam makalah ini :

1. Apa pengertian puasa baik menurut bahasa dan istilah ?

2. Bagaimana sejarah singkat puasa ?

3. Apa saja rukun, syarat dan sunnah puasa?

4. Apa saja macam-macam puasa ?

Page 4
5. Bagaimana kedudukan puasa diantara ibadah yang lain ?

6. Apa saja hal yang membatalkan puasa ?

7. Apa saja hikmah dari puasa ?

1.3 Tujuan Penulisan

Memahami pengertian puasa, mengetahui sejarah puasa, memahami rukun, syarat dan

sunnah puasa, mengetahui kedudukan puasa diantara ibadah-ibadah yang lain, mengetahui

waktu melakukan puasa, mengetahui tata cara dalam berpuasa serta mengambil hikmah dari

puasa.

Page 5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Puasa

Puasa yang dalam bahasa Arab “shaum” atau “shiyam”, secara etimologi berarti

“menahan” (al-imsak). Arti ini bersifat umum,menahan segala kegiatan, baik perkataan

maupun perbuatan. Ini seperti ucapan Siti Maryam saat menahan diri dari berbicara dengan

menggunakan kata “shaum” , dalam firman Allah:

"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka

aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". ( Q.S Maryam: 26)

Yakni; saya (Maryam) bernazar menahan diri dari berbicara kepada siapa pun. Puasa

sedemikian ini disyariatkan dalam agama Bani Israil.1

Dengan kata lain, puasa menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li)

yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta menahan diri

dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu dilakukan

pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari,

oleh orang yang tertentu yang berhak melakukannya, yaitu orang Muslim, berakal, tidak

sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat,yakni, bertekad

1
Lihat, Departemen Agama Republik Indonesia. Modul Pembinaan Keluarga Sakinah. (Jakarta: Depag, 2000),
hal.238.

Page 6
dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah

membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan. 2

2.2 Sejarah Puasa

Puasa adalah ibadah ruhiyyah yang ada sejak lama; di mana Allâh Azza wa Jalla
mewajibkannya atas banyak umat sebelum umat ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬


َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, [Al-Baqarah/2:183]

Puasa sendiri telah dikenal oleh orang-orang zaman dahulu dari bangsa Mesir dan
India. Juga dikenal oleh bangsa Yunani dan Romawi. Jadi, sejarah puasa sangatlah tua; yang
sudah ada sejak zaman dahulu kala. Ada yang mengatakan bahwa orang-
orang paganis (penyembah patung-patung) dari bangsa India masih terus melestarikan puasa
sampai sekarang ini. Hanya saja tentu bukan karena Allâh, namun untuk menenangkan dan
mencari keridhaan sesembahan-sesembahan mereka; bila mereka merasa bahwa mereka
telah melakukan hal yang mengundang murka sesembahan-sesembahan mereka. Begitu
pula  kaum Yahudi dan Nasrani masih terus melestarikan puasa hingga saat ini. Dan
memang telah nyata pada mereka bahwa para nabi berpuasa; puasa nabi Musa alaihissalâm ,
puasa nabi Isa alaihissalâm, dan juga para Hawariyyun pengikut setia nabi Isa alaihissalâm.

Disyariatkannya ibadah ini kepada semua umat, menunjukkan bahwa ibadah ini di
antara ibadah yang paling agung dalam menyucikan ruhani, membersihkan jiwa,
menguatkan sentimental agama dalam hati, serta untuk melengkapi hubungan antara hamba
dengan Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala. Karena orang yang berpuasa, setiap kali dirinya
digerakkan dan hendak dikuasai oleh keinginan syahwatnya kepada makanan, minuman dan

2
Dr. Wahbah Al-Zuhayiy, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2005), 84-85.

Page 7
nafsunya; ia pun akan ingat bahwa ia tengah berpuasa. Sehingga ia selalu dalam keadaan
ingat kepada Allâh. Dan ingat kepada Allâh yang terpatri dalam hati hamba, adalah di antara
faktor paling besar dalam memperbaiki seorang hamba.

2.2.1 SEJARAH DIWAJIBKANNYA PUASA ATAS UMAT INI

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa hari Asyura sebelum diwajibkannya puasa
Ramadhan. Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa Asyura di Mekkah
sebelum hijrah ke Madinah. Seperti yang Imam Al-Bukhâri riwayatkan dari Aisyah
Radhiyallahu anhuma bahwa ia berkata:

‫صو ُمهُ فَلَ َّما قَ ِد َم‬


ُ َ‫سلَّ َم ي‬ َ ‫ش فِي ا ْل َجا ِهلِيَّ ِة َو َكانَ النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ٌ ‫صو ُمهُ قُ َر ْي‬ ُ َ‫َكانَ يَ ْو ُم عَاشُو َرا َء يَ ْو ًما ت‬
ُ‫صو ُمه‬ ُ َ‫صا َمهُ َو َمنْ شَا َء اَل ي‬ َ ‫ضانُ َكانَ َمنْ شَا َء‬ ِ ِ‫صا َمهُ َوأَ َم َر ب‬
َ ‫صيَا ِم ِه فَلَ َّما نَ َز َل َر َم‬ َ َ‫ا ْل َم ِدينَة‬

“Dahulu, hari Asyura adalah hari di mana kaum Quraisy berpuasa padanya pada
masa jahiliyah. Adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam berpuasa pada hari
Asyura. Tatkala Beliau datang ke Madinah, Beliau juga berpuasa padanya, dan
memerintahkan orang-orang untuk berpuasa padanya. Lalu ketika turun (wajibnya puasa)
Ramadhan, barangsiapa yang mau ia boleh berpuasa padanya, barangsiapa yang mau ia
boleh juga untuk tidak berpuasa padanya. [HR. Al-Bukhâri]

Karena itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

َُ‫صا َمهُ َو َمنْ شَا َء تَ َر َكه‬


َ ‫نْ شَا َء‬

“Barangsiapa yang mau, ia boleh berpuasa Asyura, atau ia juga boleh untuk
meninggalkannya.” [HR. Muslim]

Page 8
Hanya saja, puasa Asyura menurut pendapat yang rajih tidaklah diwajibkan atas
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam dan kaum Mukminin. Namun hanya sekedar puasa
sunnah semata. Dalilnya adalah seperti riwayat al-Bukhâri dan Muslim dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu anhuma ia berkata:

:‫ َما ه َذا قَالُوا‬:‫ فَقَا َل‬،‫ُورا َء‬ ُ ‫ فَ َرأَى ا ْليَ ُهو َد ت‬،‫قَ ِد َم النَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم ال َم ِدينَة‬
َ ‫صو ُم يَ ْو َم عَاش‬
ُّ ‫ فَأَنَا أَ َح‬:‫ قَا َل‬،‫صا َمهُ ُموسى‬
‫ق بِ ُموسى ِم ْن ُك ْم‬ ْ ِ‫ ه َذا يَ ْو ُم نَ َّجى هللاُ بَنِي إ‬،‫صالِ ٌح‬
َ َ‫س َرائِي َل ِمنْ َعد ُِّو ِه ْم ف‬ َ ‫ه َذا يَ ْو ٌم‬
ِ ِ‫صا َمهُ َوأَ َم َر ب‬
‫صيَا ِم ِه‬ َ َ‫ف‬

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam datang (di Madinah), dan Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa salam lihat kaum Yahudi berpuasa Asyura. Beliaupun bertanya: “Apa ini?” Mereka
menjawab: “Ini hari baik. Di mana Allâh menyelamatkan Musa dan bani Israil pada hari
tersebut dari kejaran musuh mereka. Lalu Musa pun berpuasa padanya. Lalu Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada
kalian.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan orang-orang untuk
berpuasa padanya.

Pada tahun kedua dari Hijrah, pada malam kedua dari Sya’ban,  Allâh Azza wa Jalla
mewajibkan puasa atas kaum Muslimin; dengan firman-Nya:

Page 9
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa
hari yang tertentu. …[Al-Baqarah/2: 183-184]

Fiman Allâh: “Telah diwajibkan atas kalian” mengindikasikan bahwa puasa jenis


apapun tidak diwajibkan atas mereka sebelum itu. Karena itulah kebanyakan para ulama
berpendapat bahwa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, tidak ada puasa yang diwajibkan
atas umat ini, sesuai dengan ayat di atas. Dan juga berdasarkan apa yang diriwayatkan al-
Bukhâri dan Muslim dari Muawiyah Radhiyallahu anhu ia berkata: Aku mendengar
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Ini adalah hari Asyura; sedangkan
Allâh tidak mewajibkan atas kalian untuk berpuasa padanya. Namun aku berpuasa (pada
hari Asyura). Barangsiapa yang suka, ia boleh berpuasa,ataupun bisa pula baginya untuk
tidak berpuasa.” [Risâlah Ramadhân Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, hlm 20-24]

Syaikh Shalih Fauzan berkata dalam Ithâf Ahlil Îmân bi Durûs Syahr Ramadhân:
… Maka puasa adalah suatu kewajiban atas semua umat, meski berbeda cara dan waktunya.
Sa’id Bin Jubair rahimahullah berkata: “Puasa orang sebelum kita adalah dari gelapnya
malam hingga malam selanjutnya; sebagaimana pada permulaan Islam.” Al-Hasan
rahimahullah berkata, “Puasa Ramadhan dulunya wajib atas kaum Yahudi. Akan tetapi
mereka meninggalkannya, dan mereka berpuasa satu hari dari satu tahun; di mana mereka
menyangka bahwa itu adalah hari ditenggelamkannya Fir’aun; padahal mereka dusta akan
hal itu. Karena hari itu adalah hari Asyura.

Puasa juga wajib atas Nasrani. Akan tetapi setelah mereka berpuasa beberapa waktu
lamanya, lalu bertepatan puasa mereka pada musim yang sangat panas dan terik; dan itu
begitu berat bagi mereka dalam perjalanan mereka, juga saat mereka mencari nafkah. Maka
bulatlah kesepakatan para pemimpin agama dan pemuka mereka untuk memindah puasa
mereka pada suatu musim antara musim dingin dan musim panas. Mereka jadikan puasa
mereka pada musim semi dan mereka jadikan pada waktu yang tidak berubah-ubah lagi
waktunya. Kemudian saat mereka merubahnya, mereka mengatakan: tambahlah 10 hari

Page 10
dalam puasa kalian; sebagai kaffarah (penggugur) dari apa yang mereka perbuat. Sehingga
puasanya menjadi 40 hari.

Adapun firman Allâh:

ٍ ‫أَيَّا ًما َم ْعدُودَا‬


‫ت‬

  (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu… [Al-Baqarah/2: 184]

Ada yang mengatakan, itu adalah hari-hari bukan pada bulan Ramadhan; yang
berjumlah 3 hari. Ada lagi yang mengatakan bahwa maksudnya adalah hari-hari Ramadhan.
Karena itu dijelaskan dalam ayat selanjutnya dalam firman-Nya:

َ َ‫ضان‬
َ ‫ْه ُر َر َم‬

  (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, [Al-Baqarah/ 2: 185]

Para ulama mengatakan: bahwa kaum Muslimin dulu pada awalnya, diberi
pilihan antara berpuasa atau memberi fidyah; yaitu berdasarkan firman-Nya:

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang

Page 11
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.  [Al-Baqarah/ 2: 184]

Kemudian adanya pilihan di atas, dihapuskan hukumnya (dinaskh) dengan


diwajibkannya puasa itu sendiri; dengan firman-Nya:

ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
ُ‫ص ْمه‬ َ ْ‫فَ َمن‬
َّ ‫ش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال‬

Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, [Al-Baqarah/ 2: 185]

Dan hikmah dari hal tersebut adalah adanya tahapan (tadarruj; barangsur-
angsur, tidak seketika) dalam menetapkan suatu syariat dan memberikan keringanan pada
umat ini. Karena ketika mereka tidak terbiasa berpuasa, maka ditentukannya puasa atas
mereka dari awal mula, maka itu hal yang begitu berat. Karena itu pada awal mulanya,
mereka diberi pilihan antara berpuasa atau memberi fidyah. Kemudian ketika keyakinan
mereka sudah kuat dan jiwa mereka pun telah tenang serta mereka telah terbiasa puasa,
maka diwajibkan atas mereka berpuasa saja. Untuk hal seperti ini ada padanannya dalam
berbagai syariat Islam yang terasa berat; di mana itu disyariatkan dengan berangsur-angsur.
Akan tetapi yang shahih adalah bahwa ayat tersebut mansukh (dihapuskan hukumnya) bagi
orang yang mampu untuk berpuasa. Adapun bagi orang yang tidak mampu berpuasa baik
karena telah tua renta, atau sakit yang tak ada harapan sembuh; maka ayat tersebut tidaklah
di-naskh (tidak dihapuskan hukumnya bagi mereka). Mereka bisa berbuka dan memberi
makan untuk setiap harinya seorang miskin. Dan tidak ada qadha’ atas mereka.

Adapun orang selain mereka, maka yang wajib adalah berpuasa. Bila ia berbuka
karena sakit yang menimpa, atau safar, maka wajib untuk diqadha’.

Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-2 H. Dan Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa salam berpuasa selama 9 kali Ramadhan. Dan jadilah puasa ini suatu kewajiban dan

Page 12
rukun di antara rukun Islam. Orang yang mengingkari kewajibannya berarti ia kafir.
Adapun yang berbuka tanpa udzur tanpa mengingkari wajibnya, maka ia telah berbuat dosa
besar yang harus dihukum ta’zir (hukuman sesuai kebijakan hakim) dan harus dibuat jera.
3
Dan ia harus bertaubat dan mengqadha’ hari yang ia berbuka padanya.

2.3 Rukun, Syarat dan Sunnah Puasa

2.3.1 Rukun Puasa

Rukun ialah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum. Puasa sebagai

ibadah yang memiliki unsur-unsur hukum juga memiliki rukun sebagai tonggak tempat

berdirinya. Adapun rincian rukun puasa adalah sebagai berikut

1. Niat

Niat merupakan inti dari keabsahan setiap perbuatan (ibadah) tidak terkecuali ibadah

puasa. Mengenai niat itu Allah SWT berfirman

Dan tidaklah mereka disuruh melainkan supaya menyembah Allah serta

mengikhlaskan agama kepada Nya. (Q.S Al-Bayyinah : 5)

Menurut Syekh Sayyid Sabiq, masalah niat ini cukup diucapkan di dalam hati dan tidak

disyaratkan diucapkan lisan karena hakikat niat adalah kehendak melakukan suatu

perbuatan sebagai aplikasi perintah Allah SWT dengan harapan mendapat ridha-Nya.

Karena itu, orang yang sahur di malam hari dengan maksud esok akan berpuasa sebagai
3
Ithâf Ahlil Îmân bi Durûs Syahr Ramadhân hal 11-12
Page 13
ibadah kepada Allah Azza wa Jalla maka ia dianggap telah melakukan niat puasa.

Demikian pula orang yang bermaksud menahan diri dari hal-hal yang membatalkan

puasa di siang hari dengan ikhlas untuk Allah SWT, ia pun dianggap telah melakukan

niat berpuasa meskipun tidak bersahur. 4

2. Al-Imsak

Al Imsak atau menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar

sampai terbenam matahari. Hal ini didasarkan pada firman Allah Azza wa Jalla.

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu

fajar. (Q.S. Al-Baqarah : 187)

Dalam ayat ini, dimaksud dengan benang putih adalah puth/terangnya siang dan benang

hitam adalah gelapnya malam. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa ini

hendaknya tidak hanya dari makan, minum dan bersetubuh dengan istri, tetapi juga

memelihara lisan dari perkataan zur (dusta, gunjing dan umpat) serta menjaga anggota

badan lainnya dari perbuatan tercela dan maksiat.

3. Zaman (Waktu)

Adapun yang dimaksud dengan zaman disini adalah siang hari, mulai dari terbit fajar

sampai terbenam matahari. Karena itu, apabila seseorang berpuasa di malam hari dan

berbuka di siang hari maka tidak sah puasanya lantaran waktu puasa itu di siang hari.
4
Syekh As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr,tt.), Jilid 1, hal.370; Syekh Thaha Abdullah Al-Afifiy,
Min Washaya Ar-Rasul SAW, Op. Cit., hal.284

Page 14
Adapun hikmah dipilihnya siang hari sebagai waktu untuk berpuasa adalah bahwa

berpuasa ini merupakan ibadah dan seutama-utama ibadah ialah yang tersulit

pelaksanaannya.

2.3.2 Syarat Sah Puasa

Untuk sahnya amal ibadah puasa dibutuhkan syarat-syarat bagi pelakunya sebab jika

syarat tidak terpenuhi maka kriteria sah juga tidak akan dicapai. Adapun syarat-syarat

yang menjadikan puasa itu sah antara lain

1. Muslim (Orang Islam)

Karena itu, orang non muslim (kafir) tidak wajib puasa lantaran puasa ini

merupakan ibadah Islam.

2. Berakal/balig.

Orang muslim wajib berpuasa apabila ia memiliki akal sehat dan telah balig

(dewasa) karena orang gila dan masih kanak-kanak tidak dianggap mukallaf. 5 Bagi

anak-anak, meskipun ia belum mukallaf (belum wajib puasa), wali atau orang

tuanya hendaknya menyuruh mereka untuk berpuasa sebagai pelatihan baginya

membiasakan berpuasa sejak dari kecil selama ia mampu melaksanakannya.

3. Berpuasa pada waktunya

Yakni di hari yang dapat (boleh) dipergunakan untuk berpuasa. Karena itu, tidak

sah puasa yang dilakukan di hari-hari yang terlarang untuk berpuasa, seperti hari

raya Fitri dan Adha serta hari-hari tasyrik.

4. Bagi wanita hendaknya suci dari haid atau nifas.

5
Mukallaf adalah istilah bagi orang Muslim yang telah dewasa serta terkena kewajiban menjalankan ajaran agama
Islam.

Page 15
Wanita dalam kondisi haid atau nifas dilarang berpuasa dan jika tetap

melaksanakannya maka tidak sah (batal) puasanya. Mereka ini diwajibkan qadha

(mengganti puasa yang ditinggalkannya) di hari-hari lain.

5. Mukim (berada di kampung)

Karena orang yang bepergian (musafir) tidak wajib berpuasa disaat bepergian itu. Ia

boleh berbuka dengan kewajiban qadha (mengganti puasa sebanyak hari yang

ditinggalkannya/tidak berpuasa) di hari-hari lain.

6. Sanggup berpuasa karena orang-orang yang lemah dan sakit tidak wajib berpuasa.

Kepada mereka yang tidak mampu berpuasa ini dikenakan kewajiban qadha atau

fidyah. Kebolehan tidak berpuasa ini bagi wanita yang sedang haid atau nifas

(setelah melahirkan), musafir (orang yang dalam bepergian jauh) dan orang sakit,

merupakan rukhsah (keringan/dispensasi) dari Allah SWT, karena orang-orang

yang bepergian (musafir) biasanya membutuhkan tenaga (terasa penat dan capek),

dan orang sakit tidak mampu berpuasa lantaran penyakit yang dideritanya.

2.3.3 Sunnah Puasa

Adapun sunnah-sunnah dalam berpuasa

1. Mengakhirkan Sahur

2. Menyegerakan berbuka

3. Berbuka dengan kurma jika mudah diperoleh atau dengan air

4. Berdo’a ketika berbuka

Page 16
5. Memberi makan pada orang yang berbuka.

2. 4 Macam – Macam Puasa

2.4.1 Puasa Wajib

Puasa wajib atau fardu meliputi empat macam yaitu

1. Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah puasa yang wajib dilaksanakan di bulan Ramadhan


selama satu bulan penuh. Kewajiban puasa ini untuk pertama kalinya
diserukan pada tahun kedua Hijrah dan dasar hukum yang menjadi
landasannya adalah Al-Quran, Sunnah, dan Ijma.

2. Puasa Qadha

Puasa qadha ialah puasa yang wajib ditunaikan dengan sebab berbuka di
bulan Ramadhan lantaran uzur seperti safar (bepergian), sakit atau
disebabkan haid dan nifas atau sebab lainnya. Puasa qadha ini dilaksanakan
diluar bulan Ramadhan dan bukan di hari-hari yang haram berpuasa.
Pelaksanaan puasa ini sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan di bulan
Ramadhan tersebut.

3. Puasa Nadzar

Puasa nadzar adalah apabila seseorang bernazar (berjanji) untuk melakukan


puasa, maka puasa yang dinazarkan itu wajib hukumnya bagi orang tersebut.

4. Puasa Kifarat

Page 17
Puasa kifarat adalah puasa yang wajib dilaksanakan untuk menebus
(menututupi) sebagian dosa.

2.4.2 Puasa Sunnat atau Tathawwu

1. Puasa enam hari di bulan Syawal

Disunnahkan mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di Bulan


Syawal dan itu sebanding dengan puasa selama setahun.

2. Berpuasa sehari dan berbuka sehari

Berdasarkan hadis yang terdapat dalam kitab Ash-Shahihain dikemukakan


sebagai berikut:

“Puasa yang paling utama ialah puasa Dawwud. Dia berpuasa sehari
berbuka sehari”

Dalam hadis lain ditambahkan sebagai berikut:

“Tidak ada yang lebih utama dari pada puasa Dawwud.”

3. Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan

Dalam puasa jenis ini, yang lebih utama ialah berpuasa pada tiga hari bidh,
yakni pada tanggal 13, 14, dan 15. Ketiga hari ini dinamakan bidh karena
malam hari pada ketiganya diterangi bulan dan pada siang harinya diterangi
matahari. Dalil puasa jenis ini ialah hadis yang diriwayatkan Abu Dzar. Dia
mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda kepadanya:

“Jika kamu (hendak) berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka


berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15.”

Dalam hadis diriwayatkan sebagai berikut.

Page 18
“ Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa sebanyak tiga hari dalam satu
bulan.”

4. Puasa pada hari Senin dan Kamis dalam setiap minggu. Puasa jenis ini
berdasarkan perkataan Usamah bin Zaid berikut:6

“Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Lalu
ketika beliau ditanya mengenai hal itu, beliau bersabda, “Sesungguhnya,
amalan-amalan manusia diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis.” “

Dalam lafal lain disebutkan:

“Aku senang amalanku diperlihatkan ketika aku berpuasa.”

5. Puasa hari Arafah

Yaitu puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah bagi orang yang tidak sedang
melakukan ibadah haji.7 Puasa ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Muslim berikut:

“Berpuasa pada hari arafah dipandang oleh Allah sebagai


amalan yang menjadi kafarat untuk satu tahun sebelum dan sesudahnya.”

Hari Arafah merupakan hari yang paling utama. Pernyataan ini didasarkan
atas hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berikut:

“Tiada satu hari pun yang di dalamnya Allah lebih banyak


memerdekakan seseorang dari api neraka, selain hari Arafah.”

6. Berpuasa selama delapan hari dalam bulan Dzulhijah, sebelum hari Arafah

Penyunahan puasa ini berlaku bagi orang melakukan ibadah haji ataupun
yang tidak melakukan ibadah haji. Puasa ini disunnahkan berdasarkan
perkataan Hafsnah berikut:

6
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2005), 125.
7
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 126.

Page 19
“Empat hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW adalah puasa
Asyura, puasa sepuluh hari (Dzulhijjah), puasa tiga hari dalam setiap
bulan, dan dua rakaat sebelum subuh.”

7. Berpuasa pada hari Tasu’a dan Asyura’ yaitu 9 dan 10 Muharram

Puasa jenis ini disunnahkan lagi (akan lebih baik) jika keduanya dilakukan
atas hadis marfu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:

“Seandainya aku masih hidup sampai masa mendatang, niscaya


aku akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.”

8. Puasa pada bulan Syaban

Puasa ini disunnahkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ummu


Salamah. Dia menyatakan bahwa Nabi SAW tidak pernah berpuasa
sebulan penuh dalam setahun, kecuali dalam bulan Syaban. Dan beliau,
lanjut Ummu Salamah, menyambungkannya dengan puasa Ramadhan.

Dari Aisyah diceritakan sebagai berikut:

“Nabi SAW tidak berpuasa melebihi bulan Syaban beliau


berpuasa di dalamnya (bulan Syaban) secara penuh.”

2. 4.3 Puasa Haram

1. Puasa pada hari yang diragukan (yaumus-sakk)

Yakni, puasa pada hari ketiga puluh bulan Syaban, ketika orang-orang
meragukan bahwa hari itu termasuk bulan Ramadan. Para fukaha
mempunyai beberapa ungkapan yang sama mengenai batasan antara bulan
Syaban dan Ramadan. Namun mereka berbeda pendapat dalam penetapan
hukumnya. Walaupun demikian, mereka bersepakat bahwa puasa tersebut
tidak makruh. Bahkan, mereka membolehkan puasa itu dilakukan jika
bertepatan dengan kebiasaan melakukan puasa sunnah, misalnya puasa
sunnah hari Senin dan hari Kamis.

2. Puasa pada hari raya dan hari-hari Tasyrik

Page 20
Menurut mazhab Hanafi, puasa yang dilakukan pada hari-hari tersebut
hukumnya makruh tahrimiy, sedangkan menurut mazhab yang lainnya
haram, serta tidak sah menurut mazhab yang lain baik puasa tersebut
merupakan puasa wajib maupun puasa sunnah.

3. Puasa wanita yang sedang haid atau nifas hukumnya haram dan tidak sah.
4. Puasa yang dilakukan oleh seorang yang khawatir akan keselamatan
dirinya jika dia berpuasa, hukumnya haram.

2.5 Kedudukan Puasa di Antara Ibadah-Ibadah yang Lain

Pengertian yang kongkrit dari puasa dalam syari’at Islam itulah pemisah yang
membedakan puasa Islam dari segenap macam dan warna puasa yang berkembang dan
terkenal sebelum Islam.

Puasa Islam ialah menahan diri yang sempurna dari syahwat perut dan syahwat
kelamin pada masa tertentu. Pada masa itu para Muslim bukan saja menahan diri dari makan,
minum, dan bersetubuh, bahkan berusaha melatih diri dan mengendalikan diri dari hawa
nafsu.

Al Ghazali telah menerangkan kedudukan puasa diantara ibadat-ibadat yang lain. Doa
berkata : “Puasa adalah seperempat Iman, mengingat Hadist Nabi: “Ash Shaumu Shabri” dan
mengingat Hadist Nabi: “Ash Shabru nisful Iman = Puasa itu seperdua shabar dan shabar itu
seperdua Iman.” Dan puasa itu dinisbahkan kepada Allah sendiri. Dan puasa itu seperdua
sabar. Pahalanya melewati batas perkiraan yang dapat dikira-kirakan.

2. 6 Hal yang Dapat Membatalkan Puasa

1. Makan dan Minum

Page 21
“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar.” (Q.S. Al-Baqarah : 187)

Makan dan minum yang membatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan
sengaja. Kalau tidak sengaja, misalnya lupa itu tidak membatalkan puasa.

Memasukkan sesuatu ke dalam lubang yang ada pada badan, seperti lubang telinga,
hidung, dan sebagainya, menurut sebagian ulama sama dengan makan dan minum;
artinya membatalkan puasa. Mereka mengambil alasan dengan qias, diqiaskan
(disamakan) dengan makan dan minum.

2. Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam 8

Muntah yang tidak disengaja tidaklah membatalkan puasa.

Sabda Rasulullah SAW:

Dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW telah berkata, “Barangsiapa paksa muntah,
tidaklah wajib mengqada puasanya; dan barangsiapa yang mengusahakan
muntah, maka hendaklah dia mengqada puasanya.” (Riwayat Abu Dawud, dan
Ibnu Hibban).

3. Bersetubuh

Laki-laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di waktu siang hari di


bulan Ramadan, sedangkan dia berkewajiban puasa, maka ia wajib membayar
kafarat.

4. Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah sehabis melahirkan)

Dari Aisyah. Ia berkata, “Kami disuruh oleh Rasulullah SAW mengqada puasa,
dan tidak disuruhnya untuk mengqada salat.” (Riwayat Bukhari)

5. Gila

Jika gila itu datang waktu siang hari, batallah puasa tersebut.

8
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), hal.231

Page 22
6. Keluar mani dengan sengaja (karena bersentuhan dengan perempuan atau
lainnya).

Karena keluar mani itu adalah puncak yang dituju orang pada persetubuhan,
maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Adapun keluar mani karena
bermimpi, mengkhayal, dan sebagainya tidak membatalkan puasa.

2.7 Hikmah Puasa

Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut:

1. Tanda terima kasih kepada Allah karena semua ibadah mengandung arti terima kasih
kepada Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya, dan tidak
ternilai harganya.9
2. Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan makan dan minum dari
harta yang halal kepunyaannya sendiri, karena ingat perintah Allah, dan tidak akan
berani melanggar segala larangan-Nya.
3. Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir-miskin karena seseorang yang telah
merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu akan dapat mengukur
kesedihan dan kesusahan orang yang sepanjang masa merasakan ngilunya perut yang
kelaparan karena ketiadaan. Dengan demikian, akan timbul perasaan belas kasihan
dan suka menolong fakir miskin.
4. Guna menjaga kesehatan
5. Guna menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatannya yang tersalurkan
dalam anggota tubuh, seperti mata, lidah, telinga, dan kemaluan10

BAB III

PENUTUP

9
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), hal. 243.
10
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 89.

Page 23
3.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan makalah “PUASA” diatas, maka diambil kesimpulan:

1. Puasa yang dalam bahasa Arab “shaum” atau “shiyam”, secara etimologi berarti
“menahan” (al-imsak). Arti ini bersifat umum,menahan segala kegiatan, baik
perkataan maupun perbuatan.

2. Puasa menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa
dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta menahan diri
dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya.

3. Puasa harus dilakukan dengan niat,yakni, bertekad dalam hati untuk


mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah
membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi
kebiasaan.

4. Puasa dilakukan oleh orang tertentu yang berhak, yaitu orang Muslim, sudah
baligh, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas.

5. Puasa banyak macamnya, diantaranya puasa wajib, puasa sunnah (tathawwu),


dan puasa yang diharamkan. Orang yang berpuasa disunnahkan untuk
melakukan sahur, menta’hirkan makan sahur, menyegerakan berbuka, berbuka
dengan sesuatu yang manis, berdoa sewaktu berbuka puasa, memberi makanan
untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa, hendaknya memperbanyak
sedekah selama dalam bulan puasa, dan menyibukkan diri dengan ilmu
pengetahuan.

6. Ada beberapa hal yang membatalkan puasa, yaitu makan dan minum yang
disengaja, muntah yang disengaja, bersetubuh, keluar darah haid (kotoran) atau
nifas, gila dan keluar mandi dengan sengaja.

Page 24
7. Puasa mengajarkan kita untuk lebih bersyukur terhadap segala hal yang telah
kita miliki saat ini. Mengajarkan kita untuk mampu membantu orang-orang
fakir dan miskin.

3.2 Saran

Sebelum kita mempelajari atau melakukan praktek ibadah puasa di agama islam,
terlebih dahulu kita harus mempelajari sumber-sumber ibadah puasa atau pengertian serta
istilah yang kita pelajari sesuai dengan al-qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW yang
terdapat dalam as-sunnah (hadist).

Page 25
DAFTAR PUSTAKA

Azis, Usamah Abdul. 2015. Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya. Jakarta:
DARUL HAQ Ed. Indonesia.

Junaedi, Dedi. 2004. Pedoman Puasa. Jakarta: Akademika Presindo. Ed

Page 26

Anda mungkin juga menyukai