Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan
judul "Imam kepada Mahabbahadalah Allah SWT" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Penulis sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan
besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain
yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Bekasi, April 2019

Penulis

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................i

BAB I..........................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................................1

D. Manfaat Penelitian..........................................................................................................................1

BAB II........................................................................................................................................................1

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................1

A. PENGERTIAN IMAN....................................................................................................................1

B. PENGERTIAN MAHABBAH.......................................................................................................1

1. Secara Etimologi..........................................................................................................................1

2. Secara Terminologi......................................................................................................................1

BAB III.......................................................................................................................................................1

HAQIQAT MAHABBAH.........................................................................................................................1

A. Mahabbah Dalam Konteks Al-Qur’an............................................................................................1

B. Haqiqat Cinta Hamba Kepada Allah...............................................................................................1

BAB IV.......................................................................................................................................................1

PENERAPAN AJARAN MAHABAH......................................................................................................1

A. Hal-hal Yang Terkait Dengan Mahabbah........................................................................................1

1. Ikhlas...........................................................................................................................................1

2. Menjauhi Perbuatan Riya’ atau Syirik Kecil................................................................................1

B. Urgensi Mahabbah Kepada Allah dalam Kehidupan Sekarang.......................................................1

A. Akhlăq.........................................................................................................................................1

B. Sosial...........................................................................................................................................1

BAB V.........................................................................................................................................................1

PENUTUP..................................................................................................................................................1

A. Kesimpulan.....................................................................................................................................1

ii
B. Saran...............................................................................................................................................1

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang telah diberi rasa cinta, sehingga
manusia mampu menjadikan dirinya makhluk yang mampu mengasihi sesamanya. Dengan
perasaan cinta itu pula manusia dapat mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Namun apa yang terjadi pada zaman sekarang sebagian manusia dengan mengatas namakan
cinta untuk berbuat suatu kedhaliman (kedurjanaan), hal tersebut yang tidak diharapkan oleh
ajaran Islam.
Dalam perkembangan dunia modern, semua kegiatan diukur dengan nilai materi dan
pamrih, ikhlas menjadi hal langka yang sulit didapatkan, tanggung jawab terabaikan, bahkan
terkesan seakan-akan tidak ada hari yang akan meminta segala pertanggung jawaban
terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan di dunia fana ini. Hal tersebut menyebabkan terjadi
berbagai ketimpangan dan dekadensi moral yang mengarahkan hidup manusia bagai tak
punya sandaran. Revitalisasi ajaran mahabbah dalam konteks kekinian mutlak diperlukan
demi kembali mengkondisikan manusia yang hanya mencintai Allah swt, serta selalu
mengharap ridho-Nya.
Seiring dengan perkembangan zaman yang cepat berubah, cenderung mengabaikan
nilai-nilai agama yang tetap dan mapan, salah satu nilai agama adalah bagaimana mencintai
sang pencipta yang telah memberikan anugerah dalam hidup ini, serta bagaimana
mewujudkan cinta sesama manusia dan saling tolong menolong dalam kehidupan ini.
Kesenjangan yang timbul dalam kehidupan baik antar perorangan, lembaga dan bahkan
negara pada gilirannya akan berdampak pada timbulnya kecemburuan sosial, kecemburuan
sosial merupakan awal dari munculnya berbagai konflik, serta ketidakstabilan masyarakat.

1
Islam adalah agama yang ajarannya didasarkan pada realitas, bukan pada khayalan.
Islam tidak menafikan adanya perasaan saling mencintai antar manusia, sebab hal itu adalah
fithrah manusia.
Secara naluriah, seseorang akan mencintai pasangan, keluarga, harta, dan tempat
tinggalnya. Akan tetapi tidak sepatutnya sesuatu yang bersifat duniawi tersebut lebih dicintai
dibanding Allah dan Rasul-Nya. Jika manusia lebih mencintai sesuatu yang bersifat duniawi
berarti imannya tidak sempurna, dan ia harus berusaha untuk menyempurnakannya.
Dalam masalah cinta pasti memiliki konsekuensi dari perasaan cinta yang dimiliki. Bila
cinta itu suci dan sejati akan mendapat kebahagiaan tersendiri, tetapi bila kadar cinta itu
tidak sebesar iman yang dimiliki berarti akan berakibat fatal bagi diri dan cintanya.
Perlu diketahui bahwa rasa cinta memang membutuhkan pembuktian dari setiap orang
yang mengaku mencintai, karena sebuah pengakuan itu termasuk hal yang mudah, akan
tetapi membuktikan pengakuan itulah yang sulit. Terkadang seseorang menganggap mudah
sebuah pengakuan bahwa dirinya telah mencintai Allah. Padahal, pengakuannya tersebut itu
belum teruji dengan bukti yang menunjukkan ke arah cinta yang sebenarnya.
Cinta hamba kepada Tuhannya adalah suatu rasa manifestasi yang dapat mengantarkan
ke derajat yang lebih tinggi, sempurna dan suci. Kedudukan yang tinggi ini menuntut
manusia untuk berkorban demi penciptanya, sebagaimana yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang yang dicinta. Seorang pecinta harus mencintai obyek yang di cinta dengan hati
yang tulus. Ia harus rela berkorban demi yang di cintai sebagai bukti atas cintanya.
Adapun kerinduan, kesenangan, dan ke-ikhlas-an itu mengikuti kecintaan. Cinta kepada
Allah tidak akan timbul kecuali jika seseorang telah melalui tahapan seperti shabar, zuhud,
dan lainnya. Seandainya hal tersebut tidak dapat diwujudkan maka setidak-tidaknya hati
tetap memiliki keimanan. Namun sebagian ulama’ tidak sependapat. Mereka beranggapan
bahwa iman dalam hati saja belum cukup tanpa menjalankan amal taat kepada Allah.
Sesuatu itu dapat di cintai jika telah dikenal dan diketahui. Jika sesuatu itu sudah
dikenal dan diketahui kemudian ada kecocokan sifat dan kesesuaian, maka timbullah rasa
cinta (mahabbah). Karena rasa cinta itu kecenderungan perasaan terhadap sesuatu yang
menyenangkan. Kecenderungan perasaan yang kuat itulah yang disebut dengan cinta.
Jika seseorang mencintai sesuatu tetapi tidak dihubungkan dengan kecintaan terhadap
Allah, maka hal itu merupakan suatu kebodohan. Rasa cinta itu adalah buah dari ma’rifat.

2
Rasa cinta bisa ada karena ma’rifah ada. Rasa cinta menjadi lemah jika ma’rifah lemah. Bisa
menjadi kuat jika ma’rifah kuat.
Oleh karena itu hasan al Basyri berkata, “Barang siapa yang ma’rifah (mengenal
Tuhannya), pasti dia mencintai-Nya. Barang siapa yang mengenal dunia, maka ia zuhud
pada dunia.”
Ketika Allah mencintai hamba-Nya mengandung arti bahwa Allah telah membukakan
mata hati manusia supaya dapat mendekatkan diri dan melihat Tuhan dengan mata batinnya.
Cinta Allah kepada hamba-Nya berarti dekatnya Tuhan terhadap jiwa seorang hamba yang
telah di jauhkan dari maksiat, dan dibersihkan jiwanya dari kotoran-kotoran duniawi.
Melihat konteks sekarang, rasanya revitalisasi mahabbah terutama pada Allah layak
dilakukan kembali, ini demi mengantisipasi berbagai penyalahgunaan dan penyelewengan
yang merusak nilai manusia, sehingga ketika menghadap sang pencipta cinta akan mendapat
cinta sejati darinya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis hanya membahas tentang “Mahabbah” sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Kemudian bagaimana al-Qur’an berkomentar
tentang hal ini? Inilah yang menumbuhkan rasa ingin tahu penulis, untuk mengetahui
informasi secara mendalam dari al-Qur’an, yang menjadi latar belakang penulisan makalah
“Mahabbah dalam Al-Qur’an”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, agar penjelasan lebih terarah, maka perlu adanya
rumusan masalah yaitu:
1. Apa itu Iman?
2. Apa itu Mahabbah?
3. Bagaimana haqiqat cinta hamba kepada Allah berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an?
4. Apa makna mahabbah dalam konteks kekinian?

3
C. Tujuan Penulisan

Sehubungan dengan pernyataan dalam perumusan masalah di atas, maka tujuan dari
pembahasan ini adalah:

Untuk mengetahui al-Qur’an menjelaskan mahabbah.


1. Untuk mengetahui iman menurut Agama Islam.
2. Untuk mengetahui haqiqat cinta hamba kepada Allah berdasarkan ayat-ayat al-
Qur’an yang berkaitan dengan cinta kepada Allah.
3. Untuk mengetahui makna mahabbah dalam konteks kekinian.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis
Hasil pembahasan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai hakikat mahabbah, selain itu juga sebagai bahan khazanah
keilmuan untuk mendapatkan pemahan yang lebih mendalam tentang makna
mahabbah.

2. Secara Praktis
Sekiranya pembahasan ini dapat mengurangi pemahaman yang salah dikalangan
masyarakat dalam menyikapi dan menghadapi berbagai musibah. Selain itu agar
dapat menambah keimanan kita serta memberikan motivasi untuk berfikir secara
kritis dan analitis dalam mahabbah.

BAB II

PEMBAHASAN

4
A. PENGERTIAN IMAN

Secara bahasa, iman berarti membenarkan (tashdiq), sementara menurut istilah adalah
mengucapkan dengan lisan, membenarkan dalam hati dan mengamalkan dalam perbuatan.
Adapun iman menurut istilah sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap kedalam hati,
dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak atau keraguan, serta memberi pengaruh
bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.

Kata iman dalam al-Qur’an digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Ar-Raghib al-
Ashfahani, Ahli Kamus Al-Qur’an mengatakan bahwa kata iman didalam al-Qur’an
terkandang digunakan untuk arti iman yang hanya sebatas dibibir saja padahal dalam hati
dan perbuatannya tidak beriman, terkadang digunakan untuk arti iman yang hanya sebatas
perbuatan saja, sedangkan hati dan ucapannya tidak beriman dan ketiga kata iman
terkadang digunakan untuk arti iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan
diamalkan dengan perbuatan sehari-hari

Iman dalam arti semata-mata ucapan dengan lidah tanpa dibarengi dengan hati dan
perbuatan dapat dilihat dari arti QS. Al-Baqarah, 2 :8-9, yaitu:

“Dan diantara manusia itu ada orang yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah
dan hari akhir, sedangkan yang sebenarnya mereka orang-orang yang beriman. Merekan
hendak menipu Allah dan menipu orang-orang yang beriman, tetapi yang sebenarnya
mereka menipu diri sendiri dan mereka tidak sadar.”

Iman dalam arti hanya perbuatannya saja yang beriman, tetapi ucapan dan harinya tidak
beriman, dapat dilihat dari QS. An-Nisa, 4:142, yaitu:

“Sesungguhnya orang-orang munafik (beriman palsu) itu hendak menipu mereka.


Apabila mereka berdiri mengerjakan sembahyang, mereka berdiri dengan malas, mereka
ria (mengambil muka) kepada manusia dan tiada mengingat Allah melainkan sedikit
sekali.”

Iman dalam arti yang ketiga adalah keadaan dimana pengakuan dengan lisan itu diiringi
dengan pembenaran hati, dan mengerjakan apa yang diimankannya dengan perbuatan
anggota badan. Contoh iman model ini dapat dilihat dalam QS. Al-Hadid, 57:19:

5
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu adalah orang-
orang yang Shiddiqien.”

Dari informasi yang terdapat dari ayat-ayat dapat diketahui bahwa di dalam al-Qur’an
kata iman digunakan untuk tiga arti yaitu iman yang hanya sebatas pada ucapan, iman
sebatas pada perbuatan, dan iman yang mencakup ucapan. Perbuatan dan keyakinan dalam
hati.

B. PENGERTIAN MAHABBAH

1. Secara Etimologi

Al-mahabbah adalah bentuk masdar dari kata yang mempunyai tiga arti yaitu; a)
melazimi dan tetap, b) biji sesuatu dari yang memiliki biji, c) sifat keterbatasan. Pengertian
pertama, jika dihubungkan dengan cinta maka dapat dipahami bahwa dengan melazimi
sesuatu akan dapat menimbulkan keakraban yang merupakan awal dari munculnya rasa
cinta. Sedang pengertian kedua dapat dipahami dengan melihat fungsi biji pada tumbuh-
tumbuhan adalah benih kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan. Karena itu, Mahabbah
merupakan benih kehidupan manusia minimal sebagai semangat hidup bagi seseorang
yang akan mendorong usaha untuk meraih sesuatu yang dicintai. Adapun pengertian ketiga,
dapat dipahami dengan melihat manusia sebagai subjek cinta, sangat terbatas dalam meraih
sesuatu yang dicintai sehingga membutuhkan bantuan Sang Pemilik Cinta yang
sesungguhnya, yaitu Allah swt. Bahkan ada yang mengatakan mahabbah berasal dari kata
al-habab, artinya air yang meluap setelah turun hujan lebat, sehinggah mahabbah adalah
luapan hati dan gejolaknya saat dirundung keinginan untuk bertemu sang kekasih. Dalam
bahasa Indonesia dikatakan cinta, yang berarti; a) suka sekali, sayang sekali, b) kasih
sekali, c) ingin sekali, berharap sekali, rindu, makin ditindas makin terasa rindunya, dan d)
susah hati (khawatir tiada terfirikan lagi). Sementara dalam bahasa Inggris dikatakan love,
artinya; a) kasih sayang, cinta kasih terhadap seseorang atau beberapa orang, b) suka sekali
atau perhatian sekali terhadap sesuatu. Tampaknya ada perhatian terhadap sesuatu melebihi
yang lain.

6
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa cinta (mahabbah)
merupakan keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau
ada perhatian yang khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan bersatu
dengannya, sekalipun dengan pengorbanan.

2. Secara Terminologi

Pengertian Mahabbah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pandangan dari
beberapa golongan tentang Mahabbah, di antaranya: Pandangan kaum Teolog yang
dikemukakan oleh Webster bahwa mahabbah berarti; a) keredaan Tuhan yang diberikan
kepada manusia, b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan c) perasaan berbakti
dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut bersifat umum,
sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada mahabbah Tuhan kepada manusia dan
sebaliknya, ada mahbbah manusia kepada Tuhan dan sesamanya. Sejalan dengan hal
tersebut, al-Razi menjelaskan bahwa jumhur Mutakallimin mengatakan bahwa mahabbah
merupakan salah satu bahagian dari iradah. Iradah itu tidak berkaitan kecuali apa yang
dapat dijangkau, sehingga mahabbah tidak mungkin berhubungan dengan Zat Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, melainkan ketaatan kepada-Nya. Begitu pula pendapat al-Zamakhsyari
sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah bahwa mahabbah adalah iradah jiwa manusia yang
ditentukan dengan ibadah kepada yang dicintai-Nya bukan kepada selain-Nya. Pandangan
tersebut, menggambakan mahbbah kepada Tuhan adalah mematuhi segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya, tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan
dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Apa yang dilakukan adalah yang mendatangkan
kebaikan. Salah seorang filosof, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa mahabbah merupakan
fitrah untuk bersekutu dengan yang lain, sehinggah menjadi sumber alami persatuan.
Mahabbah mempunyai dua obyek, yaitu; a) hewani berupa kesenangan dan ini haram, b)
spiritual berupa kebijakan atu kebaikan.

Sedang tujuan akhir kebaikan adalah kebahagiaan ilahi yang hanya dapat dimiliki oleh
orang suci. Inti Mahabbah dalam pandangan Ibn Miskawaih adalah penyatuan antara
pencinta dengan kekasihnya, antara manusia dengan Tuhannya, tetapi peryataan yang
dimaksud bukan antara zat dengan zat, melainkan perasaan hamba yang mencapai tingkat

7
mahabbah tidak ada batas antara dia dengan Tuhan, karena kemampuannya menghilangkan
sifat nasutnya (kemanusiaan).

Imam al-Gazali sebagai seorang sufi mengatakan bahwa mahabbah adalah


kecenderungan hati kepada sesuatu. Jika dipahami pernyataan tersebut, maka mahabbah
manusia ada beberapa macam karena kecenderungan hati di antara setiap orang berbeda-
beda. Ada yang cenderung kepada harta, ada kepada sesamanya dan ada pula kepada
Tuhan. Kecenderngan mereka tidak terlepas dari pemahaman dan penghayatan serta
pengalamannya terhadap ajaran agama.

Namun demikian, bagi Imam al-Gazali tentunya yang dimaksud adalah kecenderungan
kepada Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya
mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya bahwa “barang siapa yang
mencintai sesuatu tanpa kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu
kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai”.

Sementara itu, Harun Nasution mengemukakan bahwa mahabbah mempunyai beberapa


pengertian:

a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan.

b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasih.

c. Mengosongkan hati dari segalanya kecuali yang dikasih.

Pengertian diatas, sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya


terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian, bahkan hanya
sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam yang al-
mahabbahnya termasuk pada pengertia yang pertama.

Sejalan dengan hal tersebut, al-Sarraj membagi al-mahabbah kepada tiga tingkatan,
yaitu:

a. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama Allah dan
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.

8
b. Cinta orang sidiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada
kekuasaan-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri
seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.

c. Cinta orang yang arif, yaitu tahu betul pada Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, diri yang dicintai akhirnya sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.

Mahabbah tingkat ketiga adalah mahabbah bagi kaum sufi yang sudah manunggal
dengan Tuhan, yakni memiliki sifat-sifat lahut (ketuhanan) dan menghilangkan sifat
nasutnya. Sementara tingkat kedua merupakan proses untuk memasuki tingkat ketiga dan
tingkat pertama adalah milik kaum awam.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa mahabbah merupakan keinginan yang
mendorong untuk berusaha memenuhinya, walaupun dengan pengorbanan. Keinginan
tersebut adalah menyatu dengan kekasih, yaitu Tuhan, tetapi penyatuan yang dimaksud
adalah kemampuan untuk memiliki sifat-sifat kekasih dan menghilangkan sifat-sifat yang
dimiliki yang tidak sesuai dengan sifat kekasih agar biasa terjadi penyesuaian.

BAB III

HAQIQAT MAHABBAH

9
A. Mahabbah Dalam Konteks Al-Qur’an

Al-Qur’an mengarahkan hati untuk mencintai sesuatu yang tidak disukai hawa nafsu
dan mencegah dari sesuatu yang mengekang dan memperbudaknya.
Oleh karena itu menjelaskan dan menulis tentang apa yang ditetapkan dan dianjurkan
oleh al-Qur’an ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan.
Sebagaimana firman Allah swt. dalam al-Qur’an surat al-‘Imrăn ayat 31-32:
31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
32. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

Sesungguhnya cinta kepada Allah itu bukan hanya pengakuan mulut bukan pula
khayalan dalam angan-angan saja. Tetapi harus disertai sikap mengikuti Rasŭlullah saw.,
melaksanakan petunjuknya, dan melaksanakan manhaj-Nya dalam kehidupan.
Ketahuilah bahwa mencintai sesuatu tanpa disandarkan pada sang Khălik maka
dikatakan bodoh. Alangkah meruginya pecinta yang menjual dirinya dengan harga sangat
murah kepada selain yang seharusnya ia cintai pertama kali, juga kepada syahwat sesaat,
yang cepat hilang kenikmatannya dan tinggal resikonya, cepat lenyap manfaatnya dan tetap
mengendap madharatnya. Syahwatnya itu sirna dan yang tinggal hanya celaka, mabuknya
hilang dan yang tinggal kerugian.
Sungguh amat ironi manakala dua kerugian itu bersatu pada diri seseorang, kerugian
hilangnya kecintaan kepada Dzat tertinggi yang nikmat dan abadi, serta kerugian yang
dirasakannya dari berbagai derita karena siksaan yang pedih. Dan di sanalah orang yang
tertipu itu mengetahui apa yang hilang dari padanya. Dan sungguh orang yang memiliki
jiwa dan hatinya tak patut menjadi budak dan pengikut (nafsunya).
Allah Swt. Berfirman dalam surat hŭd ayat 116:
116. ….dan orang-orang yang dhalim hanya mementingkan keni’matan yang
mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.

Dalam roda kehidupan kata “mahabbah” tak pernah ketinggalan, karena rasa kasih
sayang, damai adalah tujuan utamanya. Untuk mempersatukan hubungan antar manusia
satu dengan lainnya, baik itu dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan

10
bermasyarakat. Namun dalam pelaksanaannya, semua itu tak semudah pengakuan dan
angan-angan.
Sebagaimana menurut penafsiran Imam Ibnu Katsîr di atas, seseorang yang mengaku
cinta tetapi tidak mengikuti apa yang telah di perintahkan oleh yang di cintainya maka
cintanya itu adalah dusta. Sebaliknya jika seseorang mencintai sesuatu yang ia cintai maka
semua apa yang diperintahkan dan dilarangnya akan ia patuhi. Karena, jika ia tidak
mematuhinya maka sesuatu yang ia sukai akan menjauh. Akan tetapi hal seperti itu tidak
hanya di ucapkan di bibir saja, ia membutuhkan implementasi pengorbanan, dan
pengorbanan orang yang mencintai Allah nilainya tidak dapat disamakan dengan
pengorbanan yang dilakukan seorang manusia kepada kekasihnya.
Allah telah berfirman dalam surat al-‘Imrăn ayat 31 seperti di atas, dan juga seperti
perkataan orang A’răbi:
Semua kecintaan tersebut adalah bathil kecuali kecintaan kepada Allah dan
konsekwensi dari kecintaan pada-Nya, yaitu cinta kepada rasul, kitab, agama dan para
kekasih-Nya. Berbagai kecintaan inilah yang abadi, dan abadi pula buah serta
keniKmatannya sesuai dengan abadinya ketergantungan orang tersebut pada-Nya. Dan
keutamaan cinta ini atas kecintaan kepada yang lain sama dengan keutamaan orang yang
bergantung pada-Nya atas orang yang bergantung pada yang lain. Jika hubungan para
pecinta itu terputus, juga terputus pula sebab-sebab cintanya, maka cinta kepada-Nya akan
tetap langgeng abadi.
Sebab hubungan itu tergantung kepada yang dijadikannya sandaran, baik dalam
kekekalan maupun kesemetaraan.

B. Haqiqat Cinta Hamba Kepada Allah

Mencintai Allah

Al-Qur’an banyak menyinggung tentang cinta manusia kepada Allah. Adapun yang
dimaksud disini adalah cinta yang tumbuh kepada Allah Swt., bersamaan dengan ketaatan,
dzikrullah, dan merasa diawasi oleh Allah.

Lalu, apa yang dimaksud dengan cinta manusia kepada Allah? Lalu bagaiman hamba
bisa mencintai Rabb-nya? Sebagian manusia berpendapat bahwa cinta dalam arti yang
sebenarnya hanya terjadi antara dua manusia yang berlainan jenis. Manusia hanya bisa
mencintai jenis manusia atau mencintai sesuatu yang bisa dilihat oleh indra dan di nikmati
11
oleh manusia, seperti kagum terhadap sesuatu yang ia lihat, suara yang ia dengar, atau bau-
bauan yang tercium di hidungnya karena hubungan antara orang yang mencintai dan yang
dicintai dibangun dengan pandangan mata, pendengaran, ataupun penciuman. Perlu
diketahui juga bahwa Allah Swt. Tidak dapat dirasakan oleh salah satu indra manusia. Oleh
karena itu, cinta manusia kepada Allah dalam pemahaman seperti di atas jelas salah kaprah.
Analogi seperti inilah yang dipergunakan oleh sebagian orang dalam memahami cinta
kepada Allah sebagaimana yang disebutkan dalam al Qur’an maupun sunah Rasulullah
Saw., yaitu dengan arti mengikuti semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-
Nya.
Menurut penafsiran Sayyid Qutub pada surat al-Baqarah ayat 165 bahwasanya ada
sebagaian manusia yang menjadikan Tuhan tandingan selain Allah. Pada masa turunnya
ayat ini Tuhan tandingan itu berupa batu-batu, pohon-pohon, bintang-bintang, malăikat,
syaîthan, dan lain-lainnya. Benda-benda tersebut sangat dicintai sehingga melebihi
cintanya pada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Semua itu adalah syirîk, baik
tingkatan yang samar maupun yang jelas. Orang yang beriman lebih mencintai Allah dari
pada apapun.
Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata dalam
kitabnya, Zădul Ma’ăd fî Hadyî Khaîril ‘Ibăd, “barang siapa yang merenungkan sejarah
dan informasi-informasi yang shahih mengenai persaksian (pengakuan) banyak kalangan
Ahli Khitan dan kaum musyrikîn akan kerasŭlan beliau dan bahwa beliau adalah benar,
namun persaksian ini tidak juga memasukkan mereka ke dalam islăm (tidak menjadikan
mereka secara otomatis menjadi muslim), maka dapatlah diketahui bahwa islăm adalah
sesuatu dibelakang itu semua. Islam adalah pengertian, pengakuan, ketundukan, kepatuhan,
dan ketaatan kepada Allah dan agama-Nya secara lahir dan bathin.”
Sesungguhnya agama islam memiliki haqîqat tersendiri yang tidak ada islam tanpa
keberadaannya, yaitu haqîqat yang berupa ketaatan kepada syarî’at Allah, mengikuti
Rasŭlullah, serta berhukum dan berpedoman hidup kepada kităb Allah. Haqîqat ini
bersumber dari ‘aqidah taŭhid sebagaimana yang terbawa oleh islam, yaitu taŭhidul-
uluhiyyah yang Cuma taŭhid uluhiyah ini saja yang punya hak untuk memperhamba
manusia kepadanya, mewajibkan manusia taat kepada perintahnya dan melaksanakan
syarî’atnya, dan meletakkan kepada mereka tata nilai, timbangan, dan tolok ukur yang
menjadi rujukan hukum mereka, serta mereka harus ridlo menerima keputusannya.

12
Setelah Allah menyatakan bahwa orang yang bersekutu dengan orang-orang kafir selain
Allah, dan hal seperti itu masih disembunyikan dalam hati, lalu berpura-pura iman pada
lahirnya, maka sikap inilah yang disebut nifăq (munăfiq).
Sesudah itu semua, maka Allah menerangkan tentang suatu hakekat yang dia kukuhkan
dengan suatu berita ghaib yang akan terbukti kelak. Haqîqat yang dimaksud ialah orang-
orang munafiq dan mereka yang hatinya berpenyakit, sebenarnya tidak berguna dan tidak
berarti sama sekali dalam membela agama dan menegakkan kebenaran. Karena Allah
hanya akan menegakkan agama-Nya dengan orang-orang yang beriman benar, yaitu orang-
orang yang dia cintai lalu dibuat-Nya mereka semakin merasuk dalam mencintai kebenaran
dan semakin kokoh dalam menegakkannya. Mereka mencintai Allah, sehingga mereka
lebih suka menegakkan kebenaran dan keadilan yang Allah cintai, dari pada hal-hal yang
menjadi kecintaan mereka, baik harta, kemewahan, istri dan anak.
Jadi semua harta kekayaan, anak, istri, dan semua hal yang ia cintai harus ditinggalkan
demi meraih cinta yang murni, dan sempurna. Karena yang ia cintai adalah dzat yang
Maha Tinggi. Dengan mencintai Dzat yang Maha tinggi maka hamba yang cinta itu pula
mendapat darajat yang tinggi pula disisi Tuhannya. Karena dengan pengorbanan yang telah
hamba lakukan dengan hati yang tulus dan selamat dari segala ujian yang menimpanya.
Maka tak salah jika hamba tersebut mendapat darajat yang tinggi.
Kadar cinta kepada Allah itu harus tidak ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak
dibenarkan mengharapkan balasan dari Allah, baik ganjaran (pahala) maupun pembebasan
hukuman, paling tidak pengurangan. Sebab yang dicari seorang hamba itu melaksanakan
keinginan Allah dan menyempurnakannya. Karenanya, kecintaan seseorang itu bisa saja
diubah agar lebih tinggi tingkatannya, hingga Allah benar-benar dicintai. Lewat kadar
kecintaan inilah, menurut Rabi`ah dalam penafsiran Margaret Smith, Allah akan
menyatakan diri-Nya sendiri dalam keindahan yang sempurna. Dan melalui jalan cinta
inilah, jiwa yang mencintai akhirnya mampu menyatu dengan yang dicintai dan di dalam
kehendak-Nya itulah akan ditemui kedamaian.

13
BAB IV

PENERAPAN AJARAN MAHABAH

A. Hal-hal Yang Terkait Dengan Mahabbah

1. Ikhlas
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang
berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’lŭf, kata khalasha ini mengandung
beberapa macam arti sesuai dengan konteks kalimatnya. Ia bisa berarti shafă (jernih), najă
wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri).
Ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka
orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja

14
dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam
beramal.

Sedangkan secara istilah, Ikhlas yang dimaksudkan ialah meng-ikhlas-kan hati hanya
untuk Allah. Di dalam hati tidak ada sedikitpun kemusyrikan (sekutu). Hanya Allah-lah
yang dicintai dalam hati, yang disembah dalam hati, dan yang dituju oleh hati. Jika
seseorang sudah demikian, maka ia merasa bahwa dunia adalah penjara baginya. Sebab
dunia itu merupakan penghalang baginya dalam bermusyahadăh kepada Allah, Tuhan yang
dicintainya.

Dzŭn Nun al-Mishri berkata, “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran
dan sabar di dalam ikhlas. Abu Ya’qub as Susi berkata, ”Kapan saja seseorang masih
memandang ikhlas dalam ke-ikhlas-annya, maka ke-ikhlas-annya membutuhkan ke-ikhlas-
an.”

Abu Bakar ad-Dahaq berkata, “Kekurangan setiap orang yang ikhlas dalam ke-ikhlas-
annya adalah kebiasaan melihat ke-ikhlas-annya. Jika Allah menghendaki memurnikan ke-
ikhlas-an seeorang, maka Dia menggugurkan penglihatan ke-ikhlas-annya pada
ke-ikhlas-annya, sehingga dia menjadi orang yang di-ikhlas-kan atau dimurnikan, bukan
orang yang ikhlas atau berusaha menyucikan diri.
Motivasi dalam melaksanakan ‘amal harus betul-betul ikhlas, hanya mengharapkan
ridho Allah saja. Siapapun tidak akan mengetahui motivasi apa yang ada dalam hati
seseorang ketika ia mengerjakan sesuatu, kecuali dirinya dan Allah saja. Dengan demikian
Allah Swt.. mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Nya yang memiliki motivasi baik
ketika ia beribadah atau sebaliknya.

Dengan demikian, seseorang yang melakukan suatu ‘amal dengan baik menurut
pandangan manusia, tetapi motivasinya salah atau tidak ikhlas, hal itu akan sia-sia karena
Allah tidak akan melihat bentuk dhahir-nya, tetapi melihat niat yang ada dalam hatinya.
Demikianlah gambaran orang yang beramal tidak dengan niat yang ikhlas. Sudah Jelas
kiranya bahwa penghalang atau yang membuat rasa cinta kepada Allah menjadi lemah
dikarenakan karena beberapa pengaruh duniawi, misalnya lagi cinta kepada harta, istri,
anak-anak, jabatan, sawah, ladang, dan kendaraan kesenangannya. Sama halnya orang
yang terhibur karena suara burung berkicau yang dipelihara, maka cintanya kepada burung
15
itu dapat melupakan sesuatu yang lain. Seseorang yang tenggelam dalam lautan asmara,
maka cintanya pada kekasih atau istrinya mengalahkan segalanya.

Memang kecintaan kepada sesuatu diukur ketika seseorang dihadapkan kepada dua hal
atau lebih yang harus dipilih salah satunya. Dalam konteks ini jika kenikmatan duniawi
disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu harus dipilih salah satunya maka cinta yang lebih
besar akan terlihat saat menjatuhkan pilihan.

Adapun melihat perkembangan zaman yang sekarang ini semua kegiatan diukur dengan
nilai materi dan pamrih, maka makna ikhlas menjadi hal langka yang sulit didapatkan,
tanggung jawab terabaikan, bahkan terkesan seakan-akan tidak ada hari yang akan
meminta segala pertanggung jawaban terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan di dunia fana
ini. Hal tersebut menyebabkan terjadi berbagai ketimpangan dan dekadensi moral yang
mengarahkan hidup manusia bagai tak punya sandaran.

Selain pudarnya rasa ikhlas, karena pada dasarnya setiap jiwa akan berusaha mencari
ketenangan dengan berbagai cara namun hakikatnya syaiton senantiasa menjadikan sesuatu
yang lain atau berbeda dengan menampakkan suatu yang menenangkan, indah dan
mengasyikan sebagai tipu dayanya. Pada mata manusia, sesuatu itu nampaknya indah dan
suatu yang menguntungkan, namun dibalik tabirnya terselit berjuta ke-ma’shiyat-an dan
kealpaan. Sehingga manusia dengan kealpaannya tidak kuasa membendung dengan segala
kegemerlapan dunia.
Lihatlah sekeliling kita, betapa banyak yang mengejar kemewahan semata-mata dengan
meninggalkan agama karena bagi mereka kemewahan itulah haqiqat ketenangan baginya.
Hanya diri sendirilah yang mampu menafsir dimana tapak kaki kita itu berdiri.
Namun berbahagialah golongan ittiqăr yakni insăn yang sadar bahwa betapa rendahnya
dan miskinnya diri dihadapan Allah SWT dan inilah perhiasan al-‘arifîn.
Dengan aplikasi ikhlas maka sudut pandang kita tentang siapapun hanya didasarkan
pada kekuatan hati yang bersandarkan pada ke Maha Besar-an Allah. Kita melihat orang
lain adalah sama-sama makhluq ciptaan Allah, sama-sama dihidupkan dan dimatikan oleh
Allah, sama-sama tidak memiliki daya dan upaya kecuali atas pertolongan-Nya.
Dengan demikian kalau kita menyukai seseorang maka landasannya hanya karena
Allah, begitu pula kalau kita membenci seseorang juga hanya karena Allah. Kata demi kata
yang keluar dari mulut kita hanyalah kalimat-kalimat indah, sejuk, nyaman, bahagia dan

16
selalu memotivasi orang lain untuk secara bersama-sama menikmati langkah demi langkah
kehidupan.
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita hati yang ikhlas. karena betapapun kita
melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh berkuah keringat, habis tenaga dan terkuras
pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan Allah.
Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan, ia tidak
memiliki nilai apapun. Menafkahkan seluruh harta kalau hanya ingin disebut sebagai
dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai apapun. Mengumandangkan adzan setiap
waktu shalat, tapi selama adzan bukan Allah yang dituju, hanya sekedar ingin
memamerkan keindahan suara supaya menjadi juara adzan atau menggetarkan hati
seseorang, maka itu hanya teriakan-teriakan yang tidak bernilai di hadapan Allah, tidak
bernilai.

2. Menjauhi Perbuatan Riya’ atau Syirik Kecil


Secara bahasa, Riya’ adalah memperlihatkan suatu ‘amal kebaikan kepada sesama
manusia, adapun secara istilah yaitu: melakukan ibadah dengan niat dalam hati karena
demi manusia, dunia yang dikehendaki dan tidak berniat ber-ibadah kepada Allah SWT.
Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Bări berkata: “Riya’ ialah
menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku ‘amalan
itu”.
Imam al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan
memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah
Haddad pula berpendapat bahwa riya’ adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati
daripada orang ramai dengan ‘amalan yang ditujukan untuk akhirat.
As-Siriy as-Saqhi mengatakan, “Barangsiapa menghiasi dirinya untuk manusia dengan
sesuatu yang tidak ada pada manusia, maka dia gugur dari pandangan Allah.” Al-Fudhail
bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ dan berbuat
amal kebajakan karena manusia adalah syirik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan ‘amal kebaikan
bukan karena niat ‘ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara
memperlihatkan ‘amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau
penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan padanya.

17
Al-Qurthubi mengatakan ma’na dari “orang-orang yang berbuat riya’ adalah orang yang
(dengan shalat-nya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan shalat dengan
penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketaqwaan seperti seorang yang fasîq melihat
bahwa shalat-nya sebagai suatu ibadah atau dia shalat agar dikatakan bahwa ia seorang
yang (melakukan) shalat.
Haqiqat riya’ adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan)
‘ibadah-nya. Pada asalnya riya’ adalah menginginkan kedudukan di hati manusia. Riya’
bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai
dilakukan. Imam Ghazali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai
melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya
kepada orang lain, maka hal ini tidaklah merusak amal-nya karena ibadah yang dilakukan
tersebut telah selesai, dan ke-ikhlas-an terhadap ibadah itu pun sudah selesai serta tidaklah
ia menjadi rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah
payah untuk memperlihatkannya atau membicarakannya.
Namun, apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan
memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya.’
Imăm al-Ghazali menerangkan bahwa siapa yang tidak membuang sifat riya’ ini,
niscaya akan ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam golongan kufŭr. Jika hal ini
berlaku, maka tentulah dia tidak lagi layak memasuki surga, apa lagi mencium baunya.
Rasŭlullah SAW menasihatkan umatnya agar tidak sesekali menyebut kebaikan diri dan
keluarga karena sikap demikian akan mendorong seseorang kepada sifat riya’. Justru, ke-
ikhlas-an saja yang dapat membunuh perasaan riya’.
Sekecil apapun kita berbuat riya’ maka akan mendapat balasan buruk dari Allah.
Rasulullah sendiri selalu mengingatkan umatnya untuk menjauhi sifat riya’, dalam hadits
disebutkan:
Awaslah kamu jangan mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan
dipuji orang (riya’), niscaya gugur ‘amalan-mu. (HR. Ad-Dailami).
Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 48:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirîk, dan Dia mengampuni segala
dosa yg selain dari (syirîk) itu, bagi siapa yg dikehendaki-Nya. Barangsiapa yg
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yg besar.
Ikhlas, terletak pada niat hati. Luar biasa sekali pentingnya niat ini, karena niat adalah
pengikat amal. Orang-orang yang tidak pernah memperhatikan niat yang ada di dalam
hatinya, siap-siaplah untuk membuang waktu, tenaga, dan harta dengan tiada arti.
18
Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini
sangat mudah, indah, dan jauh lebih bermakna.
Terkait dengan Mahabbah, Ikhlas dan menjauhi perbuatan riya’ atau syirîk kecil yang
telah dipaparkan di atas adalah sebagai sarana untuk menyucikan jiwa yang masih kotor
dari berbagai macam kotoran yang melekat pada setiap jiwa. Sehingga jiwa tersebut setelah
suci atau bersih maka tujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mulia akan
terwujud.

B. Urgensi Mahabbah Kepada Allah dalam Kehidupan Sekarang

A. Akhlăq
Mahabbah kepada Allah bila telah bersarang di dalam hati sampai ke tulang sumsum,
akan membuat seseorang merasa senantiasa bersama dengan Allah, kapan dan di mana
saja. Oleh sebab itu ia harus ber-akhlăq mulia di hadapan-Nya dan senantiasa membisu
(menahan diri) serta tak akan berkata, kecuali yang baik. Karena Allah senantiasa
mengontrolnya dan ia akan berhati-hati dalam setiap tindak tanduknya. Ia betul-betul malu
kepada Allah bila mendahulukan kejahatan, kekejian, kebengisan dan sebagainya.
Ia khawatir dibenci Allah atau Allah akan acuh tak acuh kepadanya. Oleh karena itu, ia
senantiasa melaksanakan segala perintah-Nya dengan tekun dan taat sekali.
Orang yang hatinya diliputi cinta kepada Allah senantiasa ber-akhlăq mulia dan
berusaha menghiasi dirinya dengan akhlăq para pencinta Allah. Di mana orang-orang yang
dianugerahi mahabbah kepada Allah memiliki sifat-sifat istimewa seperti yang tersebut
pada ayat di atas, yaitu : lemah lembut kepada orang-orang yang ber-imăn, keras dan tegas
terhadap orang-orang kafir, jihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela.
Mahabbah kepada Allah dapat mengekang hawa nafsu seseorang, sehingga tidak cinta
dan rakus terhadap dunia. Bila seseorang memiliki rasa cinta kepada Allah, tentunya ia
ingin selalu berpenampilan menarik dihadapan Kekasihnya, ia hiasi dirinya dengan akhlăq
mulia. Ia berusaha menambah kebaikan yang ada pada dirinya dan menghilangkan
kekurangan dan sifat jelek yang ada pada dirinya. Cintanya kepada Allah mendorongnya
untuk senantiasa membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati yang bisa membawa
kepada akhlăq yang jelek.
19
Dengan demikian mahabbah kepada Allah bisa menjadi pondasi atau landasan bagi
bangunan akhlăq manusia. Mahabbah kepada Allah mendorong seseorang meninggalkan
hal-hal yang membuat dirinya rendah dan menodai ke-imănan-nya, menjadikan ia
menentang hawa nafsunya, membuat untuk berbuat baik dan ber-taqwa kepada Allah baik
dalam setiap perkataan maupun perbuatan, semuanya ia lakukan demi mendapat cinta dan
ridla-Nya. Cinta yang suci dan sejati kepada Allah menjadi motivator bagi seseorang untuk
selalu berbuat baik dan ber-akhlăq mulia.
Jadi bila mahabbah kepada Allah telah tertanam dalam hati, maka akan berusaha
menghiasi diri dengan akhlăq yang baik dan mulia, baik dengan mengikuti akhlăq-nya
Rasŭlullah seperti tercantum dalam surat al-‘Imrăn : 31, maupun mengikuti akhlăq orang-
orang yang mencintai Allah seperti pada surat al-Măidah : 54. Dengan demikian mahabbah
Ilăhiyyah memiliki urgensi yang penting dalam membentuk akhlăq seseorang dan ini akan
menjadi solusi atas problematika kehidupan sekarang atas kemerosotan moral yang terus
mengkhawatirkan.

B. Sosial
Dengan mencintai Allah akan melahirkan perasan cinta kepada sesama mahkluk-Nya, ia
akan berbuat baik kepada sesamanya karena perbuatan ihsan sangat disukai Allah :
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (kebajikan).” (Al-
Baqarah : 195).

Namun cinta kepada selain Allah tidak boleh melebihi cinta kepada-Nya. Dan perasaan
cinta kepada selain-Nya haruslah didasari perasaan cinta karena Allah.
Mencintai karena Allah, dan bukan karena sesuatu yang lain dalam kehidupan ini
memang sulit dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hati yang
suci. Maka tidak heran kalau Allah memberikan kedudukan dan kemuliaan kepada mereka.
Rasŭlullah s.a.w. bersabda :
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu terdapat orang-orang yang bukan nabi
dan bukan syuhada’, tetapi para nabi dan syuhada’ cemburu kepada mereka. Lalu ada
orang bertanya, ‘Siapakah gerangan mereka itu barangkali kami dapat mencintai mereka?
Beliau menjawab, ‘Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan cahaya Allah,
bukan karena kekeluargaan, atau keturunan. Wajah mereka bagai cahaya, mereka berada di

20
mimbar-mimbar cahaya, mereka tidak merasa takut ketika orang-orang sedang ketakutan
dan tidak merasa sedih ketika orang-orang sedang bersedih.
Kemudian beliau membaca ayat (Yunus: 62):
‘Ingatlah, sesungguhnya wăli-wăli Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) merasa bersedih hati.’
Betapa agungnya cinta, yang mengangkat seorang manusia pada posisi dicintai dan di-
ridla-i Allah. Apabila Allah mendatangkan suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka pun
juga mencintai Allah, tentunya mereka akan berada dalam satu barisan yang kokoh dalam
menegakkan agama Allah, mereka saling cinta dan mengasihi karena Allah.
Bila mahabbah cinta kepada Allah ini tertanam dalam suatu masyarakat, maka akan
tercipta kedamaian dan ketenteraman, tidak akan terjadi kejahatan seperti pencurian,
perampokan, pembunuhan, penganiayaan, tidak akan ada lagi tempat-tempat ma’shiyat
seperti perjudian, rumah-rumah hiburan dan berbagai perbuatan munkar lainnya. Mereka
saling mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, saling membantu dan
menolong karena Allah, tidak menyakiti dan tidak menghinakan sesamanya. Betapa
indahnya suatu masyarakat yang saling mencintai sesamanya dengan landasan mahabbah
Ilăhiyyah.
Jadi mahabbah cinta kepada Allah juga dapat menjadi solusi dalam mengatasi
perpecahan umat, kesenjangan sosial dan sebagainya akibat kemajuan iptek yang diperoleh
manusia. Di samping itu mampu menciptakan ketenangan, ketenteraman dan perdamaian
umat manusia.

1. Pembentukan Kepribadian Muslim

Bagi umat Islam untuk menbentuk dan mengembangkan pribadi ini benar-benar
dipermudah dengan adanya anugerah Allah berupa sarana-sarana yang sangat vital untuk
pengembangan pribadi muslim. Sarana-sarana itu seperti tuntunan al-Qur’an, dengan al-
Hadits, ibadah-ibadah yang mempertinggi derajat kerohanian dan potensi serta kemampuan
luar biasa manusia yang mampu mengubah nasib sendiri.
Lebih dari itu dipermudah lagi dengan adanya tokoh idaman dan contoh panutan umat,
yaitu Nabi Muhammad s.a.w. sendiri yang dikenal memiliki akhlăq al-Qur’an, budi
pekertinya mendapat pujian langsung dari Tuhan (al-Qalam: 4) dan memperbaiki akhlăq
manusia merupakan tugas ke Rasulannya.

21
Bagaimanakah dengan mahabbah cinta kepada Allah, kepribadian muslim yang
bagaimana yang dapat dibentuk dengan mahabbah kepada Allah?
Mahabbah cinta kepada Allah dapat membentuk kepribadian seseorang menjadi lebih
baik. Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, orang yang cinta kepada Allah akan dapat
menumbuh kembangkan serta membentuk kepribadian muslim yang lebih baik. Adapun
kepribadian muslim tersebut seperti tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
membicarakan tentang perbuatan-perbuatan yang mendatangkan mahabbah kepada Allah
yang telah kita uraikan di atas.
Jadi berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an di atas, dengan hadirnya mahabbah kepada Allah
dalam hati dan jiwa seseorang, maka akan terbentuk kepribadian al-Muhsinin (orang-orang
yang berbuat baik terhadap lain), al-Muttaqîn (orang-orang yang ber-taqwa) dan al-
Muqsithîn (orang-orang yang ‘adil), al-Mutathahhirîn (orang yang menyucikan diri dan
jiwa), dan al-Mutawakkilîn (orang yang berserah diri kepada-Nya) al-Tawwabîn (orang-
orang yang ber-taubat), ber-jihăd dengan shaffan wahidăn (orang-orang yang ber-jihăd
dengan barisan yang rapi) dan al-Shabirîn (orang-orang yang penyabar).
Disamping itu dengan mahabbah kepada Allah, akan terbentuk pula kepribadian-
kepribadian muslim lainnya, seperti al-Mu’minîn (orang-orang yang ber-îmăn), al-
Muslimîn (orang-orang yang taat kepada Islam), al-Shalihîn (orang-orang yang shaleh), al-
Khasyi’în (orang-orang yang khusyu’ di dalam ber-‘ibadah), al-Shadiqqîn (orang-orang
yang benar), al-Syuhada’ (orang-orang yang gugur di jalan Allah) dan kepribadian-
kepribadian muslim lainnya.
Adapun ciri-ciri pribadi muslim itu sendiri seperti salimul ‘aqidah (‘Aqidah yang
bersih), shahihul ibadah (‘ibadah yang benar), matînul khulŭq (akhlăq yang kokoh),
qowiyyul jismi (kekuatan jasmani), mutsaqqoful fikri (intelek dalam berfikir), mujahadatul
linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu), harishun ‘ala waqtihi (pandai menjaga waktu),
munadhdhamun fî syŭnnihi (teratur dalam suatu urusan), qodirun ‘alal kasbi (memiliki
kemampuan usaha sendiri/mandiri), nafi’un lighoîrihi (bermanfaat bagi orang lain).
Hanya orang-orang yang mu’min, muslim, shalih, khusyu’, taqwa, muhsin, tawwabîn,
shabirîn, muqsith (‘adil), dan suci yang bisa mengatakan dan mengakui cintanya kepada
Allah, sebaliknya hanya dengan cinta kepada Allah-lah akan terbentuk kepribadian-
kepribadian muslim.
Bila seseorang telah tenggelam dalam lautan cinta Ilăhi, maka tidak ada sesuatu yang
mampu mempengaruhi kepribadiannya. Dan orang yang mencintai Allah adalah mereka

22
yang mempunyai kesucian jiwa dari hawa nafsu dan keduniawian, sifat yang baik, jiwa
agama yang dalam, ketenangan batin dan rasa rindu, intim, ridla dan mendekatkan diri
pada Allah.
Jadi dengan mahabbah kepada Allah kepada Allah akan terbentuk kepribadian muslim
yang paripurna, seorang muslim yang tunduk dan patuh hanya kepada Allah dan
menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mahabbah adalah mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya,
serta mengikuti ajaran yang dibawa Rosŭlullah dengan hati yang ikhlas dan dengan
akhlaq orang yang mencintai Allah. al-Qur’an menjelaskannya dalam surat al-‘Imrăn
ayat 31-32.

23
2. Haqiqat cinta hamba kepada Allah di dalam al-Qur’an itu ditunjukkan dengan
meninggalkan semua hal yang bersifat duniawi yang menjadi penghalang
bermahabbah kepada Allah guna untuk meraih cinta yang sempurna. Artinya
mencintai sesuatu yang bersifat keduniawian itu diperbolehkan karena itu adalah
naluri manusia, akan tetapi kecintaannya itu jangan sampai melebihi cintanya kepada
Allah Swt., dan Rasulullah Saw. Jadikanlah kecintaan terhadap keduniawian itu
sebagai sarana untuk meraih cinta yang murni yaitu Cinta kepada Allah semata. Al-
Qur’an juga telah menyinggung tentang “kecintaan kepada makhluk itu jangan
sampai melebihi cintanya kepada dzat yang Maha Pencipta (al-Khăliq).” Yang
tercantum dalam surat at-Taubah ayat 24.
3. Usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mulia dengan menyucikan jiwa dari
berbagai macam kotoran yang melekat pada setiap jiwa seperti perbuatan riya’ atau
syirîk dan perbuatan tercela lainya yang menjadi penghalang untuk meraih cinta yang
sejati. Cinta yang didasari dengan penuh ketulusan dan keikhlasan serta perilaku
orang yang mencintai Allah sehingga hidup menjadi indah dan jauh lebih bermakna.

B. Saran

Semoga dalam penulisan yang berjudul konsep mahabbah dalam al-Qur’an ini
berguna bagi semua pembaca, Khususnya aktivitas Akademik (Mahasiswa/Mahasiswi)
Mercu buana Jakarta, untuk membantu memahami makna-makna mahabbah yang
terkandung dalam Al-Qur’an. Sehingga dapat menambah kecintaan, ke-îmăn-an dan ke-
taqwa-an kepada Allah. Pada akhirnya menjadi seorang muslim yang tunduk dan patuh
hanya kepada Allah dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah.

24
Ayat-ayat yang terkait dengan mahabbah sangat banyak, di dalam penulisan ini
penulis hanya dapat menjelaskannya secara global dan sederhana. Oleh karena itu,
penulis berharap nantinya ada sebuah penulisan yang lebih luas dan mendalam terkait
dengan ayat-ayat mahabbah dalam al- Qur’an.

25

Anda mungkin juga menyukai