Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

FIKIH KONTEMPORER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas SP Mata Kuliah Pembelajaran Fikih
Kontemporer Yang Diampu Oleh Bapak Dr. H. Mustajab, S.Ag, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Nofal Ahmad Fathoni (T20181298)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SHIDDIQ


JEMBER

1
TAHUN AJARAN 2022

2
KATA PENGANTAR

Seraya mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan


Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga kita masih dalam keadaan sehat. Dan
khususnya, kami (penyusun) bisa menyelesaikan Makalah dengan judul ‘Fikih
Kontemporer ‘.

Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna tapi penulis tentunya bertujuan
untuk menjelaskan atau memaparkan point-point di makalah ini, sesuai dengan
pengetahuan yang kami peroleh, baik dari buku  maupun sumber-sumber yang
lain. Semoga semuanya memberikan manfaat bagi kita. Bila ada kesalahan tulisan
atau kata-kata di dalam makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Jember, 2 Desember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Pengertian Fiqh Kontemporer...................................................................3
2.2 Tujuan Fiqh Kontemporer.........................................................................4
2.3 Berbagai Pemikiran Islam Tentang Fiqh Kontemporer............................5
2.4 Ruang Lingkup Kajian fiqh Kontemporer.................................................6
2.5 Landasan Hukum Fiqih Kontemporer.......................................................9
2.5.1 Metode Ijtihad........................................................................................11
2.6 Contoh fiqih kontemporer.......................................................................14
2.6.1 Fiqih Kontemporer Munakahat........................................................14
2.6.2 Hukum Memakan Kopi Luwak........................................................15
2.6.3 Hukum Musik Dalam Islam.............................................................18
2.6.4 Hukum Bayi Tabung Menurut MUI................................................20
2.6.5 Hukum BitCoin Dalam Islam..........................................................23
2.7 Hikmah Mempelajari Fiqih Kontemporer...............................................25
BAB III PENUTUP...............................................................................................27
3.1 Kesimpulan..............................................................................................27
3.2 Saran........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akibat arus modrenisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara-


negara yang dihuni mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modrenisasi
tersebut, mangakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan
sosial umat islam, baik yang menyangkut Ideologi Politik, Sosial, Budaya dan
sebagainya. Berbagai perkembangan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan
umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut terjadi karena aneka prubahan tersebut
banyak melahirkan simbol-simbol sosial dan kultural yang secara eksplisit tidak
memiliki simbol keagamaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan
modrenisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan.

Telah mapannya sistem pemikiran barat di mayoritas negeri muslim secara


faktual lebih mudah diterima dan diamalkan apa lagi sangat didukung oleh
kekuatan yang bersifat struktural maupun kultural, namun masyarakat islam
dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan adanya semacam
“kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis maupun politis. Tetapi karena
belum terwujudnya konsepsi islam yang lebih kotekstual, maka dengan rasa
ketidak berdayaan mereka mengikuti saja konsepsi yang tidak islami. Hal tersebut
akhirnya menggugah naluri pakar hukum islam yang lebih relevan dengan
perkembangan zaman.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian fiqh kontemporer?


2. Apa tujuan fiqh kontemporer ?
3. Bagaimana pemikiran islam tentang fiqh kontemporer ?
4. Apa saja ruang lingkup kajian fiqh kontemporer?

1
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian fiqh kontemporer.


2. Untuk mengetahui tujuan fiqh kontemporer.
3. Untuk mengetahui pemikiran islam tentang fiqh kontemporer.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup kajian fiqh kontemporer.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fiqh Kontemporer

Fiqh menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti. Adapun


fiqh menurut istilah adalah ilmu tentang hukum syara yang bersifat amali diambil
dari dalil-dalil yang tafsili.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kontemporer berarti


sewaktu, semasa, pada waktu atau masa yang sama, pada masa kini,dewasa ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa fiqh kontemporer adalah tentang perkembangan
pemikiran fiqh dewasa ini. Dalam hal ini yang menjadi titik acuan adalah
bagaimana tanggapan dan metodologi hukum islam dalam memberikan jawaban
terhadap masalah-masalah kontemporer.

Perkembangan kehidupan manusia selalu berjalan sesuai dengan ruang dan


waktu, dan ilmu fiqh adalah ilmu yang selalu berkembang karena tuntutan
kehidupan zaman. Fiqh adalah ilmu yang sangat penting bagi kehidupan umat
islam.

Dengan semakin berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi


dunia, terjadi pulalah apa yang disebut dengan proses modernisasi. Modernisasi
tersebut melahirkan berbagai macam bentuk perubahan baik secara struktural
maupun kultural.

Perubahan struktural berarti perubahan yang hanya meliputi struktur sosial


belaka, yakni jalinan dan hubungan satu sama lain dari keseluruhan unsur sosial.
Unsur-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-kaidah, lembaga-lembaga,
kelompok-kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan perubahan secara kultural
lebih bersifat ideologis atau immaterial yakni perubahan nilai-nilai, pemikiran dan
sebagainya. Dalam era modernisasi dewasa ini, salah satu aspek pemikiran
yang turut mengalami tuntutan perubahan adalah di bidang hukum islam.

3
Mengingat hukum islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang
terpenting, maka perlu ditegaskan di sini aspek mana yang mengalami perubahan
dalam kaitannya dengan hokum islam tersebut. Karena agama dalam
pengertiannnya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi tentang
pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan
penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah.

Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa perubahan yang dimaksud


bukanlah perubahan secara tekstual tetapi secara kontekstual. Teks Al-Qur’an
tentunya tidak mengalai perubahan, tetapai pemahaman dan penerapannya dapat
disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena perubanhan sosial
merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara terus menerus,
maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga harus bersifat
kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian ialam akan tetap relevan dan actual,
serta mampu menjawab tantangan modernitas.

Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan peruhan


dalam system pemikiran islam termasuk pembaharuan dalam hokum islam.
Dengan demikian hokum islam akan tetap mampu mengembangkan dirinya sesuai
dengan tuntutan zaman (modenitas). Tanpa adanya upaya pembaharuan pemikiran
dimaksud tentu akan menimbulkan kesulitan dalam kemasyarakatan hukum
sebagai salah satu pilar masyarakat, sedangkan kehidupan masyarakat itu sendiri
senantiasa mengalami perkembangan, maka upaya pembaharuan pemahaman
hokum islam pun harus dapat mengikuti perubahan itu.

2.2 Tujuan Fiqh Kontemporer

Dr. Yusuf Qardlawi dalam salah satu kitabnya secara implisit


mengungkapkan betapa perlunya fiqh kontemporer. Dengan adanya kemajuan
yang cukup mendasar, timbul pertanyaan bagi kita, mampukah ilmu fiqh
menghadapi zaman modern?. Masih relevankah hukum islam -yang lahir 14 abad
silam- diterapkan sekarang?. Tentu saja kita, sebagai muslim, akan menjawabnya.
Hukum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk diterapkan
“tidak asal bicara, memang. Tapi, untuk menuju kesana, perlu syarat yang harus
dijalani secara konsekuen. Untuk merealisir tujuan penciptaan fiqh kontemporer

4
tersebut Qardlawi menawarkan konsep ijtihad. ijtihad yang perlu di buka kembali.
Manapaak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan
dengan hukum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.

Pandangan Prof. Said Rramadan tentang hal serupa. Semua pendapat yang
harus di timbang dengan kriteria Al-Qur’an dan As- sunnah. Dan semua manusia
sesudah Rasulullah SAW dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada
teks yang mengikat, maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat. dan
bahwa aturan demi maslahah dapat berubah bersama perubahan keadaan di masa,
terdahulu: “Di mana ada maslahah disanalah letak jalan Allah”. Perbedaan antara
syari’ah (Sebagaimana tercantum dalam Al-Qura’an dan As-sunnah) yang
mengikat abadi dengan dalil- dalil yang diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya
memeberikan pengaruh yang sangat sehat terhadap umat islam pada zaman ini.

Pernyataan diatas dapat kita ambil kesimpulan khususnya berkenaan


dengan munculnya isu fiqih kontemporer tersebut, yakni: bagaimanapun
pemikiran ulama bisa di pertanyakan kembali berdasarkan kriteria Al-Qur’an dan
As-Sunnah di sisi lain pertimbangan maslahah dapat di jadikan rujukan dalam
upaya penyesuaian fiqh dengan zaman yang berkembang. Terakhir, perbedaan
antara syari’ah dengan fiqih menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqih
kontemporer. Demikianlah sekelumit beberapa latar belakang munculnya isu fiqih
kontemporer yang dapat penulis kemukakan.

2.3 Berbagai Pemikiran Islam Tentang Fiqh Kontemporer

Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga
zaman, yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman ini disebut juga oleh beliau
sebagai zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad XIII-XVIII dan
zaman modern (kontemporer) abad XIX- . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih
klasik yang di maksud adalah pola pemahaman fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih
kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih abad XIX dan seterusnya. Yang
menjadi fokus kajian disini adalah; adakah relevansinya antara pola pemahaman
fiqih kontemporer dengan fiqih klasik, lalu di mana letak relevansi pemahaman
antara kedua zaman tersebut?

5
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait
langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang
kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat nabi terutama Umar bin
Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab fiqih
seperti imam Malik, Abu hanafiah, Syafi’i, dan ibnu hambal. Juga oleh para
mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-
maturidi, dan Al-ghozali.

Sedangkan pemikiran zaman pertengahan, berbeda dengan pemikiran


zaman klasik, menjadi terikat sekali dengan hasil pemikiran para ulama zaman
klasik. Ruang geraknya sempit, pemikiran rasional diganti dengan pola pemikiran
tradisional. Dalam menghadapi maslah-masalah baru mereka tidak lagi secara
langsung menggali ke al-qur’an dan hadist tetapi lebih banyak terikat denga
produk pemikiran ulama abad klasik. Sehingga orisinalitas pemikiran semakin
berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu
beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Corak pemikiran ini menampilkan sosok ulama islam abad pertengahan


dengan pola penalaran fiqih yang tradisional. Di zaman modern inipun masih
banyak umat islam yang terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahan
tersebut hanya sebagian kecil yang sudah mulai memakai pola pemikiran rasional
zaman klasik.

2.4 Ruang Lingkup Kajian fiqh Kontemporer

Yang dimaksud dengan ruang lingkup kajian fiqih kontemporer disini


mencakup: pertama, masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi
kontempoerer (modern). Kedua, wilayah kajian dalam alqur-an dan hadist.

1. Kajian fiqih kontemporer tersebut dapat di kategorikan ke dalam beberapa


aspek:

a) Aspek hukum keluarga, seperti: pembagian harta waris, akad via telepon,
perwakafan, nikah hamil, KB, dll.

b) Aspek ekonomi, seperti: Sistem bungan dalam bank, zakat mal dalam
perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.

6
c) Aspek pidana, seperti: Hukum potong tangan, hukum pidana islam dalam
sistem nasional,dll.

d) Aspek kewanitaan, seperti: busana muslimah (jilbab), wanita karir,


kepemimpinan wanita, dll.

e) Aspek medis, seperti: pencakokan bagian organ tubuh, pembedaha mayat,


kontasepsi mantap, rekayasa genetika, pemilihan jenis kelamin, ramalan genetika,
konseling genetika, perubahan genetika, revolusi biologik, cloning, percobaan
dengan tubuh manusia, penyeberang jenis kelamin dari pria ke waniat atau
sebaliknya, kornea mata, bayi tabung, bank susu, bank darah, bank sperma,
vasektomi dan tubektomi dalam aneka variasinya, transfusi darah, insemniasi
sperma manusia dengan hewan, dll.

f) Aspek teknologi, seperti: penyembelihan hewan secara mekanis, seruan azan


atau basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televisi, memberi salam
dengan bel, penggunaan hisab dengan meninggalkan rakyat, dll.

g) Aspek politik (kenegaraan) yakni tentang perdebatan sekitar istilah ‘negara


islam’ proses pemilhan pemimpin, loyalitas kepada penguasa, dsb.

h) Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti,; tabungan haji,


tayamum dengan selain tanah (debu), ibadah qurban dengan uang, menahan haid
karena demi ibadah haji, dan lain-lain.

Itulah hal-hal yang sering jadi bahan kajian di tengah-tengah masyarakat


muslim di tengah-tengah masyarakat muslim dewasa ini.

Mengenai wilayah kajian yang berkenaan dengan al-qur’an dan hadits


yang erat hubungannya dengan fiqih kontemporer, antara lain adalah masalah
metodelogi pemahaman hukum islam, yang perlu dilakukan pengakajian
mendalam lagi, persoalan histories dan sosiologis ayat-ayat al-qur’an maupu
hadist nabi, kajian tentang maqoosiduttasrii’ (tujuan hukum) dan hubungannya
dengan formalitas hukum,keterbukaan kembali pintu ijtihad, soal kemaslahatan
umum, adat istiadat masyarakat yang berlaku, tentang teori nasakh dan teori I’llat
hukum, tentang ijma’, dll.

7
Ruang lingkup kajian fiqih kontemporer tidak terlepas dari aspek material
dan formalnya hukum islam, serta mana yang permanen dalam hukum islam dan
mana yang bersifat relatif (berubah) atau ghoiruttasyri’. Kajian tentang aspek
moralitas dan formalitas hukum inilah yang menjadi ajang kajian fiqih
kontemporer ini.

Untuk meretas kebekuan fiqih dalam berinteraksi dengan dinamika


kontemporer, A. Qadri Azizi menawarkan sebelas langkah, sebagai berikut:

1. Mendahulukan sumber primer (Alqur’an dan sunnah) dalam menentukan


rujukan dan kitab induk imam madzhab dalam bermadzhab ketika berhadapan
dengan masalah hukum kontemporer.
2. Berani mengkaji pemikiran ulama atau keputusan hukum organisasi
kemasyarakatan Islam dengan pendekatan critical study dan history of ideas
dan tidak hanya terbatas pada tataran doctrinal dan dogmatis.
3. Karya ulama klasik diposisikan sebagai knowledge baik produk deduktif
maupun empirik.
4. Mempunyai sikap terbuka dengan dunia luar, baik dalam kontek iptek
maupun budaya dan gagasan pemikiran serta tidak tergesa-gesa menjastifikasi
sesuatu yang baru dengan landasan emosional.
5. Responsif terhadap permasalah yang muncul karena masyarakat ingin
mendapatkan jawaban cepat dari pakar fiqih.
6. Menawarkan pola penafsiran aktif dan proaktif, yaitu pola jawaban masalah
hukum yang mampu memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang
sedang dijalani umat Islam.
7. Ahkam al-khamsah (wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah) agar
dijadikan sebagai ajaran etika dan tata nilai di tengah kehidupan masyarakat.
8. Menjadikan ilmu fiqih sebagai ilmu hukum secara umum, yaitu kajian fiqih
dilakukan menggunakan pendekatan ilmu hukum sehingga pakar hukum
umum dapat memahami substansi fiqih dengan baik dan benar.
9. Kajian fiqih harus menyeimbangkan pendekatan deduktif dan induktif. Proses
deduktif adalah bagaimana memahami Alqur’an dan sunnah dengan segala
metodenya termasuk qiyas dan proses induktif adalah bagaimana memberikan

8
peran akal dalam porsi yang benar untuk mewujudkan hasanah di dunia dan
akhirat bagi umat Islam.
10. Menjadikan maslahah ‘ammah sebagai landasan penting dalam membangn
fiqih.
11. Menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai barometer dan kontrol terhadap hal-
hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad itu menggunakan pendekatan
induktif dan bukan deduktif.

2.5 Landasan Hukum Fiqih Kontemporer

Sumber hukum utama dalam fikih kontemporer adalah al-Qur’an, al-


Sunnah, ijma’ dan qiyas. Pada sub bab pembahasan ini hanya memberikan
gambaran tentang landasan hukum utama dalam fikih kontemporer. Tetapi, yang
perlu dijadikan catatan adalah bahwa seluruh landasan dalil hukum mengacu pada
wahyu Allah Ta’ala yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan ijma’ pun adalah hasil
pemahaman final para mujtahid ummat Islam suatu zaman terhadap seluruh nash-
nash yang ada akan suatu hukum tertentu.

Allah Ta’ala berfirman:

ْ ‫َاب ِت ْبيَانًا لِ ُك ِّل ش َْي ٍء َو ُهدًى َو َر ْح َمةً َوبُش َْرى لِ ْل ُم‬


َ‫سلِ ِمين‬ َ ‫َونَ َّز ْلنَا َعلَ ْي َك ا ْل ِكت‬

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.” (QS. An-Nahl: 89)

Sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan al-Sunnah adalah ijma’.


Secara bahasa, ijma berkamna ‫اق‬cccccc‫االتف‬yaitu kesepakatan dan juga
bermakna ‫العزم‬ yaitu keinginan kuat.

Di antara, landasan dalil yang menunjukan bahwa ijma’ adalah hujjah adalah
firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 115:

‫لِ ِه َج َهنَّ َم‬c‫ص‬ َ ‫ َر‬c‫ ْع َغ ْي‬cِ‫دَى َويَتَّب‬c‫هُ ا ْل ُه‬cَ‫سو َل ِمنْ بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ ل‬
َ cَ‫ا ت‬cc‫ْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َم‬cc‫بِي ِل ا ْل ُم‬c‫س‬
ْ ُ‫ولَّى َون‬c ُ ‫ق ال َّر‬
ِ ِ‫َو َمنْ يُشَاق‬
‫صي ًرا‬
ِ ‫سا َءتْ َم‬
َ ‫َو‬

"Dan barangsiapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya serta
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa

9
ter-hadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”(QS. An Nisa’
[4]: 115)

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah: bahwasannya Allah Ta’ala mengancam


penyelisihan dari jalan orang-orang beriman, maka jalan orang-orang yang
beriman adalah yang wajib untuk diikuti dan selainnya adalah batil yang wajib
ditinggalkan. Apa-apa yang disepakati oleh mereka adalah mutlak jalan mereka
dan itulah sebuah kebenaran mutlak maka wajib untuk diikuti dan tidak ada
makna ijma’ melainkan seperti ini yang dimaksudkan.[2]

Ayat di atas banyak dijadikan para ulama, khususnya ahli uhsul sebagai landasan
dalil bahwa ijma’ salah satu sumber hukum. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ini
menunjukkan wajibnya mengikuti jalan-jalan orang beriman dan diharamkan
menyelisihi mereka.”[3] Maka, jika mujtahid ummat Islam telah berijma’ akan
suatu hukum tertentu, tidak boleh ada seorang pun yang menyelisihi ijma’ tersebut
karena ijma' adalah hujjah qhat’i menurut pendapat jumhur ulama.

Adapun terkait dengan sumber hukum lainnya selain al-Qur’an, al-Sunnah dan
Ijma bisa dibaca kajiannya di kitab-kitab ushul al-Fiqh yang secara khusus
menjelaskan tentang sumber hukum dalam Islam, baik sumber hukum yang
disepakati maupun yang diperselisihkan oleh para ulama.

Di sisi yang lain, bisa jadi dalam fikih kontemporer terjadi perbedaan
pendapat tentang status hukumnya di kalangan para ulama. Haja saja, yang harus
menjadi pertimbangan utama oleh setiap muslim adalah pertimbangan kekuatan
dalil dan cara berdalil.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para


ulama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim
Indonesia adalah lembaga paling kompeten bagi pemecahan dan penjawaban
setiap masalah social keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat
serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat mupun dari
pemerintah.

10
Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami bagaimana
MUI memutuskan beberapa permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang
digunakan MUI dalam memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta
bagaimana istimbat tersebut jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.

2.5.1 Metode Ijtihad

Berikut ini metode-metode ijtihad pengambilan hukum Islam:

a. Ijtihad

Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-
mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala
kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).

b. Ijma’

Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari kata
“ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa berarti
kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’ adalah
kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah
wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa

c. Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang
lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan
hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum
yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.

d. Al-Istihsan

Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut


ulama Ushul (Ushuliyin) ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju

11
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu
dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

e. Al-Maslahah al-Mursalah

Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak) sedangkan menurut


ahli istilah Al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak
mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian
yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang
menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu
yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan
pemeliharaan kemadorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka Al-
Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan; yakni memelihara dari kemadaratan
dan menjaga kemanfaatan.

f. Istishhab

Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.


Sedangkan menurut ulama’ Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keaadan,
atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal
menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan.
Berdasarkan kaidah:

‫األصل في األشياء اإلباحة‬

Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.

g. Al-‘Urf

Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan
yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering disebut dengan adat.

h. Dzari’ah

Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”.
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang

12
membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan
tetapi pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn
Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya
menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian, lebih tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah
(yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).

13
2.6 Contoh fiqih kontemporer

2.6.1 Fiqih Kontemporer Munakahat

Kata “munakahat” yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari
akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan. Kata
kawin adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi
berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti
menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang
sama dengan perkawinan.

A. Hukum Melihat Situs Porno agar dapat melayani suami/istri lebih baik

Keinginan  Anda untuk memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan


kepada suaminya merupakan sebuah niat yang baik. Namun, niat yang baik dan
mulia tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan
syariat

Menonton film porno tentu saja dilarang karena berarti melihat aurat orang
lain. Oleh sebab itu, ia termasuk dalam kategori perbuatan dosa (zina mata).
Apalagi jika melihat aurat yang sifatnya mughalladzah (kemaluan).

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda,

“Seorang lelaki tidak boleh melihat kemaluan laki-laki dan seorang wanita tidak
boleh melihat kemaluan wanita.” (HR Muslim).

“Allah Swt. melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang
memperlihatkan auratnya.” 

Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk bisa memberikan
pelayanan kepada suami. Kebutuhan biologis hanyalah salah satu sarana saja.
Dalam hal ini seorang wanita memang perlu memperhatikan kepuasan suaminya;
namun bukan dengan segala cara. Sentuhan kasih sayang, ungkapan yang halus
dan baik, menjaga kehormatan diri dan keluarga, melaksanakan ibadah secara

14
baik, dan banyak berdoa kepada Allah merupakan sejumlah cara lain yang sangat
efektif agar keluarga tetap harmonis penuh cinta kasih.

2.6.2 Hukum Memakan Kopi Luwak

Dalam pandangan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i, apabila ada
binatang yang memakan biji kemudian biji itu keluar dari perutnya dalam keadaan
utuh, maka dalam konteks ini perlu dilihat.
Apabila kekerasan biji tersebut masih tetap terjaga sehingga sekiranya
ditanam bisa tumbuh, maka status hukum biji tersebut adalah suci akan tetapi
wajib dicuci bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis.

ُ ‫ص]اَل بَتُهُ بَاقِيَ]ةً بَ َحي‬


ْ‫ْث لَ]]و‬ ْ ‫ص] ِحيحًا فَ]ا ِ ْن َك]]ان‬
َ ‫َت‬ ْ َ‫ت ْالبَ ِهي َمةُ َحبًّا َو َخ َر َج ِم ْن ب‬
َ ‫طنِهَا‬ ِ َ‫ال َأصْ َحابُنَا َر ِح َمهُ ُم هللاِ ِإ َذا اَ َكل‬
َ َ‫ق‬
‫ُز ِر َع نَبَتَ فَ َع ْينُهُ طَا ِه َرةٌ لَ ِك ْن يَ ِجبُ َغ ْس ُل ظَا ِه ِر ِه لِ ُماَل قَا ِة النَّ َجا َس ِة‬

Artinya, “Para sahabat kami rahimahumullah (para ulama dari kalangan


Madzhab Syafi‘i) berpendapat bahwa apabila seekor binatang memakan biji
kemudian biji tersebut keluar dari perutnya dalam keadaan masih utuh. Dalam
konteks ini apabila kekerasannya masih tetap di mana sekiranya ditanam akan
tumbuh, maka biji tersebut adalah suci, akan tetapi harus dicuci permukaan atau
bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis,” (Lihat Muhayiddin Syarf An-
Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz II,
halaman 591).
Jika pandangan yang dikemukakan Imam Nawawi ini kita tarik dalam
konteks pertanyaan di atas, maka pandangan ini mengandaikan, bahwa biji kopi
yang dimakan luwak kemudian keluar lagi melalui duburnya, dan sepanjang
kekerasannya masih tetap dan bisa ditanam kembali, maka masuk kategori barang
suci yang terkena najis (mutanajjis) di mana bagian luarnya terkena najis sehingga
bisa disucikan dengan cara dicucinya, sedang bagian dalamnya tidak najis.
Argumentasi rasional yang dibangun untuk meneguhkan pandangan ini
adalah bahwa meskipun biji adalah makanan bagi binatang, namun biji tersebut
tidak mengalami kerusakan. Hal ini sama dengan binatang yang menelan biji
kemudian bijinya keluar. Bagian dalam biji tersebut adalah suci, sedang kulitnya
adalah najis dan bisa suci dengan dicuci.

15
Berbeda kasusnya binatang menelan biji kemudian bijinya keluar namun
kekerasannya telah hilang sehingga sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka
dalam konteks ini biji tersebut statusnya adalah najis.

‫طهُ] ُر‬ ْ َ‫ت فَ]ا ِ َّن بَا ِطنِهَ]]ا طَ]]ا ِه ٌر َوي‬ َ َ‫صا َر ِغ َذا ًءا لَهَا فَ َما تَ َغيَّ َر ِإلَى ْالفَ َسا ِد ف‬
ْ ‫صا َر َك َما لَ ِو ا ْبتَلَ] َع نَ] َواةً َوخَ] َر َج‬ َ ‫اِل َنَّهُ َواِ ْن‬
ٌ‫ُت فَهُ َو ن َِجس‬ ُ ‫ت بِ َحي‬
ْ ‫ْث لَوْ ُز ِر َع لَ ْم يَ ْنب‬ ْ َ‫صاَل بَتُهُ قَ ْد زَ ال‬
َ ‫َت‬ ْ ‫قَ ْش ُرهَا بِ ْال َغس ِْل َواِ ْن َكان‬ 

Artinya, “Sebab, kendatipun biji tersebut adalah makanan binatang namun tidak
menjadi rusak. Karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian
biji keluar (dari duburnya, penerjemah), maka bagian dalam biji tersebut adalah
suci dan kulitnya menjadi suci dengan dicuci. Berbeda jika kekerasan biji
tersebut telah hilang, di mana sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka biji
tersebut adalah najis,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab, juz II, halaman 591).

IV&AIDS telah benar mewabah di Indonesia. Penyebarannya pun sudah sampai


pada hampir semua kabupaten di Indonesia. Penyakit HIV yang salah satu
penularannya disebabkan oleh pola hubungan yang tidak aman ini sering
dialamatkan pada pekerja seks yang menjadi biang keladinya. Terlepas dari itu,
wabah AIDS sudah menjadi ancaman serius bagi bangsa.<>

Untuk meminimalisir penularan HIV, salah satu Strategi Nasional dalam


penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang dikembangkan adalah membentuk
organisasi komunitas yang akan menjadi wadah bagi mereka untuk turut
berpartisipasi dalam program penanggulangan HIV dan AIDS. Salah satu yang
sudah terbentuk dengan fasilitasi KPAN adalah Organisasi Pekerja Seks Indonesia
(OPSI) yang menghuni tepat-tempat lokalisasi. Ini bisa dipahami, karena
organisasi ini dibentuk oleh negara, maka kehadiran dan aktivitasnya menjadi
legal. Tindakan-tindakan stigmatik dan kriminalisasi terhadap mereka menjadi
tidak bisa dibenarkan. Sementara itu, perzinaan atau seks bebas merupakan
perbuatan yang dilarang agama.

Pada hakikatnya, kewajiban pemerintah adalah menegakkan keadilan bagi


masyarakat sehingga kemaslahatan tercapai. Pemerintah harus membuat regulasi

16
yang melarang praktek perzinahan dan pada saat yang sama menegakkan regulasi
tersebut. Inilah maslahah ‘ammah yang wajib dilakukan pemerintah.

‫تصرف اإلمام على الرعية منوط بالمصلحة‬

perlakuan (kebijakan) imam atas rakyat mengacu pada maslahat”

Lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif


perzinahan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisir, efek negatif perzinahan
dapat dikelola dan dikontrol sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas,
termasuk penyebaran virus HIV. Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang
terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan tutup dengan sendirinya
karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun.

Tujuan ini akan tercapai manakala program lokalisasi dibarengi dengan


konsistensi kebijakan dan usaha secara massif untuk menyelesaikan inti
masalahnya. Kemiskinan, ketimpangan sosial, peyelewengan aturan, dan tatatan
sosial harus diatasi. Mereka yang melakukan praktik perzinahan di luar lokalisasi
juga harus ditindak tegas. Jika saja prasyarat tersebut dilakukan, tentu
mafsadahnya lebih ringan dibanding kondisi yang kita lihat sekarang.

،‫ األشباه والنظائر‬, ‫ تحقيق مطيع الحافظ‬، ‫الضرر األشد يزال بالضرر األخف ( ابن النجيم الحنفي‬
)96 :‫ ص‬، ‫ دار الفكر‬-‫بيروت‬

“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.” ( Ibn
Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair, tahqiq Muthi` Al-Hafidz, Bairut-
Dar Al-Fikr, hal: 96)

‫فإنكار المنكر أربع درجات األولى أن يزول ويخلفه ضده الثانية أن يقل وإن لم يزل بجملته الثالثة أن يخلفه‬
‫ما هو مثله الرابعة أن يخلفه ما هو شر منه فالدرجتان األوليان مشروعتان والثالثة موضع اجتهاد والرابعة‬
‫دار‬-‫ بيروت‬,‫ طه عبد الرءوف سعد‬: ‫ تحقيق‬،‫ إعالم الموقعين عن رب العالمين‬،‫محرمة (ابن قيم الجوزية‬
)4 .‫ ص‬،‫ الجزء الثالث‬،‫م‬1983 ،‫الجيل‬

"Inkar terhadap perkara yang munkar itu ada empat tingkatan. Pertama : perkara
yang munkar hilang dan digantikan oleh kebalikannya ( yang baik atau ma’ruf);
kedua : perkara munkar berkurang sekalipun tidak hilang secara keseluruhan;
ketiga : perkara munkar hilang digantikan dengan kemunkaran lain yang kadar

17
kemungkrannya sama. Keempat: perkara munkar hilang digantikan oleh
kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh
syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat
hukumnya haram". (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi'in an Rabbi
al-‘Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf Saad, Bairut- Dar al-Gel, 1983. M, vol: III,
h. 40)

(Sumber: Hasil Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU tentang


Penanggulangan HIV-AIDS/Red. Ulil H)

2.6.3 Hukum Musik Dalam Islam

Ternyata, banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan akan hal
ini. Satu di antaranya adalah:

Firman Allah ‘Azza wa jalla,

َ ‫يل هَّللا ِ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َويَتَّ ِخ َذهَا هُ ُز ًوا ُأولَِئ‬


ٌ ‫ك لَهُ ْم َع َذابٌ ُم ِه‬
‫ين‬ ِ ِ‫ُض َّل ع َْن َسب‬ ِ ‫اس َم ْن يَ ْشت َِري لَ ْه َو ْال َح ِدي‬
ِ ‫ث لِي‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬

“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan.” (QS. Lukman: 6)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwasanya setelah


Allah menceritakan tentang keadaan orang-orang yang berbahagia dalam ayat 1-5,
yaitu orang-orang yang mendapat petunjuk dari firman Allah (Al-Qur’an) dan
mereka merasa menikmati dan mendapatkan manfaat dari bacaan Al-Qur’an, lalu
Allah Jalla Jalaaluh menceritakan dalam ayat 6 ini tentang orang-orang yang
sengsara, yang mereka ini berpaling dari mendengarkan Al-Qur’an dan berbalik
arah menuju nyanyian dan musik.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salah satu sahabat senior Nabi berkata
ketika ditanya tentang maksud ayat ini, maka beliau menjawab bahwa itu adalah
musik, seraya beliau bersumpah dan mengulangi perkataannya sebanyak tiga kali.

18
Begitu juga dengan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang
didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah memberikan
kelebihan kepada beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga beliau dijuluki
sebagai Turjumanul Qur’an, bahwasanya beliau juga mengatakan bahwa ayat
tersebut turun berkenaan dengan nyanyian.3

Al-Wahidy berkata bahwasanya ayat ini menjadi dalil bahwa nyanyian itu
hukumnya haram.

Dan masih banyak lagi, ayat-ayat lainnya yang menjelaskan akan hal ini.

Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengkabarkan kepada


umatnya tentang musik?

Saudaraku, termasuk mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepada Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pengetahuan beliau tentang hal yang terjadi di
masa mendatang. Dahulu, beliau pernah bersabda,

‫ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف‬

”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera,
minuman keras, dan alat-alat musik.”

Saudaraku, bukankah apa yang telah dikabarkan oleh beliau itu telah terjadi pada
zaman kita saat ini?

Dan juga dalam hadis lain, secara terang-terangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan tentang musik. Beliau pernah bersabda,

‫ صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير‬: ‫إني لم أنه عن البكاء ولكني نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين‬
‫الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه وشق جيوب ورنة شيطان‬

“Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara
yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan
dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek
baju, dan jeritan setan.”

Kedua hadis di atas telah menjadi bukti untuk kita bahwasanya Allah dan Rasul-
Nya telah melarang nyanyian beserta alat musik.

19
Sebenarnya, masih banyak bukti-bukti lain baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun
perkataan ulama yang menunjukkan akan larangan dan celaan Islam terhadap
nyanyian dan alat musik. Dan hal ini bisa dirujuk kembali ke kitabnya Ibnul
Qayyim yang berjudul Ighatsatul Lahafan atau kitab-kitab ulama lainnya yang
membahas tentang hal ini.

Setelah kita mengetahui ketiga dalil di atas, mungkin ada yang bertanya di antara
kita, lalu bagaimana dengan lagu-lagu yang isinya bertujuan untuk
mendakwahkan manusia kepada kebaikan atau nasyid-nasyid Islami yang
mengandung ajakan manusia untuk mengingat Allah? Bukankah hal itu
mengandung kebaikan?

Maka kita jawab, ia benar. Hal itu mengandung kebaikan, tapi menurut siapa? Jika
Allah dan Rasul-Nya menganggap hal itu adalah baik dan menjadi salah satu cara
terbaik dalam berdakwah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta
para sahabat adalah orang-orang yang paling pertama kali melakukan hal tersebut.
Akan tetapi tidak ada satu pun cerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya melakukannya, bahkan mereka melarang dan
mencela hal itu.

Wahai saudaraku, perlu diketahui, bahwasanya nasyid Islami yang banyak kita
dengar sekarang ini itu, bukanlah nasyid yang dilakukan oleh para sahabat Nabi
yang mereka lakukan ketika mereka melakukan perjalanan jauh ataupun ketika
mereka bekerja, akan tetapi nasyid-nasyid saat ini itu merupakan budaya kaum
sufi yang mereka lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Mereka menjadikan hal ini sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, yang
padahal hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya, maka dari mana mereka mendapatkan hal ini?

Maka telah jelas bagi kita, bahwa kaum sufi tersebut telah membuat syariat baru,
yaitu membuat suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta’ala dengan cara
melantunkan nasyid yang hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.

20
2.6.4 Hukum Bayi Tabung Menurut MUI

Teknologi kedokteran modern semakin canggih. Salah satu tren yang


berkembang saat ini adalah fenomena bayi tabung. Sejatinya, teknologi ini telah
dirintis oleh PC Steptoe dan RG Edwards pada 1977. Hingga kini, banyak
pasangan yang kesulitan memperoleh anak, mencoba menggunakan teknologi
bayi tabung.

Bayi tabung dikenal dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai in vitro fertilisation. Ini adalah sebuah teknik pembuahan
sel telur (ovum) di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk
mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil.

Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal,


pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah
medium cair. Lalu bagaimanakah hukum bayi tabung dalam pandangan Islam?
Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di Tanah Air telah
menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi


tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya
mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah
agama.

Namun, para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari


pasangan suami-istri yang dititipkan di rahim perempuan lain. "Itu hukumnya
haram," papar MUI dalam fatwanya. Apa pasal? Para ulama menegaskan, di
kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan warisan.

Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari
sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram.
"Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya
dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan," tulis fatwa itu.

21
Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak
berasal dari pasangan suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas
menyatakan hal tersebut hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan
hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan yang sah alias zina.

Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini
dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga
keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung: Pertama,
apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.

Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA,
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam
pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan
spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya."

Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram
adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara',"
papar ulama NU dalam fatwa itu.

Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip


dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. "Seandainya seorang lelaki berusaha
mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal
tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang
diperbolehkan untuk bersenang-senang." Ketiga, apabila mani yang ditabung itu
mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan
ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).

Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid
PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya
menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua. Dalam fatwanya, Majelis
Tarjih dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad jama'i yang dilakukan
para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang

22
diwakili Mu hammadiyah, hukum inseminasi buat an seperti itu termasuk yang
dilarang.

"Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode ke tiga
dari Majmaul Fiqhil Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung),"
papar fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Rumusannya, "cara kelima
inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara dua biji suami-istri, kemudian
ditanamkan pada rahim istri yang lain (dari suami itu) ... hal itu dilarang menurut
hukum Syara'." Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab
berbagai masalah yang terjadi di dunia modern saat ini.

2.6.5 Hukum BitCoin Dalam Islam

Para ulama berpendapat mengenai Bitcoin:

A. Beberapa ulama mengatakan bahwa bitcoin itu adalah alat tukar karena telah
memenuhi karakteristik dari alat tukar yaitu diterima oleh masyarakat umum
sebagai alat tukar sebagaimana definisi dari uang itu sendiri.

B. Bitcoin itu sebagai nilai dari aset atau barang.

C. Bitcoin sebagai standar barang.

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa bitcoin itu belum memenuhi unsur
uang karena karateria pertama belum terpenuhi dimana bitcoin itu belum diterima
oleh masyarakat luas :

ّ ‫”النقد هو كل وسيط للتبادل يلقي قبوال عاما مهما كان ذلك الوسيط وعلى أ‬
“ ‫ي حال يكون‬

“Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima
secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun media tersebut.”
(Abdullah bin Sulaiman al-Mani‟, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, Mekah: al-
Maktab al-Islami, 1996, h. 178)

“ ‫ الصادرة عن المؤسسة‬،‫ ما اتخذ الناس ثمنا من المعادن المضروبة أو األوراق المطبوعة ونحوها‬:‫النقد‬
‫”المالية صاحبة اإلختصاص‬

“Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri
dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan

23
oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” (Muhammad Rawas Qal‟ah Ji, al-
Mu‟amalat al-Maliyah al-Mu‟ashirah fi Dhau‟ al-Fiqh wa al-Syari‟ah, Beirut:
Dar al-Nafa‟is, 1999, h. 23)

Sehingga kelompok pertama menyimpulkan bahwa bitcoin perlu ada penjelasan


atau analisa lebih lanjut tentang status bitcoin ini. Karena perlu juga
mempertimbangkan aspek ekonomi dan pengaruh keberadaan bitcoin terhadap
ekonomi makro.

2. Berdasarkan penjelasan dan proses transaksi sebagaimana yang telah


disebutkan dalam sub judul apa itu bitcoin, maka berdasarkan potret dan
identifikasi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :

A. Bitcoin sebagai alat tukar yang tidak resmi itu ada unsur gharar:

“ ‫”نهار رسول هللا صلى هلل عليه وسلم عن الغرر‬

“bahwa Rasulullah SAW melarang transaksi gharar” dan sebagaimana juga


standar syariah AAOIFI Bahrain yang melarang transaksi gharar fahisy atau
gharar berat.

Kalau kita telaah gharar yang terjadi dalam alat tukar bitcoin ini adalah
ketidakjelasan yang terjadi pada harga dan juga barang. Karena seharusnya agar
tidak terjadi gharar, maka baik harga ataupun barang baik bitcoin yang menjadi
harga beli ataupun bitcoin yang dijual itu memiliki nilai yang jelas dan
merefresentasikan aset sebagai alat tukar. Tetapi bitcoin yang tidak diakui sebagai
alat tukar tidak merefresentasikan sehingga tidak jelas dan tidak diakui oleh
masyarakat.

B. Jika jual-beli bitcoin itu masuk dalam kategori forex, jika memenuhi syarat
berikut:

– Jika terjadi transaksi antar sesama bitcoin maka harus tunai dan sama serta tidak
boleh ada kelebihan.

– Jika terjadi transaksi penukaran antara bitcoin dengan mata uang lain, maka
harus tunai. Dua ketentuan tersebut berdasarkan hadits dari Ubadah bin Shamait.

24
‫ح ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل َس َوا ًء‬
ِ ‫ير َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْل‬
ِ ‫ض ِة َو ْالبُرُّ بِ ْالبُ ِّر َوال َّش ِعي ُر بِال َّش ِع‬
َّ ِ‫ضةُ بِ ْالف‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬
ِ َ‫ال َّذهَبُ بِال َّذه‬
‫ت هَ ِذ ِه اَألصْ نَافُ فَبِيعُوا َك ْيفَ ِشْئتُ ْم ِإ َذا َكانَ يَدًا بِيَ ٍ]د‬ ْ َ‫اختَلَف‬
ْ ‫بِ َس َوا ٍء يَدًا بِيَ ٍد فَِإ َذا‬

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda,
maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara
kontan (tunai).” (HR. Muslim).

Menurut fatwa DSN MUI Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh
dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).

2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).

3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus
sama dan secara tunai (attaqabudh).

4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang
berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

2.7 Hikmah Mempelajari Fiqih Kontemporer

1. Menjadi pondasi dalam berijtihad


Para Ulama emutuskan hukum syara’ atau perkara-perkara yang tidak ada dalilnya
dalam Al-quran dan Al-hadist. Tentunya dalam berijtihad tidak boleh dilakukan
secara sembarangan. Sebab nantinya hasil ijtihad ini akan digunakan oleh
masyarakat sebagai landasan hukum. Dengan demikian, pembentukan hukum
islam bisa lebih mendekati kebenaran.

2. Menerapkan kaidah islam secara benar

Pada dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan
qiyas. Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci

25
tentunya ia akan memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan
demikian, ia pun dapat menerapakan kaidah islam secara benar.

3. Meningkatkan keimanan

Mempelajari ilmu fiqh kontemporer tidak hanya mengembangkan ilmu


pengetahuan saja, tapi juga bisa meningkatkan keimanan. Semakin kita
mendalami konsep Al-quran dan Al-hadist maka iman tentu akan semakin kuat.

4. Memperkuat ketaqwaan

Selain meningkatkan iman, mempelajari ushul fiqih juga memperkuat takwa. Kita
semakin mengetahui tentang dalil-dalil yang benar dan salah, mendalami tentang
hukum Allah Ta’ala. Dengan demikian, akan muncul rasa takut bila durhaka
kepada Allah. Hal ini bisa membuat ketaqwaan semakin meningkat.

5. Meluruskan penyimpangan-penyimpangan di masyarakat

Selanjutnya, dengan mempelajari fiqh kontemporer bisa membantu mengatasi


penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat pada masa kini.

26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Latar belakang munculnya isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus
modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara- Negara yang dihuni
oleh mayoritas umat islam. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam
bentuk perubahan baik secara struktural maupun kultural.
Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan
datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut
disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin
terungkapnya berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama
maupun dengan kehidupan alam sekitarnya.Kompleksitas masalah tersebut
tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama.
Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih
kontemporer tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai
ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman, terutama yang menyangkut dengan aspek
lahiriyah kehidupan manusia di dunia ini.
Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman dan
penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena
perubanhan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara
terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga
harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian islam akan tetap
relevan dan aktual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.

3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung
jawabkan.

27
DAFTAR PUSTAKA

http://fazarsodik.blogspot.co.id/2016/03/makalah-problematika-fiqih-
kontemporer.html

http://diyahhalimatusadiya.blogspot.co.id/2013/05/fiqh-kontemporer.html

https://muamalatku.com/halal-haram-hukum-bitcoin-dalam-islam/

iii

Anda mungkin juga menyukai