FIKIH KONTEMPORER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas SP Mata Kuliah Pembelajaran Fikih
Kontemporer Yang Diampu Oleh Bapak Dr. H. Mustajab, S.Ag, M.Pd.I
Disusun Oleh :
1
TAHUN AJARAN 2022
2
KATA PENGANTAR
Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna tapi penulis tentunya bertujuan
untuk menjelaskan atau memaparkan point-point di makalah ini, sesuai dengan
pengetahuan yang kami peroleh, baik dari buku maupun sumber-sumber yang
lain. Semoga semuanya memberikan manfaat bagi kita. Bila ada kesalahan tulisan
atau kata-kata di dalam makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Pengertian Fiqh Kontemporer...................................................................3
2.2 Tujuan Fiqh Kontemporer.........................................................................4
2.3 Berbagai Pemikiran Islam Tentang Fiqh Kontemporer............................5
2.4 Ruang Lingkup Kajian fiqh Kontemporer.................................................6
2.5 Landasan Hukum Fiqih Kontemporer.......................................................9
2.5.1 Metode Ijtihad........................................................................................11
2.6 Contoh fiqih kontemporer.......................................................................14
2.6.1 Fiqih Kontemporer Munakahat........................................................14
2.6.2 Hukum Memakan Kopi Luwak........................................................15
2.6.3 Hukum Musik Dalam Islam.............................................................18
2.6.4 Hukum Bayi Tabung Menurut MUI................................................20
2.6.5 Hukum BitCoin Dalam Islam..........................................................23
2.7 Hikmah Mempelajari Fiqih Kontemporer...............................................25
BAB III PENUTUP...............................................................................................27
3.1 Kesimpulan..............................................................................................27
3.2 Saran........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Mengingat hukum islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang
terpenting, maka perlu ditegaskan di sini aspek mana yang mengalami perubahan
dalam kaitannya dengan hokum islam tersebut. Karena agama dalam
pengertiannnya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi tentang
pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan
penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah.
4
tersebut Qardlawi menawarkan konsep ijtihad. ijtihad yang perlu di buka kembali.
Manapaak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan
dengan hukum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.
Pandangan Prof. Said Rramadan tentang hal serupa. Semua pendapat yang
harus di timbang dengan kriteria Al-Qur’an dan As- sunnah. Dan semua manusia
sesudah Rasulullah SAW dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada
teks yang mengikat, maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat. dan
bahwa aturan demi maslahah dapat berubah bersama perubahan keadaan di masa,
terdahulu: “Di mana ada maslahah disanalah letak jalan Allah”. Perbedaan antara
syari’ah (Sebagaimana tercantum dalam Al-Qura’an dan As-sunnah) yang
mengikat abadi dengan dalil- dalil yang diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya
memeberikan pengaruh yang sangat sehat terhadap umat islam pada zaman ini.
Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga
zaman, yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman ini disebut juga oleh beliau
sebagai zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad XIII-XVIII dan
zaman modern (kontemporer) abad XIX- . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih
klasik yang di maksud adalah pola pemahaman fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih
kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih abad XIX dan seterusnya. Yang
menjadi fokus kajian disini adalah; adakah relevansinya antara pola pemahaman
fiqih kontemporer dengan fiqih klasik, lalu di mana letak relevansi pemahaman
antara kedua zaman tersebut?
5
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait
langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang
kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat nabi terutama Umar bin
Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab fiqih
seperti imam Malik, Abu hanafiah, Syafi’i, dan ibnu hambal. Juga oleh para
mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-
maturidi, dan Al-ghozali.
a) Aspek hukum keluarga, seperti: pembagian harta waris, akad via telepon,
perwakafan, nikah hamil, KB, dll.
b) Aspek ekonomi, seperti: Sistem bungan dalam bank, zakat mal dalam
perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.
6
c) Aspek pidana, seperti: Hukum potong tangan, hukum pidana islam dalam
sistem nasional,dll.
7
Ruang lingkup kajian fiqih kontemporer tidak terlepas dari aspek material
dan formalnya hukum islam, serta mana yang permanen dalam hukum islam dan
mana yang bersifat relatif (berubah) atau ghoiruttasyri’. Kajian tentang aspek
moralitas dan formalitas hukum inilah yang menjadi ajang kajian fiqih
kontemporer ini.
8
peran akal dalam porsi yang benar untuk mewujudkan hasanah di dunia dan
akhirat bagi umat Islam.
10. Menjadikan maslahah ‘ammah sebagai landasan penting dalam membangn
fiqih.
11. Menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai barometer dan kontrol terhadap hal-
hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad itu menggunakan pendekatan
induktif dan bukan deduktif.
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.” (QS. An-Nahl: 89)
Di antara, landasan dalil yang menunjukan bahwa ijma’ adalah hujjah adalah
firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 115:
لِ ِه َج َهنَّ َمcص َ َرc ْع َغ ْيcِدَى َويَتَّبcهُ ا ْل ُهcَسو َل ِمنْ بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ ل
َ cَا تccْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َمccبِي ِل ا ْل ُمcس
ْ ُولَّى َونc ُ ق ال َّر
ِ َِو َمنْ يُشَاق
صي ًرا
ِ سا َءتْ َم
َ َو
"Dan barangsiapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya serta
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
9
ter-hadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”(QS. An Nisa’
[4]: 115)
Ayat di atas banyak dijadikan para ulama, khususnya ahli uhsul sebagai landasan
dalil bahwa ijma’ salah satu sumber hukum. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ini
menunjukkan wajibnya mengikuti jalan-jalan orang beriman dan diharamkan
menyelisihi mereka.”[3] Maka, jika mujtahid ummat Islam telah berijma’ akan
suatu hukum tertentu, tidak boleh ada seorang pun yang menyelisihi ijma’ tersebut
karena ijma' adalah hujjah qhat’i menurut pendapat jumhur ulama.
Adapun terkait dengan sumber hukum lainnya selain al-Qur’an, al-Sunnah dan
Ijma bisa dibaca kajiannya di kitab-kitab ushul al-Fiqh yang secara khusus
menjelaskan tentang sumber hukum dalam Islam, baik sumber hukum yang
disepakati maupun yang diperselisihkan oleh para ulama.
Di sisi yang lain, bisa jadi dalam fikih kontemporer terjadi perbedaan
pendapat tentang status hukumnya di kalangan para ulama. Haja saja, yang harus
menjadi pertimbangan utama oleh setiap muslim adalah pertimbangan kekuatan
dalil dan cara berdalil.
10
Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami bagaimana
MUI memutuskan beberapa permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang
digunakan MUI dalam memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta
bagaimana istimbat tersebut jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.
a. Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-
mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala
kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
b. Ijma’
Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari kata
“ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa berarti
kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’ adalah
kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah
wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa
c. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang
lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan
hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum
yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.
d. Al-Istihsan
11
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu
dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
e. Al-Maslahah al-Mursalah
f. Istishhab
g. Al-‘Urf
Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan
yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering disebut dengan adat.
h. Dzari’ah
Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”.
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang
12
membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan
tetapi pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn
Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya
menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian, lebih tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah
(yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
13
2.6 Contoh fiqih kontemporer
Kata “munakahat” yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari
akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan. Kata
kawin adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi
berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti
menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang
sama dengan perkawinan.
A. Hukum Melihat Situs Porno agar dapat melayani suami/istri lebih baik
Menonton film porno tentu saja dilarang karena berarti melihat aurat orang
lain. Oleh sebab itu, ia termasuk dalam kategori perbuatan dosa (zina mata).
Apalagi jika melihat aurat yang sifatnya mughalladzah (kemaluan).
“Seorang lelaki tidak boleh melihat kemaluan laki-laki dan seorang wanita tidak
boleh melihat kemaluan wanita.” (HR Muslim).
“Allah Swt. melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang
memperlihatkan auratnya.”
Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk bisa memberikan
pelayanan kepada suami. Kebutuhan biologis hanyalah salah satu sarana saja.
Dalam hal ini seorang wanita memang perlu memperhatikan kepuasan suaminya;
namun bukan dengan segala cara. Sentuhan kasih sayang, ungkapan yang halus
dan baik, menjaga kehormatan diri dan keluarga, melaksanakan ibadah secara
14
baik, dan banyak berdoa kepada Allah merupakan sejumlah cara lain yang sangat
efektif agar keluarga tetap harmonis penuh cinta kasih.
Dalam pandangan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i, apabila ada
binatang yang memakan biji kemudian biji itu keluar dari perutnya dalam keadaan
utuh, maka dalam konteks ini perlu dilihat.
Apabila kekerasan biji tersebut masih tetap terjaga sehingga sekiranya
ditanam bisa tumbuh, maka status hukum biji tersebut adalah suci akan tetapi
wajib dicuci bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis.
15
Berbeda kasusnya binatang menelan biji kemudian bijinya keluar namun
kekerasannya telah hilang sehingga sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka
dalam konteks ini biji tersebut statusnya adalah najis.
طهُ] ُر ْ َت فَ]ا ِ َّن بَا ِطنِهَ]]ا طَ]]ا ِه ٌر َوي َ َصا َر ِغ َذا ًءا لَهَا فَ َما تَ َغيَّ َر ِإلَى ْالفَ َسا ِد ف
ْ صا َر َك َما لَ ِو ا ْبتَلَ] َع نَ] َواةً َوخَ] َر َج َ اِل َنَّهُ َواِ ْن
ٌُت فَهُ َو ن َِجس ُ ت بِ َحي
ْ ْث لَوْ ُز ِر َع لَ ْم يَ ْنب ْ َصاَل بَتُهُ قَ ْد زَ ال
َ َت ْ قَ ْش ُرهَا بِ ْال َغس ِْل َواِ ْن َكان
Artinya, “Sebab, kendatipun biji tersebut adalah makanan binatang namun tidak
menjadi rusak. Karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian
biji keluar (dari duburnya, penerjemah), maka bagian dalam biji tersebut adalah
suci dan kulitnya menjadi suci dengan dicuci. Berbeda jika kekerasan biji
tersebut telah hilang, di mana sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka biji
tersebut adalah najis,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab, juz II, halaman 591).
16
yang melarang praktek perzinahan dan pada saat yang sama menegakkan regulasi
tersebut. Inilah maslahah ‘ammah yang wajib dilakukan pemerintah.
، األشباه والنظائر, تحقيق مطيع الحافظ، الضرر األشد يزال بالضرر األخف ( ابن النجيم الحنفي
)96 : ص، دار الفكر-بيروت
“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.” ( Ibn
Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair, tahqiq Muthi` Al-Hafidz, Bairut-
Dar Al-Fikr, hal: 96)
فإنكار المنكر أربع درجات األولى أن يزول ويخلفه ضده الثانية أن يقل وإن لم يزل بجملته الثالثة أن يخلفه
ما هو مثله الرابعة أن يخلفه ما هو شر منه فالدرجتان األوليان مشروعتان والثالثة موضع اجتهاد والرابعة
دار- بيروت, طه عبد الرءوف سعد: تحقيق، إعالم الموقعين عن رب العالمين،محرمة (ابن قيم الجوزية
)4 . ص، الجزء الثالث،م1983 ،الجيل
"Inkar terhadap perkara yang munkar itu ada empat tingkatan. Pertama : perkara
yang munkar hilang dan digantikan oleh kebalikannya ( yang baik atau ma’ruf);
kedua : perkara munkar berkurang sekalipun tidak hilang secara keseluruhan;
ketiga : perkara munkar hilang digantikan dengan kemunkaran lain yang kadar
17
kemungkrannya sama. Keempat: perkara munkar hilang digantikan oleh
kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh
syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat
hukumnya haram". (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi'in an Rabbi
al-‘Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf Saad, Bairut- Dar al-Gel, 1983. M, vol: III,
h. 40)
Ternyata, banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan akan hal
ini. Satu di antaranya adalah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan.” (QS. Lukman: 6)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salah satu sahabat senior Nabi berkata
ketika ditanya tentang maksud ayat ini, maka beliau menjawab bahwa itu adalah
musik, seraya beliau bersumpah dan mengulangi perkataannya sebanyak tiga kali.
18
Begitu juga dengan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang
didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar Allah memberikan
kelebihan kepada beliau dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga beliau dijuluki
sebagai Turjumanul Qur’an, bahwasanya beliau juga mengatakan bahwa ayat
tersebut turun berkenaan dengan nyanyian.3
Al-Wahidy berkata bahwasanya ayat ini menjadi dalil bahwa nyanyian itu
hukumnya haram.
Dan masih banyak lagi, ayat-ayat lainnya yang menjelaskan akan hal ini.
”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera,
minuman keras, dan alat-alat musik.”
Saudaraku, bukankah apa yang telah dikabarkan oleh beliau itu telah terjadi pada
zaman kita saat ini?
Dan juga dalam hadis lain, secara terang-terangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan tentang musik. Beliau pernah bersabda,
صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير: إني لم أنه عن البكاء ولكني نهيت عن صوتين أحمقين فاجرين
الشيطان وصوت عند مصيبة لطم وجوه وشق جيوب ورنة شيطان
“Aku tidak melarang kalian menangis. Namun, yang aku larang adalah dua suara
yang bodoh dan maksiat; suara di saat nyanyian hiburan/kesenangan, permainan
dan lagu-lagu setan, serta suara ketika terjadi musibah, menampar wajah, merobek
baju, dan jeritan setan.”
Kedua hadis di atas telah menjadi bukti untuk kita bahwasanya Allah dan Rasul-
Nya telah melarang nyanyian beserta alat musik.
19
Sebenarnya, masih banyak bukti-bukti lain baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun
perkataan ulama yang menunjukkan akan larangan dan celaan Islam terhadap
nyanyian dan alat musik. Dan hal ini bisa dirujuk kembali ke kitabnya Ibnul
Qayyim yang berjudul Ighatsatul Lahafan atau kitab-kitab ulama lainnya yang
membahas tentang hal ini.
Setelah kita mengetahui ketiga dalil di atas, mungkin ada yang bertanya di antara
kita, lalu bagaimana dengan lagu-lagu yang isinya bertujuan untuk
mendakwahkan manusia kepada kebaikan atau nasyid-nasyid Islami yang
mengandung ajakan manusia untuk mengingat Allah? Bukankah hal itu
mengandung kebaikan?
Maka kita jawab, ia benar. Hal itu mengandung kebaikan, tapi menurut siapa? Jika
Allah dan Rasul-Nya menganggap hal itu adalah baik dan menjadi salah satu cara
terbaik dalam berdakwah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta
para sahabat adalah orang-orang yang paling pertama kali melakukan hal tersebut.
Akan tetapi tidak ada satu pun cerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya melakukannya, bahkan mereka melarang dan
mencela hal itu.
Wahai saudaraku, perlu diketahui, bahwasanya nasyid Islami yang banyak kita
dengar sekarang ini itu, bukanlah nasyid yang dilakukan oleh para sahabat Nabi
yang mereka lakukan ketika mereka melakukan perjalanan jauh ataupun ketika
mereka bekerja, akan tetapi nasyid-nasyid saat ini itu merupakan budaya kaum
sufi yang mereka lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Mereka menjadikan hal ini sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, yang
padahal hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabatnya, maka dari mana mereka mendapatkan hal ini?
Maka telah jelas bagi kita, bahwa kaum sufi tersebut telah membuat syariat baru,
yaitu membuat suatu bentuk pendekatan diri kepada Allah Ta’ala dengan cara
melantunkan nasyid yang hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
20
2.6.4 Hukum Bayi Tabung Menurut MUI
Bayi tabung dikenal dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai in vitro fertilisation. Ini adalah sebuah teknik pembuahan
sel telur (ovum) di luar tubuh wanita. Bayi tabung adalah salah satu metode untuk
mengatasi masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil.
Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari
sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram.
"Sebab, hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya
dengan penentuan nasab maupun dalam hal kewarisan," tulis fatwa itu.
21
Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak
berasal dari pasangan suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas
menyatakan hal tersebut hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan
hubungan kelamin antarlawan jenis di luar penikahan yang sah alias zina.
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini
dalam forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga
keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait masalah bayi tabung: Pertama,
apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA,
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam
pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan
spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya."
Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram
adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara',"
papar ulama NU dalam fatwa itu.
Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid
PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya
menitipkan sperma suami-istri di rahim istri kedua. Dalam fatwanya, Majelis
Tarjih dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad jama'i yang dilakukan
para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang
22
diwakili Mu hammadiyah, hukum inseminasi buat an seperti itu termasuk yang
dilarang.
"Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode ke tiga
dari Majmaul Fiqhil Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung),"
papar fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Rumusannya, "cara kelima
inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara dua biji suami-istri, kemudian
ditanamkan pada rahim istri yang lain (dari suami itu) ... hal itu dilarang menurut
hukum Syara'." Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab
berbagai masalah yang terjadi di dunia modern saat ini.
A. Beberapa ulama mengatakan bahwa bitcoin itu adalah alat tukar karena telah
memenuhi karakteristik dari alat tukar yaitu diterima oleh masyarakat umum
sebagai alat tukar sebagaimana definisi dari uang itu sendiri.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa bitcoin itu belum memenuhi unsur
uang karena karateria pertama belum terpenuhi dimana bitcoin itu belum diterima
oleh masyarakat luas :
ّ ”النقد هو كل وسيط للتبادل يلقي قبوال عاما مهما كان ذلك الوسيط وعلى أ
“ ي حال يكون
“Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima
secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun media tersebut.”
(Abdullah bin Sulaiman al-Mani‟, Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami, Mekah: al-
Maktab al-Islami, 1996, h. 178)
“ الصادرة عن المؤسسة، ما اتخذ الناس ثمنا من المعادن المضروبة أو األوراق المطبوعة ونحوها:النقد
”المالية صاحبة اإلختصاص
“Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri
dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan
23
oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” (Muhammad Rawas Qal‟ah Ji, al-
Mu‟amalat al-Maliyah al-Mu‟ashirah fi Dhau‟ al-Fiqh wa al-Syari‟ah, Beirut:
Dar al-Nafa‟is, 1999, h. 23)
A. Bitcoin sebagai alat tukar yang tidak resmi itu ada unsur gharar:
Kalau kita telaah gharar yang terjadi dalam alat tukar bitcoin ini adalah
ketidakjelasan yang terjadi pada harga dan juga barang. Karena seharusnya agar
tidak terjadi gharar, maka baik harga ataupun barang baik bitcoin yang menjadi
harga beli ataupun bitcoin yang dijual itu memiliki nilai yang jelas dan
merefresentasikan aset sebagai alat tukar. Tetapi bitcoin yang tidak diakui sebagai
alat tukar tidak merefresentasikan sehingga tidak jelas dan tidak diakui oleh
masyarakat.
B. Jika jual-beli bitcoin itu masuk dalam kategori forex, jika memenuhi syarat
berikut:
– Jika terjadi transaksi antar sesama bitcoin maka harus tunai dan sama serta tidak
boleh ada kelebihan.
– Jika terjadi transaksi penukaran antara bitcoin dengan mata uang lain, maka
harus tunai. Dua ketentuan tersebut berdasarkan hadits dari Ubadah bin Shamait.
24
ح ِم ْثالً بِ ِم ْث ٍل َس َوا ًء
ِ ير َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َو ْال ِم ْل ُح بِ ْال ِم ْل
ِ ض ِة َو ْالبُرُّ بِ ْالبُ ِّر َوال َّش ِعي ُر بِال َّش ِع
َّ ِضةُ بِ ْالف
َّ ِب َو ْالف
ِ َال َّذهَبُ بِال َّذه
ت هَ ِذ ِه اَألصْ نَافُ فَبِيعُوا َك ْيفَ ِشْئتُ ْم ِإ َذا َكانَ يَدًا بِيَ ٍ]د ْ َاختَلَف
ْ بِ َس َوا ٍء يَدًا بِيَ ٍد فَِإ َذا
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda,
maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara
kontan (tunai).” (HR. Muslim).
Menurut fatwa DSN MUI Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh
dengan ketentuan sebagai berikut:
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus
sama dan secara tunai (attaqabudh).
4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang
berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Pada dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan
qiyas. Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci
25
tentunya ia akan memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan
demikian, ia pun dapat menerapakan kaidah islam secara benar.
3. Meningkatkan keimanan
4. Memperkuat ketaqwaan
Selain meningkatkan iman, mempelajari ushul fiqih juga memperkuat takwa. Kita
semakin mengetahui tentang dalil-dalil yang benar dan salah, mendalami tentang
hukum Allah Ta’ala. Dengan demikian, akan muncul rasa takut bila durhaka
kepada Allah. Hal ini bisa membuat ketaqwaan semakin meningkat.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Latar belakang munculnya isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus
modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara- Negara yang dihuni
oleh mayoritas umat islam. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam
bentuk perubahan baik secara struktural maupun kultural.
Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan
datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut
disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin
terungkapnya berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama
maupun dengan kehidupan alam sekitarnya.Kompleksitas masalah tersebut
tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama.
Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih
kontemporer tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai
ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman, terutama yang menyangkut dengan aspek
lahiriyah kehidupan manusia di dunia ini.
Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman dan
penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena
perubanhan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara
terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga
harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian islam akan tetap
relevan dan aktual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.
3.2 Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
http://fazarsodik.blogspot.co.id/2016/03/makalah-problematika-fiqih-
kontemporer.html
http://diyahhalimatusadiya.blogspot.co.id/2013/05/fiqh-kontemporer.html
https://muamalatku.com/halal-haram-hukum-bitcoin-dalam-islam/
iii