Anda di halaman 1dari 21

DASAR-DASAR TENTANG TASAWUF

DAN DALIL-DALILNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah: Ilmu Akhlak dan Tasawuf
Dosen Pengajar: Bapak Muhammad Riswan, Lc., MSI

Oleh Kelompok 6:

NOOR FATMA ZAHURA NIM: 2023180068


SRI HELMA HIDAYAH NIM: 2023180076

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ULUM KANDANGAN


PROGRAM STUDI HUKUM TATANEGARA
TAHUN 2024 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayah-Nya.
Penulis dapat menyelesaikan makalah ini pada progam studi Hukum Tatanegara
mata kuliah Ilmu Akhlak dan Tasawuf yang mana pada setiap makalah ditentukan
oleh dosen pengampu. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada :

1. Bapak Muhammad Riswan, Lc., MSI Dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Akhlak dan Tasawuf.
2. Rekan satu tim yang semangat dalam tugas menyelesaikan makalah ini.

Terakhir tidak ada yang lebih sempurna selain Allah SWT sang Pencipta
dan tidak ada seorang pun yang tidak luput dari kesalahan termasuk penulis. Saran
dan kritik yang membangun tentu sangat berguna bagi penulis untuk meraih hasil
Yang maksimal.

Kandangan, Maret 2024


Penulis,

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN. .............................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

1. Pengertian Tasawuf ............................................................................. 2


2. Sejarah Perkembangan Tasawuf ......................................................... 3
a. Masa Pembentukan ...................................................................... 4
b. Masa Pengambangan .................................................................... 4
c. Masa Konsolidasi ......................................................................... 5
d. Masa Falsafi ................................................................................. 6
e. Masa Pemurnian ........................................................................... 7
3. Dalil – dalil Al-Qur'an dan Hadits Dalam Tasawuf ............................ 8
a. Ayat Al-Qur'an dan Hadits dalam Tasawuf ................................. 8
b. Ayar Al-Qur'an Tentang Tasawuf secara Implisit ....................... 10
c. Hadits Tentang Tasawuf ............................................................... 12
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 15

A. Simpulan .............................................................................................. 15
B. Saran .................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan yang penuh dengan teknologi berkembang saat ini,


manusia semakin mengetahui sesuatu hal yang belum diketahui oleh para
pendahulunya melalui teknologi yang diciptakannya. Jika kita pikirkan sejenak,
terlintas di benak kita kekuasaan serta keagungan Tuhan yang Maha Esa dan
begitu kecil dan terbatasnya pengetahuan kita tentang ciptaan-Nya.
Atas dasar tersebut, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya harus mencintai
dan mengabdikan diri kepada Allah swt. Dengan kedua hal tersebut kita dapat
selalu berada didekatNya.
Tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara
bagaimana orang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Selain itu,
tasawuf dapat menjadikan agama lebih dihayati serta dijadikan sebagai suatu
kebutuhan bahkan suatu kenikmatan.
Dalam kesempatan kali ini, kami ingin membahas tentang pengertian
tasawuf, etimologi definisi dan komponen dasar berbagai istilah tentang asal
usul tasawuf beserta dalil - dalilnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan ilmu Tasawuf ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf ?
3. Dalil - dalil Al-qur’an dan hadits dalam tasawuf ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Ilmu Tasawuf.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tasawuf.
3. Untuk mengetahui Dalil - dalil Al-qur’an dan hadits dalam tasawuf.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Tasawuf

Secara etimologis, ilmu Tasawuf banyak diartikan oleh para ahli,


sebagian menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shuffah yang berarti
serambi masjid nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat anshar, ada pula
yang mengatakan berasal dari kata shaf yang berarti barisan, shafa yang berarti
bersih atau jernih dan shufanah yakni nama kayu yang bertahan di padang
pasir1.
Adapun tentang definisi tasawuf (sufi) yang dikemukakan oleh
sejumlah tokoh sufi, diantaranya adalah sebagai berikut:2
1. Bisyri bin Haris mengatakan bahwa Tasawuf adalah orang yang
suci hatinya menghadap Allah SWT.
2. Sahl at-Tustari : orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan
renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap
Allah, baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
3. Al-Junaid al-Baghdadi (Wafat 298 H): membersihkan hati dari sifat
yang menyamai binatang, menekan sifat basyariah (kemanusiaan),
menjauhi hawa nafsu, berpegang pada ilmu kebenaran dan
mengikuti syari’at Rasulullah Saw.
4. Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi: menjabarkan ajaran-ajaram
Al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi
perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat dan menghindari sifat
meringankan terhadap ibadah.
5. Abu Yazid al-Bustami: melepaskan diri dari perbuatan tercela,
menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mendekatkan diri
kepada Allah.
6. Ma’ruf al-Karkhi (Wafat 200 H): mengambil hakikat dan Tamak
1
Amin syukur, menggugat tasawuf:sufisme dan tanggung jawab social abad
21,Yogyakarta,2002, hal 8
2
Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf , Jakarta,2004, hal.28

2
3

dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk.


Jika menelaah beberapa pengertian diatas, pengertian tasawuf tampaknya
bermakna bervariasi, hal ini dikarenakan perilaku dan status spiritual (Maqam)
yang berbeda dan dominan dalam diri mereka, seperti tawakkal, cinta kasih dan
rambu-rambu spiritual yang menjadi pengantar ke hadirat Tuhan semesta alam.3
Al-Thusi (w. 378 H) melansir beberapa definisi tasawuf di dalam kitabnya
yang monumental al-Luma’, seolah-olah betapa sulitnya memberikan definisi
yang bersifat jami’ mani’.
Definisi bisa disarikan dalam karakteristik Sufi yang disebutkan oleh al-
Thusi. Beliau mengatakan bahwa sufi adalah orang alim yang mengenal Allah dan
hukum-hukum Allah, mengamalkan apa yang diajarkan, menghayati apa yang
diperintahkan, merasakan apa yang mereka hayati dan melebur dengan yang
mereka rasakan4.
Dari paparan al-Thusi diatas, dapat dirumuskan bahwa Tasawuf memuat
dan mengandung setidaknya lima unsur, yaitu Ilmu (Pengetahuan), Amal
(Pelaksanaan), Tahaqquq (Penghayatan), Wajd (Perasaan) dan Fana’
(Peleburan)5.

2. Sejarah Perkembangan tasawuf


Benih ilmu tasawuf bermula pada masa khalifah ketiga, yakni ketika
terjadi peristiwa tragis dalam pembunuhan Utsman Ibn Affan ra, hal ini
berimplikasi terjadinya kekacauan dan kerusakan terhadap sebagian kaum
muslimin, sehingga para sahabat dan pemuka agama Islam berfikir untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam dengan berikhtiar kembali ke masjid
(I’tikaf) dan mendengarkan kisah mengenai targhib dan tarhib, mengenai
keindahan hidup zuhud.6

3
Moenir Nahrowi Tohir, menjelajahi eksistensi tasawuf : Meniti Jalan Menuju
Tuhan,Jakarta,2012, hal 3.
4
Ibid, Hal 4.
5
Ibid, Hal 5.
6
Amin syukur, menggugat tasawuf:sufisme dan tanggung jawab social abad
21,Yogyakarta,2002, hal 18
4

Targhib dan tarhib adalah dua kata yang berasal dari bahasa Arab dan memiliki
arti yang berbeda.
Targhib: Kata targhib berasal dari kata kerja َ‫ب‬
َ ‫( َر ِغ‬raghiba), yang artinya
mengharapkan. Dalam konteks Islam, targhib adalah kepercayaan atau keinginan
yang diharapkan, seperti mengharapkan kedatangan bulan suci Ramadhan.
Tarhib: Kata tarhib berasal dari kata kerja ‫ِب‬ ََ ‫َر َّه‬
ََ ‫( َره‬rahiba) atau ‫ب‬
(rahhaba), yang berarti mempertakuti, mengintimidasi, atau mengancam. Dalam
konteks Islam, tarhib adalah ancaman yang diberikan kepada peserta didik atau
umat Islam ketika mereka melakukan suatu tindakan yang menyalahi aturan.
Dalam sejarah perkembangannya, terdapat masa atau tahapan yang terjadi
terhadap ilmu Tasawuf, beberapa masa tersebut adalah masa pembentukan,
pengembangan, konsolidasi, falsafi dan masa pemurnian7. Berikut adalah
penjelasan tiap-tiap perkembangan ilmu Tasawuf:
a. Masa Pembentukan
Masa ini terjadi dalam abad I dan II hijriah, Hasan Basri dan Rabiah
Adawiyah muncul dengan ajaran khauf dan cinta, yakni mempertebal takut atau
taqwa kepada Tuhan, penyucian hubungan manusia dengan tuhan, selain itu
muncul gerakan pembaharuan hidup kerohanian dikalangan kaum muslimin.
Dalam ajaran-ajaran yang dikemukakan, dianjurkan mengurangi makan (Ju’),
menjauh dari keramaian duniawi (Zuhud), mencela dunia (Dzammu al dunya)8.
Selanjutnya pada abad II Hijriah, tasawuf tidak banyak berbeda dengan
sebelumnya, meskipun penyebabnya berbeda. Penyebab pada abad ini terjadi
karena formalism dalam melakukan syariat agama (lebih bercorak fiqh) yang
menyebabkan sebagian orang tidak puas dengan kehidupannya. Sehingga
sebagian orang ada yang lari kepada istilah-istilah yang pelik mengenai
kebersihan jiwa (thaharatun nafs), kemurnian hati (naqyu al-qalb), hidup ikhlas,
menolak pemberian orang, bekerja mandiri dan berdiam diri.
b. Masa Pengembangan
Pada abad III dan IV, tasawuf sudah bercorak kefana’an (ekstase) yang

7
Amin Syukur & Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Yogyakarta,2002. Hal 17.
8
Ibid, Hal 19.
5

menjurus ke persatuan hamba dengan Khalik. Orang sudah ramai membahas


tentang lenyap dalam kecintaan (fana’fi al-Mahbub), bersatu dengan kecintaan
(ittihad bi al-Mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-Mahbub), menyaksikan
Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya
(‘ain al-jama’) seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bushtham (261 H),
seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’ (lebur
atau hancurnya perasaan) sehingga dia dianggap sebagai peletak batu pertama
dalam aliran ini.
Menurut Al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat
kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut). Tuhan menciptakan manusia
dalam “copi”-Nya9. Landasan pemikirannya didasarkan kepada surat Shad ayat
72, yaitu:

َ          

Artinya: Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan


kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadaNya".
Al-Hallaj, atau lebih dikenal sebagai al-Husayn ibn Mansur al-Hallaj,
adalah seorang tokoh kontroversial dalam sejarah Islam, terutama dalam bidang
mistisisme. Berikut ini ringkasan biografi singkatnya:
Kehidupan Awal:
Al-Hallaj lahir sekitar tahun 858 Masehi di kota Tur, yang sekarang
merupakan bagian dari Iran. Dia belajar agama Islam dan ilmu-ilmu keagamaan di
kota asalnya serta di kota-kota lain di wilayah Persia.
Pencarian Spiritual:
Al-Hallaj memulai perjalanan spiritualnya dengan belajar di bawah
bimbingan berbagai guru sufi terkenal pada masanya. Dia menelusuri jalan mistik
dan mencapai tingkat kesadaran spiritual yang tinggi.
Perjalanan dan Pengajaran:

9
Ibid, Hal 23.
6

Al-Hallaj melakukan perjalanan ke berbagai wilayah Islam, menyebarkan


ajaran-ajarannya tentang cinta dan kecintaan kepada Tuhan. Dia dikenal karena
penggunaan bahasa simbolis dan metafora dalam karya-karyanya untuk
menyampaikan konsep - konsep mistik.
Kontroversi dan Penganiayaan:
Ajaran-ajaran dan tindakan-tindakan al-Hallaj sering kali dianggap
kontroversial oleh ulama konservatif pada zamannya. Dia dikecam karena dituduh
melakukan kesyirikan dan mengklaim kesatuan dengan Tuhan, khususnya karena
pernyataannya yang terkenal "Ana al-Haqq" (Aku adalah Kebenaran). Akibat
tuduhan tersebut, dia ditangkap, diadili, dan pada tahun 922 Masehi, dia dihukum
mati dengan cara disalib dan kemudian dipenggal di kota Baghdad.
Warisan:
Meskipun dia dihukum mati, al-Hallaj tetap menjadi tokoh penting dalam
sejarah Islam, terutama dalam pengembangan mistisisme Islam (tasawuf). Karya-
karyanya, meskipun kontroversial, menjadi bahan telaah dan refleksi bagi banyak
pemikir, sufi, dan filosof Islam setelahnya.
Al-Hallaj dikenal akan pengabdian dan keberaniannya dalam menyuarakan
pemahaman spiritualnya, bahkan dalam menghadapi penindasan dan penolakan
dari penguasa dan otoritas keagamaan pada zamannya. Al-Hallaj tetap menjadi
tokoh yang memicu perdebatan dan kontroversi dalam dunia Islam, dengan
sebagian orang menganggapnya sebagai martir dan mistikus yang agung,
sementara yang lain menganggapnya sebagai tokoh yang terlalu ekstrem atau
bahkan menyimpang dari ajaran Islam.
Unsur jasmani dari materi, sedang unsur ruhaninya berasal dari roh Tuhan,
percampuran antara roh manusia dengan Tuhan diumpamakan oleh al-Hallaj
bagaikan bercampurnya air dengan khamer, jika ada sesuatu yang menyentuh-
Nya, maka menyentuh aku. Namun sejauh itu, dia tidak mengakui adanya
peleburan dua hakikat, manusia dan Tuhan, akan tetapi keduanya masih
mempunyai jarak10.
Pada akhir abad ke III orang berlomba-lomba menyatakan dan mempertajam

10
Ibid, Hal 24
7

pemikirannya tentang kesatuan penyaksian (Wahdat al-Syuhud), kesatuan


kejadian (wahdat al-Wujud) kesatuan agama-agama (Wahdat al-Adyan),
berhubungan dengan Tuhan (ittishal), keindahan dan kesempurnaan Tuhan
(Jamal dan Kamal), manusia sempurna (insan kamil), yang kesemuanya itu tak
mungkin dicapai oleh para sufi kecuali dengan latihan yang teratur (riyadhah).
c. Masa Konsolidasi
Pada abad V Hijriah, diadakan konsolidasi antara kedua aliran pada masa
sebelumnya, hal ini ditandai dengan aanya kompetisi antar keduanya, yang
kemudian dimenangkan tasawuf sunni dan menenggelamkan tasawuf falsafi.
Dengan adanya kompetisi tersebut, pada masa ini tasawuf dinilai mengadakan
pembaharuan , yakni periode yang ditandai dengan pemantapan dan pengembalian
tasawuf ke dalam landasan al-Qur’an dan al-Hadits. Tokoh-tokoh pada masa ini
adalah ialah al-Qusyairi (376-465 H), Al-Harawi (396 H), dan al-Ghazali (450-
505 H).
al-Qusyairi (376-465 H) terkenal sebagai pembela teologi Ahlussunnah wal
Jama’ah, beliau mampu mengompromikan antara syariah dan hakikah
berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Beliau menekankan bahwa kesehatan batin
dengan berpegang teguh pada keduanya lebih penting daripada pakaian
lahiriah11.
Al-Harawi (396 H), sikapnya tegas dan tandas terhadap tasawuf, beliau
menganggap orang yang suka mengeluarkan syathahat, hatinya tidak bisa
tenteram atau dengan kata lain, syathahat itu muncul dari ketidaktenangan. Sebab
apabila ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, akan membuat seseorang
terhindar dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.
Al-Ghazali (450-505 H), memilih Tasawuf Sunni berdasarkan doktrin
Ahlussunnah wal Jama’ah, corak tasawufnya bersifat psiko-moral yang
mengutamakan pendidikan moral. Beliau menilai negative terhadap syathahat,
karena dua kelemahan yang dimilikinya, yaitu kurang memperhatikan kepada
amal lahiriah serta keganjilan makna yang tidak dipahami maknanya.
d. Masa Falsafi

11
Ibid, Hal 26.
8

Pada abad IV Hijriah, muncullah tasawuf falsafi atau tasawuf yang


bercampur dengan ajaran filsafat, yang dikompromikan dengan pemakaian term-
term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi
mempunyai empat obyek utama, dan menurut Abu al-Wafa bisa dijadikan
karakter sufi falsafi, yaitu :
a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi serta introspeksi yang timbul
darinya,
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib,
c. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluar biasaan,
d. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syathahiyat).
Selanjutnya, pada abad VI dan VII hijriah, muncul cikal bakal orde (tarekat)
sufi kenamaan, seperti tarekat Qadariyah, Suhrawardiyah, Rifa’iyah,
Syadziliyah, Badawiyah dan tarekat Naqsyabandiyah.
e. Masa Pemurnian
Pada masa ini, pengaruh dan praktek-praktek Tasawuf kian tersebar luas
melalui thariqah-thariqah, dan para sulthan serta pangeran tak segan-segan pula
mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi mereka.
Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan kian jelas, penyelewengan dan
sekandal melanda dan mengancam kehancuran reputasi baiknya dengan
ditandainya munculnya bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at dan hukum-hukum
moral dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, berbentangkan diri dari
dukungan awam untuk menghindarkan diri dari rasionalitas, dengan menampilkan
amalan yang irrasional. Azimat dan ramalan serta kekuatan ghaib ditonjolkan12.
Sehingga muncul Ibn Taimiyah untuk menyerang semua itu, dengan
mengembalikan ajaran tasawuf berlandaskan alQur’an dan Al-Hadits.
Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, seperti kepercayaan kepada wali,
khurafat dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya. Menurut Ibn Taimiyah yang

12
Ibid, Hal 31.
9

disebut wali (kekasih Allah) ialah orang yang berperilaku baik (shaleh), konsisten
dengan syari’ah Islamiyah. Sebutan yang tepat untuk diberikan kepada orang
tersebut ialah Muttaqin, allah berfirman dalam surat Yunus : 62-63.

             

 

Artinya: Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran


terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

Ibn Taimiyah mengkritik terhadap ajaran Ittihad, Hulul, dan Wahdat al-
Wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran (atheisme), meskipun keluar dari
orang-orang yang terkenal ‘arif (orang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat),
ahli tahqiq (ahli hakikat) dan ahli tauhid (yang mengesakan Tuhan). Pendapat
tersebut layak keluar dari mulut orang Yahudi dan Nasrani. Mengikuti pendapat
tersebut hukumnya sama dengan yang menyatakan, yakni kufur. Yang
mengikutinya karena kebodohan, masih dianggap beriman13.

3. Dalil - dalil Al-qur’an dan hadits dalam tasawuf.


a. Ayat Al-Qur’an tentang tasawuf secara Eksplisit

Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa.
Konsep makna ini bersifat denotatif (sebenarnya) sebagai representasi dari
bahasa kognitif. Eksplisit : Makna/maksud diajukan secara langsung dan jelas.
Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu
pada emosi. Dalam Q.S. Al-Maidah ayat : 54
‫َ َ ذ‬ ُ َ ُ‫ذ‬ ۡ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َ ‫َ َ ُّ َ ذ‬
‫ح ُّبون ُهۥ أذِل ٍة‬
ِ ‫ّلل بِق ۡو ٖم ُي ُِّب ُه ۡم َو ُي‬ ‫ام ُنوا َمن يَ ۡرت ذد مِنك ۡم عن دِينِهِۦ ف َس ۡوف يَأ ِِت ٱ‬ َٰٓ
‫يأيها ٱَّلِين ء‬

‫َ َ َ ۡ ُ ذ‬ َ َ َ َ ُ ََ َ ‫ذ‬ َ ُ َٰ َ ُ َ َٰ َ ۡ َ َ ‫َ َ ۡ ُ ۡ َ َ ذ‬
ِ‫يل ٱّلل ِ َوَل َيافون ل ۡو َمة َلئ ِ ٖ ٖۚم ذَٰل ِك فضل ٱّلل‬
ِ ِ ‫ب‬ َ ‫ون ِف‬
‫س‬ ِ ‫لَع ٱلمؤ ِمن ِي أعِز ٍة لَع ٱلكفِ ِرين يج ِهد‬

13
Ibid, Hal 32.
10

ُ ‫يُ ۡؤتِيهِ َمن ي َ َشا ُء َوٱ ذ‬


ٌ ‫ّلل َوَٰس ٌِع َعل‬
‫ِيم‬ ُۚ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-
orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha
Mengetahui.

Berdasarkan dasar Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit, di atas memiliki


ciri-ciri yaitu :

1. Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.


2. Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas
terhadap orang-orang kafir.Sifat ini merupakan hasil kecintaan kepada Allah.
Seorang yang cinta kepada Allah akan menjadi seorang yang arif bijaksana
yang akan selalu gembira dan senyum, bersikap lemah lembut karena jiwanya
dipenuhi oleh sifat Allah yang paling dominan yaitu rahmat dan kasih sayang.
Inilah yang menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikannya
bersikap toleran terhadap kesalahannya, lemah lembut dalam sikap dan
perilakunya termasuk ketika menegur atau menasehatinya. Sikap ini yang
mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga memenuhi
kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Sedang sikap tegas kepada
orang-orang kafir, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksakan
mereka memeluk islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka
melaksanakan tuntutan agama dan kepercayaan mereka tetapi bersikap tegas,
terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran
agama dan kaum muslimin.14

14
Fhonna. Natasya. Dasar-dasar Al Qur‟an dan Hadits tentang Tasawuf danPerilaku
Rasulullah dan Para Sahabat dalam Kajian Tasawuf. Bandung 2021, Hal. 89
11

3. Mereka berjihad di jalan Allah. Jihad disini tidak terbatas dalam bentuk
mengangkat senjata, tetapi termasuk upaya-upaya membela islam dan
memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan
ajaran islam dan menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya lebih-lebih
yang memburukannya.
4. Tidak takut kepada celaan pencela . Mereka tidak takut dicela bahwa mereka
tidak toleran misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang
memusuhi islam tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika
menegakkan ukhwah islamiyah. Bahwa kemungkinan manusia dapat saling
mencintai (mahabbah) dengan Tuhan.
Para ahli sufi menafsirkannya bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai
Allah dan mereka juga mencintai Allah,sebagaimana yang tercantum di dalam
Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai Allah.Cinta Allah kepada hamba-Nya dipahami para
mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya.Cinta Allah dan
karunianya tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat,
tetapi yang jelas adalah cinta kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan
menuju Allah, sehingga semua peringkat (maqam) dapat mengalami kehancuran
kecuali cinta.Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju
Allah tetap ditelusuri.
b. Ayat Al-Qur’an Tentang Tasawuf Secara Implisit.
Makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh
bahasa.Konsep makna ini bersifat konotatif (kias) sebagai representasi dari bahasa
emotif. Implisit : makna/maksud diajukan tidak secara langsung dan sembunyi-
sembunyi. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan tasawuf secara
inplisit dapat dilihat dari tingkatan (maqam) dan keadaan (ahwal) para sufi yaitu :
Tingkatan Zuhud yakni tercantum dalam surah An-Nisaa’ ayat 77 yaitu :
ُ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ُ ‫َ َ ۡ َ َ َ ذ َ َ َ ُ ۡ ُ ُّ ْ َ ۡ َ ُ ۡ َ َ ُ ْ ذ َ َٰ َ َ َ ُ ْ ذ َ َٰ َ َ َ ذ‬
‫ألم تر إَِل ٱَّلِين قِيل لهم كفوا أيدِيكم وأقِيموا ٱلصلوة وءاتوا ٱلزكوة فلما كتِب عليهِم ٱلقِتال‬
12

َ َ َ ۡ َ َ َ ََۡ َ َ‫ ُۡ ۡ َۡ َ ۡ َ ذ َ َ َ ۡ َ ذ َۡ َ َ ذ َ ۡ َ ََ ُ ْ َذ‬ٞ َ َ
‫ت عل ۡي َنا ٱلقِ َتال ل ۡوَل‬‫إِذا ف ِريق مِنهم َيشون ٱنلاس كخشيةِ ٱّلل ِ أو أشد خشية ُۚ وقالوا ربنا ل ِم كتب‬
‫ َ ذَ َ ُۡ َ َ َ ا‬َٞۡ َُ ٞ َ َ ۡ ُّ ُ َٰ َ َ ۡ ُ َ َ َ َٰٓ َ َ َ ۡ ‫َ ذ‬
‫ق َوَل تظل ُمون فتِيًل‬
َٰ ‫ِيل َوٱٓأۡلخِرة خۡي ل ِم ِن ٱت‬ ‫ب قل متع ٱدلنيا قل‬ ٖۗ ٖ ِ ‫أخرتنا إَِل أج ٖل ق‬
‫ي‬ ‫ر‬

Artinya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka:


"Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah
zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari
mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya
kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan
kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak
Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada
beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan
dianiaya sedikitpun.
Tingkatan Tawakkal yaitu dalam surah At-Thalak ayat 3 yaitu:
ُ ‫ّلل َبَٰل ُِغ أَ ۡمره ِۦ قَ ۡد َج َع َل ٱ ذ‬
‫ّلل‬ َ ‫ح ۡس ُب ُه ُۚۥ إ ذن ٱ ذ‬ ََ ۡ‫ََۡ ُُۡ ۡ َ ۡ ُ َ ََۡ ُ َ َ َََذ‬
َ ‫لَع ٱ ذّلل ِ َف ُه َو‬ ‫ِب ومن يتوَّك‬
ُۚ ِ ِ ُۚ ‫ويرزقه مِن حيث َل ُيتس‬
َ ۡ َ ُ
‫َشءٖ ق ۡدرا‬ ‫ِك‬
ِ ‫ل‬
Artinya: Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-
tiap sesuatu.
Tingkatan Syukur dalam Q.S. Ibrahim ayat 7 yaitu:
ٞ ََ َ َ ‫ََ ُ ذ‬ َ ُ ‫ۡ َ َ ذ َ َ ُّ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ذ‬
‫يدنك ۡمۖۡ َولئِن كف ۡرت ۡم إِن عذ ِاِب لشدِيد‬ِ‫ِإَوذ تأذن ربكم لئِن شكرتم َلز‬
Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Tingkat Sabar berlandaskan Q.S. Al-Baqarah ayat 155 yaitu:
13

‫ذ‬
َ ‫لصَِٰب‬ َ ‫نفس َوٱثلذ َم َرَٰت َوب‬ُ َ ۡ َ َٰ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َ ِ ُۡ َ ۡ َۡ َ ُ ‫َ ََۡ َُذ‬
ۡ َ ِ ‫كم ب‬
‫ين‬ِِ ‫ّش ٱ‬
ِ ِ ٖۗ ِ ِ ‫َل‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫ل‬
ِ ‫و‬ ‫م‬ ‫َل‬‫ٱ‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ص‬ٖ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫وع‬‫ۡل‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫ف‬
ِ ‫و‬‫ۡل‬ ‫ٱ‬ ‫ِن‬
‫م‬ ٖ ‫ء‬‫َش‬ ‫ونلبلون‬

Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Tingkatan Ridha berdasarkan Q.S. Al-Bayinah ayat 8 yaitu:
ۡ َ ُ ‫َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َٰ ُ َ َٰ َ َ َ َ ذ ِ َ ذ‬ َۡ َ ُ َٰ ‫َ َ ۡ َ ذ‬ ُُ
‫ّلل عن ُه ۡم‬ ‫ت ع ۡد ٖن َت ِري مِن َتتِها ٱَلنهر خ ِِلِين فِيها أبداۖۡ رِض ٱ‬ ‫َج َزاؤه ۡم عِند رب ِ ِهم جن‬

َ ۡ َ َ َٰ َ ُ ۡ َ ْ ُ َ َ
‫َش َر ذب ُهۥ‬
َ ِ ‫خ‬ ‫ورضوا عن ُۚه ذل ِك ل ِمن‬

Artinya: Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah
ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu
adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.

c. Hadist Tentang Tasawuf


Dalam hadis juga banyak dijumpai keterangan-keterangan yang berbicara
tentang kehidupan rohaniah manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Artinya :”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-


masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan.
Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang
hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka
hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”.(H.R. Al-
Bukhari).

Niat adalah tolak ukur suatu amalan diterima atau tidaknya tergantung niat
dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat. Niat
adalah perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa naik ke
derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan karena
14

niatnya.

Sebaliknya, barang siapa yang berhijrah dengan niat untuk mendapatkan


keuntungan duniawi, maka dia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan jika
ke arah maksiat, ia akan mendapatkan dosa. Niat secara istilah adalah keinginan
seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di hati bukan di lisan.15
Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu berkata, Rasulullah shallallahu „slaihi


wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta‟ala berfirman, „Barangsiapa yang
menyakiti waliku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku
mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain apa yang Aku
wajibkan baginya. Hamba-Ku senantiasa mendekat diri kepada-Ku dengan amalan
sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku, pasti aku beri. Jika dia meminta
perlindungan kepada-Ku pasti aku lindungi.‟” (HR. Bukhari)

Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu


meninggalkan syahwat dan tenggelam dalam ketaatan,sehingga ia hanya
menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai
taufik dan hidayah Allah SWT.
Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-
Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunah. Oleh karena itu, selama
seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunah hingga
sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu

15
Ibid, Hal. 90
15

tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah
berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi
orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai
kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma’rifat, dengan melakukan
perbuatan fardhu tercapailah qurbah (dekat dengan Allah) dan dengan selalu
melaksanakan perbuatan sunah tercapailah mahabbah Allah.16
Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang
menggambarkan bahwa beliau adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan
diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup
kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah
tenggelam didalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan prinsip
menghalalkan segala cara.

16
Utami. Fajria Anindia, Dalil Tasawuf Agar Dekat dengan Allah SWT. Jakarta. 2020, hal. 56
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Qur’an merupakan dasar-dasar para sufi dalam bertasawuf kedudukannya


sebagai ilmu tentang tingkatan (maqam) dan keadaan (ahwal). Selain itu Al-
Qur’an dan Hadis juga merupakan landasan dalam tasawuf sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira yakni tafakkur, beribadah, dan
hidup sebagai seorang zahid, Beliau hidup sangat sederhana, terkadang
mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal, dan
senantiasa beribadah kepada Allah SWT.

Di kalangan para sahabat juga banyak yang mempraktekkan tasawuf


sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menjadi
seorang sufi kita harus bisa meninggalkan segala yang menyangkut dengan sifat
kebendaan dan senantiasa bertaubat serta mendekatkan diri kepada-Nya untuk
mencapai ridha Allah SWT.
Hidup kerohanian dalam Islam dimulai dari peri kehidupan Nabi Besar
Muhammad saw. dan sahabat-sahabatnya yang utama dan terdapat pula dalam
kehidupan para Nabi-Nabi yang terdahulu. Sebelum Nabi Muhammad
menghadapi pekerjaan besar yang akan menggemparkan dunia itu, lebih dahulu
beliau telah melatih dirinya dalam hidup kerohanian. Demikian juga dalam
kehidupan Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan beberapa sahabat-sahabat lainnya.
Rasulullah dan para sahabatnya, di samping berjuang di medan perang karena
menegakkan agama Allah, mereka juga berjuang meningkatkan rohaniah, hidup
zuhud, tidak mementingkan kemewahan dunia, pangkat kebesaran dan
kemasyhuran diri.

B. Saran
Penyusun mengakui makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu
kami mengharapkan keritik dan saran yang dapat membangun dari dosen

16
17

pengampu dan rekan-rekan supaya kami bisa lebih baik lagi, dan untuk
menambah pengetahuan kami tentunya.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbi. Muhammad. 2020. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Trust Media.

Permadi, 2004. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta : PT.RINEKA CIPTA, (anggota


IKAPI).

Syukur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf:sufisme dan tanggung jawab sosial


abad 21.Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR

Syukur, Amin; dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf, Studi


Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR
(anggota IKAPI).

Tohir, Moenir Nahrowi. 2012. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Meniti Jalan


Menuju Tuhan. Jakarta : PT. As-Salam Sejahtera.

Tuasikal. Muhammad Abduh. 2020. Menjadi Wali Allah dengan Amalan Wajib
danSunnah. Diakses pada 19 Juni 2022.

Anda mungkin juga menyukai