Anda di halaman 1dari 10

AL-FANA, AL-BAQA’ DAN ITTIHAD

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Pada Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen: M. Agus Mushodiq, M.Pd

Di Susun Oleh :

1. Khayatul Mukaromah 171210037


2. Fitriani 171210025
Program Studi : Pendidikan Agama Islam

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU
METRO LAMPUNG
1440 H/ 2018 M

i
ABSTRAK

Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang lebih banyak berbicara persoalan-


persoalan batin, kondisi-kondisi rohani dan hal-hal lain yang bersifat esoteris.
Pengalaman-pengalaman yang dibentuk melalui proses imprementasi ajaran sufi
bersifat mistis dan hampir selalu mengarah kedalam, yang sangat pribadi dan sulit
dikomunikasikan kepada orang lain. Pada makalah ini kita akan mengkaji al-fana,
al-baqa, dan Al-Ittihad dari segi pengertian dan hubungannya. Kemudian akan
dilanjutkan dengan tingkatan-tingkatan Al-fana, serta Al-fana, Al-baqa, dan Al-
Ittihad dalam pandangan Al-Qur’an.
Dari uraian pada makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: Fana
adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan
perbuatan maksiat dari diri manusia. Dan baqa adalah kekalnya sifat-sifat
keTuhanan akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan
maksiat. Tujuan fana dan baqa yaitu mencapai persatuan secara rohaniah dan
batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Dalam pandangan Al-Qur’an al-Fana, al-Baqa, dan Ittihad adalah Allah SWT
telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara
rohaniah atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh, dan
beribadat semata-mata karena Allah SWT menghilangkan sifat-sifat dan akhlak
yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan
maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemuanya
ini mencakup dalam konsep fana dan baqa.

Kata Kunci: Al-Fana, Al-Baqa’, Ittihad

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan disiplin ilmu yang lebih banyak berbicara
persoalan-persoalan batin, kondisi-kondisi rohani dan hal-hal lain yang
bersifat esoteris. Pengalaman-pengalaman yang dibentuk melalui proses
imprementasi ajaran sufi bersifat mistis dan hampir selalu mengarah
kedalam, yang sangat pribadi dan sulit dikomunikasikan kepada orang
lain.
Karena kecenderungan mereka dalam mengungkapkan dunianya
yang lebih mengarah kepada hal-hal mistis, maka persan-pesan Al-Qur’an
dan hadist oleh mereka tidak difahami dari sudut makna lahiriah
tekstualnya, tetapi dari sisi tafsir batiniah dan diungkapkan dalam kata-
kata kiasan dan pelambang seperti fana’, baqa’, dan Ittihad. Sehingga

1
pada gilirannya mengalami benturan pemahaman yang tidak jarang
melahirkan cash sosial dan politik dengan kelompok syar’I yang memang
lebih banyak menekankan pemahaman keagamaan dari aspek bentuk
makna lahiriah tekstual nash.
Pada makalah ini kita akan mengkaji al-fana, al-baqa, dan Al-
Ittihad dari segi pengertian dan hubungannya. Kemudian akan dilanjutkan
dengan tingkatan-tingkatan Al-fana, serta Al-fana, Al-baqa, dan Al-Ittihad
dalam pandangan Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad?
2. Apa tujuan dari Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad dan kedudukanya?
3. Siapa tokoh yang mengembangkan Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad?
4. Bagaimana pandangan Al Quran terhadap Al-Fana, Al-Baqa, dan
Ittihad?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad
2. Mengetahui dari Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad dan kedudukanya
3. Menetahui Siapa tokoh yang mengembangkan Al-Fana, Al-Baqa, dan
Ittihad
4. Mengetahui pandangan Al Quran terhadap Al-Fana, Al-Baqa, dan
Ittihad

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Al-Fana, Al-Baqa Dan Ittihad
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana
(Kebersatuan Hamba-Tuhan) artinya tidak tampaknya sesuatu, meninggal
dan musnah.1 Dalam hubungan ini Ibnu Sina ketika membedakan antara
benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat
alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar
1
Ansori, M. Afif. 2004. Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta, hlm. 143

2
permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada
bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana.2
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya
kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim
digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya
sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula
berarti hilangnya sifat-sifat tercela.
Mustafa Zuhri juga mengatakan bahwa fana adalah lenyapnya
inderawi dan kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka
pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat
ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam
wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam
makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk
(maksiat) lahir batin.
Lebih jauh Abu Bakar al-Kalabadzi memaparkan pengertian al-
fana yaitu hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada
pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala
perasaannya dan tidak dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia
telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu. Dia telah
luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada suatu yang
menyebabkan dia luruh.
Selaras dengan yang dijelaskan al-Kalabadzi, al-Junayd juga
menjelaskan bahwa yang di sebut dengan al-fana dalam ilmu tasawuf
yaitu hilangnya daya kesadaran qalbu (hati) dari hal-hal yang di lihatnya.
Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat
itu dan berangsung terus silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari
dan dirasakan oleh indera.3
Sebagai akibat dari fana adalah baqa.Secara harfiah baqa berarti
kekal, hidup selamanya.Sedang menurut para sufi, baqa adalah kekalnya
2
Nata, Abuddin. 2008. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 231
3
http://KULIAHSEMESTER1-AKHLAKTASAWUF\Akhlaq-Tasawuf\Lovina13r
makalahakhlaktasawuf-al fanaalbaqa.html

3
sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, term tersebut
biasanya digunakan dengan preposisi fana’an, yang artinya kosong dari
segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu. Sedangkan
baqa’ bi, berarti diisi dengan sesuatu.
Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal
adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf , fana dan baqa datang
beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh ahli tasawuf:

‫ادا اشرق نورالبقاء فيفىن من مل يكن ويبق من مل يزل‬


“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan
baqalah yang kekal.”
Dalam pengalaman para sufi, fana selalu diiringi dengan baqa
dimana keduanya ini merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan.
Untuk mencapai tahap fana seorang sufi harus melalui berbagai
tahap yaitu sebagai berikut :
1. Kefanaan dari diri sendiri dan sifat-sifatnya, dan kekalan dalam sifat-
sifat yang Maha Benar.
2. Kefanaan dari sifat-sifat yang Maha Benar karena melihat yang Maha
Benar.
3. Kefanaan dari penyaksian terhadap kefanaannya sendiri dalam
mempergunakan terhadap wujud yang Maha Benar.4
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang dinamakan fana
adalah lenyapnya sifat–sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan
dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah
kekekalan sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan
dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu
dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan
menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.5

4
http://KULIAHSEMESTER1-Akhlaq_Tasawuf\FANADANBAQA_GUDANG
MAKALAH.html
5
http://khairajember.blogspot.com/2013/04/fana-dan-baqa-dan-ittihad.html

4
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran
diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran
tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut al-Qusyairi, fana yang
dimaksud adalah:

‫فن اءه عن نفس ه وعن اخلل ق ب زوال احس ا س ه بنفس ه وهبم فنفس ه موج ودة‬
‫واخللق موجود ولكن العلم له هبم والبه‬
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu.
Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi
ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana al-nafs, yaitu kalau
wujud jasmaniah tidak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka
yang akan tinggal ialah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu
dengan Tuhan secara rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannya
persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana
al-nafs. Tak ubahnya dengan fana yang terjadi ketika hilangnya kejahilan,
maksiat dan kelakuan buruk di atas. Dengan hancurnya hal-hal ini yang
langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju
dengan fana dan baqa ialah mencapai persatuan secara rohaniah dan
batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam
dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang
demikian tidak terjadi terus-menerus dan juga karena dilimpahkan oleh
Tuhan. Fana merupakan keadaan di mana seseorang hanya menyadari
kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat,
jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad,
yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari
fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan

5
dengan pendapat Mustafa Zuhri yang mengatakan bahwa fana dan baqa
tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran
ittihad sebagai salah satu metode tasawuf yang dikatakan oleh al-Baidawi,
yang dilihat hanya satu wujud sesungguhpun sebenarnya yang ada dua
wujud yang berpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan
hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan
antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan).6
Ittihad dalam pengertian lain yaitu pengalaman batin akan kesatuan
seorang sufi. Seorang sufi akan mabuk dalam kenikmatan bersatu dengan
Allah. Dalam keadaan seperti ini tidak jarang muncul ucapan-ucapan
yang sebagian orang dianggap aneh seperti kata-kata; Ana Al-Haq=(Aku
adalah Al-Haq), Aku adalah Yang Satu. Kata-kata ini terlontar hanya
seketika, karena merasa begitu menyatunya dengan Yang Haq yaitu Allah
SWT.7
Dalam situasi ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai
dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka
dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”. Dalam teks
Arabnya kata-kata tersebut berbunyi:

‫فيقول الواحد لالخر يا انا‬


Maka yang satu dengan yang lainnya mengatakan “aku”
Dengan demikian jika seorang sufi mengatakan misalnya mahasuci
aku, maka yang dimaksud aku disitu bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang
telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan, melalui fana dan baqa.

B. Tokoh Yang Mengembangkan Fana


1. Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M/) adalah sufi yang pertama kali
memperkenalkan paham fana dan baqa. Nama kecilnya Thaifur.Ketika

6
http://mohammadsyahidramdhani24.blogspot.com/2012/11/al-fana-al-baqa-ittihad-al-
hulul-dan.html
7
Team Guru Bina Pai Madrasah Aliyah CV Akik Pustaka

6
Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulut beliau
keluar kata-kata yang ganjil. Diantara ucapan ganjil tersebut,
misalnya: “Tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat
sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.”
Selanjutnya Abu Yazid mengatakan,

‫الاله االانافعبدين‬
“Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”
Kata-kata yang keluar dari mulut Abu Yazid bukanlah kata-
katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan
dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan.8
Dengan fana’, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi
kehadirat Tuhan.Ke-fana’annya itu didapatkan oleh Abu Yazid
dengan latihan-latihan yang berat.9
2. Al-Junayd al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junayd bin
Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi. Dia adalah putera seorang
pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta
teman akrab Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun
297 H/910 M. Dia termasuk seorang tokoh sufi yang luar biasa, teguh
dalam menjalankan sari’at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya.
Dia adalah seorang yang sangat faqih (pengajar atau pemberi nasehat,
saran atau pun ilmu), sering memberi fatwa sesuai mashab yang
dianutnya, mashab Abu Sauri: serta teman akrab Imam al-Shafi’i.

C. Fana, Baqa Dan Ittihad Dalam Pandangan Al-Quran


Paham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu
dipandang oleh sufi sejalan dengan konsep liqa’ al-rabbi menemui

8
http://KULIAHSEMESTER1-Akhlaq_Tasawuf\FANADANBAQA_GUDANG
MAKALAH.html
9
Fu’adi,Imam.2004.Menuju Kehidupan Sufi.Jakarta Pusat:PT Bina Ilmu, hlm. 122

7
Tuhan. Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya:
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya,
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada-Nya”. (QS. Al-
Kahfi, 18:110)
Arti dari ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah
memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara
rohaniah atau batiniah, dengan cara beramal saleh, dan beribadat semata-
mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk,
menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan dosa dan
maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, dalam
sebuah ayat berbunyi:
         
 
Semua yang ada di dunia ini akan binasa. Yang tetap kekal Dzat
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS.al-Rahman,
55:26-27).

III. KESIMPULAN
Dari uraian pada makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: Fana
adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan
perbuatan maksiat dari diri manusia. Dan baqa adalah kekalnya sifat-sifat
keTuhanan akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa
dan maksiat.
Tujuan fana dan baqa yaitu mencapai persatuan secara rohaniah dan
batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam
dirinya.
Dalam pandangan Al-Qur’an al-Fana, al-Baqa, dan Ittihad adalah Allah
SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan
secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh,

8
dan beribadat semata-mata karena Allah SWT menghilangkan sifat-sifat dan
akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia,
meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-
sifat Allah, yang kesemuanya ini mencakup dalam konsep fana dan baqa.

IV. DAFTAR PUSTAKA


Ansori, M. Afif. 2004. Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, Yogyakarta

Fu’adi,Imam. 2004. Menuju Kehidupan Sufi. Jakarta Pusat: PT Bina Ilmu

Nata, Abuddin. 2008. AKHLAK TASAWUF. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, hlm. 231

TEAM GURU BINA PAI MADRASAH ALIYAH CV AKIK PUSTAKA

http://KULIAHSEMESTER1-AKHLAKTASAWUF\Akhlaq-
Tasawuf\Lovina13rmakalahakhlaktasawuf-al fanaalbaqa.html

http://KULIAHSEMESTER1-
Akhlaq_Tasawuf\FANADANBAQA_GUDANGMAKALAH.html

http://khairajember.blogspot.com/2013/04/fana-dan-baqa-dan-ittihad.html

http://mohammadsyahidramdhani24.blogspot.com/2012/11/al-fana-al-baqa-
ittihad-al-hulul-dan.html

http://KULIAHSEMESTER1-
Akhlaq_Tasawuf\FANADANBAQA_GUDANGMAKALAH.html

Anda mungkin juga menyukai