Di susun oleh :
Kelompok 4
Nisrina Durratul Hikmah (200202102)
Muh. Sapoan (200202091)
Arif Rahman Hakim (200202103)
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................................................. i
BAB I ................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 1
C. TUJUAN ..................................................................................................................................... 2
D. MANFAAT ................................................................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................................. 3
PENUTUP ......................................................................................................................................... 10
A. KESIMPULAN ......................................................................................................................... 10
B. SARAN ..................................................................................................................................... 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih
sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan hak dan
kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi suami membenci istri atau istri
membenci suami. Dalam keadaan seperti ini islam berpesan agar bersabar dan
sanggup menahan diri dan menasehati agar mampu menghilangkan sebab-sebab
timbulnya rasa kebencian.
Khulu’ terdiri dari lafazkha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab, secara
etimologi bearti menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkan dengan kata
khulu’ dengan perkawinan karena dalam Al-Qur’an disebutkan suami itu sebagai
pakaian istri dan istri merupakan pakaian bagi suaminya.
Khulu’ itu perceraian kehendak istri. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh
atau mubah.
Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah menghindarkan si istri dari kesulitan dan
kemudaratan yang dirasakan bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si
suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintan cerai dari istrinya
itu.
Hikmah dari hukum khulu’ adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan
dengan hubungan suami istri.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Khulu’ ?
2. Apa sajakah syarat dan rukun Khulu’ ?
1
3. Bagaimana akibat hukum Khulu’ ?
4. Bagaimana pemberlakuannya hukum khulu’ dan KHI ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu khulu’.
2. Untuk mengetahui syarat dan rukun khulu’.
3. Untuk mengetahui akibat hukum khulu’.
4. Untuk mengetahui hukum khulu’ dan menurut KHI.
D. MANFAAT
1. Dapat mengetahui khulu’ itu apa.
2. Mengetahui syarat dan rukun khulu’.
3. Mengetahui akibat hukum khulu’.
4. Mengetahui hukum khulu’ dan menurut KHI seperti apa.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KHULU’
Khulu’ menurut etimologi berasal dari kata خلعyang berarti melepaskan atau
memisahkan.1 Dan khulu’ disebut juga Fidyah (Pemberian sebagian besar), Shulh
(Pemberian sebagiannya), dan Mubara’ah (Istri menggugurkan hak yang di miliki dari
suami).2
Khulu’ yang terdiri dari lafadz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab secara
etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.3 Karena seorang wanita
merupakan pakaian bagi lelaki, dan sebaliknya sebagaimana dinyatakan dalam Al-
Qur’an :
…اس لَّ ُه َّن
ٞ َاس لَّ ُك ۡم َوأَنت ُ ۡم ِلب
ٞ َ…ه َُّن ِلب
“…mereka (wanita) adalah pakaian bagimu (lelaki), dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka (wanita)…”. (QS. 2:187).4
Khulu’ menurut terminologi adalah akad yang di lakukan oleh suami istri
untuk membebaskan istri dari pernikahannya, dengan syarat si istri membayarkan
sejumlah harta (atau maskawin yang dahulu diberikan), lalu suami methalaqnya atau
mengkhulu’nya. Juga berarti tebusan yang di berikan oleh istri kepada suami supaya
mengkhulu’nya.5
Dalam fikih dikenal istilah khulu’, secara bahasa, Khulu’ berarti melepas.
Sedangkan secara istilah, khulu’ adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri
terhadap suaminya dengan membayar tebusan ‘iwadh.6
1
Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Madzhab, Penerjemah Ibnu Alwi Bafaqih (Jakarta: Cahaya, 2007)
jil. 3, hlm. 560.
2
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah Fathur Rakhman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm. 133.
3
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009,
cet.3), hlm. 231.
4
Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (jakarta: Rineka Cipta, 1996, cet.2), hlm. 122.
5
Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 163.
6
Mubarok, Modifikasi Hukum Islam (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.1), hlm. 259.
3
Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat suatu yang
menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak menghendaki untuk itu.
Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu
ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus
perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini juga disebut khulu’.7
Menurut pendapat para ulama mengenai khulu’ yakni:
Menurut Maliki, khulu sebagai “Al-Thalaq bil ‘Iwad” atau “cerai dengan membayar”,
sedangkan menurut ulama Hanafi, berkata bahwa ia menandakan berakhirnya
hubungan perkawinan yang diperkenankan, baik mengucapkan kata khulu’ ataupun
kata lain yang berarti sama. Dan para ulama syafi’I berkata, “ia merupaan cerai yang
dituntut pihak istri dengan membayar sesuatu dan dengan mengucapkan kata cerai
atau khulu”. Ia dapat dicapai melalui perintah Qadhi agar si istri membayar/
memberikan sejumlah tertentu kepada suaminya, tidak melebihi dari apa yang telah
diberikan suaminya sebagai maharnya.8
7
Syarifuddin, op.cit, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia., hlm.197.
8
Rahman, op.cit, hlm.112-113.
4
1. Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam arti, istrinya atau yang
telah diceraikan, namun masih berada dalam iddah raj’i.
2. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk pengajuan
khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang wanita yang
telah baligh, berakal, tidak berada di dalam pengampuan, dan sudah cerdas dalam
bertindak atas harta.
3. Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan persetujuan istri.
Khulu’ ini disebut khulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini
ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.
4. Adanya uang tebusan, atau ganti rugi atau iwadh.
5. Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam ungkapan
tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh. Menurut ulama ucapan khulu’ terdapat
dua macam. Pertama, menggunakan lafadz yang jelas dan terang atau shahih. Kedua,
menggunakan lafadz kinayah yaitu lafadz lain yang tidak langsung berarti perceraian
tapi dapat digunakan untuk itu.
6. Adanya alasan untuk terjadinya khulu’.
9
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (PT Bumi Aksara: Jakarta, 2004, cet.5), hlm. 164.
10
ibid, Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 202.
5
talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera
atau tidak.
Menurut pendapat Utsman, Ibnu Abbas dan riwayat yang paling shahih dari
Ahmad bin Hambal, dan juga pendapat Ishaq bin Rahawaih, bahwa perempuan yang
di Khulu’ iddah-Nya satu kali Haid. Sebagaimana hadis Tsabit, beliau bersabda
kepadanya:
“menjawab: Baik, lalu Rasulullah saw menyuruh istri Tsabit beriddah dengan satu
kali haid dan di “Ambillah miliknya (Istri Tsabit) untuk mu (tsabit) dan mudahkanlah
urusannya, lalu ia kembalikan kepada keluarganya” (HR. Nasa’i).12
11
Al-Khalafi, hlm. 638.
12
Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Penerjemah Dr. M. Thalib, jil. 8, (Bandung: Al-Ma’arif, 1990), hlm. 111.
6
c. Sighat khulu’
13
Jannati, op.cit, hlm. 569-570.
7
“ Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”.14
Ayat diatas yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu'
Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
Riwayat Ibnu Abbas ra.
ثابت, يا رسول هللا:عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي صلى هللا عليه وسلم فقالت
فقال رسول هللا صلى, ولكنى أكره الكفر فى اإلسَلم,بن قيس ما أعيب عليه فى خلق وَّل دين
فرددت عليه فقال رسول هللا صلى هللا عليه, نعم: فقالت,)) ((أتردين عليه حديقه:هللا عليه وسلم
] ((اقبل الحديقة وطلقها تطليقة)) [رواه البخارى:وسلم.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang
kepada Rasulullah saw. lalu berkata, “ Ya Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit
(suami) bukan karena agamanya dan bukan (pula) karena perangainya (akhlaq),
melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian Rasulullah bersabda: “
Maka maukah engkau mengembalikan kebun kepadanya (maksudnya harta yang
pernah dahulu di berikan) ? Jawabnya,” Ya (mau)” kemudian ia mengembalikan
kepadanya dan selanjutnya Rasulullah memerintahkan suaminya (Tsabit) agar
menceraikanya” (HR. Al- Bukhari).15
Kata-kata “sesungguhnya aku khawatir kufur” maksudnya, tidak suka
mendurhakai suami dan meninggalkan kewajiban akibat tidak cinta lagi terhadapnya.
Namun demikian, khulu’ baru boleh dilakukan apabila betul-betul ada alasan yang
memaksa, seperti kalau suami itu cacat tubuhnya, buruk akhlaqnya, suka menyakiti
istri dan tidak menunaikan kewajiban sebagai suami, atau dengan bersuamikan dia
wanita itu khawatir lalai akan perintah Allah swt. Jadi kalau tidak ada alasan yang
memaksa, hal itu tentu tidak di bolehkan.16
14
QS. Al-Baqarah (02) : 229.
15
Al-Khalafi, Al- Wajiz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil (Jakarta: Pustaka Al- Sunnah, 2006), hlm.
639.
16
Al-Jamal, Fiqh Wanita, Penerjemah Anshori Umar Sitanggal (Semarang: Asy- Syifa’, 1981), hlm.
433.
8
Demi menghindari masalah bila terjadi ketidak cocokkan antara suami istri karena hal
fisik, agama atau selainnya. Karena itu, semua ulama fiqh membolehkannya.
b. Menurut KHI
Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur sama
sekali dalam UU Perkawinan. Namun KHI ada mengaturnya dalam dua tempat, yaitu
pasal 1 ayat (I) dan pasal 124.
Pasal 1 ayat (I): khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan dan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.
Pasal 124: khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal
116.17
Cara melakukan Khulu’
Secara umum Khulu’ dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni:
Pertama menggunakan kata khulu’,
Kedua menggunakan kata cerai (talak),
Ketiga dengan kiasan yang di sertai dengan niat menceraikan.
Dalam qaul qodim imam syafi’i berpendapat bahwa khulu yang dilakukan dengan
menggunakan kata-kata kiasan mengakibatkan fasakh perkawinan. Yaitu perkawinan
itu batal dengan sendirinya. Dan akad pernikahan tidak berlaku. Sedangkan dalam
qaul jadid beliau berpendapat bahwa khulu’ yang dilakukan dengan menggunakan
kata kiasan tidak mengakibatkan fasakh perkawinan, karena kata-kata kinayah dalam
talak tidak memerlukan niat begitu pula khulu’. 18
17
Syarifuddin, op.cit, hlm. 241.
18
http://salingpengertian.blogspot.com/2011/04/pendahuluan.html.9:00.29/03/2014.
9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Khulu’ dapat diartikan talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya atas
permintaan istri dengan pembayaran sejumlah harta kapada suami. Mengkhulu’ istri
dapat dilakukan sewaktu-waktu. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau
mubah. Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 229 dan
hadis nabi.
B. SARAN
Dengan sadar bahwa apa yang ada ditangan pembaca saat ini jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami senantiasa mengharapkan uluran tangan yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini dikemudian hari. Kami hanya berharap
bahwa makalah ini mampu menjadi sebuah referensi yang ideal dalam hal pengkajian
tentang Khulu’. Terkhusus dalam menyelesaikan dilema-dilema yang sering muncul
dalam kalangan masyarakat awam mengenai khulu’ yang sesuai dengan syariat Islam.
Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat memudahkan kita, khususnya
dalam proses pengamalannya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. 1981. Fiqh Wanita. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal.
Semarang: Asy-Syifa’.
Al-Khalafi, Abdul ‘Azhim bin Badawi. 2006. Al-Wajiz. Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil.
Jakarta: Pustaka Al-Sunnah.
http://salingpengertian.blogspot.com/2011/04/pendahuluan.html.9:00.29/03/2014.
Jannati, Muhammad Ibrahim. 2007. Fiqh Perbandingan Lima Madzhab. Penerjemah Ibnu
Bafaqih, Alwi. Jakarta: Cahaya. jil. 3.
Mubarok, Jaih. 2002. Modifikasi Hukum Islam. jakarta: PT Raja Grafindo Persada. cet.1.
Mujieb, M. Abdul dkk. 1994. .Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam. jakarta: Rineka Cipta. cet.2.
Ramulyo, Moh. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara. cet.5.
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Fathur Rakhman. Jakarta: Pustaka
Azzam.
Sabiq, Sayid. 1990. Fiqh Al-Sunnah. Penerjemah Dr. M. Thalib. Bandung: Al-Ma’arif. jil. 8.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. jakarta: Kencana Prenada
Media Group. cet.3.
11