Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENGANTAR STUDI HUKUM ISLAM

Tentang

Konsep Fatwa, Qadha dan Taqnin

Disusun Oleh:

Kelompok 12

Danda Irawan 2212030120

Khaireki Walil Putra 2212030145

Dosen Pengampu :

1. Dr.H.Japeri Jarab.M.M
2. Adv.Dodi Saputra S.H.M.H

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
1444 H/ 2023 M
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan
penulisan tugas makalah ini. Makalah ini berjudul “Konsep Fatwa, Qadha dan
Taqnin”. Makalah disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah
Pengantar Studi Hukum Islam. Selain itu, penulis berharap dengan adanya
penulisan makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para
pembaca dan juga penulis.
Terwujudnya makalah ini tentu berkat bantuan dari berbagai pihak.
Sehubungan dengan itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak
Dr.H.Japeri Jarab.M.M dan Adv.Dodi Saputra S.H.M.H. selaku Dosen Mata
kuliah Pengantar Studi Hukum Islam. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini. Penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini.

Padang 22 Mei 2023

Kelompok 12

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
C. Tujuan Masalah....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................3
1. Definisi dan Perkembangan Fatwa, Qadha' dan Taqnin.......................................3
2. Lembaga Fatwa dan Peradilan..............................................................................6
3. Penerapan Hukum Islam dalam Rangka Sistem Hujum Indonesia........................9
4. Merumuskan Definisi dan Perkembangan Fatwa, Qadha, dan Taqnin...............12
5. Syarat-Syarat Mutfi dan Qadhi...........................................................................14
BAB III PENUTUP.............................................................................................................10
A. Kesimpulan........................................................................................................10
B. Saran...................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk bermasyarakat, yang tidak dapat hidup


sendiri. Manusiamemerlukan pertolongan satu sama lainnya dan persatuan
dalam memperolehkemajuannya. Disamping itu tiap-tiap individu manusia,
memiliki kepentingan dariawal sampai akhir hidupnya, bahkan sebelum
dilahirkan ke dunia memiliki kepentingan juga sampai sesudah
dikuburkannya.

Tiap-tiap kepentingan antara satu dengan yang lainnya ada yang sama
dan ada yang berbeda dan bahkan ada yang bertentangan sehingga
menimbulkan konflik. Semua ini memerlukan perlindungan dan pengaturan.
Karena setiap individu manusia mempunyai keinginan dan untuk memperoleh
keinginan tersebut akan timbul persaingan, perlombaan, penyerobotan,
penganiayaan, dsb. Supaya keadilan tetap hidup dan tata tertib hidup dapat
dipelihara dengan semestinya diperlukan adanya aturan hukum Islam dalam
mewarnai sistem hukum yangada di Indonesia berupa fatwa, qadha, dan
taqnin yang dapat melaksanakan dengan sempurna dan seksama untuk
mencegah ketidakteraturan dan ketidakadilan agarkepentingan bersama dapat
dilaksanakan seperti yang diharuskan oleh peraturan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dan perkembangan fatwa,qadha' dan taqnin?
2. Apa Lembaga fatwa dan peradilan?
3. Bagaimana Penerapan hukum Islam dalam rangka sistem hukum
Indonesia?
4. Merumuskan definisi dan perkembangan fatwa', qadha' dan taqnin?
5. Apa Syarat syarat Mufti dan Qadhi.?

1
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Definisi dan perkembangan fatwa,qadha' dan taqnin
2. Mengetahui Lembaga fatwa dan peradilan
3. Mengetahui Penerapan hukum Islam dalam rangka sistem hukum Indonesia
4. Mengetahui Merumuskan definisi dan perkembangan fatwa', qadha' dan
taqnin
5. Mengetahui Syarat syarat Mufti dan Qadhi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi dan Perkembangan Fatwa, Qadha' dan Taqnin


a. Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa Arab‫ فتوى‬,yang artinya nasihat, petuah,
jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan
atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan
yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama,
sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan
demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa 1yang
diberikan kepadanya.
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang
bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang
bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup mendesak
maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas pristiwa itu.
Fatwa telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah Islam, baik
dalam hal metode pengeluarkan fatwa, otoritas yang berwenang untuk
memberikan fatwa, dan dampaknya dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Berikut adalah beberapa poin penting mengenai perkembangan
fatwa:
a) Era Awal: Pada awal sejarah Islam, fatwa dikeluarkan oleh para sahabat
Rasulullah dan ulama terkemuka yang memiliki pengetahuan agama yang
mendalam.
b) institusionalisasi Fatwa: Pada masa kekhalifahan Umayyah dan
Abbasiyah, terjadi institusionalisasi fatwa melalui pendirian lembaga-
lembaga seperti Dar al-Ifta (rumah fatwa) dan Majelis Fatwa
c) Perkembangan Metode Pengeluaran Fatwa: Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, metode pengeluaran fatwa juga
mengalami perubahan.

1
Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. hal. 34

3
d) Pluralitas Fatwa: Dalam konteks masyarakat Muslim yang pluralistik,
fatwa tidak hanya diberikan oleh lembaga-lembaga resmi, tetapi juga oleh
berbagai kelompok ulama dan cendekiawan agama

b. Qadha
Qadha’ adalah vonis atau keputusan yang dilakukan oleh seorang
hakim atau qadhi atas suatu perkara atau perseteruan dua belah pihak atau
lebih.

ِ ‫ضي بيْن ْال ُخص‬


‫ُوم‬ ِ ‫فصْ ل ْالقا‬

Keputusan yang ditetapkan oleh qadhi di antara pihak-pihak yang


bersengketa

Dalam prakteknya, seorang Qadhi terikat pada Qanun atau undang-undang


yang berlaku di suatu wilayah hukum.

Sebagaimana Qanun, Qadha atau ketetapan yang diambil seorang Qadhi


sifatnya mengikat. Orang-orang yang telah ditetapkan hukumnya oleh
Qadhi, wajib menjalankannya. Bila ketetapan itu berupa vonis hukuman,
seperti penjara, hukum cambuk, hukum rajam dan seterusnya, maka dia
wajib menjalaninya2.

Perkembangan qadha' melibatkan institusionalisasi sistem peradilan


Islam pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Sistem ini mengatur pengadilan
dan penunjukan hakim secara resmi. Selama masa kolonial, qadha'
terpengaruh oleh sistem hukum kolonial. Di era kontemporer, pengaruh
teknologi memengaruhi proses pengambilan keputusan qadha' dengan
mempercepat akses informasi hukum Islam.

c. Taqnin
2
Rumah Fiqih Indonesia, “Perbedaan Antara Fatwa, Qanun, Qadha dan Ijtihad”,
https://www.rumahfiqih.com/, diakses pada tanggal 22 Mei 2023 pikul 19.45 WIB

4
At-taqnin seakar kata dengan qanun yang berasal dari bahasa
Yunani “canon”, kemudian masuk ke dalam bahasa Arab melalui
bahasa Siryani). Secara etimologis, qanun berarti “ukuran segala
sesuatu” (al-mistarah). Dalam perkembangan selanjutnya kata ini
digunakan untuk menyebut “suatu peraturan” (al-qaidah). Pengertian
inilah yang masyhur dan umum digunakan sampai sekarang di Eropa.
Ulama fiqh mengemukakan bahwa secara terminologis at-taqnin
bisa diartikan sebagai penetapan –oleh penguasa- sekumpulan
Undang-Undang yang mempunyai daya dan memaksa dalam
mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat” atau
bisa juga diartikan secara khusus sebagai “penetapan –oleh penguasa-
sekumpulan undang-undang untuk mengatur masalah tertentu.
Selanjutnya Imam Muhammad Abu Zahrah, seorang pakar hukum
Islam Mesir dan mantan rektor Universitas al-Azhar,
mendefinisikannya sebagai hukum-hukum Islam dalam bentuk buku
atau kitab undang-undangg yng tersusun rapi, praktis dan sistematis,
kemudian ditetapkan dan diundang-undangkan secara resmi oleh
kepala negara, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang megikat
dan wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh suluruh warga negara3.
Taqnin berkembang seiring dengan kebutuhan mengatur kehidupan
masyarakat Muslim secara menyeluruh. Pengaturan ini melibatkan
pembuatan aturan dan peraturan oleh penguasa atau otoritas yang
berwenang. Perkembangan taqnin mencakup aspek sosial, ekonomi,
politik, dan hukum dalam masyarakat Muslim. Prinsip-prinsip taqnin
terus beradaptasi dengan perubahan zaman dan tantangan yang
dihadapi oleh umat Muslim.

2. Lembaga Fatwa dan Peradilan

3
Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hal. 30

5
a) MajelisTarjihMuhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang
memiliki misi utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman
agama. Pembaharuan dalam muhammadiyah meliputi dua segi jika
dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan
kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang
bersifat tetap dan pembaharuan dalam arti modernisasi dengan sasaran
mengenai masalah metode, sistem, teknik, strategi, taktik perjuangan dan
lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta
dibentuk susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya
KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z, dibuat anggaran dasar yang
menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati perjalanan
Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama,
menerima dan mentarjih hukum m asalah khilafiyah yang diragukan
hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang berdasarkan Al-Quran
dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau
memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan
pemikiran islam Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis
aspek metodologis, yang dilakukan terakhir pada tahun 2000 di Jakarta
dengan prinsip yaitu mengubah istilah al- sunnah al-sohihah menjadi al-
sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi
ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode
bayani, ta’lili, dan ishtilahi, manhaj menentukan empat pendekatan
untuk kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam
dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utama
yaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi), prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan
prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan MTPPI
terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan perspektif oleh majlis ini

6
dibahas dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan
manhaj al istinbath lalu menarik natijah hukumnya, hasil keputusan
kemudian diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai tingkatannya
yang mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai
pertimbangan yang dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih
tetap untuk diadakan tinjauan ulang.
b) Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan
ijtima’iyah serta menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis
teologi dan menganut salah satu dari mazhab. Metode istinbath hukum
lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil
hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai
dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’i menempati
posisi yang dominan. Metode pengambilan keputusan hukum
dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992 dengan
susunan metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu
qoul (pendapat), maka qoul itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada
dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya,
namun jika tidak ditemukan pendapat sama sekali dipakai ilhaq al-masail
bin nadhariha secara jama’i oleh ahlinya, dan jika masalah yang
dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan
ilhaq maka dilakukan istinbath jama’i.
c) Majelis Fatwa Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama, umara dan cendekiawan muslim Indonesia
untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia
dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri
pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan umara yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia

7
tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka,
di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik
kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani
umat. Dalam perjalanannya selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama
(umara/pemimpin) dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia
dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang
diridhai Allah SWT.
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat
beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam
dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan
kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan
konsultasi dan informasi secara timbal balik.[4]
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa
kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali
pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri
Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal
Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah
meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang
terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global
yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat
menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang
didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa

4
http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-
nu.html

8
nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta
meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu
kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran
keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi
politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi
sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat
Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang
berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan
kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang
bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi
terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.
Terdapat lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al
ummah).
4. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
5. Gerakan Ishlah wa Al-tajdid.[5]

3. Penerapan Hukum Islam dalam Rangka Sistem Hujum Indonesia


Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an
dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata
syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata
hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari
literatur Barat. Dalam penjelasan tentang hukum Islam dari literatur
Barat ditemukan definisi hukum Islam yaitu: keseluruhan kitab Allah
yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya 6. Dari
definisi ini arti hukum Islam lebih dekat dengan pengertian syariah

5
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006
hal.140
6
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: University Press, 1964, hlm. 1

9
Hukum nasional adalah hukum yang dibangun oleh bangsa
Indonesia, setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk
Indonesia, terutama bagi warga negara Republik Indonesia sebagai
pengganti hukum kolonial. Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi
bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya
dan agama yang berbeda. Pembangunan hukum nasional akan berlaku
bagi semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya
harus dilakukan dengan hati-hati, karena di antara agama yang dipeluk
oleh warga negara Republik Indonesia ini ada agama yang tidak dapat
diceraipisahkan dari hukum .
Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional,
hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling
tidak dari segi jiwanya. Pernyataan ini diperkuat oleh beberapa argumen.
Pertama, UU No. I tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 2
Undang-undang ini, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Sementara dalam
pasal 63 menyatakan bahwa, yang dimaksud pengadilan dalam
Undangundang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang
beragama Islam. Kedua, di dalam UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa dalam rangka pembangunan
manusia seutuhnya adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan
keterampilan, sehat rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan
mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Ketiga, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undangundang ini membuktikan bahwa Peradilan Agama sudah
sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi Indonesia. Hal
ini membuktikan adanya kontribusi umat Islam sebagai umat yang
mayoritas. Keempat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak
terbentuk undangundang, melainkan Instruksi Presiden Nomor I Tahun
1991. Kompilasi ini sangat membantu para hakim dalam memutuskan

10
perkara, terutama di Peradilan Agama. Kelima, PP No.28 tahun 1978
tentang Perwakafan Tanah Milik, di samping UU No.5 tahun 1960
sebagai pengaturan pokok masalah pertanahan di Indonsia. Sebagai
pelaksanaannya telah dikeluarkan juga Peraturan Menteri Agama No.
Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksana PP No. 28 tahun 1978. Untuk
pelaksanaan tersebut telah dikeluarkan beberapa peraturan sebagai
berikut : 1. Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tentang
Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama
Propinsi/Setingkat di seluruh Indonesia untuk
mengangkat/memberhentikan Kepala KUA Kecamatan sebagai PAIW; 2.
Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
masingmasing No. 1 tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 1978; 3. Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun
1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 73
tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil
Dep. Agama Propinsi/Setingkat untuk mengangkat/memberhentikan
setiap Kepala KUA Kec. sebagai PPAIW; 4. Peraturan Direktur Jenderal
Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.II/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian
Bea Materai dengan lampiran rekaman Surat Direktorat Jenderal Pajak
No. S-629/ PJ.331/1080 tentang Ketentuan Menteri Keuangan atas tanda-
tanda sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Th. 1978
tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Th. 1977; 5. Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah
mengenai Perwakafan Tanah Milik. 6. Surat Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji No. D.II/5/Ed/07/1981 tentang Pendaftaran Perwakafan
Tanah Milik; 7. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan HajiNo.
D.II/5/Ed/ll/1981 tentang Petunjuk Pengisian nomor pada formulir
Perwakafan Tanah Milik7.
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati
oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang
7
M. Yasir, Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia, Permasalahan dan Pemecahannya, Fakultas
Syariah UIN Jakarta; Jurnal Ahkam No. 16/VII/2005. hlm. 275

11
telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan
keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta
merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.

4. Merumuskan Definisi dan Perkembangan Fatwa, Qadha, dan Taqnin.


Fatwa adalah jawaban resmi terhadap pertanyaan dan persoalan
yang menyangkut masalah hukum. Fatwa berasal dari kata bahasa arab
alifta’, al-fatwa yang secara sederhana berarti pemberian keputusan. Fatwa
bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan gampang, atau
yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar. Menurut Imam Ibnu
Mandzur di dalam lisan al-arab menyatakan, Aftaahu Fi Al-Amr Abaanahu
Lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara, maksudnya
adalah menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa Aftaa Al-Rajulu Fi
AlMas’alah (seorang laki-laki menyampaikan fatwa pada suatu masalah).
Wa Astaftainuhu Fiiha Fa Aftaaniy Iftaa’an Wa Futaa (aku meminta fatwa
kepadanya dalam masalah tersebut, dan dia memberikan kepadaku sebuah
fatwa)”. Perkataan Wafataay adalah asal dari kata futya atau fatway. Futya
dan fatwa adalah dua isim (kata benda) yang digunakan dengan makna al-
iftaa’. Iftaa’ berasal dari kata Iftaay, yang artinya memberikan penjelasan.
Secara definitif memang sulit merumuskan tentang arti ifta’ atau berfatwa
itu. Namun dari uraian tersebut dapat di rumuskan, yaitu: usaha
memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang
yang belum mengetahui”. Di dalam kitab mafaahim Islamiyyah
diterangkan sebagai berikut, secara literal, kata “al fatwa” bermakna“
jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-undangan yang
sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin atau fataaway. Jika dinyatakan
Aftay Fi AlMas’alah menerangkan hukum dalam masalah tersebut.
Sedangkan Al Iftaa’ adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-
persoalan syariat, undangundang, dan semua hal yang berkaitan dengan
pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya (Ibaanat Al Ahkaam Fi Al-
Mas’alah Al Syar’iyyah, Au Qanuuniyyah, Au Ghairihaa Mimmaa

12
Yata’allaqu Bisu’aal Al-Saail).
Qadha' adalah istilah dalam hukum Islam yang merujuk pada
proses pengambilan keputusan oleh hakim atau otoritas yang berwenang
untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan hukum berdasarkan
hukum Islam. Qadha' merupakan bagian dari sistem peradilan Islam yang
bertujuan untuk memberikan keputusan yang adil dan sesuai dengan
prinsip-prinsip agama dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum. Dalam
konteks qadha', hakim memiliki tugas untuk mempelajari kasus,
mempertimbangkan bukti-bukti yang ada, dan menerapkan prinsip-prinsip
hukum Islam dalam memberikan keputusan. Keputusan qadha' diharapkan
mencerminkan keadilan, kebenaran, dan kepatuhan terhadap ajaran agama.
Qadha' melibatkan berbagai jenis perselisihan hukum, termasuk perkara-
perkara keluarga, waris, bisnis, dan pidana. Proses qadha' melibatkan
pendengaran dan pengumpulan bukti, penyampaian argumen oleh pihak-
pihak yang terlibat, serta pertimbangan dan analisis hakim dalam mencapai
keputusan yang adil8.
Taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah
penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan
sosial, menyusunnya secara sistematis, mengungkapkannya dengan
kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal,
dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian
menetapkannya sebagai peraturan atau undang-undang, lantas disahkan
oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di
tengah masyarakat9. Menurut Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari
bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang
berati alat pengukur atau kaidah, di Eropa istilah kanun atau canon dipakai
untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula canonik, seperti corpus
iuris cononici yang disahkan oleh paus Gregorus XIII tahun 1580,
kemudian codex iuris coninci oleh paus Benediktus XV tahun 1919.
8
Masud, M. K. (2019). A qādī, not a judge: Rediscovering an Islamic tradition of justice. The
Review of Faith & International Affairs, 17(2), 47-57.
9
Mushtafa aL-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, juz 1 (Beirut: Dar al-Qalam, 1418 H), h. 313

13
hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja,
keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan perintah dari paus.
Oleh intelektual muslim di masa lalu istilah kanun digunakan untuk
menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yag
ditulis oleh Ibn Sina dalam bidang kdokteran yang berjudul Qanun fi al-
Tibb, Qanun al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi
yang dihimpun untuk sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis
oleh al-Biruni. Dalam konteks sekarang, menurut Mahmasani istilah qanun
memiliki tiga arti yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu
kumpulan aturan hukum (codex) seperti qanun pidana Utsmani. Kedua,
berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-
kaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang
mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan
legislatif membuat qanun larangan menimbun barang10.

5. Syarat-Syarat Mutfi dan Qadhi


Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai
wawasan keilmuan yang luas, agar yang difatwakannya tentang suatu
masalah hukum sesuai dengan yang sebenarnya. Orang yang mempunyai
pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai kmampuan untuk
menggali sumbernya .karena itu ,maka ia menjadi tempat bertanya bagi
orang awam.sebagai orang yang tahu,disebut mujtahid, dan dalam
kedudukannya sebagai orang yang member jawaban atas pertanyaan orang
awam,ia di sebut mufti11.
Abu Ishaq Ibrahim menguraikan secara detail tentang syarat-syarat
seorang mufti, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mengetahui sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik
qauliyah, fi’liyah dan taqririyah;
2. Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;

10
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islamh. 28
11
Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 449.

14
3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh;
4. Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
5. Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya;
6. Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama terdahulu;
7. Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya;
8. Mengetahui ijtihad;
9. Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
10. Mengetahui cara mentarjih;
11. Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
12.Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama

Qadhi (kadhi) adalah seorang hakim yang bertugas untuk


memutuskan kasus-kasus hukum dalam sistem peradilan Islam. Istilah
"qadhi" berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti "hakim" atau
"penyelenggara keadilan." Seorang qadhi memiliki otoritas dan keahlian
dalam menerapkan hukum Islam dalam penyelesaian sengketa atau
perselisihan hukum.
Sebagai hakim dalam sistem peradilan Islam, harus memenuhi
beberapa syarat yang mencerminkan kompetensi, integritas, dan
pengetahuan yang diperlukan. Meskipun persyaratan yang spesifik dapat
berbeda dalam berbagai konteks, berikut adalah beberapa syarat umum
yang sering dikaitkan dengan seorang Qadhi:
1. Keahlian dalam Hukum Islam: Seorang Qadhi harus
memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum Islam, termasuk Al-
Quran, Hadis, prinsip-prinsip fiqh (ilmu hukum Islam), serta metodologi
interpretasi hukum Islam. Mereka harus mampu menerapkan hukum Islam
secara tepat dalam memutuskan kasus-kasus hukum.
2. Keadilan dan Ketidakberpihakan: Seorang Qadhi harus adil
dan tidak memihak dalam memberikan keputusan. Mereka harus
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, menjaga netralitas, dan tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor pribadi atau luar yang dapat memengaruhi

15
objektivitas keputusan.
3. Integritas dan Keteladanan: Seorang Qadhi harus memiliki
integritas yang tinggi dan menjadi contoh teladan dalam perilaku dan
moralitas. Mereka harus mematuhi kode etik dan prinsip-prinsip
kehormatan yang berlaku dalam profesi hakim.
4. Kualifikasi Pendidikan: Beberapa yurisdiksi mungkin
menetapkan persyaratan pendidikan formal dalam hukum Islam atau
bidang terkait sebagai syarat untuk menjadi seorang Qadhi. Gelar
akademik atau sertifikasi dalam studi hukum Islam atau ilmu-ilmu syariah
seringkali diharapkan.
5. Pengalaman dan Keterampilan: Pengalaman praktis dalam
penyelesaian sengketa atau perselisihan hukum, baik melalui pengadilan
atau lembaga peradilan alternatif, dapat menjadi syarat tambahan untuk
menjadi seorang Qadhi. Keterampilan seperti kemampuan analisis hukum,
penalaran logis, dan kepemimpinan yang efektif juga dianggap penting.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Fatwa adalah keputusan atau nasihat resmi yang diberikan oleh seorang mufti
atau ulama sebagai tanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa.
2. Qadha adalah vonis atau keputusan yang dilakukan oleh seorang hakim atau
qadhi atas suatu perkara atau perseteruan.
3. Taqnin adalah pembuatan aturan dan peraturan oleh penguasa atau otoritas
yang berwenang untuk mengatur kehidupan masyarakat Muslim.
4. Fatwa mengalami perkembangan dalam hal metode pengeluaran fatwa,
otoritas yang berwenang, dan pluralitas fatwa.
5. Qadha mengalami perkembangan dengan institusionalisasi sistem peradilan
Islam dan pengaruh teknologi dalam pengambilan keputusan.
6. Taqnin berkembang seiring dengan kebutuhan mengatur kehidupan
masyarakat Muslim dalam berbagai aspek.
7. Majelis Tarjih Muhammadiyah, Lajnah Bahsul Masail NU, dan Majelis
Fatwa Indonesia adalah lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengeluarkan
fatwa dan mengatur masalah-masalah agama dalam konteks Indonesia.

B. Saran
Demikian makalah ini kami susun, kami sadar dalam makalah ini
masih banyak kesalahan dan kekurangan dari segi materi maupun
penyampaian. Untuk itu saran yang membangun dari pembaca sangatlah kami
harapkan guna perbaikan makalah kami selanjutnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 449.
http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-
nu.html
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: University Press, 1964,
hlm. 1
Masud, M. K. (2019). A qādī, not a judge: Rediscovering an Islamic tradition of
justice. The Review of Faith & International Affairs, 17(2), 47-57.
Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hal. 30
Mushtafa aL-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, juz 1 (Beirut: Dar al-Qalam,
1418 H), h. 313
M. Yasir, Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia, Permasalahan dan
Pemecahannya, Fakultas Syariah UIN Jakarta; Jurnal Ahkam No.
16/VII/2005. hlm. 275
Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000.
hal. 34Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi
Aksara:Jakarta. 2006 hal.140
Rumah Fiqih Indonesia, “Perbedaan Antara Fatwa, Qanun, Qadha dan Ijtihad”,
https://www.rumahfiqih.com/, diakses pada tanggal 22 Mei 2023 pikul 19.45
WIB
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islamh. 28

11

Anda mungkin juga menyukai