Anda di halaman 1dari 10

Akarsari.

com – Simak contoh pidato tentang Rasa Malu yang bisa Anda jadikan
sebagai referensi. Pidato ini disusun singkat namun penuh arti dan pesan bagi
semua orang.

Budaya malu melakukan kesalahan perlu ditanamkan agar menjadi pagar hidup bagi
manusia. Pasalnya, jika seseorang tidak merasa malu, maka bebaslah perilakuknya.
Ia bisa dengan mudah melakukan kesalahan tanpa ada rasa takut dan malu.

Rasa malu pun mendorong pada benteng pribadi agar selalu mengikuti norma dan
etika dalam bermasyarakat.

Dan, budaya malu kepada tuhan juga mendorong pada keimanan. Maka dari itu,
simak pidato dengan nasihat tentang budayaa malu dibawah ini sebagai referensi
Anda.

Baca Juga: Contoh Teks Pidato Bahaya Merokok Bagi Pelajar terbaru 2023
Berisi Nasehat yang Bermanfaat, VERSI ISLAMI

Assalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh, salam sehat dan salam sejahtera


untuk kita semua.

Hadirin semua, pada kesempatan ini saya akan menyampaikan pidato dengan
tema budaya malu atau rasa malu dalam melakukan hal-hal buruk atau melanggar
norma.

Hadirin, bapak ibu semua. Hal pertama yang kudu kita jadikan kesepakatan adalah
bahwa kita sebagai manusia yang seharusnya berprilaku baik dalam berbagai
kesempayan.

Sebab, prilaku baik akan menuntun pada kebaikan pula. Dan jika kita berperilaku
buruk, maka hal buruk akan menimpa kita. Maka dari itu jagalah diri kita dari salah
langkah yang membuat kita melakukan hal-hal buruk.

Baca Juga: Contoh Teks Pidato Hidup Rukun dan Damai Beserta Dalilnya
Penuh dengan Inspirasi

Hadirin, salah satu cara agar kita membentengi diri dari hal-hal buruk adalah dengan
menanamkan rasa malu. Malu ketika ketahuan berbuat buruk, malu ketika
melakukan hal yang tidak sopan.

Rasa malu adalah bagian dari hati yang bersih. Artinya, malu merupakan salah
satu budi pekerti yang dituntut dalam berkehidupan sosial.

Dan, dalam islam malu adalah bagian daripada keimanan. Orang yang punya rasa
malu menandakan orang itu beriman kepada Allah SWT.

Tentunya setiap gerik kita akan dilihat oleh Allah. Sebagaimana firman Allah pada
beberaap surat berikut ini:
alhikmah.ac.id – “Sesungguhnya setiap agama mempunyai akhlak dan
sesungguhnya akhlak Islam adalah malu,” demikian hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wassalam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Malu bukanlah sifat yang mudah untuk dimiiki. Malu hanya akan tumbuh dan
menjadi perangai seorang Muslim manakala imannya kepada Allah dan hari akhir
benar-benar sangat kokoh.

Hari ini nampaknya sebagian besar umat Islam agak abai dengan sifat malu ini.
Contoh paling nyata adalah beberapa sikap kaum Muslimah yang belum menutup
aurat ketika memajang foto-foto yang semestinya tidak di upload ke dunia maya
malah justru sangat disenangi dan digandrungi.

Bahkan ada yang suka memasang foto dirinya saat berenang dengan pakaian yang
tidak sepantasnya. Demikian pula dengan yang laki-laki yang juga memajang foto-
foto anggota badan yang termasuk aurat ke dalam status Facebook-nya.

Mengenai aurat ini, perhatian Rasulullah sangat tegas. Beliau bersabda;


“Sesungguhnya Allah Maha lembut, Maha malu dan Maha menutupi, Dia menyukai
sifat malu dan menutupi, maka jika salah seorang dari kalian mandi, hendaknya dia
menutup diri.”

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa lihat dari sikap sebagian kaum Muslimin yang
tidak bersegera menunaikan kewajiban-kewajibannya. Sudah tahu waktu sholat
tidak lama lagi, lantunan adzan pun mulai terdengar, tetapi masih lebih memilih asyik
nonton di depan TV, bahkan sebagian lainnya masih asyik ber-Facebook ria. Hal ini
juga menandakan bahwa sifat malu belum menjadi bagian tak terpisahkan dari
sebagian umat Islam.

Dalam ajaran Islam, seorang Muslim yang melakukan dua contoh sikap di atas, dan
termasuk Muslim yang mengabaikan imannya hanya karena urusan keduniaan,
termasuk kelompok Muslim yang belum memiliki rasa malu. Mengapa demikian?

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Malulah kalian


kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Mereka menjawab, “Alhamdulillah,
kami malu.”
Nabi pun melanjutkan sabdanya; “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan
sebenar-benarnya adalah hendaknya kamu menjaga kepala dan apa yang
dipahaminya, menjaga perut dengan isisnya, hendaknya kamu mengingat kematian
dan hancurnya jasad sesudahnya, barangsiapa menginginkan akhirat, niscaya dia
meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia tetlah malu
kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi).

Itulah mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak pernah melewati


malam melainkan dengan bangun untuk tahajjud. Beliau malu kepada Allah jika
nikmat yang begitu besar dan amanah yang tidak ringan tidak ditunaikan secara
sungguh-sungguh dengan penuh kesyukuran. Beliau malu jika sepanjang malam
digunakan hanya untuk tidur. Demikianlah sifat manusia agung yang sangat pemalu,
terutama kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Ketika malam Mi’raj dalam perjalanan beliau kembali ke langit dunia untuk
membawa perintah mendirikan sholat, beliau bolak-balik menghadap Allah karena
mendapat saran Nabi Musa agar perintah sholat yang Allah wajibkan atas umatnya
dikurangi jumlah raka’atnya.

Akhirnya setelah mendapatkan keringanan menjalankan shalat lima waktu sehari


semalam, Nabi Musa masih menyarankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam
minta keringanan kepada Allah. “Istahyaytu min rabbi” demikian jawab manusia
agung itu. “Aku malu kepada Rabbku”. Subhanallah, Rasulullah saja malu meminta
keringanan lagi, lalu mengapa sebagian umat Islam tidak bersemangat mendirikan
shalat.

Bahkan Rasulullah malu hanya berdoa untuk dirinya sendiri. Beliau malu kepada
Allah sekaligus malu kepada seluruh umatnya jika berdoa hanya untuk diri beliau
sendiri, apalagi setiap doa beliau pasti dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.

Hal ini beliau jelaskan dalam sebuah sabdanya; “Setiap Nabi mempunyai doa yang
mustajab, lalu masing-masing dari mereka bersegera menggunakan doanya (di
dunia), namun aku menyimpan doaku sebagai syafa’at bagi umatku di hari kiamat, ia
akan didapatkan Insya Allah oleh siapa pun dari umatku yang mati daam keadaan
tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun.” (HR. Bukhari).

Jika Rasulullah malu kepada kita sebagai umatnya, dan mengkhususkan doa
mustajabnya untuk kita, lalu mengapa kita tidak malu mengabaikan amanah dan
sunnah-sunnah beliau, sementara kita selalu berharap mendapat syafaatnya kelak
di hari kiamat?

Malu dalam Pergaulan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam juga sangat memperhatikan rasa malu


dalam pergaulan. Aisyah mengatakan bahwa beliau senantiasa menjaga diri dari
yang tidak baik (iffah) dan menjaga kesendirian. “Nabi seorang yang tidak suka
berkata kotor, tidak gemar menjelek-jelekkan, dan tidak berteriak-teriak di pasar,”
demikian tutur istri beliau yang banyak meriwayatkan hadits-haditsnya.

Urusan malu adalah urusan iman dan termasuk perkara yang besar. “Malu itu
termasuk dari iman, dan iman itu di dalam surga, keburukan ucapan termasuk sikap
tidak peduli (kurang ajar) dan sikap tidak peduli itu adalah di neraka,” demikian tegas
Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oeh Tirmidzi.

Rasulullah menjelaskan bahwa malu adalah lawan dari keburukan ucapan, ia tidak
akan pernah sejalan dengannya. Manakala kita menjumpai manusia yang lisannya
selalu menjelek-jelekkan orang lain, dan membangga-banggakan dirinya, cukuplah
bukti bahwa orang itu tidak punya rasa malu yang berarti cacat keimanannya. Dan,
tidak ada yang dikehendakinya melainkan kehidupan dunia belaka.

Di sinilah fungsi utama akhlak. Oleh karena itu akhlak dalam Islam itu meliputi
banyak sisi, mulai dari akhlak kepada Allah, manusia dan alam semesta.
Maka dari itu, milikilah akhlak yang mulia karena hanya dengan akhlak mulia itu
seorang Muslim akan memiliki rasa malu yang sebenar-benarnya. Bukan rasa malu
yang umum disalahpahami oleh kebanyakan manusia, dimana malu hanya ditujukan
kepada manusia. Padahal malu yang benar adalah malu kepada Allah bukan
kepada manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Seseorang lebih patut untuk
malu kepada Allah daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud).*

Perilaku sebagian orang yang gemar mengambil hak orang lain (korupsi), tidak jujur,
dan takut diketahui orang segala rencana dan perbuatannya yang merusak,
semuanya termasuk sifat tercela dan menunjukkan ketiadaan rasa malu yang benar
kepada Allah SWT.

Orang yang seperti itu biasanya akan shock jika keburukannya diketahui oleh orang
lain, sebab baginya tidak ada yang lebih ditakutkan kecuali ada manusia
mengetahuinya. Terhadap Allah, orang seperti itu tidak benar-benar malu. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika mereka berani melawan perintah Allah, asalkan
manusia tidak mengetahui dan menentangnya. Naudzubillah.

Terhadap orang seperti itu, Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya di antara ajaran


yang manusia dapatkan dari perkataan kenabian yang pertama adalah Apabila
engkau tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang kau mau.” (HR. Bukhari).

Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman; “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;


sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 41: 40).

Tentu penegasan Rasulullah yang terakhir itu bukanlah perintah untuk berbuat
sesuka hati, melainkan untuk menghindar dari perbuatan memperturutkan hawa
nafsu. Karena menuruti hawa nafsu akan menghilangkan kemampuan akal sehat
dan menjadikan seorang manusia hidup tanpa iman dan karena itu tidak punya sifat
malu. Padahal dalam Islam, malu adalah bagian dari keimanan.
AL-JAM'U BAINA AS-SAHIHAIN

Hadits Tentang Malu Sebagian


Dari Iman
Beranda Download Kajian Ustadz Abu Yahya Badrusalam Al-Jam'u Baina As-
Sahihain Hadits Tentang Malu Sebagian Dari Iman
By Radio Rodja | Senin, 21 Januari 2019 pukul 2:03 pm

Terakhir diperbaharui: Rabu, 08 April 2020 pukul 3:29 pm

Tautan: https://rodja.id/29e

Hadits Tentang Malu Sebagian Dari Iman adalah bagian dari ceramah agama
dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan ‫( الجمع بين صحيحين‬Al-Jam’u Baina As-
Sahihain), sebuah kitab yang berisi Kumpulan shahih Bukhari dan Muslim
karya Syaikh Yahya bin Abdul Aziz Al-Yahya. Pembahasan ini
disampaikan oleh: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. pada 6 Jumadal Awwal 1440
H / 13 Januari 2019 M.
Download Kitab Al-Jam’u Baina As-Sahihain – Format PDF di sini
Download mp3 kajian sebelumnya: Keutamaan Seorang Muslim Seperti Pohon
Kurma

KAJIAN HADITS TENTANG MALU SEBAGIAN DARI IMAN


– AL-JAM’U BAINA AS-SAHIHAIN
Pembahasan kali ini sampai pada hadits ke-25 halaman 13 pada kitab Al-Jam’u
Baina As-Sahihain.

‫ «الَحَياُء َال‬: ‫ َقاَل الَّنِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫ َقاَل‬، ‫َع ْن ِعْمَر اَن‬
‫ ِإَّن‬:‫ ” َم ْك ُتوٌب ِفي الِح ْك َم ِة‬:‫َيْأِتي ِإاَّل ِبَخْيٍر» َفَقاَل ُبَش ْيُر ْبُن َك ْع ٍب‬
: ‫ َو ِإَّن ِم َن الَحَياِء َسِكيَنًة ” َفَقاَل َلُه ِعْمَر اُن‬،‫ِم َن الَحَياِء َو َقاًرا‬
‫«ُأَح ِّد ُثَك َع ْن َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ُتَح ِّد ُثِني َع ْن‬
» ‫َصِح يَفِتَك‬
Dari Imran ia berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Rasa malu itu
tidak mendatangkan kecuali kebaikan.” Berkata Busyair bin Ka’ab, “Tertulis dalam
Al-Hikmah bahwa diantara malu, ada yang merupakan kewibawaan dan diantara
rasa malu itu ada yang merupakan ketenangan.” Maka Imran marah dan berkata
“Aku sampaikan kepadamu hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
sementara kamu menyampaikan kepadaku dari sahifah kamu sendiri.”
Baca Juga:
Meneladani Sifat Wara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam - Aktualisasi
Akhlak Muslim (Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary, M.A.)

Artinya, yang aku sampaikan ini lebih baik dari apa yang kamu sampaikan itu.
Karena Imran bin Husein menyampaikan hadits sedangkan Busyair bin Ka’ab
membawakan hikmah yang merupakan perkataan manusia.

Artinya kalau sudah ada sabda Rasulullah, kita tidak butuh lagi perkataan siapapun
juga. Karena sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah. Sebaik-baiknya
ucapan adalah ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka Imran marah di sini. Seakan-akan tidak cukup dengan hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.

Nabi mengatakan, “Rasa malu itu semua baik.” Berarti mencakup seluruh kebaikan.
Sedangkan dalam hikmah dikatakan bahwa malu ada yang merupakan kewibawaan,
ada juga malu yang merupakan sakinah. Padahal itu semua kebaikan. Sudah cukup
masuk didalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sifatnya Jawami’ul Kalim (ucapan yang
sedikit tapi mencakup pada makna yang sangat luas sekali)
Apa itu malu?
Al-Zamakhshari berkata bahwa malu adalah perubahan dihati dan perasaan
seseorang ketika ia takut dicela atau takut ketahuan aibnnya.
Al-Raghib berkata bahwa malu itu artinya ketidaksukaan jiwa kita dari perbuatan
yang sifatnya jelek.

Ketika kita tidak mau melakukan sesuatu yang sifatnya buruk, itu berarti kita punya
rasa malu.

Sebagian ulama memberikan definisi malu. Yaitu akhlak yang membangkitkan


kekuatan kepada pelakunya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan sesuatu
yang tidak baik.

Baca Juga:
Hukum Memegang dan Menduduki Sutra

Dan dalam Islam, rasa malu itu mempunyai keutamaan yang banyak. Diantaranya:

Pertama, rasa malu itu salah satu perangai keimanan. Dalam hadits Nabi
mengatakan:

‫َو اْلَحَياُء ُش ْع َبٌة ِم َن اِإْل يَم اِن‬


“Rasa malu cabang dari keimanan.”

Hal ini menunjukkan bahwa malu bersifat wajib. Sebab seseorang apabila
kehilangan rasa malu, menyebabkan hilang salah satu cabang keimanan. Apabila
cabang imannya hilang, berarti mengakibatkan imannya tidak sempurna. Maka
sesuatu yang menghilangkan kesempurnaan iman itu biasanya hukumnya wajib.

Malu merupakan akhlak yang sangat dianjurkan oleh Islam. Dalam hadits yang
dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari hadits Anas, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:

‫ َو ُخ ُلُق اِإْل ْس اَل ِم اْلَحَياُء‬،‫ِإَّن ِلُك ِّل ِد يٍن ُخ ُلًقا‬


“Setiap agama mempunyai ciri khas akhlak dan ciri khas akhlak Islam itu rasa malu.”
(HR. Ibnu Majah)

Jadi rasa malu adalah akhlak Islam. Artinya setiap orang yang mengaku dirinya
Muslim, harus terlihat ciri khasnya, dia pemalu. Malu untuk melakukan hal-hal yang
buruk, malu disaat ia meninggalkan kebaikan.

Allah mensifati diri-Nya sebagai pemalu. Diantara sifat Allah adalah Al-Hayyiyu
(Yang Maha Pemalu). Disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Tirmidzi dan
Baihaqi, dari Salman Al-Farizi bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ِإَّن َهَّللا َح ِيٌّي َك ِر يٌم َيْسَتْح ِيي ِإَذ ا َر َفَع الَّرُجُل ِإَلْيِه َيَد ْيِه َأْن َيُر َّدُهَم ا‬
‫ِص ْفًرا َخ اِئَبَتْيِن‬
“Sesungguhnya Allah Maha Hidup dan Maha Mulia, Dia merasa malu apabila
seseorang mengangkat kedua tangannya kepadaNya dan kembali dalam keadaan
kosong tidak membawa hasil.” (HR. Tirmidzi & Baihaqi)

Baca Juga:
Mengenal Nama Allah Al-Hayyu dan Al-Qayyum - Kitab Mausu'ah Fiqh
Al-Qulub (Ustadz Badrusalam, Lc.)

Allah malu untuk tidak mengabulkan hamba-Nya yang menengadahkan kedua


tangannya kepada Allah meminta.

Dan dari Ya’la bin Umayyah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melihat seorang laki-laki mandi di padang pasir tanpa memakai apa-apa. Maka Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ِإَّن َهَّللا َع َّز َو َج َّل َحِليٌم َح ِيٌّي ِس ِّتيٌر ُيِح ُّب اْلَحَياَء َو الَّس ْتَر َفِإَذ ا‬
‫اْغ َتَسَل َأَح ُد ُك ْم َفْلَيْسَتِتْر‬
“Allah ‘Azza wa Jalla Maha Murah Hati, Maha Malu, dan Maha Tertutup. Dan cinta
terhadap rasa malu dan tertutup. Apabila salah seorang dari kalian mandi,
hendaklah memasang penutup.” (HR. An-Nasa’i)

Allah yang menutupi aib para hamba-Nya. Disebut dalam hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa Allah ketika menghisab seorang Mukmin nanti pada hari
kiamat, Allah akan meletakkan penutup supaya tidak terlihat aib si Mukmin ini di
hadapan manusia.

Kata Ibnul Qayyim, adapun rasa malu Allah kepada hambaNya, ini jenis yang
lain yang tidak bisa dipahami dan digambarkan oleh akal kita. Karena malu Allah
menunjukkan kepada kedermawanan, kebaikan.

Allah malu kepada hamba-hambaNya artinya Allah itu dermawan kepada hamba-
hamba-Nya, Allah tidak mau pelit kepada hamba-hamba-Nya, Allah malu ketika
hamba-hambaNya minta kepadaNya ternyata Allah tidak memberinya. Karena Allah
Maha kaya, maka Allah malu untuk membuka aib hamba-hambaNya tanpa sebab.

Allah juga malu dari hamba-hambaNya yang takut kepadaNya, ternyata Allah
berikan adzab. Tidak mungkin.

Baca Juga:
Menuntut Ilmu Lebih Utama Dibandingkan Shalat Sunnah

KEUTAMAAN MALU
Pertama, bahwa malu sifat para Nabi, terutama Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu
Sa’id Al-Khudri ia berkata:

‫َك اَن الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َأَشَّد َحَياًء ِم ْن اْلَع ْذ َر اِء ِفي‬
‫ِخ ْد ِر َها‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pemalu daripada seorang gadis pingitan
yang dipingit di kamarnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau Nabi melihat sesuatu yang beliau tidak suka, biasanya kami bisa melihat dari
wajah beliau.

Kedua, rasa malu itu pembuka segala kebaikan. Sebagaimana dalam hadits yang
kita sebutkan tadi, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫َخْي‬ ‫اَّل‬‫ِإ‬ ‫ي‬‫ِت‬‫الَحَياُء َال َيْأ‬


‫ٍر‬ ‫ِب‬
“Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.”

Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


‫اْلَحَياُء َخ ْيٌر ُك ُّلُه‬
“Malu itu adalah baik semuanya.” (HR. Muslim)

Sekarang ada yang bertanya, Ustadz rasa malu itu baik semuanya, bagaimana kalau
ada orang malu untuk menuntut ilmu?

Berarti ada rasa malu yang tidak baik? Maka para ulama mengatakan bahwa yang
seperti ini sebetulnya bukan rasa malu, tapi menunjukkan kelemahan dia.

Sebab kalau dia punya rasa malu, seharusnya dia malu kalau dirinya tidak bisa, dia
harus malu kalau dirinya tidak bisa menuntut ilmu padahal mereka bisa, kalau
seseorang benar malu seharusnya dia menuntut ilmu.

Baca Juga:
Akhlak kepada Allah Ta'ala - Pentingnya Kejujuran - Bimbingan Islam
(Ustadz Jazuli, Lc.)

Ketiga, rasa malu itu menutup segala macam pintu keburukan. Berkata Fudhail bin
Iyadh bahwa tanda kesengsaraan adalah hati yang keras; mata yang tak pernah
menangis karena takut kepada Allah; sedikit rasa malu; sangat rakus terhadap
dunia; terlalu banyak angan-angan.
Berkata Ibnu Hibban dalam kitab Raudhatul Uqala wa Nuzhatul Fudhala, kewajiban
orang yang berakal senantiasa punya sifat rasa malu. Karena rasa malu itu adalah
akarnya akal. Bahkan rasa malu itu benih-benih kebaikan dan meninggalkan rasa
malu itu hakekatnya adalah akar kebodohan dan benih-benih keburukan.
Makanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ِإَّن ِمَّم ا َأْد َر َك الَّناُس ِم ْن َكاَل ِم الُّنُبَّو ِة ِإَذ ا َلْم َتْسَتْح ِي َفاْفَع ْل َم ا‬
‫ِش ْئَت‬
“Sesungguhnya diantara yang didapatkan manusia dari perkataan (yang disepakati)
para Nabi adalah; “Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu” (HR. Bukhari)

Maksudnya kata para ulama, orang kalau sudah hilang rasa malunya, dia tidak malu
lagi berbuat maksiat. Wanita kalau sudah kehilangan rasa malunya, tidak malu dia
mempertontonkan auratnya. Lelaki yang sudah kehilangan rasa malunya, dia tidak
malu untuk berbuat atau berkata kotor.

Kata Ibnul Qayyim, Kata al-haya’ (rasa malu) berasal dari kata al-hayah (hidup),
siapa yang tidak punya haya’, maka berarti dia mayat di dunia. Dan di akhirat dia
akan sengsara. Karena ada hubungan yang sangat erat antara perbuatan dosa dan
sedikitnya rasa malu.

Baca Juga:
Bantahan Bagi Yang Mengingikari Nikmat Melihat Allah - Kitab Al-
Ibanah

Anda mungkin juga menyukai