MODUL
AKIDAH AKHLAK
AKIDAH AKHLAK
PENDIDIKAN PROFESI GURU DALAM JABATAN
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
KEGIATAN BELAJAR 4:
2022
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
ii
KEGIATAN BELAJAR 4:
AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI
DAN ORANG LAIN
KB 4: AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN
ORANG LAIN
CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN
PEMBELAJARAN DAN POKOK MATERI
CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Menganalisis manfaat akhlak al-karimah kepada diri sendiri dan orang lain.
2. Menganalisis konsep ikhlas dan toleransi dalam Islam dan implementasinya
dalam kehidupan sosial.
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-haya' (malu) sebagai bentuk
akhlak al-karimah
2. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-khauf sebagai bentuk akhlak al-
karimah
3. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep ar-rahiim (kasih sayang) sebagai
akhlak al-karimah
4. Mahasiswa mampu menyimpulkan pemaaf sebagai akhlak al-karimah terhadap
orang lain
5. Mahasiswa mampu menyimpulkan ikhlas dalam beramal/beribadah
6. Mahasiswa mampu menyimpulkan tindakan toleransi yang benar dan yang
tidak benar
POKOK-POKOK MATERI
1. al-Haya' (malu)
2. al-Khauf
3. ar-Rahiim (Kasih Sayang)
4. Pemaaf
5. Ikhlas
6. Toleransi
1
URAIAN MATERI
A. al-Haya' (Malu)
1. Pengertian al-Haya'
Menurut bahasa malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina
atau segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada
pihak lain. Sedang menurut istilah adalah sifat yang mendorong seseorang
merasa tidak enak apabila meninggalkan kewajiban-kewajiaban sebagai hamba
Allah Swt. dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari
melakukan yang rendah atau kurang sopan. Ajaran Islam mengajarkan
pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat menyebankan akhlak seseorang
menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah
dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Perasaan malu muncul dari kesadaran akan perasaan bersalah
tetapi sebenarnya perasaan malu tidak sama dengan perasaaan bersalah. Rasa
malu merupakan perasaan tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh
pihak lain, yakni Allah semata.
2
Dari Ibn. Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda: Malu dan iman senantiasa
bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. (HR.
Hakim)
Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti
memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman
dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah saw.
bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah
mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang
gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR
Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk,
kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah
dari yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw. yang artinya:
Dari Ibn. Umar bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah apabila
hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.
Sesungguhnya apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak
menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci,
dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka
tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah
jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah
dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila
terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan
keislamannya.'' (HR Ibn Majah).
3. Macam-macam al-Haya'
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang, yaitu:
a. Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada
Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini
mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian
kepada Allah dan umat.
b. Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri
agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak
memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah.
Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah
karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
c. Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa
kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani
melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini
Allah selalu mengawasinya.
3
Sifat malu begitu penting karena sebagai benteng pemelihara akhlak
seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat ini perlu
dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat meneguhkan iman
seseorang.
4
B. al-Khauf (Takut)
1. Pengertian al-Khauf
Secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman,
dan khauf adalah rasa takut. Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan
keadaan yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah
diperbuat.
Raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai kenikmatan
lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang
muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada
satu keadaan spiritual yang mendukung kualitas keberagamaan.
5
Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari
makan. Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja’ bisa
menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan
orang bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak
perlu”.
Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka akan berjibaku
apabila ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya;
kecantikan bidadaribidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan
minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua yang
disediakan Allah di dalamnya.
Di waktu yang lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan ketika ditanya, Manakah
yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab
dengan pertanyaan balik. Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang
lapar, roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus
hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan
air perlu diasupkan bersama-sama.
6
C. ar-Rahiim (Kasih Sayang)
1. Pengertian ar-Rahiim
Kasih sayang merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh
semua orang. Karena dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian
dan rasa empati kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat
mendorong manusia untuk saling membantu untuk meringankan penderitaan
yang dialami oleh manusia lainnya. Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin
manusia akan menjadi sangat individualistis, egois dan tidak memikirkan
kepentingan orang lain.
Islam, sebagai agama yang sempurna, mempunyai konsep kasih sayang,
memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, dibekali
dengan akal, ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan
nafsu, maka mereka tidak seperti malaikat yang selalu taat dengan perintah
Allah, manusia terkadang lebih mengutamakan akal atau nafsunya
dibandingkan perintah Allah.
Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan,
supaya berakibat baik bagi semua pihak. Konsep ibadah harus dipahami
sebagai prinsip dalam mengimplementasikan sifat kasih sayang di antara kita,
yakni dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah swt. Dengan
memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri beribadah
kepada Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau
perasaan kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada
makhluk lain kecuali untuk memperoleh rida Allah Swt.
7
oleh agama Islam. Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan juga
untuk lingkungan di sekitarnya.
8
D. Pemaaf
1. Pengertian Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf dapat dimaknai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa
menyisakan rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata
pemaaf, adalah serapan dari Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf,
ampun, dan anugerah.
Maaf sejatinya mudah dipahami, tapi susah diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Hakikat maaf adalah rela, benar-benar merelakan kesalahan
yang sudah orang lain lakukan, sudah terjadi dan biarlah terjadi. Memaafkan
kesalahan orang lain berarti rida dengan kenyataan yang sudah terjadi dan tidak
ada rasa marah lagi kepada orang yang berbuat salah. Pemaaf berarti orang
yang dapat dengan mudah merelakan kejadian-kejadian buruk dan
menyakitkan dirinya yang dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari
dalam jiwanya yang taat kepada perintah Allah untuk bisa memaafkan
siapapun.
Meski sifat pemaaf itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat,
namun masih banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika
banyak di antara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan heran jika
dendam di antara masyarakat kita tidak mudah hilang. Dan jangan berharap
akan ada ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat.
Sebab itu memaksakan diri untuk belajar dan berlatih memiliki sifat pemaaf
itu sangat perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada
sebagai cerminan sifat pemaaf. Dalam rangka belajar bersifat pemaaf, kita bisa
mengambil pelajaran dari kisah para Rasul dan sahabatnya.
9
Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah saw..
Banyak kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup,
termasuk salah satu sifat pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang
mencoba meracuni Rasulullah dengan menabur racun dimakanan beliau,
namun Rasulullah terselamatkan. Hingga wanita itu mengakui perbuatannya
kepada Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita itu tanpa menghukumnya.
Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara bagaimana
kita bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak. Terutama dalam
proses membangun keluarga di antara kita yang tentunya tidak luput dari
kesalahan-kesalahan. Allah Swt. berfirman:
ُ ََْ ُ َ ْ ََ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ ُ َ ًّ ُ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َ
َ
ْ ْ َ ُّ َ ه َ َ ُ ه
َ
ادكم عدوا لكم فاحذروهم و ِإن تعفوا وتصفحوا وتغ ِفروا ِ اجكم وأول ِ يا أيها ال ِذين آمنوا ِإن ِمن أزو
يم ٌ اَّلل َغ ُف
ٌ ور َرح َ َفإهن ه
ِ ِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka),
maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S. at-Taghabun
[64]:14)
Sebagai guru di zaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia
mulai tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf
sangat diperlukan supaya dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya.
Sehingga menjadi panutan mereka.
10
meyakinkan diri menjadi pribadi yang mudah memberi maaf kepada orang lain.
Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri
sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan
memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain mudah memaafkan. Selain hikmah ini, hikmah apa
lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!
11
E. Ikhlas
1. Pengertian Ikhlas
Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab,
kata إخالص ََ َأخل
ْ (ikhlas) merupakan bentuk mashdar dari ص ْ (akhlasa) yang berasal
dari akar kata ( خلصkhalasa). Kata ini mengandung beberapa makna sesuai
dengan kontek kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima
(selamat), washala (sampai) dan I’tazala (memisahkan diri). Bisa juga diartikan
sebagai perbaikan dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-
Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama sebagai
berikut:
a. Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk
Allah Swt. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui
kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan
khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk
mendapatkan keuntungan, serta tidak mengangkat selain dari-Nya
sebagai pelindung (Muhammad Rasyid Rida,1973, hlm. 475).
b. Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal
kebajikan semata-mata karena Allah Swt. (Muhammad al-Ghazali, 1993,
hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil
(kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan
terasa nikmat dimakan, karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil.
Coba bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita makan juga
mengandung kerikil. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada
yang mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala
sesuatu yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik
penentu dalam menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak
dinamakan orang ikhlas sampai ia mengesakan Allah Swt. dari segala sesuatu
dan ia hanya menginginkan Allah Swt.
12
ْ ُ َ ََ ُ ُ َ ٰ َ َ َ َ َ َ ْٰ ٰ ُ َ َ ُ ْ ه
َ ََ َ ْ َ
َّلل َر ِب العل ِم ْين لا ش ِر ْيك لهۚ َو ِبذ ِلك ا ِم ْرت َوانا اهول ال ُم ْس ِل ِم ْين
ِ ِ قل ِان صل ِات ْي َون ُس ِك ْي َومح َياي َوَم ِات ْي
162. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam; 163. tidak ada sekutu bagi-Nya;
dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-
tama berserah diri (muslim).” (Q.S. al-An’am [6]: 162-163)
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam Q.S. al-Bayyinah [98]
ayat 5:
َْ َ ٰ َ ٰ ه ٰ َ َُُْ ه َ ُ ُ َْ ََ ُ ْ ه
َ َ ُ َْ ُ َْ ُْ َٰ
الزكوة َوذ ِلك ِد ْي ُن الق ِي َم ِة الدين ە حنفا َۤء َو ُي ِق ْي ُموا الصلوة ويؤتوا
ِ ومآ ا ِم ُر ٓوا ِالا ِليعبدوا اَّلل مخ ِل ِصين ل
ه
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya
semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S. al-
Bayyinah [98]: 5)
13
malas apabila dikerjakan sendirian; 3) Mau memberi atau sedekah
apabila dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang
yang melihatnya; 4) Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata
karena Allah Swt., akan tetapi karena mengharap pamrih kepada
manusia.
b. Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang
lain supaya mendapat penilain dan dihargai, misalnya kedudukan di
hatinya. Pada dasarnya sama dengan riya’, tetapi sum’ah adalah
perbuatannya sudah dilaksanakan sehingga perlu diceriterakan.
c. Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan
mengikrarkan keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan
menghilangkan keikhlasan karena tidak didasari dengan keimanan yang
benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah paham tentang ikhlas sebagai nilai
landasan amal manusia supaya bisa menjadi amal saleh dan bernilai
ibadah? Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya
kepada Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah
Swt. sebaliknya apabila disertakan keinginan untuk dinilai manusia, maka
Allah Swt. tidak akan mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di
hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal.
Allah Swt. berfirman:
ْ َ ُ َ َ ُ َ َ ه
ًْ ُ آيات َربه ْم َول َقائ ِه َف َحب َط ْت أ ْع َمال ُه ْم َف َلا ُنق
يم ل ُه ْم َي ْو َم ال ِق َي َام ِة َوزنا َ ك الذ َين ك َف ُروا ب أول ِئ
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan
ayat-ayat Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah
amal-amal mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari
kiamat kelak. (Q.S. al-Kahfi [18]: 105)
14
hati kita? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah dapat menyadari
bahwa setiap amal yang dilakukan perlu dilakukan dengan ketulusan sepenuh
hati. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk
diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai
bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta
sebagai bahan mengajak orang lain agar bisa ikhlas dalam beramal saleh. Selain
hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini?
Silahkan analisis lebih dalam!
15
F. Toleransi
1. Pengertian Toleransi
Toleran merupakan predikat bagi orang yang memiliki sifat toleransi.
Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa Inggris “tolerance” yang berarti
membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran,
mendiamkan atau membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi disebut
dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada.
Tasamuh sendiri didefinisikan sebagai pendirian atau sikap yang
termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan
pendirian yang beraneka ragam meskipun tidak sependapat.
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan dan
membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan
sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
Misalnya, perbedaan agama, ideologi dan ras.
Maksud dari ayat ini adalah pengajaran sikap dan mental dari Allah kepada
Nabi Muhammad bahwa di antara umatnya ada yang beriman dengan Al-
Qur’an ini. Mereka mengikutimu dan mengambil manfaat dengan Al-Qur’an. Di
saat yang bersamaan, di antara mereka ada juga yang tidak mepercayaimu dan
apa yang kau bawa. Mereka akan mati dalam keadaan seperti itu dan
dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula. Allah lebih mengetahui siapa yang
berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk; dan siapa yang
berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allah lah yang
Maha Adil yang tidak berbuat zalim. Allah memberi masing-masing sesuai
haknya.
Pada kelanjutan ayatnya, secara lebih konkret Allah mengajari Nabi untuk
bersikap toleransi. Nabi diminta untuk bersikap bebas jika orang-orang musyrik
itu mendustakannya, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka. Ayat
tersebut sebagai berikut:
16
َ ُ ْ َ َ َ ُ ْ َ َ ُ ُ ْ َْ ُ ْ َ ْ ْ َ ه َ ْ َ ُ َ ََ َ ْ ه ْ َ
َ َواِ ْن كهذ ُب ْو َك َف ُقل ل ْي َع
ي ٌء َِما تع َمل ْون ر
ۤ ِ ب ا نا و لم عا ا
ٓ َمِ ن و ُٔ
ـ ي
ۤ ر
ِ ب م تنا ۚم كل م ع مك لو ْ
ي لِ م ِ
“Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku
pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Yunus [10]: 41)
17
Melalui wahyu ini, Allah menunjukkan kepada Rasulullah untuk menolak
tawaran mereka. (HR. Thabrani dan Ibn Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy
mengajukan tawaran kepada Rasulullah saw., “Wahai Muhammad, sekiranya kamu
tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami akan berbalik
mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan peristiwa ini, kemudian
Allah Swt. memerintahkan malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu kepada
Rasulullah saw., yaitu surah al-Kafirun sebagai petunjuk jawaban yang harus
diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah saw. menyampaikan jawaban
berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terang-terangan dengan kalimat:
“selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik agama kufur dengan agama Islam yang
hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin dan Ibnu Mundzir dari Juraij).
Dari beberapa penjelasan ayat di atas jelaslah bahwa toleransi adalah sikap
yang mesti dimiliki umat Islam. Sikap inilah yang melahirkan perdamaian dan
kemajuan. Melalui piagam Madinah yang di dalamnya sarat dengan toleransi,
Nabi berhasil membangun peradaban Islam di tengah kemajemukan.
18
19
REFLEKSI
Setelah mempelajari materi Akhlak Terhadap Diri Sendiri dan Orang Lain
yang mencakup al-haya' (malu), al-khauf, ar-rahiim (kasih sayang), pemaaf, ikhlas,
toleransi apakah hikmah atau spirit yang dapat saudara mahasiswa ambil dan
terapkan dalam pembelajaran PAI?
Melalui materi pada kegiatan belajar ini kita bisa mendalami nilai moderasi
beragama. Pengamalan al-haya’ (malu) adalah pengamalan merasa tidak mau
melakukan perbuatan yang berlebihan, ini mencerminkan nilai tawassuth
(mengambil jalan tengah) dalam moderasi beragama. Pengamalan al-khauf (takut)
adalah pengamalan menjalankan sesuatu karena takut akan hari pembalasan, dan
menjalankan sesuai dengan aturan yang Allah tetapkan, ini menggambarkan nilai
i’tidal (adil tegak lurus). Menjadi pemaaf adalah idaman setiap orang karena
memberikan ketenangan, memberi maaf pada orang yang melakukan kesalahan
akan menjalin kembali komunikasi dan terwujud juga nilai syura (musyawarah).
Mengamalkan nilai ar-rahiim (kasih sayang) akan mencerminkan nilai al-la ‘unf
(anti-kekerasan), karena saling menyayangi sesama manusia. Materi toleransi dalam
kegiatan belajar ini mengarahkan mahasiswa lebih peka terhadap kehidupan
bernegara yang selalu menghargai seluruh warganya, ini mewujudkan nilai
muwathanah (menghargai negara-bangsa dan warga negara) dan ramah terhadap
kebudayaan lokal, ini mencerminkan nilai i’tiraf al-‘urf (ramah terhadap kebudayaan
lokal), serta tentu saja nilai tasamuh yang utama.
Menurut saudara, nilai moderasi beragama apalagi yang dapat dikembangkan
dari materi ini?
20
CONTOH SOAL
Setelah menganalisis uraian materi, apakah Saudara sudah menguasai capaian
pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan Saudara,
dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh
soal pada modul ini sebagai bahan latihan Saudara dalam menganalisis pertanyaan
dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat
oleh dosen pengampu.
1. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap tenggang rasa. Banyak
landasan normatif baik Al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk
bersikap demikian. Namun, dalam praktiknya, orang-orang masih bingung
antara batas wilayah toleransi dan batas wilayah fanatis. Kondisi ini di banyak
kasus menyebabkan sebagian mereka keliru dalam bersikap toleransi bahkan
memicu pertentangan.
Berikut adalah sikap toleransi yang tepat, kecuali ...
a. Membiarkan umat beragama lain merayakan hari besar keagamaannya
b. Memfasilitasi kegiatan beragama umat lain
c. Membantu kemanan dan kenyamanan ibadat umat agama lain
d. Mengucapkan selamat kepada umat agama lain atas hari besarnya
e. Mengikuti ibadahnya secara bersama-sama namun dengan tetap tidak
pindah keyakinan
Jawaban: E
21
GLOSARIUM
al-Haya' : Sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan
yang rendah atau kurang sopan atau bertentangan dengan aturan dan
adat istiadat
al-Khauf : Perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak mengenakkan
karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat
ar-Rahiim : Kasih sayang
Pemaaf : Orang yang rela member maaf kepada orang lain
Ikhlas : Menyengajakan suatu perbuatan hanya karena Allah Swt., dengan
menyerahkan penilaiannya hanya kepada-Nya
Toleransi : pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan
untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang
beraneka ragam meskipun tidak sependapat
22
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mushthofa al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) Jilid 1.
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Bairut: Dar ash-Shadir, 1963
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub, 2011
Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds Fi Madariji Ma’rifat al-nafsi, Bairut: Libanon, Dar al-Kutub,
1988
Al-Ghazali, Mizan al-Amal, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964
Amin, Ahmad, Kitab al-Akhlak, Kairo: Muassasah Handawiy li at-Ta’lim wa ats-
Tsaqafah, 2012
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Multi Karya:
Grafika, Yogyakarta, 2007).
al-Bukhāri, al-Jāmi al-Sahīh al-Bukhāri, tahqiq al-Mustafā Dīb, (Beirūt; Dār Ibnu
Kathīr, 1987).
Dawam Raharjo Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paramdina, 1996).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdiknas,
2003).
Djatmika, Rahmat, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996
Ibnu al-‘Arabi, Kitab Fushush al-Hikam, Abu al-Ali ‘Afifi (ed.), (Beirut: Dar al-Kitab al-
A‟Rabi, 1980).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Terj. M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi‟i 2004).
Ibn. Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi at-Tarbiyah, Bairut - Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1985
Imran Al-Idrusy, Mengenal Langkah-Langkah Setan, (Putra Pelajar, Surabaya, 2001).
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata (Jakarta: PT. Suara Agung Jakarta,
2014).
Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Dar
al-Falah, 1999
M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun, (Beirut,
Darul Fikr Al-Muashir, 2003 M/1424 H).
Said Aqil Husin Munawar. Al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat
Press, 2002).
Said Hawwa. Jalan Ruhani. (Bandung: Mizan. 1995).
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung:
CV. Dipongoro, 1988
Zarruq, Syarhul Hikam, (Surabaya: As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H).
23