Anda di halaman 1dari 21

KEGIATAN BELAJAR 4:

AKHLAK TERHADAP DIRI


SENDIRI DAN ORANG LAIN
KB 4: AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI DAN
ORANG LAIN
CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN
PEMBELAJARAN DAN POKOK MATERI

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Menganalisis manfaat akhlak al-karimah kepada diri sendiri dan orang lain.
2. Menganalisis konsep ikhlas dan toleransi dalam Islam dan implementasinya
dalam kehidupan sosial.
SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-haya' (malu) sebagai bentuk akhlak
al-karimah
2. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep al-khauf sebagai bentuk akhlak al-
karimah
3. Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep ar-rahiim (kasih sayang) sebagai
akhlak al-karimah
4. Mahasiswa mampu menyimpulkan pemaaf sebagai akhlak al-karimah terhadap
orang lain
5. Mahasiswa mampu menyimpulkan ikhlas dalam beramal/beribadah
6. Mahasiswa mampu menyimpulkan tindakan toleransi yang benar dan yang tidak
benar
POKOK-POKOK MATERI
1. al-Haya' (malu)
2. al-Khauf
3. ar-Rahiim (Kasih Sayang)
4. Pemaaf
5. Ikhlas
6. Toleransi

104
URAIAN MATERI

A. al-Haya' (Malu)
1. Pengertian al-Haya'
Menurut bahasa malu berarti merasa sangat tidak enak hati seperti hina atau
segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, kepada pihak lain.
Sedang menurut istilah adalah sifat yang mendorong seseorang merasa tidak
enak apabila meninggalkan kewajiban-kewajiaban sebagai hamba Allah Swt. dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari
melakukan yang rendah atau kurang sopan. Ajaran Islam mengajarkan
pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat menyebabkan akhlak seseorang
menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan
tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.
Perasaan malu muncul dari kesadaran akan perasaan bersalah
tetapi sebenarnya perasaan malu tidak sama dengan perasaan bersalah. Rasa
malu merupakan perasaan tidak nyaman tentang bagaimana kita dilihat oleh
pihak lain, yakni Allah semata.

2. Dalil tentang al-Haya'


Salah satu landasan sifat malu ini adalah merasa melihat Allah atau merasa
dilihat Allah. Sebagaimana konsep ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah sebagai
berikut:
)‫ (رواه مسلم‬... َ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنَّهُ َي َراك‬،ُ‫ّٰللاَ َكأَنَّكَ ت ََراه‬
َّ َ‫أ َ ْن ت َ ْعبُد‬...

Kamu mengabdi (melakukan segala sesuatu perbuatan) kepada Allah Swt. seakan-
akan melihat kamu melihatnya, lalu jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)

Ibnul Qoyyim menjelaskan dalam kitabnya Madarijus Salikin bahwa kuatnya


sifat malu itu tergantung kondisi kualitas hatinya. Sedikit sifat malu disebabkan
oleh kematian hati dan ruhnya, sehingga semakin hidup hati itu maka sifat malu
pun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan, Sifat malu tergantung kepada
pengenalan terhadap Rabbnya. Atau dengan kata lain, malu adalah sifat yang
melekat pada diri seseorang terkait dengan kualitas imannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam sebuah hadis Rasulullah saw. sebagai
berikut:

ِ ْ ‫ « ْال َحيَا ُء َو‬:‫سلَّ َم‬


‫ فَإِذَا ُرفِ َع‬،‫اْلي َمانُ قُ ِرنَا َج ِميعًا‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُّ ِ‫ قَا َل النَّب‬:‫ قَا َل‬،‫ّٰللاُ َع ْن ُه َما‬
َ ‫ي‬ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ع َم َر َر‬
ُ ‫َع ِن اب ِْن‬
)‫أ َ َحد ُ ُه َما ُرفِ َع ْاْلخ َُر» (رواه الحاكم‬
105
Dari Ibn. Umar ra. Berkata, Nabi Saw. bersabda: Malu dan iman senantiasa bersama.
Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya. (HR. Hakim)

Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti
memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman
dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah saw.
bersabda, ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah
mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang
gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR
Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk,
kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari
yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw. yang artinya:

Dari Ibn. Umar bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah apabila
hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu.
Sesungguhnya apabila rasa malu seorang hamba sudah dicabut, kamu tidak
menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci,
dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka
tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah
jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah
dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila
terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan
keislamannya.'' (HR Ibn Majah).

3. Macam-macam al-Haya'
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada seseorang, yaitu:
a. Malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh kepada
Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini
mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian
kepada Allah dan umat.
b. Malu kepada manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar
tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak
memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah.
Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah
karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
c. Malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa
kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani
melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini
Allah selalu mengawasinya.

106
Sifat malu begitu penting karena sebagai benteng pemelihara akhlak
seseorang dan bahkan sumber utama kebaikan. Maka dari itu, sifat ini perlu
dimiliki dan dipelihara dengan baik. Sifat malu dapat meneguhkan iman
seseorang.

4. Hikmah Mempelajari al-Haya'


Ketika Saudara menganalisis materi al-Haya' ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa malu kepada Allah? Apakah Saudara membayangkan
apa jadinya jika Allah mencabut rasa malu dari diri kita? Di antara hikmah
mempelajari materi ini adalah agar menyadari bahwa memiliki rasa malu adalah
bagian dari keimanan. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai
modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini
bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk
lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain agar bisa merasa malu dan merasa
dilihat Allah. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari
materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!

107
B. al-Khauf (Takut)
1. Pengertian al-Khauf
Secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman,
dan khauf adalah rasa takut. Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan
keadaan yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah
diperbuat.
Raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai kenikmatan
lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi seorang
muslim, kedua rasa ini mutlak dihadirkan. Karena akan mengantarkan pada satu
keadaan spiritual yang mendukung kualitas keberagamaan.

2. Alasan Memiliki Sifat al-Khauf


Kenapa kita harus mempunyai sifat khauf, ada beberapa alasan: Pertama,
supaya ada proteksi diri. Terutama dari perbuatan kemaksiatan atau dosa.
Karena, nafsu selalu menyuruh kita untuk melakukan perbuatan buruk dan tidak
ada kata berhenti dalam menjerumuskan kita. Oleh karena itu, kita harus
membuat nafsu menjadi takut. Seorang ahli hikmah berkata, “Suatu ketika nafsu
mengajak berbuat maksiat, lalu ia keluar dan berguling- guling di atas pasir yang
panas seraya berkata kepada nafsunya, “Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih
panas dari pada yang anda rasakan ini.”
Kedua, agar tidak ujub atau berbangga diri dan sombong. Sekalipun kita
sedang dalam zona taat, kita harus selalu waspada terhadap nafsu. Perasaan
paling suci, paling bersih dan paling taat adalah di antara siasat halus nafsu.
Karena itulah nafsu harus tetap dipaksa dan dihinakan tentang apa yang ada
padanya, kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai macam bahayanya.

3. Dalil tentang al-Khauf


Sebagai dasar sifat al-Khauf ini, Allah Swt. berfirman dalam surah an-Najm
[53] ayat 32 sebagai berikut:
‫ فَ ًَل تُزَ ُّكوا أ َ ْنفُ َس ُك ْم ه َُو أ َ ْعلَ ُم ِب َم ِن اتَّقَى‬...

“… Jangan engkau merasa paling suci, karena Aku tahu siapa yang paling bertakwa.”
(Q.S. an-Najm [53]: 32).

Berikutnya, kenapa manusia perlu memiliki sifat raja’. Alasannya adalah


pertama, agar tetap bersemangat dalam ketaatan. Sebab berbuat baik itu berat dan
setan senantiasa akan mencegahnya dengan berbagai cara. Allah Swt. berfirman:

َ ‫ث ُ َّم َْلتِ َينَّ ُه ْم ِم ْن َبي ِْن أ َ ْيدِي ِه ْم َو ِم ْن خ َْل ِف ِه ْم َو َع ْن أ َ ْي َمانِ ِه ْم َو َع ْن‬


َ‫ش َمائِ ِل ِه ْم َو َْل ت َِجدُ أَ ْكثَ َر ُه ْم شَا ِك ِرين‬

108
Kemudian pasti aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan
dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapatkan mereka banyak bersyukur.
(Q.S. Al-‘Araf [7]: 17)

Imam al-Ghazali berkata, “Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari


makan. Khauf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja’ bisa menguatkan
keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang
bersikap zuhud dan tidak mengambil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu”.
Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka akan berjibaku
apabila ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya; kecantikan
bidadari bidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan
minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua yang
disediakan Allah di dalamnya.
Di waktu yang lain, Imam Al-Ghazali menjelaskan ketika ditanya, Manakah
yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja`? Sang Hujjatul Islam menjawab
dengan pertanyaan balik. Mana yang lebih enak, roti atau air? Bagi orang yang
lapar, roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus
hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air
perlu diasupkan bersama-sama.

4. Hikmah Mempelajari al-Khauf


Bagaimana kalau orang yang tidak memiliki rasa takut dan tidak punya
harapan? Tentu dia akan sembarangan dalam beramal atau tidak mau berbuat
apa-apa. Dan tentunya sulit dijelaskan bagaimana ia bisa menjadi orang yang
sukses.
Ketika Saudara menganalisis materi al-Khauf ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa takut jika tidak bisa memenuhi perintah Allah? Apakah
Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan rasa takut akan
kehilangan pertolongan Allah? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah
agar menyadari bahwa setiap manusia membutuhkan pertolongan Allah. Sebagai
pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri sendiri
maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan
memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain selalu takut kepada Allah. Selain hikmah ini, hikmah
apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih
dalam!

109
C. ar-Rahiim (Kasih Sayang)
1. Pengertian ar-Rahiim
Kasih sayang merupakan karunia nikmat yang sangat didambakan oleh
semua orang. Karena dengan sifat ini, dapat tercipta kepedulian, kedamaian dan
rasa empati kepada orang lain. Tidak hanya itu, kasih sayang dapat mendorong
manusia untuk saling membantu untuk meringankan penderitaan yang dialami
oleh manusia lainnya. Tanpa adanya rasa kasih sayang, mungkin manusia akan
menjadi sangat individualistis, egois dan tidak memikirkan kepentingan orang
lain.
Islam, sebagai agama yang sempurna, mempunyai konsep kasih sayang,
memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, dibekali
dengan akal, ghadhab dan nafsu. Karena manusia dibekali dengan akal dan nafsu,
maka mereka tidak seperti malaikat yang selalu taat dengan perintah Allah,
manusia terkadang lebih mengutamakan akal atau nafsunya dibandingkan
perintah Allah.
Untuk itu, Islam mengatur batas-batas kasih sayang yang diperbolehkan,
supaya berakibat baik bagi semua pihak. Konsep ibadah harus dipahami sebagai
prinsip dalam mengimplementasikan sifat kasih sayang di antara kita, yakni
dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah swt. Dengan
memegang prinsip tersebut, kita akan terbiasa untuk meniatkan diri beribadah
kepada Allah dalam setiap hal yang kita lakukan, termasuk dalam hati atau
perasaan kita. Tidak ada rasa kasih dan sayang yang kita berikan kepada makhluk
lain kecuali untuk memperoleh ridha Allah Swt.

2. Dalil tentang ar-Rahiim


Hadis yang membicarakan kasih sanyang diantaranya yang artinya sebagai
berikut: (1). “Sekali-kali tidaklah kalian beriman sebelum kalian mengasihi”, (2)” Kasih
sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada
sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (untuk seluruh umat manusia” (H.R.
Thabrani).
Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam, juga
mengajarkan bahwa kasih sayang tidak hanya berlaku antar manusia, melainkan
juga pada hewan, tumbuhan dan lingkungan di sekitarnya. Pernah diceritakan
Abu Bakar as-Shiddiq ra. berpesan kepada pasukan yang dipimpin oleh Usamah
bin Zaid, “Janganlah kalian bunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak kecil. Jangan
pula kalian kebiri pohon-pohon kurma, dan janganlah kalian tebang pepohonan yang
berbuah. Jika kalian menjumpai orang-orang yang tidak berdaya, biarkanlah mereka,
jangan kalian ganggu”. Nasehat ini, yang diberikan dalam keadaan perang,
sungguh mencerminkan makna kasih sayang yang diajarkan oleh agama Islam.

110
Kasih sayang tidak hanya untuk manusia, melainkan juga untuk lingkungan di
sekitarnya.

3. Contoh ar-Rahiim dalam Kehidupan Sehari-hari


Perlu digaris bawahi bahwa sifat kasih sayang yang tidak didasari dengan
prinsip penghambaan diri kepada Allah, adalah tidak benar. Yang demikian itu
justru akan memberikan energi negatif untuk beramal yang salah, tidak diterima
oleh Allah, dan akan memberikan dampak buruk kepada semua orang bahkan
makhluk yang lain. Sebagai contoh adalah Saudara menyayangi peserta didik
Saudara sebagai anak didik yang membutuhkan perhatian dan bimbingan
terbaik, dengan harapan Allah meridai. Kasih sayang yang dimaksud bukan kasih
sayang terhadap lawan jenis dengan diselimuti hawa nafsu. Hal ini adalah
perbuatan keliru karena tidak didasari prinsip penghambaan diri kepada Allah.
Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan
materi ini.

4. Hikmah Mempelajari ar-Rahiim


Ketika Saudara menganalisis materi ar-Rahiim ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa selalu ingin menyayangi orang-orang di sekitar? Apakah
Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan kasih
sayangnya pada orang beriman? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah
dapat menguatkan hati selalu memberikan kasih sayang yang didasari
penghambaan pada Allah. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai
modal, baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini
bisa sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk
lain. Serta sebagai bahan mengajak orang lain agar selalu saling menyayangi
dalam ketaatan. Selain hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan
dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!

111
D. Pemaaf
1. Pengertian Pemaaf
Pemaaf berarti orang yang rela member maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf dapat dimaknai sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa
menyisakan rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Sebenarnya kata
pemaaf, adalah serapan dari Bahasa Arab, yakni al-‘afw yang berarti maaf, ampun,
dan anugerah.
Maaf sejatinya mudah dipahami, tapi susah diimplementasikan dalam
kehidupan nyata. Hakikat maaf adalah rela, benar-benar merelakan kesalahan
yang sudah orang lain lakukan, sudah terjadi dan biarlah terjadi. Memaafkan
kesalahan orang lain berarti rida dengan kenyataan yang sudah terjadi dan tidak
ada rasa marah lagi kepada orang yang berbuat salah. Pemaaf berarti orang yang
dapat dengan mudah merelakan kejadian-kejadian buruk dan menyakitkan
dirinya yang dilakukan oleh orang lain, karena dorongan dari dalam jiwanya
yang taat kepada perintah Allah untuk bisa memaafkan siapapun.
Meski sifat pemaaf itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat,
namun masih banyak orang susah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Jika
banyak di antara kita yang masih sulit memaafkan, maka jangan heran jika
dendam di antara masyarakat kita tidak mudah hilang. Dan jangan berharap akan
ada ketenangan dan ketentraman dalam masyarakat.
Sebab itu memaksakan diri untuk belajar dan berlatih memiliki sifat pemaaf
itu sangat perlu. Kita perlu belajar dan berlatih untuk bisa berlapang dada sebagai
cerminan sifat pemaaf. Dalam rangka belajar bersifat pemaaf, kita bisa mengambil
pelajaran dari kisah para Rasul dan sahabatnya.

2. Dalil tentang Pemaaf


Allah mengajarkan kepada kita agar menjadi pribadi yang pemaaf, melalui
kisah cerita, seperti kisah Abu Bakar as-Shidiq yang menjadi sebab-sebab
diturunkannya ayat berikut ini:

ْ ‫ّٰللاِ َو ْل َي ْعفُوا َو ْل َي‬


‫صفَ ُحوا‬ َّ ‫س ِبي ِل‬
َ ‫اج ِرينَ ِفي‬ َ ‫س َع ِة أ َ ْن يُؤْ تُوا أُو ِلي ْالقُ ْر َبى َو ْال َم‬
ِ ‫ساكِينَ َو ْال ُم َه‬ َّ ‫ض ِل ِم ْن ُك ْم َوال‬ ْ َ‫َو َْل َيأْت َ ِل أُولُو ْالف‬
‫ّٰللاُ َغفُور َر ِحيم‬ َّ ‫أ َ َْل ت ُ ِحبُّونَ أَ ْن يَ ْغ ِف َر‬
َّ ‫ّٰللاُ لَ ُك ْم َو‬

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara


kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan member (bantuan) kepada kerabat(nya),
orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah
mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah
mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nur
[24]: 22)

Selain kisah khalifah Abu Bakar, ada juga kisah dari Rasulullah saw.. Banyak
kisah hidup beliau yang dapat diambil sebagai pelajaran hidup, termasuk salah

112
satu sifat pemaafnya. Seperti kisah seorang wanita Yahudi yang mencoba
meracuni Rasulullah dengan menabur racun di makanan beliau, namun
Rasulullah terselamatkan. Hingga wanita itu mengakui perbuatannya kepada
Rasulullah, dan beliau memaafkan wanita itu tanpa menghukumnya.
Memberi maaf kepada orang lain yang bersalah merupakan cara bagaimana
kita bisa membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak. Terutama dalam
proses membangun keluarga di antara kita yang tentunya tidak luput dari
kesalahan-kesalahan. Allah Swt. berfirman:

‫ّٰللاَ َغفُور‬ ْ َ‫اج ُك ْم َوأ َ ْو َْل ِد ُك ْم َعد ًُّوا لَ ُك ْم فَاحْ ذَ ُرو ُه ْم َوإِ ْن ت َ ْعفُوا َوت‬
َّ ‫صفَ ُحوا َوت َ ْغ ِف ُروا فَإ ِ َّن‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِ َّن ِم ْن أ َ ْز َو‬
‫َر ِحيم‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-


anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka
sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S. at-Taghabun [64]:14)

Sebagai guru di zaman sekarang ini, dimana adab dan akhlak yang mulia
mulai tercerabut dari sikap dan tingkah laku anak-anak sekolah. Sikap pemaaf
sangat diperlukan supaya dapat menebar senyum dihadapan peserta didiknya.
Sehingga menjadi panutan mereka.

3. Contoh Pemaaf dalam Kehidupan Sehari-hari


Sebagai contoh pada kehidupan sehari-hari Saudara, bisa mengumpamakan
dengan hubungan guru dan peserta didik. Mungkin saudara pernah dimarahi
oleh guru Saudara di masa lalu, marahnya guru itu tidak akan terlupakan, namun
sudah saudara relakan sebagai kejadian yang sudah terjadi, dan saudara tidak
lagi marah atau dendam dengan guru Saudara. Begitu pula dengan perlakuan
orang tua Saudara di masa lalu, mungkin ada hal yang membuat saudara marah
kepada mereka, kejadiannya tidak terlupakan, namun Saudara rela dengan
kejadian itu dan tidak ada lagi marah apalagi dendam kepada orang tua Saudara.
Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh yang berkaitan dengan
materi ini.

4. Hikmah Mempelajari Akhlak Pemaaf


Ketika Saudara menganalisis materi pemaaf ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa masih ada kesalahan yang belum Saudara maafkan?
Apakah Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memaafkan
kesalahan-kesalahan kita? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah
meyakinkan diri menjadi pribadi yang mudah memberi maaf kepada orang lain.
Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri
sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan
113
memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain mudah memaafkan. Selain hikmah ini, hikmah apa
lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis lebih dalam!

114
E. Ikhlas
1. Pengertian Ikhlas
Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata
ْ (ikhlas) merupakan bentuk mashdar dari ‫ص‬
‫إخًلص‬ َ َ‫أخل‬
ْ (akhlasa) yang berasal dari akar
kata ‫( خلص‬khalasa). Kata ini mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek
kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai) dan I’tazala (memisahkan diri). Bisa juga diartikan sebagai perbaikan
dan pembersihan sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986:
hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama sebagai berikut:
a. Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk
Allah Swt. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui
kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan
khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk
mendapatkan keuntungan, serta tidak mengangkat selain dari-Nya
sebagai pelindung (Muhammad Rasyid Rida,1973, hlm. 475).
b. Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal
kebajikan semata-mata karena Allah Swt. (Muhammad al-Ghazali, 1993,
hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil
(kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan terasa
nikmat dimakan, karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Coba
bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita makan juga
mengandung kerikil. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada
yang mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu
yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik penentu dalam
menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas
sampai ia mengesakan Allah Swt. dari segala sesuatu dan ia hanya menginginkan
Allah Swt.

2. Dalil tentang Ikhlas


Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah Swt. dan
mengharapkan rida-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan
godaan seperti keinginan terhadap popularitas, simpati orang lain, kemewahan,
kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai
dengan perintah Allah-Nya yang tercantum dalam Q.S. al-An’am [6] ayat 162-163:

َ‫ب ْالعٰ لَ ِمي ْۙنَ َْل ش َِريْكَ َلهٗ َۚو ِب ٰذلِكَ ا ُ ِم ْرتُ َواَن َ۠ا ا َ َّو ُل ْال ُم ْس ِل ِميْن‬
ِ ‫اي َو َم َماتِ ْي ِ هلِّلِ َر‬ َ ‫قُ ْل ا َِّن‬
ُ ُ‫ص ًَلتِ ْي َون‬
َ َ‫س ِك ْي َو َمحْ ي‬

115
162. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam; 163. tidak ada sekutu bagi-Nya;
dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-
tama berserah diri (muslim).” (Q.S. al-An’am [6]: 162-163)

Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam Q.S. al-Bayyinah [98]
ayat 5:
‫ص ٰلوة َ َويُؤْ تُوا ال َّز ٰكوة َ َو ٰذلِكَ ِد ْينُ ْالقَيِ َم َۗ ِة‬
َّ ‫الديْنَ ەۙ ُحنَفَ ۤا َء َويُ ِق ْي ُموا ال‬
ِ ُ‫صيْنَ لَه‬ ‫َو َما ا ُ ِم ُر ْوا ا َِّْل ِليَ ْعبُد ُوا ه‬
ِ ‫ّٰللاَ ُم ْخ ِل‬

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya


semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S. al-
Bayyinah [98]: 5)

Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya hanya kepada


Allah. Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah Allah Swt. Jadi apabila
penilaiannya disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan
dihargai dengan harga sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan
merusak keikhlasan kita, sebagaimana Q.S. al-Insan [76] ayat 9:

ُ ‫ّٰللاِ َْل نُ ِر ْيد ُ ِم ْن ُك ْم َجزَ ۤا ًء َّو َْل‬


‫ش ُك ْو ًرا‬ ْ ُ‫اِنَّ َما ن‬
‫ط ِع ُم ُك ْم ِل َوجْ ِه ه‬

(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena


mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari
kamu. (Q.S. al-Insan [76]: 9)

3. Sifat yang dapat Merusak Keikhlasan


Ikhlas merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu
nyata sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu
umat Islam harus berhati-hati terhadap sifat-sifat yang dapat merusak
keikhlasannya, di antaranya:
a. Riya’, yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridha Allah
SWT., akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian
atau kemasyhuran, posisi, kedudukan di tengah masyarakat,
sebagaimana tergambar di dalam firman Allah Swt. Q. S. al-Ma’un [107]:
4-7. Riya’ merupakan salah satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun
tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang
yang melakukannya. Adapun tanda-tanda orang yang riya’, adalah: 1)
Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji atau disanjung
oleh orang lain, akan tetapi menjadi berkurang atau bahkan
meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan ejekan; 2)
Tekun dalam beribadah apabila di depan orang banyak, akan tetapi malas
apabila dikerjakan sendirian; 3) Mau memberi atau sedekah apabila

116
dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang
melihatnya; 4) Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena
Allah Swt., akan tetapi karena mengharap pamrih kepada manusia.
b. Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang lain
supaya mendapat penilain dan dihargai, misalnya kedudukan di hatinya.
Pada dasarnya sama dengan riya’, tetapi sum’ah adalah perbuatannya
sudah dilaksanakan sehingga perlu diceritakan.
c. Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan
mengikrarkan keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan
menghilangkan keikhlasan karena tidak didasari dengan keimanan yang
benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah paham tentang ikhlas sebagai nilai
landasan amal manusia supaya bisa menjadi amal saleh dan bernilai ibadah?
Jika nilai keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya kepada
Allah Swt. semakin baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah Swt.
sebaliknya apabila disertakan keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah
Swt. tidak akan mau menilai dan didiskualifikasi sebelum dihisab di
hadapan-Nya kelak di hari perhitungan amal.
Allah Swt. berfirman:

‫ت أ َ ْع َمالُ ُه ْم فَ ًَل نُ ِقي ُم لَ ُه ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َو ْزنًا‬ ِ ‫أُولَئِكَ الَّذِينَ َكفَ ُروا بِآيَا‬
َ ِ‫ت َر ِب ِه ْم َو ِلقَائِ ِه فَ َحب‬
ْ ‫ط‬

Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan


ayat-ayat Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah
amal-amal mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari
kiamat kelak. (Q.S. al-Kahfi [18]: 105)

4. Contoh Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari


Sebagai gambaran ikhlas yang sederhana adalah dari kondisi Saudara sebagai
guru. Ketika Saudara menyampaikan suatu ilmu kepada peserta didik, dan ada
kepuasan hati, serta ada rasa tulus saat menyampaikannya, maka itu adalah
bagian dari ikhlas. Ketika Saudara menjalankan shalat dengan penuh ketulusan,
tanpa paksaan, tanpa merasa takut ancaman, sehingga berupaya khusyu dalam
salat, maka itu adalah bagian dari ikhlas. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-
banyaknya contoh yang berkaitan dengan materi ini.

5. Hikmah Mempelajari Ikhlas


Ketika Saudara menganalisis materi ikhlas ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa sudah tulus dalam menjalankan setiap amal? Apakah
Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan rasa ikhlas di
hati kita? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah dapat menyadari

117
bahwa setiap amal yang dilakukan perlu dilakukan dengan ketulusan sepenuh
hati. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal, baik untuk diri
sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa sebagai bahan
memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain. Serta sebagai
bahan mengajak orang lain agar bisa ikhlas dalam beramal saleh. Selain hikmah
ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan analisis
lebih dalam!

118
F. Toleransi
1. Pengertian Toleransi
Toleran merupakan predikat bagi orang yang memiliki sifat toleransi.
Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa Inggris “tolerance” yang berarti
membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap toleran,
mendiamkan atau membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi disebut
dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada. Tasamuh
sendiri didefinisikan sebagai pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada
kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka
ragam meskipun tidak sependapat.
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan dan
membiarkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan
sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri.
Misalnya, perbedaan agama, ideologi dan ras.

2. Dalil tentang Toleransi


Dalam Al-Qur’an, sikap toleransi ini banyak diulas baik secara eksplisit
maupun implisit. Di antara firman-Nya adalah sebagai berikut:

ࣖ َ‫َو ِم ْن ُه ْم َّم ْن يُّؤْ ِمنُ ِب ٖه َو ِم ْن ُه ْم َّم ْن َّْل يُؤْ ِمنُ ِب ٖ َۗه َو َربُّكَ ا َ ْعلَ ُم ِب ْال ُم ْف ِس ِديْن‬

“Dan di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan
di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan
Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S.
Yunus [10]: 40)

Maksud dari ayat ini adalah pengajaran sikap dan mental dari Allah kepada
Nabi Muhammad bahwa di antara umatnya ada yang beriman dengan Al-Qur’an
ini. Mereka mengikutimu dan mengambil manfaat dengan Al-Qur’an. Di saat
yang bersamaan, di antara mereka ada juga yang tidak mempercayaimu dan apa
yang kau bawa. Mereka akan mati dalam keadaan seperti itu dan dibangkitkan
dalam keadaan seperti itu pula. Allah lebih mengetahui siapa yang berhak
mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk; dan siapa yang berhak
mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allah lah yang Maha Adil
yang tidak berbuat zalim. Allah memberi masing-masing sesuai haknya.
Pada lanjutan ayatnya, secara lebih konkret Allah mengajari Nabi untuk
bersikap toleransi. Nabi diminta untuk bersikap bebas jika orang-orang musyrik
itu mendustakannya, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka. Ayat
tersebut sebagai berikut:

119
ْ ۤ ‫ع َملُ ُك ۚ ْم اَ ْنت ُ ْم َب ِر ۤ ْيـُٔ ْونَ ِم َّما ا َ ْع َم ُل َواَن َ۠ا َب ِر‬
َ‫يء ِم َّما تَ ْع َملُ ْون‬ َ ‫َوا ِْن َكذَّب ُْوكَ فَقُ ْل ِل ْي َع َم ِل ْي َولَ ُك ْم‬

“Dan jika mereka (tetap) mendustakan (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku


pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Yunus [10]: 41)

Ayat berikutnya yang merupakan ayat paling populer berbicara tentang


toleransi bahkan utuh dalam satu surat adalah surat al-Kafirun. Berikut bunyinya:

‫) َو َ ْۤل اَ ْنت ُ ْم‬٤( ‫) َو َ ْۤل اَنَا َعا ِبد َّما َع َبدْتُّ ْم‬٣( ُ‫) َو َ ْۤل ا َ ْنت ُ ْم عٰ ِبد ُْونَ َم ۤا ا َ ْعبُد‬٢( َ‫) َ ْۤل ا َ ْعبُد ُ َما ت َ ْعبُد ُْون‬١( َ‫قُ ْل ٰيا َ ُّي َها ْال ٰك ِف ُر ْون‬
ۤ
)٦( ‫ي ِدي ِْن‬ َ ‫) لَ ُك ْم ِد ْينُ ُك ْم َو ِل‬٥( ُ ‫عٰ ِبد ُْونَ َما ا َ ْعبُد‬

“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian
sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah apa yang
aku sembah, bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 1-7)

3. Maksud Toleransi dalam Al-Qur’an


Dalam kitab tafsir Jalalain dijelaskan bahwa maksud dari agama kalian adalah
kesyirikan, sementara maksud dari agamaku adalah Islam. Adapun menurut M.
Quraish Shihab dalam tafsirnya, ia menjelaskan makna dari ayat tersebut ialah
”Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan bagiku agamaku yang Allah
perkenankan untukku.”
Menurut pendapat sebagian mufassir, ayat ini diturunkan sebelum Nabi saw.
diperintahkan untuk memerangi mereka. Tentang peperangan, bukan berarti
Nabi tidak lagi mengindahkan toleransi. Peperangan yang ada hanyalah bukti
ketaatan Nabi kepada perintah Allah, dan dengan alasan sebagai perlawanan saat
Nabi dan kaum muslimin diserang atau diperangi.
Memahami Al-Qur’an tidaklah sempurna jika tidak mempertimbangkan
asbab al-nuzul ayat. Adapun asbab al-nuzul dari surat al-Kafirun ini ialah adanya
kaum kafir Quraisy berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah
saw. agar mengikuti ajaran mereka. Kaum kafir Quraisy menawarkan harta yang
melimpah agar Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dinikahkan dengan wanita paling cantik, baik
yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam upaya ini,
kaum kafir Quraisy mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang kami sediakan
untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami dalam satu tahun”
Rasulullah pun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan menunggu
wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.” Karena terjadinya peristiwa ini, maka
Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Rasulullah berupa surat al-Kafirun.

120
Melalui wahyu ini, Allah menunjukkan kepada Rasulullah untuk menolak
tawaran mereka. (HR. Thabrani dan Ibn Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengajukan
tawaran kepada Rasulullah saw., “Wahai Muhammad, sekiranya kamu tidak keberatan
mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami akan berbalik mengikuti agamamu
selama satu tahun pula.” Berdasarkan peristiwa ini, kemudian Allah Swt.
memerintahkan malaikat Jibril untuk menurunkan wahyu kepada Rasulullah
saw., yaitu surah al-Kafirun sebagai petunjuk jawaban yang harus diberikan
Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah saw. menyampaikan jawaban berdasarkan
wahyu Allah tersebut secara terang-terangan dengan kalimat: “selamanya tidak
akan bertemu dalam satu titik agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR.
Abdurrazak dari Wahbin dan Ibnu Mundzir dari Juraij).
Dari beberapa penjelasan ayat di atas jelaslah bahwa toleransi adalah sikap
yang mesti dimiliki umat Islam. Sikap inilah yang melahirkan perdamaian dan
kemajuan. Melalui piagam Madinah yang di dalamnya sarat dengan toleransi,
Nabi berhasil membangun peradaban Islam di tengah kemajemukan.

4. Contoh Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari


Gambaran toleransi yang ada di lingkungan kemasyarakatan, di antaranya
dengan sikap membiarkan masyarakat non muslim beribadah, walaupun di
tengah-tengah lingkungan masyarakat mayoritas muslim. Tentu sebaliknya juga
perlu dilakukan masyarakat non muslim, saat kelompok muslim minoritas
berada di lingkungan non muslim mayoritas, perlu mengizinkan masyarakat
muslim mengumandangkan azan. Saling menghormati dan memperbolehkan
aktivitas peribadatan ini adalah bentuk toleransi yang sudah terbangun di
Indonesia sejak lama. Saudara bisa mengeksplor sebanyak-banyaknya contoh
yang berkaitan dengan materi ini.

5. Hikmah Mempelajari Toleransi


Ketika Saudara menganalisis materi toleransi ini, apa yang Saudara rasakan?
Apakah Saudara merasa sudah bersikap toleran terhadap orang lain? Apakah
Saudara membayangkan apa jadinya jika Allah tidak memberikan batasan toleran
yang baik? Di antara hikmah mempelajari materi ini adalah mengetahui batasan
toleransi sesuai aturan yang tepat demi saling menjaga kemurnian masing-
masing keyakinan. Sebagai pendidik perlu menjadikan materi ini sebagai modal,
baik untuk diri sendiri maupun untuk peserta didik. Pelajaran penting ini bisa
sebagai bahan memuliakan diri sendiri, Allah, sesama manusia dan makhluk lain.
Serta sebagai bahan mengajak orang lain saling menghargai dan toleran. Selain
hikmah ini, hikmah apa lagi yang bisa Saudara dapatkan dari materi ini? Silahkan
analisis lebih dalam!

121
CONTOH SOAL
Setelah menganalisis uraian materi, apakah Saudara sudah menguasai capaian
pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan Saudara,
dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh
soal pada modul ini sebagai bahan latihan Saudara dalam menganalisis pertanyaan
dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh
dosen pengampu.
1. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap tenggang rasa. Banyak
landasan normatif baik Al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk
bersikap demikian. Namun, dalam praktiknya, orang-orang masih bingung
antara batas wilayah toleransi dan batas wilayah fanatis. Kondisi ini di banyak
kasus menyebabkan sebagian mereka keliru dalam bersikap toleransi bahkan
memicu pertentangan.
Berikut adalah sikap toleransi yang tepat, kecuali ...
a. Membiarkan umat beragama lain merayakan hari besar keagamaannya
b. Memfasilitasi kegiatan beragama umat lain
c. Membantu keamanan dan kenyamanan ibadat umat agama lain
d. Mengucapkan selamat kepada umat agama lain atas hari besarnya
e. Mengikuti ibadahnya secara bersama-sama namun dengan tetap tidak
pindah keyakinan

Jawaban: E

TINDAK LANJUT BELAJAR


Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat melakukan
beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di antaranya sebagai berikut:
1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS Program PPG.
Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses
pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di
bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan
pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS program
PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas yang ada
di LMS.

122
GLOSARIUM
al-Haya' : Sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang
rendah atau kurang sopan atau bertentangan dengan aturan dan adat
istiadat
al-Khauf : Perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak mengenakkan
karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat
ar-Rahiim : Kasih sayang
Pemaaf : Orang yang rela member maaf kepada orang lain
Ikhlas : Menyengajakan suatu perbuatan hanya karena Allah Swt., dengan
menyerahkan penilaiannya hanya kepada-Nya
Toleransi : pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan
untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang
beraneka ragam meskipun tidak sependapat

123
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mushthofa al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) Jilid 1.
Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Bairut: Dar ash-Shadir, 1963
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Kutub, 2011
Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds Fi Madariji Ma’rifat al-nafsi, Bairut: Libanon, Dar al-Kutub,
1988
Al-Ghazali, Mizan al-Amal, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964
Amin, Ahmad, Kitab al-Akhlak, Kairo: Muassasah Handawiy li at-Ta’lim wa ats-
Tsaqafah, 2012
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Multi Karya:
Grafika, Yogyakarta, 2007).
al-Bukhāri, al-Jāmi al-Sahīh al-Bukhāri, tahqiq al-Mustafā Dīb, (Beirūt; Dār Ibnu Kathīr,
1987).
Dawam Raharjo Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paramdina, 1996).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdiknas,
2003).
Djatmika, Rahmat, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996
Ibnu al-‘Arabi, Kitab Fushush al-Hikam, Abu al-Ali ‘Afifi (ed.), (Beirut: Dar al-Kitab al-
A‟Rabi, 1980).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Terj. M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi‟i 2004).
Ibn. Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak fi at-Tarbiyah, Bairut - Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1985
Imran Al-Idrusy, Mengenal Langkah-Langkah Setan, (Putra Pelajar, Surabaya, 2001).
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata (Jakarta: PT. Suara Agung Jakarta,
2014).
Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Dar al-
Falah, 1999
M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun, (Beirut,
Darul Fikr Al-Muashir, 2003 M/1424 H).
Said Aqil Husin Munawar. Al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat
Press, 2002).
Said Hawwa. Jalan Ruhani. (Bandung: Mizan. 1995).
Ya’qub, Hamzah, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar), Bandung: CV.
Dipongoro, 1988
Zarruq, Syarhul Hikam, (Surabaya: As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H).

124

Anda mungkin juga menyukai