Anda di halaman 1dari 4

Mengatasi Sifat Sombong, Ini Enam Nasihat Imam Al-Ghazali

Haritsah bin Wahb berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Maukah kalian aku beri tahu tentang penduduk neraka?
Mereka semua adalah orang-orang kasar, rakus, dan sombong." (HR  Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjelaskan tentang bahayanya
sifat sombong. Kesombongan merugikan pelakunya di dunia dan juga di akhirat kelak. Tiga perilaku buruk tersebut akan membawa
manusia menjadi penghuni neraka.

Kesombongan hanya akan membawa kita pada kehancuran. Kita harus belajar dari kisah iblis. Iblis itu hebat. Namun,
dia sombong dan angkuh; merasa diri lebih baik dari nabi Adam AS. Akhirnya, dia diusir dari surga-Nya Allah. Allah SWT berfirman:
"Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya
kamu termasuk orang-orang yang hina." (QS al-A’raf: 13).

Apabila kita diberikan kekayaan, misalnya, terkadang kita juga merasa hebat dari orang yang tak punya. Padahal, kekayaan dan
kemiskinan sejatinya hanyalah ujian dari Allah untuk manusia, untuk melihat seberapa baik orang kaya dan seberapa sabar orang
miskin.  Oleh sebab itu, sungguh tak elok jika kita melukai hati manusia lain dengan kekayaan dan jabatan yang sejatinya adalah
titipan. Rasulullah SAW bersabda: “Cukuplah seseorang dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya yang Muslim.” (HR
Muslim).

Seorang mukmin sudah seharusnya membenamkan sifat sombong dan angkuh. Kita harus merendahkan hati agar tak dibenci Allah
yang Mahasuci. Untuk mengatasi kesombongan dan keangkuhan, Imam al-Ghazali menyampaikan enam nasihat. Pertama, jika
berjumpa dengan anak-anak, anggaplah bahwa anak-anak tersebut lebih mulia daripada kita karena mereka belum banyak
melakukan dosa. Kedua, apabila bertemu dengan orang tua, anggaplah ia lebih mulia daripada kita karena dia sudah lama
beribadah.

Ketiga, jika berjumpa dengan orang alim, anggaplah dia lebih mulia daripada kita karena mereka telah mempelajari dan mengetahui
banyak ilmu. Keempat, jika melihat orang bodoh, anggaplah mereka lebih mulia daripada kita karena mereka melakukan dosa dalam
kebodohan, sedangkan kita melakukan dosa dalam keadaan mengetahui. Kelima, apabila melihat orang jahat, jangan anggap kita
lebih mulia karena mungkin suatu hari nanti dia akan bertobat atas kesalahannya. Keenam, apabila bertemu dengan orang kafir,
katakan di dalam hati bahwa mungkin suatu hari nanti mereka akan mendapatkan hidayah dan memeluk Islam sehingga segala dosa
mereka akan diampuni oleh Allah.

Nasihat Imam al-Ghazali mengajarkan kita agar rendah hati dan tidak merasa lebih baik daripada orang lain. Orang mukmin adalah
mereka yang selalu rendah hati dan menghargai manusia lainnya. Allah SWT berfirman: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS al-Furqan:63). Wallahualam.

7 Sebab Sombong Menurut Imam Ghazali

Sebab Sombong

Tahukah Anda, dosa apa yang pertama kali dilakukan oleh makhluk Allah? Jawabannya adalah al-kibrualias sombong. Ya, benar
sekali. Sombong merupakan kelakuan Iblis saat Allah menyuruh untuk sujud sebagai penghormatan kepada Adam yang baru
diciptakan. Para malaikat bersujud menaati perintah, tetapi Iblis enggan. Alasannya saat itu adalah anggapan Iblis bahwa Adam tidak
lebih mulia daripadadirinya. Adam diciptakan dari tanah, sedangkan Iblis diciptakan dari api.

Anggapan Iblis bahwa dirinya adalah makhluk mulia sangat keliru. Kenapa? Ya, genting saja yang terbuat dari tanah, posisinya
berada paling atas. Ini isyarat bahwa jika manusia terbuat dari tanah, maka manusia pun posisinya bisa seperti genting, mulia berada
di atas makhluk-makhluk Allah lainnya termasuk Iblis. Syaratnya, menjadikan diri patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasulullah.
Itulah esensi kemuliaan manusia.

Sekali lagi, sombong merupakan dosa pertama yang muncul dari makhluk Allah swt.. Dan, sombong merupakan dosa yang benar-
benar Allah benci. Maka, menjauhkan diri dari kesombongan merupakan bentuk kecerdasan hakiki seorang manusia.

Apakah Sombong itu?

Sombong dalam bahasa Arab disebut dengan beberapa kata, yaitu al-kibru, al-fakhru, al-‘ajabu,al-‘uzhmatu, at-ta’ajruf, at-taraffu’,


dll.. Namun, yang lebih familiar adalah kata al-kibru. Termasuk istilah yang digunakan Rasulullah ketika menjelaskan definisi
sombong adalah kata al-kibru.

Secara bahasa, al-kibru (sombong) artinya al-‘uzhmah yang berarti merasa mulia. Demikian yang dijelaskan Ibnu Manzhur dalam
Lisanul ‘Arab.

Sedangkan secara istilah, definisi al-kibru bisa dilihat dari hadits Rasulullah saw. berikut:
ُ ‫َط ُر ْالحَ ِّق َو‬
ِ ‫غَمْط ال َّن‬
‫اس‬ َ ‫ب‬ ‫اَ ْل ِك ْب ُر‬
“Sombong adalah menolak hak dan menyepelekan manusia” (H.R. Muslim dan Tirmidzi).

Dalam Ihya` Ulumuddin, Imam al-Ghazali mengartikan sombong sebagai berikut:


‫س َور ُْؤي َُة َق ْد ِرهَا َف ْوقَ َق ْد ِر ْالغَ ي ِْر‬
ِ ‫اِسْ تِعْ َظا ُم ال َّن ْف‬
“Menganggap mulia dirinya dan melihat kemampuannya di atas kemampuan orang lain”.

Inti dari definisi tersebut terletak pada dua hal, yaitu menganggap diri lebih baik daripada orang lain dan menyepelekan atau
menganggap orang lain tidak ada apa-apanya.

Sebab-Sebab Kesombongan

Imam al-Ghazali dalam Ihya` Ulumuddin menjelaskan ada tujuh hal yang dapat mendorong seseorang berbuat sombong. Ketujuh hal
tersebut antara lain:

1. ‫اَ ْل ِع ْلم‬  (ilmu)

Sejatinya, seorang yang berilmu memiliki sikap rendah hati. Semakin berisi semakin merunduk. Demikian falsafah padi mengajarkan.
Namun, memiliki ilmu terkadang membuat si pemilik ilmu menjadi sombong: merasa diri paling pintar, merasa diri paling tahu,
merasa diri paling paham. Orang lain, dianggapnya tidak tahu apa-apa

Oleh karena itu, seorang berilmu hendaknya hati-hati karena bisa saja ilmu yang dimilikinya malah membuatnya angkuh.  Kok bisa
begitu? Ya, bisa saja. Setan kan punya segudang cara untuk menjerumuskan manusia ke lembah dosa dan maksiat? Termasuk
menyusupkan kesombangan kepada orang berilmu. Maka, kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.

Sombong itu urusan hati, tetapi sombong bisa dilihat dari fisik atau tampilan luar. Hanya saja, tidak selamanya fisik mencerminkan
hati. Misalnya, karena merasa tahu dan paham, seorang ‘alim menjawab pertanyaan jama’ahnya dengan nada tinggi ditambah
retorika dan mimik mukanya mencerminkan ketidaktawadhuan. Orang berilmu seperti ini bisa saja sedang dihinggapi setan dengan
menunggangi kesombongan.

Jamaluddin bin Muhammad al-Qasimi dalam kitabnya Mau’izhatul Hasanah min Ihya` ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa dalam hal
ilmu menjadi penyebab kesombongan, ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya kesombongan dengan ilmu. Pertama, sibuk
dengan ilmu, tetapi ilmunya bukan ilmu yang hakiki. Ilmu yang hakiki sejatinya akan membuat seorang hamba mengenal Allah yang
kemudian ia memiliki rasa takut kepada Allah (khasy-yah). Kedua, menyelami ilmu tetapi dengan cara yang tidak baik, hati yang
kotor dan akhlak yang tercela. Maka, ilmunya akan membuatnya sombong. 

2.  ُ‫اَ ْل َع َمل ُ َوا ْل ِعبَادَ ة‬ (amal dan ibadah)

Penyebab kesombongan yang kedua adalah amal dan ibadah. Merasa amal yang telah dilaksanakan begitu banyak, besar dan
berharga, hati seseorang menjadi angkuh. Ia menganggap orang lain tidak bisa beramal seperti yang ia lakukan. Padahal, d alam hal
ini Rasulullah saw. bersabda:
‫ئ مِنَ ال َّشرِّ أَنْ َيحْ قِرَ أَ َخاهُ ْالمُسْ لِ َم‬
ٍ ‫ب امْ ِر‬
ِ ْ‫ِبحَ س‬
“Cukuplah seseorang dilabeli buruk ketika ia merendahkan saudaranya yang muslim”. (H.R. Muslim).

Selain itu, ketika ia melihat orang lain beramal dan beribadah, ia merasa amal dan ibadahnya lebih baik daripada orang tersebut.
Dengan hanya rajin ke pengajian, ia merasa sudah cukup amalnya. Dengan tahajud setiap malam, shadaqah rutin dan besar, umrah
dan haji, ia merasa sudah mendapat kunci surga.

Kita harus hati-hati dari perasaan demikian. Hal seperti itu merupakan bisikan setan agar amal dan ibadah kita menjadi rusak. Sudah
cape-cape beramal, ternyata amal menjadi rusak gara-gara kesombangan ketika atau selepas beramal. Sedangkan kesombongan itu
sama saja menghinakan diri di hadapan Allah karena jelas-jelas tidak ada yang bisa menandingi Allah dalam hal keutamaan dan
kekuasaan.

3. ‫ب‬ َ ‫ب َوال َّن‬


ُ ‫س‬ َ ‫اَ ْل َح‬ (keturunan, nasab)
ُ ‫س‬
Selanjutnya, kesombongan bisa saja timbul karena faktor keturunan dan nasab keluarga. Memiliki orang tua sebagai tokoh besar
suatu masyarakat, seseorang busung dada ketika berhadapan dengan yang lain.Memiliki saudara yang sukses berpendidikan tinggi,
seseorang membangga-banggakan diri di depan sahabat-sahabatnya.

Ini jelas tidak lah patut. Kenapa? Ya… bukan dirinya yang menjadi tokoh besar tetapi orangtuanya. Bukan pula dirinya yang
berpendidikan tinggi, melainkan saudaranya. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah sudah melebihi mereka atau minimal seperti
mereka? Maka, kenapa harus sombong?

Dalam pelajaran Adabiyah (moral, etika), ada sebuah ungkapan:


‫ َلكِنَّ ْال َف َتى َمنْ َيقُ ْو ُل هَا أَ َن َاذا‬...‫لَ ْيسَ ْال َف َتى َمنْ َيقُ ْو ُل َكانَ أَ ِبي‬...

“Bukanlah disebut pemuda yang mengatakan, ‘Inilah ayahku’… tetapi pemuda itu adalah yang mengatakan, ‘Inilah aku’.”

4.  ُ ‫اَ ْل َج َمال‬ (ketampanan, kecantikan)

Menurut A, si Fulan itu tampan. Tetapi, B mengatakan biasa saja. Menurut Abdullah si Fulanah cantik. Namun, Abdurrahman
mengatakan standar-standar saja. Nah, siapa yang benar? Si A atau B? ini tergantung “selera”. Jadi, dua-duanya benar perspektif
masing-masing.

Ilustrasi sederhana tersebut menunjukkan bahwa ketampanan dan kecantikan tidak bisa menjadi standar atau ukuran mulianya
seseorang. Oleh karena itu, tidak sepatutnya ketampanan atau kecantikan menjadikan seseorang angkuh karena tampan dan cantik
bersifat nisbi (relatif). Namun, bisa saja karena gangguan setan, seseorang sombong dengan tampilan fisiknya yang indah.

Setan akan terus menggoda anak Adam agar ketampanan dan kecantikan yang dimilikinya ia pamer-pamerkan. Selain itu, orang lain
dianggapnya tidak lebih tampan atau cantik daripada dirinya, kemudian ia merasa gagah dengan penampilannya.

Sebagai penguat, ada sebuah hadits yang berbunyi:


‫وب ُك ْم َوأَعْ مَا ِل ُك ْم‬ ُ ‫مْوا ِل ُك ْم َو َلكِنْ َي ْن‬
ِ ُ‫ظ ُر إِلَى قُل‬ َ َ‫ظ ُر إِلَى ص َُو ِر ُك ْم َوأ‬
ُ ‫إِنَّ هَّللا َ اَل َي ْن‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal kalian”  (H.R.
Muslim).

5. ُ ‫اَ ْل َمال‬ (harta)

Harta adalah penyebab kesombongan selanjutnya. Selain sebagai alat beribadah, harta bisa saja dijadikan alat oleh setan untuk
menyusupkan kesombongan ke dalam hati manusia. Kita harus berhati-hati dalam bab harta. Harta itu fitnah (ujian) dan salah satu
ujiannya adalah bisakah kita menjadi tawadhu meskipun harta melimpah ruah? Bisakah kita menjadi sederhana seperti Rasulullah
yang kaya raya, tetapi Beliau tetap berpola sederhana? Informasi tambahan, mahar Rasulullah ketika menikah dengan Khadijah
sebanyak 20 ekor unta merah yang per ekornya senilai Rp 434.178.200 – Rp 651.267.300. Total mahar minimalnya berarti Rp
8.683.564.000 (8,6 Milyar).

Sebenarnya harta itu bukanlah milik kita, melainkan milik Allah yang dititipkan kepada kita. Jadi, jika ada orang yang sombong
dengan hartanya yang melimpah, maka orang itu tidak tahu malu. Adéan ku kuda beureum.

Sekali lagi, mari berhati-hati agar harta yang dimiliki tidak menjadikan kita berbangga diri alias sombong. tetapi, harta kita jadikan
sebagai alat beribadah, alat untuk masuk kedalam surga.  

ِ ‫اَ ْلقُ َّوةُ َوشِ دَّ ةُ ا ْل َب ْط‬ (kekuatan, kerasnya penindasan)


6. ‫ش‬

Penyebab kesombongan selanjutnya adalah kekuatan, kemampuan, dan kehebatan yang dimiliki. Lagi-lagi kita harus ingat kepada
Allah yang telah menciptakan kita dengan segenap kemampuan dan keunikan. Sombong dengan kemampuan diri, sama saja
sombong dengan pemberian. Karena, kekuatan dan kemampuan diri merupakan pemberian Allah.

Kita pun perlu berlindung diri kepada Allah agar ketika kita memiliki skill mapan dalam hal tertentu, dalam dakwah, pendidikan,
bisnis, dll., kita tidak memiliki kesombongan di dalam hati.

7. ‫ب‬ ِ ‫صا ُر َوا ْل َعشِ ْي َرةُ َواأْل َ َق‬


ُ ‫ار‬ َ ‫اَأْل َ ْت َبا ُع َواأْل َ ْن‬ (pengikut, penolong [backing], kelompok, kerabat)
Sebab yang terakhir adalah pengikut, backing, kelompok atau kerabat dekat. Karena teman dekat adalah seorang pejabat atau
anggota dewan, lalu seseorang bebangga diri. Karena memunyai bodyguard yang gagah dan berotot, seseorang kemudian
membusungkan dada. Karena memiliki pengikut (umat) yang banyak dan berstrata tinggi, seorang ustadz atau kiayi merasa diri
sukses dakwah. Semua ini adalah jebakan yang setan buat. Hati-hati merupakan sikap terbaik dalam hal ini.

Penutup

Ketujuh sebab yang disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya tersebut adalah representasi dari banyak hal lain yang juga bisa
menyebabkan diri menjadi sombong. Pada intinya, kesombongan bukanlah hak makhluk, melainkan hak Allah swt.. Sekali saja
makhluk berlaku sombong, berarti ia “ngajak” tarung dengan Allah swt..
Lima Jurus Imam al-Ghazali agar Terhindar dari Ujub

Agar terhindari dari ujub atau sombong, seseorang mesti mulai dengan melatih diri berpikir positif kepada orang lain. Dalam kitab
Bidâyatul Hidâyah, Imam al-Ghazali menyebut ujub sebagai penyakit kronis (ad-dâul 'idlâl). Kepada diri sendiri, pengidap penyakit ini
merasa mulia dan dan besar diri, sementara kepada orang lain ada kecenderungan untuk meremehkan dan merendahkan.

Biasanya buah dari sikap ini, kata al-Ghazali, adalah obral keakuan: gemar mengatakan aku begini, aku begitu. Seperti yang Iblis
la'natullah katakan ketika menolak perintah Allah untuk hormat kepada Nabi Adam, "aku lebih baik dari Adam. Kau ciptakan aku dari
api sementara Kau ciptakan dia dari tanah" (QS al-A'raf:12). Dalam majelis-majelis, pengidap penyakit ujub juga suka meninggikan
diri sendiri, serta ingin selalu menonjol dan terdepan. Saat bercakap-cakap atau berdialog umumnya orang seperti ini tak mau kalah
dan dibantah. Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali menerangkan takabbur dan ujub dengan definisi yang mirip. Katanya, orang
yang takabur (mutakabbir) gusar ketika menerima nasihat tapi kasar saat memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya
lebih baik dari hamba Allah yang lain, itulah mutakabbir. Lantas bagaimana agar bisa keluar dari jeratan ini? Imam al-Ghazali
memberikan tips dengan mengembalikannya pada manajemen pikiran.   ‫ وذلك‬،‫بل ينبغي< لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند هللا في دار اآلخرة‬
‫ وأن الفضل له على نفسك‬،‫ بل ينبغي< أال تنظر إلى أحد إال وترى أنه خير منك‬،‫ وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض‬،‫غيب‬
"Ketahuilah bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah di akhirat kelak. Itu perkara ghaib (tidak diketahui) dan karenanya
menunggu peristiwa kematian. Keyakinan bahwa dirimu lebih baik dari selainmu adalah kebodohan belaka. Sepatutnya kau tidak
memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik ketimbang dirimu dan memiliki keutamaan di atas dirimu."
Ujub dan takabur adalah tentang dua entitas antara diri sendiri dan orang lain. Yang ditekankan adalah bagaimana yang pertama
menata pikiran agar terhindar dari perasaan lebih istimewa dari yang kedua. Secara praktis, kiat-kiat yang ditawarkan Imam al-
Ghazali adalah sebagai berikut:

Pertama, bila yang disebut orang lain itu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah, sementara
dirimu yang lebih tua sebaliknya. Tak diragukan lagi, anak kecil itu lebih baik dari dirimu.

Kedua, bila orang lain itu lebih tua, beranggapanlah bahwa ia beribadah kepada Allah lebih dulu ketimbang dirimu, sehingga tentu
orang tersebut lebih baik dari dirimu.

Ketiga, bila orang lain itu berilmu, beranggapanlah bahwa ia telah menerima anugerah yang tidak engkau peroleh, menjangkau apa
yang belum kau capai, mengetahui apa yang tidak engkau ketahui. Jika sudah begini, bagiamana mungkin kau sepadan dengan
dirinya, apalagi lebih unggul?

Keempat, bila orang lain itu bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat orang bodoh berbuat atas dasar kebodohannya,
sementara dirimu berbuat maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang menjadi alasan atau dasar (hujjah) pada pengadilan di akhirat
kelak.

Kelima, bila orang lain itu kafir, beranggapanlah bahwa kondisi akhir hayat seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu di
kemudian hari masuk Islam lalu meninggal dunia dengan amalan terbaik (husnul khâtimah).
Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa lalu sebagaimana keluarnya sehelai rambut dari adonan roti, mudah sekali. Sementara
dirimu? Bisa jadi Allah sesatkan dirimu di ujung kehidupan, berubah haluan menjadi kafir, lalu menutup usiamu dengan amal
terburuk (sûul khâtimah). Dengan demikian, Muslim dan kafir sekarang masih sangat mungkin berbalik nasib di kemudian hari.
Dirimu yang kini muslim mungkin di kemudian hari masuk kelompok orang yang jauh dari Allah dan dia yang sekarang kafir mungkin
di kemudian hari masuk golongan orang yang dekat dengan Allah. Tampak sekali Imam al-Ghazali hendak menutup peluang
timbulnya ujub dan takabur dengan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam diri manusia. Seolah beliau ingin
mengatakan bahwa sepatutnya seseorang menghabiskan energinya untuk introspeksi (muhâsabah) kepada diri sendiri ketimbang
sibuk menghakimi kualitas diri orang lain. Sebab, hakim sejati hanyalah Allah dan keputusan final yang hakiki hanya ada di akhirat,
bukan di dunia ini. Wallâhu a‘lam.

Anda mungkin juga menyukai