Anda di halaman 1dari 8

LATAR BELAKANG

Sejak empat belas abad yang silam, Al-Qur’an telah menginformasikan bahwa ajaran

Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW. adalah sebagai rahmat bagi semesta alam.

(Lihat dalam surah Al-An’am : 107). Sayyid Qutb, Ibn Jarir al-Thabary dan Ahmad Mustafa al-

Maraghy, sebagai mufassir berpendapat bahwa maksud rahmat ini adalah dapat diterima oleh

seluruh umat manusia, apakah mereka dari kalangan mukmin maupun mereka yang bukan

mukmin. Dalam arti lain bahwa, rahmatan lil al-‘alamin bisa bermakna bahwa ajaran Islam sejak

diturunkannya telah memiliki karakteristik sebagai ajaran yang abadi,sempurna dan universal.

Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek penting untuk mengetahui

keuniversalan ajaran Islam tersebut adalah adanya dorongan untuk senantiasa mencari ilmu

pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada. Dengan adanya dorongan dari ayat-

ayat Al-Qur’an maupun dalam Hadits yang menganjurkan umat Islam agar mencari ilmu

pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa disiplin ilmu pengetahuan dalam

Islam, dimana salah satu di antaranya adalah lahirnya ilmu tasawuf yang akan dibahas dalam isi

makalah ini.

Ilmu tasawuf sesungguhnya ialah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang utama,

selain ilmu Tauhid (Ushuluddin) dan ilmu Fiqih yang mana dalam ilmu Tauhid bertugas

membahas tentang soal-soal I’tiqad (kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal

ketuhanan, kerasulan, hari ahir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya. Kemudian

dalam ilmu Fiqih adalah lebih membahas tentang hal-hal ibadah yang bersifat dhahir (lahir),

seperti soal shalat, puasa, zakat, ibadah haji dan sebagainya. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf

lebih membahas soal-soal yang berkaitan denganakhlak, budi pekerti, amalan ibadah yang

berkaitan dengan masalah bathin (hati), seperti cara-cara ikhlas, khusu’, taubat, tawadhu’, sabar,

ridha (kerelaan), tawakkal dan yang lainnya.


Sikap tawadhu’ adalah kebalikan dari sikap sombong. Tawadhu’ adalah bagian dari

akhlak yang mulia, sedangkan kesombongan termasuk akhlak yang tercela. Tawadhu’ adalah

sikap rendah hati, namun tidak sampai merendahkan kehormatan diri dan tidak pula memberi

peluang orang lain untuk melecehkan kemuliaan diri.

Takabur atau sombong adalah sikap merasa lebih unggul atau lebih mulia di bandingkan

dengan yang lain. Kesombongan adalah sikap terlalu yakin terhadap diri sendiri, hingga muncul

perasaan menganggap rendah dan hina pihak lain serta enggan berkumpul dengan orang lain.

Orang seperti ini tidak mau menerima perbedaan pendapat apalagi nasihat orang lain. Bila ada

orang yang mengingatkannya dia akan marah bahkan menghina orang tersebut.

Coba kita lihat, bila seseorang mempunyai sikap tawadhu’, maka akhlak-akhlak mulia lainnya

akan muncul pada dirinya, seperti perasaan bahwa manusia ini sama, lebih mengutamakan orang

lain, toleran, bisa memahami perasaan orang lain, dan mau membantu orang yang terzo limi.

Adapun kesombongan akan menjurumuskan seseorang kepada sikap-sikap negatif yang

lain, seperti, iri hari, benci, pemarah, egois, terperdaya dengan diri sendiri, dan ingin menguasai.

Orang yang mempunyai sifat sombong cenderung merendahkan kawan-kawan sesamanya. Bila

dia telah mengusai pengetahuan tertentu, maka dia akan menghina dan mencela kawan-

kawannya yang ketinggalan pengetahuannya. Bila berinteraksi dengan orang lain, dia
mengganggap bodoh dan menghina mereka, dan bila mengerjakan sesuatu, dia suka

menyelesaikannya sendiri.

Karena sikap sombong dan ‘ujub (bangga terhadap diri sendiri) hampir sama, maka Imam

al-Ghazali membuat perbandingan antara keduanya.

Ia menegaskan bahwa takabur berbeda dengan ‘ujub; orang yang ‘ujub tidak akan menyakiti

pihak lain, karena dia hanya sebatas membanggakan diri secara berlebihan, namun tidak disertai

dengan sikap merendahkan atau menghina pihak lain. Takabur juga berbeda dengan al-‘adhamah

(merasa bangga dengan potensi yang ada), karena orang yang dalam hatinya ada perasaan

‘adhamah, masih menganggap ada orang lain yang lebih baik dan lebih bagus darinya, atau

paling tidak masih ada yang menyamainya.

Dalam kitab tahzib al-akhlak, Ibnu Maskawaih berkata,”Orang yang pandai dan terhormat

seharusnya terhindar dari sifat takabur dan bangga terhadap diri sendiri. Ada sebuah kisah,

seorang penguasa berbangga diri di hadapan seorang hamba sahaya yang pandai. Melihat hal ini,

hamba sahaya tersebut berkata,’Bila kamu berbangga diri kepadaku atas kuda yang kamu miliki,

maka keistimewaan yang engkau banggakan adalah milik kuda bukan milikmu. Bila kamu

berbangga diri karena bajumu, maka yang bagus adalah bajumu, bukan dirimu, dan bila kamu

membanggakan diri karena kehormatan nenek moyangmu, makan kehormatan itu adalah milik

mereka bukan milikmu”

Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al Qur’an dan As Sunah

mencelanya dan mengajak kita untuk meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini

diancam tidak masuk ke dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah memuji hamba-

hamba-Nya yang rendah hati dan tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala berfirman,

‫ض هَوْ نًا َوإِ َذا خَاطَبَهُ ُم ْال َجا ِهلُونَ قَالُوا َساَل ًما‬
ِ ْ‫َو ِعبَا ُد الرَّحْ َم ِن الَّ ِذينَ يَ ْم ُشونَ َعلَى اأْل َر‬
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka

bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-

kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِّ ‫ْال ِك ْب ُر بَطَ ُر ْال َح‬


ِ َّ‫ق َو َغ ْمطُ الن‬
‫اس‬

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya

Allah ta’ala berfirman,

َ‫إِنَّهُ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْستَ ْكبِ ِرين‬

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Allah ta’ala juga berfirman,

ِ ْ‫ك ال َّدا ُر اآْل َ ِخ َرةُ نَجْ َعلُهَا لِلَّ ِذينَ اَل ي ُِري ُدونَ ُعلُ ًّوا فِي اأْل َر‬
‫ض َواَل فَ َسادًا‬ َ ‫تِ ْل‬

“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk

menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)

Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang

menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang

dia miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Karena barang siapa

yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan membuatnya rendah hati dan

menumbuhkan kehusyu’an hati serta ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan

tidak bosan untuk terus memperhatikannya. Bahkan di setiap saat dia selalu berintrospeksi diri
dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia pasti akan terlempar keluar dari jalan yang

lurus dan binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk berbangga-banggaan dan meraih

kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan

merendahkan mereka, sungguh ini tergolong kesombongan yang paling besar. Tidak akan masuk

surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil dzarrah (anak

semut), la haula wa la quwwata illa billah.

Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan

adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap

tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula

rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah

ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan

kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan

posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan

berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya

maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya

maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka

baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya.

Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama.

Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan

kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-

hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain
akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan,

pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat

singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,

‫هَ َذا ِم ْن فَضْ ِل َربِّي لِيَ ْبلُ َونِي أَأَ ْش ُك ُر أَ ْم أَ ْكفُ ُر‬

“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah

justru kufur.” (QS. An Naml: 40).”

Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan

dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima

kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya

berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu

artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji

manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman,

‫ َكاَّل‬. ‫ َوأَ َّما إِ َذا َما ا ْبتَاَل هُ فَقَ َد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقَهُ فَيَقُو ُل َربِّي أَهَانَ ِن‬. ‫… فَأ َ َّما اإْل ِ ْن َسانُ إِ َذا َما ا ْبتَاَل هُ َربُّهُ فَأ َ ْك َر َمهُ َونَ َّع َمهُ فَيَقُو ُل َربِّي أَ ْك َر َم ِن‬

“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan

mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan

diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata,

‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17)

Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezekinya) dan Aku muliakan

kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang
Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku

timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)

Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu

Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah

mendengar Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan

Abu Bakar ada seorang lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan

seluruh umat manusia dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan

ketinggian dan kemuliaan derajat yang lebih di antara manusia yang lain. Dia mengatakan:

Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena faktor apakah Umar bin Al Khathab bisa

mengungguli orang-orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang berujar kepadaku, ‘Dengan

sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang mati syahid, dan dia juga tidak pernah

merasa takut kepada celaan siapapun selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’ Pada

keesokan harinya, laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang

duduk bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika dia

selesai bercerita maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata kepadanya, “Pergilah

kamu, itu hanyalah mimpi orang tidur!” Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat tersebut.

Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar memegang urusan pemerintahan, maka beliau pun

mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ulangi

kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu menjawab, “Bukankah anda telah

menolak cerita saya dahulu?!” Umar mengatakan, “Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan

keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu dia sedang duduk

di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu ‘anhu tidak

merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu.

walaupun sebenarnya dia tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan

tetapi inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” (lihat Ma’alim fi Thariq

Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/593-sombong-vs-tawadhu.html

Anda mungkin juga menyukai