Anda di halaman 1dari 2

Husnul Khuluq (Akhlak yang Baik)

Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Mubarak tentang pengertian Husnul Khuluq, ia mengatakan, wajah
yang cerah, mengerahkan kebaikan, dan mencegah bahaya.
Urgensi Akhlak yang Baik:
Jangan remehkan soal peneguhan akhlak. Hati sekeras batu milik para kafir Quraisy pun dapat luluh dengan
akhlak mulia.
Karena Islam bukan sekadar tujuan tapi juga cara. Artinya kalau kita mempunyai cita-cita menegakkan Islam
maka tidak ada cara lain untuk mencapai kecuali dengan cara (akhlak) Islam. Hal ini juga diisyaratkan oleh
Allah SWT dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan congkak dan ingin
dilihat oleh manusia dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah.” (QS. Al-Anfal: 47)
Orang-orang kafir, sekalipun membangkang dan bersikeras memerangi Rasulullah SAW, namun mereka tidak
kuasa menampik kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mengapa?
Apa –selain faktor hidayah dari Allah SWT- yang membuat hati banyak orang yang semula lebih keras dari
batu, bisa tiba-tiba luluh, dan tak berdaya selain tunduk dan pasrah kepada seruan Rasulullah SAW?
Jawabannya adalah karena Islam adalah kebenaran mutlak yang pasti sesuai dengan fitrah manusia. Namun ada
faktor lain yang menempati posisi amat bermakna untuk membuat seseorang tersentuh fitrahnya yakni: akhlak.
Keindahan akhlak yang ditampilkan Rasulullah saw telah membungkam segala hujjah orang yang mendustakan
Rasulullah SAW. Karenanya hal yang paling mungkin mereka tuduhkan kepada Rasulullah SAW adalah bahwa
beliau seorang tukang sihir atau berpenyakit gila. Meski akhirnya tuduhan itu tak dapat juga mereka buktikan.

Karena itu, semangat menegakkan kebenaran (baca: syari’at Islam) bukan alasan untuk mengabaikan akhlak
Islami. Bahkan justeru semangat itu seharusnya mendorong untuk meningkatkan kualitas akhlak.
Prinsip itu berlaku universal dan dipraktekkan oleh para nabi sebelum Rasulullah SAW. Lihat, bagaimana Allah
SWT mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menghadapi Firaun. Bukan untuk semata-mata menawarkan
kebenaran, namun untuk menawarkan kebenaran dengan memakai akhlak. “Pergilah kamu berdua kepada
Firaun sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-
kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (kepada Allah).” (QS. Thaha: 43-44)
Rasulullah SAW pun mendapat perintah yang sama. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang
yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri. Dan tidaklah sama antara kebaikan dengan keburukan. Maka tolaklah (keburukan) itu
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dengan dia ada permusuhan menjadi
seolah-olah telah menjadi teman setia.” (QS. Fushshilat: 33-34)
Kedua ayat ini menunjukkan akhlak dalam berdakwah dengan segala tantangannya sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi seseorang mau menerima kebenaran atau tidak, menjadi tunduk hatinya atau semakin
congkak, menjadi suadara seiman atau semakin menjadi-jadi permusuhannya.
Karenanya, dakwah yang penuh cacian dan makian, kepada siapa pun: penguasa, kelompok lain yang tidak
sehaluan, orang yang tidak mau mengikuti seruan dakwahnya adalah bertentangan dengan akhlak Islam. Selain
tidak sesuai dengan esensi kebenaran itu sendiri cacian dan makian itu tidak akan menambah keimanan dan
amal. Alih-alih meningkatkan pemahaman dan kesiapan untuk berjuang, bertambah justeru penyakit-penyakit
hati seperti iri, dengki, kebencian, dan kesumpekan dada.

Langkah menuju akhlak yang baik:


Dilakukan dengan dua langkah secara bersamaan. Langkah pertama adalah takhliyah, yakni membesihkan diri
dari segala akhlak yang buruk. Dan langkah kedua adalah tahliyah menghiasi diri dengan akhlak yang baik.
Dalam konteks perjuangan menghadapi tantangan, Allah menyebut dua sifat buruk secara khusus. Yakni al-
bathar (congkak) dan riya (beramal demi untuk dilihat manusia). Mengapa dua penyakit hati itu disebut secara
khusus?
Kesombongan akan melemahkan posisi dai dalam menghadapi tantangan, baik yang muncul karena sebab
kelebihan ilmu, wawasan, atau informasi. Ini sering mengakibatkan dirinya mudah mengambil kesimpulan,
keputusan, atau bahkan memvonis keadaan. Jelas cara ini sangat berbahaya. Karena dengan cara seperti itu
seorang da’i bisa terjebak dalam pandangan yang over istimasi tentang dirinya dan sebaliknya under estimasi
tentang orang lain dan keadaan yang dihadapinya. Ini pernah menjadi catatan pahit kaum muslimin di masa lalu,
sebagaimana Allah rekam dalam ayat-Nya:
“Sungguh Allah telah menolong kalian di banyak tempat dan pada hari (perang) Hunain, saat jumlah kalian
yang banyak membuat kalian bangga tapi ternyata tidak berguna sama sekali bagi kalian (jumlah tersebut),
dan bumi kalian rasakan menjadi sempit padahal ia luas, kemudian kalian berpaling dengan membelakang.
Kemudian Allah menurunkan ketenteraman-Nya atas rasul-Nya dan atas orang-orang beriman dan
menurunkan bala tentara yang kalian tidak dapat melihatnya, dan menyiksa orang-orang kafir. Dan itulah
balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. At-Taubah: 25-26)
Kesombongan juga bisa muncul dalam bentuk mengangkat diri sendiri melebihi kapasitas sebenarnya. Sejarah
telah membuktikan bahwa tidak ada kemenangan yang dicapai oleh kesendirian. Kemenangan Islam adalah
kemenangan kolektif dan dihasilkan dari amal jama’i yang segala keputusannya lahir dari musyawarah (syura).
Riya juga menempati posisi penting dalam faktor-faktor penyebab kegagalan dakwah dan perjuangan Islam.
Sebelum riya itu berdampak buruk dalam kaitan interkasi sesama manusia, ia terlebih dahulu merupakan
penyakit yang dimurka Allah SWT sampai-sampai Rasulullah SAW menjelaskan bahwa alih-alih mendapatkan
pahala, orang yang beramal dengan riya lebih layak menjadi penghuni neraka. Karena memang orang yang riya
bukan mencari ridha Allah dengan amalnya. Atau mencari ridha Allah sambil mencari pujian manusia. Dan
Allah tidak suka cara seperti itu. Lalu, bagaimana bisa mendapatkan pertolongan Allah SWT jika dalam beramal
yang diinginkan adalah keridhaan manusia?
Sombong dan riya ini merupakan induk dari akhlak buruk yang akan memunculkan perilaku buruk lainnya.
Karena itu dapat dimengerti jika larangan sombong dan riya kemudian diikuti larangan menghalang-halangi
orang lain dari jalan Allah. Apa maksudnya?
Bukan dakwah dan perjuangannya, tentu, yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, melainkan sifat
dan akhlak buruk yang menyertai dakwah dan perjuangan itu. Akhlak buruk bisa menyebabkan orang lari dari
dakwah dan bahkan dari Islam itu sendiri. Dan jika ada orang yang lari dari Islam gara-gara kita berakhlak
buruk kita dianggap telah menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah. Maka, sifat-sifat buruk ini perlu
dibersihkan dari diri kita. Namun tidak cukup dengan hanya takhliyah, tapi juga dihiasi dengan sikap tahliyah.
Sikap berikutnya adalah tahliyah yakni menghiasi diri dengan segala akhlak terpuji. Dan Rasulullah SAW telah
melakukan keduanya (takhliyah dan tahliyah), yang karenanya Allah SWT memujinya, “Dan engkau sungguh
memiliki akhlak yang agung.” Allah berfirman,
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Anas RA berkata,
ِ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأحْ سَنَ الن‬
‫اس ُخلُقًا‬ َ ‫َكانَ النَّبِ ُّي‬
“Adalah Rasulullah SAW itu orang yang paling baik akhlaknya.” (Muttafaq Alaihi).

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/09/02/56532/husnul-khuluq-akhlak-yang-baik/#ixzz7mmP0gfh3
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai