BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagian penting dalam agama Islam ialah dakwah. Melalui dakwah, Islam tersebar
luas ke seluruh dunia. Melalui dakwah pula, ajaran islam diamalkan sehingga tercemin
dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Itulah kenapa, di dalam al-Qur’an
dan Al-Hadits banyak rujukan dalil-dalil yang berbicara dan mengatur tentang apa dan
bagaimana dalam berdakwah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
MITRA DAKWAH
Mitra dakwah ialah seluruh umat manusia yang diajak ke jalan Allah swt, sebab
agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad merupakan agama yang kekal
(terakhir). Allah mengutus Nabi Muhammad saw untuk seluruh umat manusia. “Katakanlah,
wahai manusia sesungguhnya aku adalah Rasulullah untuk kamu sekalian” (QS. Al-A’raf;
157). “Dan tidak kami utus engkau melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai
pembawa kabar gembira dan peringatan.” (QS. As-Saba’; 26).
Mitra dakwah itu umum, seluruh umat manusia, dan tidak terbatas atau tidak
terkecuali siapa pun. Seluruh manusia yang berbicara tentang Islam, diharuskan untuk
mempercayai dan mematuhi selama dia mukallaf, baligh (dewasa), berakal, tidak peduli jenis,
golongan (kelompok), warna kulit, profesi, wilayah, laki-laki, perempuan atau sebaliknya
dari perbedaan antar manusia. Seperti contoh orang-orang yang beriman kepada Nabi
Muhammad saw, yakni bangsa Arab seperti Abu Bakar, orang Negro seperti Bilal, orang
Romawi seperti Suhaib, orang Farsi seperti Sulaiman, wanita seperti Khadijah, anak-anak
seperti Ali bin Abi Thalib, orang kaya seperti Ustman bin Affan, dan orang tidak mampu
seperti Umar.
“Dan berilah peringatan kepada kaum yang terdekat (keluarga).” (QS. Asy-Syu’ara; 214).
“Hidarkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
2
Yang dimaksud dari menghindarkan keluarga dari api neraka ialah dengan mengajak ke
agama Islam, menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Hak sebagai mitra dakwah yakni ditemui dan diajak. Artinya, seorang dai harus
datang menemui dan mengajak mereka ke jalan Allah. Pendakwah tidak boleh hanya diam
duduk di rumahnya atau menanti kedatangan mereka. Itulah yang paling utama yang
dilakukan oleh Rasulullah saw, beliau mendatangi kaum Quraisy dan mengajak mereka (agar
menerima Islam), Rasulullah saw pergi ke luar kota untuk menemui suku-suku di tempat
perkemahan mereka pada musim haji, Rasulullah saw juga pergi menemui dan berdakwah
kepada setiap orang yang datang ke Makkah.
Seorang pendakwah tidak boleh menganggap sepele keadaan siapa pun atau menghina
orang lain kemudian tidak mengajaknya kepada kebaikan/tidak menyampaikan dakwah
kepadanya, karena di antara hak seluruh manusia itu ialah menerima ajakan
kebaikan/didakwahi. Terkadang hal yang tidak dilakukan seorang pendakwah akan menjadi
beban baginya bahkan merupakan beban berat baginya di hadapan Allah swt untuk
pengabdiannya (da'i) menyebarkan dan menolong agama Allah dan menyuruh manusia
kepada agama Allah.
Setelah mendapatkan petunjuk untuk menerima Islam, kewajiban mitra dakwah juga
harus menunaikan apa yang diperintahkan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Di
3
antaranya menyembah Allah swt sesuai dengan perintah di Al-Qur’an dan hadits, sehingga
dalam menjalankan perintah-Nya tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Golongan penerima dakwah yang ketiga ini, mereka yang hanya memamerkan
keimanannya karena riya’ atau nifaq, merekalah orang-orang yang munafik. Terakhir, orang
yang menerima Islam namun ke-Islamannya masih lemah, belum menguasai jiwanya,
sehingga mereka tergelincir pada kemaksiatan. Mereka lah kelompok keempat penerima
dakwah, yakni orang-orang yang maksiat. Berikut pemamarannya:
Menurut para ahli tafsir, orang-orang elit itu disebut juga sebagai orang-orang yang
mengawasi seperti pemimpin, kepala-kepala, dan orang-orang besar (bangsawan).
Merekalah orang-orang yang menonjol dalam suatu kelompok dan kerabatnya, mereka
mempunyai kekuasaan dan dianggap sebagai penguasa atau pemimpin.
Sifat mayoritas para penguasa di setiap kaumnya yakni ini selalu menentang ajakan
(dakwah) kepada Allah swt dan menolak ajakan Rasulullah saw menuju Allah swt.
Mereka itulah yang memimpin perlawanan, mengutuk ajakan kepada Allah swt, mereka
juga berbohong, memfitnah, tuduhan-tuduhan palsu, bahkan mereka menuduh Rasulullah
itu sesat. Allah berfirman:
4
katanya, “kami mempunyai harta dan anak terlebih banyak dari padamu, sebab itu
tiadalah kami akan disiksa.” (QS. Saba’; 35-36).
Allah swt berfirman tentang Nabi Nuh: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh
kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada
Tuhan bagimu selain-Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku
takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat). Pemuka-pemuka dari kaumnya
berkata: "Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata".
Kaum elit menentang dakwah Nabi Nuh dengan mengatakan bahwa Nabi Nuh dalam
kesesatan yang nyata. Inilah sifat yang paling jahat untuk menghalangi dakwah, yakni
dengan menyatakan yang benar itu salah dan sesat.
Kaum penguasa Quraisy pun memiliki sifat yang sama dalam menghadapi dakwah
Rasulullah saw. Mereka melemparkan tuduhan palsu bahkan kadang mengganggu
Rasulullah dalam melaksanakan dakwahnya.
a) Sombong
Terkadang, sifat sombong juga diikuti dengan iri, maka bertambahlah sifat
buruknya, terlindung dari kebenaran dan ingin memusuhi orang lain. Allah berfirman:
5
“Dan mereka mengingkarinya karena kedzaliman dan kesombongan (mereka)
padahal hati mereka meyakini kebenarannya.” (QS. An-Naml; 14). Fir’aun dan
kaumnya mengingkari kenabian Nabi Musa namun jiwa mereka meyakininya. Sifat
sombong kepada Nabi Musa inilah yang menyebabkan mereka ingkar.
Kaum elit mencintai kekuasaan dan kemegahan dan ingin menguasai banyak
orang, maka dari itu, mereka menentang setiap ajakan (dakwah). Mereka menganggap
hal tersebut dapat menghapus kedudukan mereka di tengah-tengah masyarakat.
Mereka tidak mau dianggap seperti orang lain. Mereka menanggap dengan menerima
ajakan untuk menyembah Allah, maka kekuasaan dan kemegahan mereka akan
lenyap. Dalam kisah Nabi Nuh Allah berfirman:
“Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: "Orang ini
tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang
yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus
beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini
pada masa nenek moyang kami yang dahulu.” (QS. Al-Mu’minun; 24)
c) Ketidaktahuan
6
mengatakan Rasulullah saw hanyalah manusia. Para kaum elit beranggapan
merekalah yang pantas menerima wahyu dan risalah, karena harta, keluarga mereka
banyak. Mereka anggap Rasul mencoba menjauhkan mereka dari agama nenek
moyang.
Kaum elit juga mengolok-olok orang yang beriman dengan tuduhan tidak
berilmu, maka dari itu mereka (orang-orang beriman) mengikuti ajakan ke jalan Allah
dan Rasulullah saw tanpa mengamati dan menyaring terlebih dahulu. Para kaum elit
tidak akan berbuat demikian karena mereka menganggap diri mereka berkuasa,
mengawasi, memahami, bijaksana dan berfikir (berilmu pengetahuan).
Mereka berkata kepada Nabi Nuh: engkau bukan malaikat, bahkan hanya manusia
biasa, bagaimana wahyu bisa sampai kepadamu? Kemudian kami tidak melihat
pengikutmu kecuali mereka yang rendah, tidak ada orang-orang yang mulia dan
pembesar seperti kamu di antara pengikutmu. Semua tuduhan itu menunjukkan
kebodohan mereka, jika mereka mau berfikir niscaya mereka akan mengakui dan
mengetahui bahwa rasul itu manusia, sehingga bisa berbicara dengan mereka dan apa
yang disampaikan dapat dipahami.
Sifat Kaum Elit Pada Setiap Tempat dan Waktu itu Sama
Sifat dan akhlak kaum elit yang telah diterangkan di Al-Qur’an Al-Karim yang ada di
setiap masyarakat, di setiap waktu dan tempat itu sama. Oleh karena itu, pertama mereka
menentang dan berusaha menghalangi setiap ajakan ke jalan Allah, dengan dorongan
perasaan sombong, cinta kedudukan dan kekuasaan, sehingga timbul rasa takut dalam diri
mereka jika dakwah itu berhasil, maka kekuasaan dan kedudukan mereka itu hilang. Di
setiap waktu dan tempat mereka selalu berusaha menentang dakwah, meski dakwah itu
membawa kebaikan dan mempererat hubungan dengan Tuhannya.
7
2. Mayoritas Manusia
Yang dimaksud dengan mayoritas manusia adalah orang banyak (publik), sebab kata
‘Jumhur’ diartikan ‘semua yang paling banyak’, akan tetapi kaum elit tidak masuk dalam
golongan ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kelompok mayoritas ini
merupakan pengikut kaum elit/para penguasa. Mereka terdiri dari orang-orang tidak
mampu, lemah, yang memiliki pekerjaan yang berbeda-beda.
Kaum mayoritas ini lebih cepat menerima kebenaran dan mengikuti Rasulullah saw
dibanding kaum yang lain. Mereka percaya dan beriman terlebih dahulu kepada para
rasul.
Herkules bertanya kepada Abu Sofyan saat mereka bertemu di Syam, Herkules
mendengar bahwa dia (Abu Sofyan) berasal dari Makkah, maka Herkules bertanya
tentang kabar Rasulullah saw. “Apakah yang mengikutinya terdiri dari orang-orang
terhormat atau orang-orang yang lemah?” Abu Sofyan menjawab: “Bahkan orang yang
lemah”. Herkules menjawab: “Kalau demikian mereka itu pengikut Rasul.”
Yang menjadi pengikut Rasulullah saw adalah orang biasa saja seperti yang telah
dibahas tentang tanggapan kaum elit terhadap Nabi Nuh. Mereka berkata “dan tiada
kami lihat orang yang mengikuti engkau melainkan orang hina.”
Kelompok mayoritas lebih cepat menerima ajakan ke jalan Allah sebab mereka tidak
mempunyai sifat seperti para kaum elit yang terlalu cinta dengan kekuasaan yang
menyebabkan mereka sombong. Penjelasan Al-Qurthubi dalam tafsirnya:
8
kebenaran karena mata hatinya tertutup, sehingga terdorong untuk memusuhi
kebenaran.”
Meskipun kaum mayoritas cepat menerima kebenaran disbanding golongan yang lain,
dan peluang untuk beriman lebih besar sebab mereka yang suci dan bersih, namun
kemungkinan mereka dapat terpengaruhi dan tertipu karena janji dan bujukan kaum elit,
sehingga mereka mengikuti kesesatan dan kebohongan seperti kaum Fir’aun. Allah swt
berfirman:
“Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh
kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Az-Zukhruf;
54).
Dalam tafsir Ibnu Katsir yang dimaksud dengan mempengaruhi adalah mempengaruhi
akal mereka untuk diajak pada kesesatan sehingga mereka mengikutinya.
a) Takut
Di tangan pemimpin yang kafir ada kekuasaan, kekuatan, harta kekayaan, yang dapat
digunakan untuk menakuti/membujuk orang. Rasa takut ini dapat menjadikan
kelompok mayoritas menjadi putus asa untuk menyelamatkan diri mereka dari
penganiayaan.
b) Bujukan dengan harta dan kenikmatan dunia, kaum elit mempunyai itu semua dan
memberikannya kepada kelompok mayoritas sehingga banyak orang yang tunduk.
c) Keraguan
9
Kaum elit tidak cukup dengan menggunakan kekuasaannya dalam menghalangi
kelompok mayoritas untuk mengikuti kebenaran, mereka juga menyebarkan isu-isu
yang membuat mereka ragu. Bentuknya banyak, kadang mereka melempar tuduhan
bahwa pendakwah orang yang gila, sesat, dan berbahasa kasar (nakal).
3. Orang-orang Munafik
Munafik dalam istilah syariat merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang
terpendam dalam hati. Jika sesuatu yang disembunyikannya itu kebohongan dengan dasar
iman, maka hal itu dinamakan munafik murni/asli. Kedudukan orang tersebut di hari
kiamat akan dihukum sama seperti orang kafir bahkan disiksa melebihi dari orang kafir.
Orang-orang munafik itu menipu dengan berpura-pura beriman. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang yang munafik itu ditempatkan pada derajat yang paling bawah di
neraka.” (QS. An-Nisa; 145)
Jika yang disembunyikan itu bukan kekafiran kepada Allah, kitab-Nya, dan Rasul-Nya,
maka perbuatan itu hanya dianggap suatu kemaksiatan saja.
Ketika ajakan kepada Allah swt mulai tersebar di masyarakat kafir dan umat manusia
masuk ke dalam agama Allah, kekuasaan orang kafir sedikit demi sedikit hilang,
kekuasaan pun berpindah ke tangan umat Islam. Waktu inilah muncul orang-orang
munafik, yang tidak menyatakan imannya bersama orang yang beriman dan tidak
bertahan dalam kekafiran secara jelas, karena takut kepada umat Islam.
Dasar Kemunafikan
Dasar kemunafikan yakni kekafiran dan pengecut. Orang kafir yakni yang
menyembunyikan kekufurannya, ada pun pengecut yakni yang menjadikan orang-orang
munafik untuk berbohong dari apa yang di dalam hatinya tentang kekafiran. Maka tidak
ada yang menjadi orang munafik kecuali orang yang pengecut, yang semangatnya lemah,
dan selalu mengadakan pertentangan secara sembunyi-sembunyi. Ketika mereka bertemu
dengan orang beriman, mereka berpura-pura beriman dan mengatakan:
10
Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka
mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-
olok". (QS. Al-Baqarah; 14).
Orang munafik lebih jahat/kejam dari orang kafir, meski keduanya sama saja dalam
kekafiran, akan tetapi kelebihan orang munafik ialah menipu, menyesatkan dan mungkin
bisa menyusup di barisan muslim. Maka dari itu, mereka lebih membahayakan. Tanda-
tanda orang munafik dan sifatnya yakni:
Definisi orang maksiat ialah mereka yang beriman dan mengatakan kalimat dua syahadat,
namun tidak melaksanakan kewajiban agama Islam. Terkadang di antara mereka ada yang
lebih banyak mengerjakan maksiat, ada pula yang sedikit, dan ada pula yang imbang
antara maksiat dan kebaikan, ini yang banyak terjadi di masyarakat.
Orag-orang muslim tidak bebas dari melakukan perbuatan maksiat. Dalam hadits
dikatakan: “Semua manusia bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah itu ialah
orang yang bersalah lalu bertaubat.” Dijelaskan bahwa manusia diciptakan Tuhan
11
cenderung berbuat baik dan berbuat maksiat, namun diharapkan seorang muslim agar
selalu menjaga ketaatan dan terhindar dari kemaksiatan. Allah swt berfirman:
“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-
Syam; 7-10).
Jika terjerumus dalam maksiat, maka seorang muslim harus cepat bertaubat, melepaskan
diri dari kemaksiatan dan berserah diri kepada Allah swt.
Sebab-sebab Kemaksiatan
Mengapa seorang muslim berbuat maksiat terhadap perintah Islam sedangkan dia beriman
kepada Allah, rasul-Nya, dan hari kiamat, dan orang yang beriman percaya maksiat itu
menimbulkan kemurkaan dan siksaan Allah ? Jawabannya yakni karena iman yang lemah
dalam hati/jiwanya, karena itulah mereka berbuat maksiat, mudah ditipu, tertipu oleh
setan. Mereka suka dengan kelezatan duniawi yang diharamkan tanpa memikirkan
balasan yang akan mereka terima.
Orang yang berbuat maksiat itu juga bisa karena mereka tidak tahu (tidak berilmu),
sehingga mereka tidak taat kepada Allah swt. Allah berfirman: “Sesungguhnya taubat di
sisi Allah hanyalah bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti,
kemudian segera bertaubat. Taubat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa; 17). Para mujahid dan orang-orang
ahli ilmu mengatakan bahwa setiap orang yang tidak taat kepada Allah mungkin karena
kesalahan (tidak sengaja) atau sengaja, jika mereka tidak tahu (akan perbuatannya) maka
Allah mengampuninya.
Mencegah Kemaksiatan
Memang setiap jika ada kecenderungan berbuat maksiat. Allah swt berfirman:
12
“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syam; 7-8).
Setiap manusia terdapat bibit penyakit mekaksiatan yang dapat membahayakan hati dan
mungkin juga dikalahkan oleh hati, selama diisi dengan keimanan. Tetapi jika imannya
lemah, maka kuman penyakit yang telah ada di dalam hati itu bisa berkembang hingga
masuk ke anggota tubuh. Dalam hal ini, setiap ada kesempatan untuk bermaksiat, maka
tertariklah seluruh anggota inderanya untuk berbuat maksiat, hingga lupa kepada Allah
swt.
Seorang pendakwah tak kala melihat orang yang berbuat maksiat atau kesalahan,
hendaknya memandangnya dengan penuh kasih sayang, seakan-akan seperti orang yang
berdiri di pinggir jurang yang dalam sekali di saat malam gelap gulita. Mereka khawatir
akan jatuh, maka pendakwah harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menyelamatkannya dari kehancuran. Pada akhirnya mereka itu melampaui batasnya
walaupun maksiat merupakan hak mereka juga. Pendakwah tidak boleh mencela dan
menghinanya dan tidak pula berbangga-bangga atasnya karena ketaatannya. Akan tetapi,
hendaknya pendakwah tidak membesar-besarkan pelanggaran syariat walaupun ia
(pendakwah) marah akan pelanggaran ini,
13
GOLONGAN-GOLONGAN MITRA DAKWAH
14
BAB III
KESIMPULAN
Melihat dari yang telah dipaparkan, maka kesimpulan yang dapat diambil yakni mitra
dakwah ialah seluruh umat manusia, tidak memandang jenis, suku, ras, budaya, ekonomi,
politik, pendidikan dan sebagainya. Para pendakwah tidak boleh menyerah dalam dakwahnya
meskipun mitra dakwah yang dihadapinya terdiri dari beberapa golongan.
Adapun golongan-golongan mitra dakwah menurut Abdul Karim Zaidan yakni terdiri
dari para kaum elit yang memiliki kekuasaan, mayoritas umat atau kelompok manusia yang
dibawah kepemimpinan penguasa, orang-orang munafin, dan orang-orang maksiat.
Pedapat penulis:
Salah satu faktor penting untuk menunjang sukses dakwah adalah memahami mitra
dakwah (al-mad’u). Pada dasarnya mitra dakwah sendiri menyangkut seluruh umat manusia
dengan heterogenitasnya yang tanpa batas. Tetapi, untuk memudahkan atau mengefektifkan
pesan dakwah, maka, mitra dakwah itu harus dikenali masing-masing golongannya.
Kitab Ushulu al-Da’wah karya Abdul Karim Zaidan, telah membagi mitra dakwah
menjadi empat golongan. Pertama, golongan pemimpin. Mereka ini memiliki kekuasaan atau
pengambil kebijakan. Golongan ini memiliki pengaruh yang kuat kepada masyarakat yang
dipimpinnya. Golongan ini sangat mewarnai pola pikir masyarakatnya. Kedua, golongan
masyarakat (rakyat) biasa. Mereka ini berada di bawah pengaruh penguasa. Secara kuantitas
(jumlah) mereka jauh lebih banyak. Mereka ini disebut sebagai kelompok orang yang
beriman.
Ketiga, golongan munafik. Golongan yang tidak bisa dijadikan rujukan, karena apa yang
diucapan berlawanan dengan hatinya. Golongan munafik ini disamakan dengan golongan
yang suka menonjolkan diri atau riya (pamer). Keempat, golongan maksiat. Mereka
15
menerima pesan dakwah, tetapi karena lemahnya iman, mereka mudah tergelincir kepada hal-
hal maksiat.
Menggolongkan mitra dakwah antara penguasa dan rakyat biasa, antara munafik dan
maksiat, tidaklah salah. Tetapi, sesuai dengan heterogenitas umat manusia, tidaklah cukup
pembagian golongan mitra dakwah tersebut, karena masyarakat luas memiliki strata sosial
yang beragam, dari sosial ekonomi, pendidikan, budaya, politik dan lain sebagainya.
Tidak semua yang kaya berkuasa, yang miskin menjadi rakyat jelata. Tidak semua
terpelajar memimpin, yang tidak terpelajar dipimpin. Begitu juga dengan golongan munafik
dan golongan lemah iman, karena kedua sifat itu bisa melekat kepada siapa pun, baik bagi
penguasa maupun rakyat biasa, baik bagi orang kaya maupun orang miskin, baik bagi
terpelajar (intelektual) maupun yang awam.
Oleh karena itu, tidak salah bagi para dai untuk membuat kategori mitra dakwah dari
berbagai segi, sesuai dengan pesan dakwah yang akan disampaikan.
16