Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ULUMUL AL-QUR’AN III

Dosen pengampu :

Nablur Rahman Annibras A, Lc., M. Hum.


Disusun Oleh:
Aliyya Shauma Raffi’u : 1171030023
Muhammad Al Hafidz : 1171030133

Kelas Bilingual Arab (D)


Fakultas Ushuluddin
Jurusan Ilmu Al-Quran Dan Tafsir

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI


SUNAN GUNUNG DJATI
CIBIRU, BANDUNG , JAWA BARAT
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dan tidak lupa kami haturkan
Sholawat serta salam kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW yang telah
mengantarkan kita ke zaman yang terang benderang.

Kami juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan penuh
kekurangan baik dari segi penulisan, penjelasan dan lainnya. Maka dari itu, kami sangat
memerlukan kritik ataupun saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak demi
menyempurnakan makalah ini dari kekurangan-kekurangan yang ada.

Akhir kata kami berharap makalah ini dapat menjadi bahan informasi dan
sumber tambahan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Bandung, 16 Oktober 2018


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... 1

DAFTAR ISI................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 3

1. Latar Belakang ..................................................................................... 3


2. Rumusan Masalah ................................................................................ 3
3. Tujuan .................................................................................................. 4
4. Manfaat ................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5

A. Mantuq ........................................................................................................ 6
B. Mafhum........................................................................................................ 10

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 17

1. Simpulan .............................................................................................. 11
2. Daftar pustaka ...................................................................................... 18
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran,


sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya
memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri,
ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam
mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.

Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya
dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang
lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan
tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi
makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan
ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.

Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang
memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya
tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan
mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan
memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari mantuq
dan mafhum serta kehujahannya.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Mantuq ?
2. Berapa jenis pembagian Mantuq ?
3. Apa yang dimaksud dengan Mafhum ?
4. Berapa jenis pembagian Mafhum ?
3. Tujuan
a. Memahami maksud dari lafadz mantuq.
b. Mengetahui dan memahami pembagian Mantuq.
c. Memahami maksud dari lafadz mafhum dari sebuah nash.
d. Mengetahui dan Memahami pembaian-pembagian mafhum.

4. Manfaat
Supaya kami semua dan para pembaca memahami ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan al-Qur’an dan dapat menerapkannya dalam kajian al-Qur’an serta mampu
mengenal dan memahami dalil-dalil yang bermakna mantuq dan mafhum.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Manthuq

Manthuq di tinjau dari segi bahasa (etimologi) berasal dari asal kata -‫ ينطق‬-‫نطق‬

‫( نطقا‬berbicara, berkata)1.

Sedangkan menurut istilah (terminologi):

1. Abdul Hamid Hakim dalam kitab Mabadi Awaliyah:

‫حمل النطق‬
ّ ‫دل عليه الّلفظ يف‬
ّ ‫ ما‬:‫فاملنطوق‬

Manthuq ialah mengambil pengertian dari lafazh yang di ucapkan (yang di


tuliskan)2

2. Rachmat Syafe’i dalam kitab Ilmu Ushul Fiqih menjelaskan:

Arti manthuq ialah suatu lafazh bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu
makna. Dilalah mantuq ialah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu
sendiri. Dilalah mantuq seperti ini mencakup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah
Hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat, dan iqtida nash.3

3. As- Suyuthi dalam kitab al-Itqan fi ulum al-quran menerangkan:4

‫حمل النطق‬
ّ ‫دل عليه الّلفظ يف‬
ّ ‫ما‬

Maksud daripada definisi ini yakni mathuq adalah makna tersurat yang
dipahami seseorang dari sebuah ucapan.

1Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, Penerbit Pustaka Progressif, Yogyakarta, 1984,


1432
2Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Maktabah as-Sa’adiyah, Jakarta, 20
3 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2015, 215
4Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-quran, Resalah Publisher, Beirut-Lebanon, 485
a. Pembagian Manthuq

1. Nash

Nash adalah suatu makna yang tegas dan tidak memungkinkan


mengandung makna yang lainnya. 5 Seperti yang telah Allah firmankan di dalam
al-quran surah al-Baqarah :196

...ٌ‫ش َرةٌ َك ِاملَة‬ ِ


َ ‫ج َو َسحب َع ٍة اذَا َر َج حعتُ حم تِل‬
َ ‫حك َع‬ ِ
ِّ َ‫ام ثَ ٰلثَة اَاَّيٍم ِِف ا حْل‬
ِ َ‫ف‬...
ُ َ‫صي‬

Artinya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna.”

Kata “Itulah sepuluh (hari) yang sempurna” kalimat ini tidak


mengandung makna lain selain sepuluh hari seperti apa yang telah di nash di
ayat tersebut.

2. Zhahir

Zhahir ialah jika ia menunjukkan suatu makna yang kuat (rajih), namun
mengandung kemungkinan makna lain, tetapi kemungkinan ini lemah (marjuh)
maka disebutlah hal itu dengan zhahir.6 Bisa juga di artikan suatu lafazh atau
perkataan yang menunjukkan suatu makna yang segera dipahami ketika
diucapkan, namun dengan disertai dengan adanya makna lain yang lemah.

Misalnya seperti firman Allah:

ٍ ‫ضطُار غَحي ر َب ٍغ اوََل َع‬


‫اد‬ ‫فَ َم ِن ا ح‬
َ َ

Artinya: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang


ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas.” (Q.S. Al-Baqarah:
173)

5 Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-quran, 485


6 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, maktabah wahbah, Kairo, 251
Lafazh )‫ (َبغ‬pada ayat di atas mengandung dua kemungkinan,

kemungkinan yang pertama adalah lafazh berarti orang yang tidak mengerti (al-
jahl), dalam hal ini sebagai makna yang marjuh (lemah), kemungkinan yang
kedua yaitu orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri (zhalim), dalam
hal ini makna yang kedua sebagai makna yang rajih, dan makna yang kedua
inilah yang lebih kuat dan jelas.

3. Muawwal

Muawwal ialah yang apabila maknanya dibawa kepada makna yang


lemah (marjuh) karena adanya petunjuk tertentu, maka bisa dikatakan sebagai
ta’wil, dan makna lemah yang digunakan tadi dinamakan muawwal. 7

Firman Allah:

...‫و ُه َو َم َع ُك حم اَيح َن َما ُكحن تُ حم‬...


َ

Artinya: “Dia bersama kalian di mana pun kalian berada” (Q.S. Al-
Hadiid: 4)

Maksud daripada ayat ini tidak bisa dikatakan secara kasat mata bahwa
“kebersamaan” itu adalah kebersamaan dalam kedekatan secara dzat, maka
makna “kebersamaan” ini di alihkan maknanya pada “kekuasaan, ilmu,
penjagaan”.

4. Dalalah Iqtidha

Keakuratan pemaknaan sebuah lafazh terkadang bergantung kepada


makna yang tidak disebutkan atau jika kebenaran dalalah (petunjuk) suatu
lafazh tergantung pada yang tersembunyi., itulah yang disebut sebagai dalalah
iqtidha.8

Firman Allah:

7 Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-quran, 485


8 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, 251-252
...‫ضا اَحو عَ ٰلى َس َف ٍر فَعِ ادةٌ ِّم حن اَاَّيٍم اُ َخ َر‬
ً ‫فَ َم حن َكا َن ِمحن ُك حم ام ِريح‬...

Artinya: “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam


perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang
dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain”. (Q.S. Al-Baqarah: 184)

Pada ayat ini memerlukan lafazh yaitu ‫( فأفطر فعدة‬lalu ia berbuka maka)

karena kewajiban qadha puasa bagi musafir itu ialah ketika ia berbuka di dalam
perjalanannya, apabila ia tidak berbuka atau tetap melakukan puasa maka
baginya tidak ada kewajiban untuk mengganti puasanya.

Di ayat yang lainnya Allah berfirman: 9

َ‫اسأ َِل الح َق حريَة‬


‫َو ح‬

Artinya: “Dan tanyakanlah pada desa” (Q.S. Yusuf: 82)

Maksud desa di sini ialah “penduduknya”

5. Dalalah Isyarah

Dalalah isyarah adalah apabila kebenaran dalalah tidak bergantung


kepada sesuatu yang tersembunyi, dan lafazh menunjukkan suatu makna yang
tidak dimaksud pada awalnya.

Seperti apa yang Allah firmankan:


ۤ ِ ِٰ ِ
‫سا ِٕى ُك حم‬
َ ‫ث اٰل ن‬ ِّ َ‫اُح ال لَ ُك حم لحَي لَة‬
ُ َ‫الصيَ ِام ال ارف‬

Artinya: “Dihalalkan bagi kalian bercampur dengan istri-istri kalian


pada malam hari bulan puasa.” (Q.S. Al-Baqarah: 187)

Ayat ini menerangkan bahwasanya sah berpuasa bagi orang yang pagi-
paginya masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan
“bercampur” hingga dengan fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi.

9 Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi ulum al-quran, 485-486


keadaan demikian mengakibatkan peluang seseorang memasuki waktu pagi
dalam keadaan junub.10

B. Definisi Mafhum

Pengertian Mafhum ditinjau dari segi bahasa berasal dari asal kata ‫ فهم‬yang

berarti ‫عرفه و ادركه علّمه و‬ 11


ّ (memberi pemahaman, paham di pahami). Sedangkan
mafhum ditinjau dari segi istilah di antaranya :

‫حم َش حي ٍء ََلح يُ حذ َك حر ِيف ال َك ََلِم‬


ِ ‫َد ََللَةُ اللا حف ِظ عَلَى ُحك‬

Petunjuk lafazh terhadap hukum suatu hal yang tak disebutkan di dalam redaksi
lafazh tersebut.

Mafhum terbagi menjadi dua bagian, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.

1. Mafhum Muwafaqah

Pengertian mafhum muwafaqah menurut beberapa redaksi adalah:

‫دَللة اللفظ على ثبوت حكم املذكور للمسكوت عنه َلشرتاكهما يف علة اْلكم او ما يوافق حكمه املنطوق‬

Petunjuk lafazh akan berlakunya suatu hukum bagi hal yang tak disebutkan dalam
redaksi lafazh karena ada kesamaan illat hukum antara keduanya atau dalil yang hukumnya
sama dengan hokum manthuq. Dan mafhum muwafaqah terbagi kedalam dua bagian, yaitu :

a. Apabila lebih Utama )‫(فحو اخلطاب‬.

Yaitu sebab yang dijatuhkan lebih tinggi daripada perkara yang ada di dalam
manthuq (tersurat) dan contoh yang berkaitan dengan hal ini ialah firman Allah di
dalam surah al-Isra ayat 23 yang berbunyi :

10 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, 252


11 Luis Ma’luf Al-yussu’i dan Bernard Tottel, Munjid, (Berut, Darul Masriq, 2008) 597.
‫َح ُد ُُهَا أ حَو كِ ََل ُُهَا فَ ََل تَ ُق حل‬ ِ ِ ِ
َ ‫س ًاًن إِ اما يَ حب لُغَ ان عحن َد َك الحكبَ َر أ‬
َ ‫ك أاََل تَ حعبُ ُدوا إِاَل إِ اَّي ُه َو َِبل َحوال َديح ِن إِ حح‬
َ ُّ‫ضى َرب‬
َ َ‫َوق‬

ٍّ ‫ََلُ َما أ‬
‫ُف َوََل تَ حن َه حر ُُهَا َوقُ حل ََلَُما قَ حوًَل َك ِرميًا‬

Artinya: dan tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah


selain dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu dan bapak. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai kepada usia lanjut
dalam pemeliharaanmu maka janganlah sekali-kali engkau mengucapkan
kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan engkau membentak keduanya,
dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

ٍّ ‫ فَ ََل تَ ُق حل ََلُ َما أ‬yang berarti kan “janganlah kamu berkata


Dapat kita lihat pada kata ‫ُف‬

ah”. Dalil ini telah menunjukkan adanya larangan atau pengharaman berkata
“ah”, kepada orang tua karena di dalamnya (perkataan ah) perkataan atau
ucapan dapat menimbulkan rasa sakit “al-Adza” pada kedua orang tua. Maka
kesimpulan dari nash ini bahwasanya dalil ini menunjukan pula pengharaman
memukul, mencaci, dan tidak memberi makan mereka berdua atau lainnya.
Terlebih lagi dalam perkara ini lebih menimbulkan rasa sakit daripada berkata
“ah”. Maka dikarenakan perkara ini asyaddu atau lebih utama jadi hukum pada
perkara ini sama seperti perkataan atau mengungkapkan “ah”, bahkan hukum
pada perkara tersirat ini (yang tidak disebutkan di dalam nash) lebih utama
daripada perkara yang disebutkan di dalam nash tersebut.

Contoh lain dapat kita perhatikan di dalam kehidupan sehari hari ialah ungkapan
yang dapat kita lihat di setiap SPBU yang menyatakan larangan “dilarang
merokok di area ini”, karena secara tidak langsung dilarang juga membakar
sampah di area tersebut, karna membakar sampah lebih utama daripada
membakar atau menghidupkan rokok.

b. Setara atau sama )‫(ْلن اخلطاب‬

Yaitu ketetapan hukum perkara yang ada sama seperti perkara yang ada di
dalam lafazh tersurat “manthuq” dalam sebuah nash. Contoh yang berkaitan
dengan masalah ini ialah firman Allah dalam surah an- Nisa ayat 10 yang
berbunyi :
َ‫َو ن‬ ‫حم ا إِ اَّنَا ََيح كُ لُو َن ِيف بُطُوِنِِ حم ًَن رًا ۖ َو َس يَ ح‬
‫صل ح‬ ‫ين ََيح كُ لُونَ أ ح‬
ً ‫َم َوا َل ا لحيَ تَ امَ ٰى ظُل‬
ِ‫ا‬
َ ‫إِ نا ا ل ذ‬
‫َس عِ ريًا‬
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Dalam ayat di atas menegaskan pengharaman memakan harta anak yatim, karna itu
adalah sebuah kezaliman dan menghilangkan haknya, maka mafhum yang kita dapat
Membakar atau setiap cara yang bertujuan untuk menghabiskan harta anak yatim sama
haramnya sebagaimana hartanya memakan harta anak yatim.

2. Mafhum Mukhalafah

Mafhum mukhalafah ialah

‫دَللة اللفظ على نفي حكم املذكور للمسكوت عنه او ما خيالف حكمه املنطوق‬

Petunjuk lafazh akan tidak berlakunya suatu hukum bagi hal yang tak disebutkan
dalam redaksi lafazh atau dalil yang menyelisihi hukum pada dalil manthuq.12 Contoh hadis
Nabi SAW sebagai berikut :

»‫ «كل قرض جر نفعا فهو رَب‬:‫كقوله ﷺ‬

Artinya: segala pinjaman (pinjam-meminjam) didalamnya bertambah manfaat


maka itu riba.

Secara jelas atau manthuqnya riba haram hukumnya sebagaimana yang Allah
tegaskan didalam surah al-Baqarah Ayat yang berbunyi:

‫حرم الرَبء‬
ّ ‫أحل هللا البيع و‬
ّ ‫و‬

Artinya: Dan telah dihalalkan jual beli dan diharamkan riba.

12 Habibi Sembiring, Mudzakkiratu fi usul al-Fiqh, (M edan, Ar-raudhatul Hasanah :2006),161.


Maka mafhum yang kita dapat dari sabda nabi yang berbunyi ‫كل قرض جر نفعا فهو‬

‫ رَب‬ialah pembolehan pinjam meminjam yang didalamnya tidak ada unsur riba, karna

riba hukumnya haram. Mafhum mukhalafh terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

a. Sifat )‫(مفهوم الصفة‬

Maksud dengan sifat di sini ialah sifat manawiyah13 sesuai dengan lafazh,
seperti contoh firman Allah dalam Surah al- Hujrat ayat 6 yang berbunyi :

ٍ‫ص يب وا قَ و م ا ِِبَ َه ا لَة‬


ِ ِ ِ‫ا‬
ً‫ح‬ ُ ُ‫ين آمَ نُوا إِ حن َج اءَكُ حم فَاس ٌق بِنَ بَ إٍ فَ تَ بَ يا نُوا أَ حن ت‬
َ ‫ََّي أَيُّ َه ا ا ل ذ‬
ِ
َ ‫َى مَ ا فَ عَ لحتُ حم ًَن ِد م‬
‫ي‬ ُ ِ‫ص ب‬
ٰ ‫ح وا عَ ل‬ ‫فَ تُ ح‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Mafhum yang kita dapat dengan adanya penyebutan kata sifat fasik di dalam
ayat tersebut ialah bahwasanya selain orang fasik tidak wajib bagi kita meneliti
kabar yang dibawa, dalam artian kata juga bahwasanya wajib menerima kabar
dari orang yang memiliki sifat adil atau amanah. Contoh lain dari redaksi hadis
ialah sabda Nabi SAW yang berbunyi

‫كل مسكر مخر وكل مخر حرام» يدل على أن غري املسكر حَلل‬

Segala yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar


hukumnya haram.

Mafhum yang kita dapat ialah bahwasanya sesuatu yang tidak unsur sifat
memabukkan halal, seperti air susu, air sirop atau air bening yang dikonsumsi
manusia pada umumnya.

b. Syarat )‫(مفهوم الشرط‬

Maksudnya ialah menetapkan suatu hukum yang bergantung pada syarat


sebagaimana firman Allah dalam surat at- Thalaq ayat 6 yang berbunyi :

13 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, (maktabah wahbah, kiro), 246
‫وه نا لِتُ ضَ يِّ قُ وا عَ لَيح هِ نا ۚ َو إِ حن كُ نا‬ ِ ُ ‫وه نا مِ حن َح يح‬
ُ ُّ‫ث َس كَ نح تُ حم م حن ُو حج دِكُ حم َو ََل تُضَ ا ر‬ ُ ُ‫َس كِ ن‬
‫أح‬
‫وه نا‬
ُ ُ‫َرضَ عح َن لَكُ حم ف آت‬ ُ ‫ت حَح ٍل فَأَنح فِ قُ وا عَ لَيح هِ نا َح اَّتٰ يَضَ عح َن حَح ل‬
‫َه ان ۚ فَإِ حن أ ح‬ ِ ‫ُوَل‬
َ ‫أ‬
ِ ‫وف ۖ و إِ حن تَ عَ اس ر ُُتح فَس تُ ر‬
ٰ ‫ض عُ لَهُ أُ حخ َر‬
‫ى‬ ٍ ‫أُج ور ُه نا ۖ وأح ََتِر وا ب ي نَ كُ م ِِبَعح ر‬
‫َ ح‬ ‫َح‬ َ ُ ‫َ ُ َح ح‬ َ ُ
Artinya : Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Ayat di atas memberikan penjelasan kepada kita anjuran atau perintah


untuk memberikan nafkah kepada mereka para istri-istri yang mereka talak
dengan syarat istri-istri yang mereka talak dalam keadaan hamil (mengandung
anak dari laki-laki yang menalaknya). Jadi, dapat kita ambil mafhumnya yang
dapat kita ambil dari nash di atas ialah para suami tidak wajib memberikan
nafkah kepada mereka para istri-istri yang di talak jika mereka tidak dalam
keadaan hamil.

c. Batasan )‫(مفهوم الغاية‬

Ghayah secara bahasa berarti kan tujuan atau batasan. Jadi, yang dimaksud
dengan mafhum al-Ghayah yaitu menetapkan hukum yang berada di luar tujuan, nash
bila nash tersebut terdapat tujuan atau batasan. Contoh yang dapat kita ambil ialah
surah al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

ِ ِ ِ ِ ِ‫ث إِ َٰلٰ ن‬ ُ َ‫ُح لا لَكُ حم لَيح لَ ةَ الصِّ يَ ا ِم ال ارف‬ِ‫أ‬


َ‫اس َلَُنا ۗ عَ ل م‬ ٌ َ‫اس لَكُ حم َوأَنح تُ حم ل ب‬ٌ َ‫س ائ كُ حم ۚ ُه نا ل ب‬ َ
ُ ‫اْل نَ ََب ِش ُر‬
‫وه نا‬ ‫اب عَ لَيح كُ حم َو عَ فَ ا عَ نح كُ حم ۖ فَ ح‬َ َ‫س كُ حم فَ ت‬َ ُ‫اَّللُ أَناكُ حم كُ نح تُ حم ََتحتَ انُونَ أَنح ف‬
‫ا‬
‫ض مِ َن‬ ُ َ‫ط حاْلَبح ي‬ ُ ‫اَّللُ لَكُ حم ۚ َوكُ لُوا َوا حش َربُوا َح اَّتٰ يَ تَ بَ ايَ لَكُ مُ ا حخلَيح‬
‫ب ا‬ َ َ‫َوابح تَ غُوا مَ ا كَ ت‬
ِ ‫ج رِ ۖ ُثُا أ ََِتُّوا الصِّ ي ام إِ َٰل ال لايح ِل ۚ و ََل تُ ب‬ ِ ِ
‫وه نا َوأَنح تُ حم‬
ُ ‫اش ُر‬ َ َ َ َ ‫َس َو دِ م َن ا لح فَ ح‬‫ا حخلَيح ط حاْل ح‬
ِ ‫آَّي تِهِ لِل ناا‬
‫س‬ ‫ك يُ بَ ِّيُ ا‬ َ ِ‫وه ا ۗ كَ ٰذَ ل‬ ِ‫ك ح ُد ودُ ا‬ ِ ِ ِ ‫عَ اكِ فُ ونَ ِيف ا لحم‬
َ ُ‫اَّلل‬ َ ُ‫اَّلل فَ ََل تَ حق َرب‬ ُ َ ‫س اج د ۗ ت لح‬ َ َ
َ‫لَعَ لا ُه حم يَ تا قُ ون‬
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa.

Maka telah jelas pada ayat di atas secara mantuq nya atas
kebolehannya (ibahah) makan dan minum di malam hari bagi mereka yang
melaksanakan ibadah puasa pada bulan ramadhan dari terbenamnya matahari
hingga terbitnya fajar. Dan dari ayat atau nash di atas dapat kita pahami juga
secara mafhumnya pengharaman makan dan minum setelah tujuan atau
batasan ini, yaitu Thuluu’I al-Fajr.

Contoh lain dapat kita simak pada ayat berikut:

Pada redaksi ayat atau nash diatas terdapat kata ila yang mana kata ila
dapat kita pahami dengan makna atau arti sampai, sehingga kata siku adalah
batasan akhir membasuh tangan yang dianjurkan dan harus menjadi bagian yang
di basuh berdasarkan dalil secara manthuq di atas. Jadi mafhum yang dapat kita
ambil dari ayat tersebut bahwasannya membasuh tangan lebih dari siku-siku
tidaklah wajib, berkenaan apakah hukumnya perbedaan ulama dalam
menetapkan hukum pada hal membasuh tangan lebih dari siku-siku ini.

d. Mafhum al-Hashri

Hashr (‫ )اْلصر‬atau ikhtishash (‫ )اَلختصاص‬dalam ilmu balaghah sering

disebut dengan al-Qashr)‫(القصر‬berasal dari kata ‫حصر حيصر‬yang berarti

membatasi, melarang, mengepung dan mencegah. Sedangkan secara istilah


hashr atau qashr di definisikan sebagai berikut:

‫َتصيص امر َبخر بطريق خمصوص‬

Artinya, “menghususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan cara


tertentu.” 14

14 Endang Baihaqie, Ringkasan Ilmu Al-Bayan, Al-Ma’any dan Al-Badi’ (Jatinangor, CV.

Semiotika: 2015), 66.


Atau,

‫اثبات اْلكم للمذكور ونفيه عما عداه‬

Artinya, “menetapkan hukum suatu perkara yang disebut dan menafikan/tidak


menetapkan apa-apa yang menyalahi hukum tersebut.”

Contoh yang berkaitang dengan mafhum al-Hasr ialah:

Firman Allah dalam surah al-Fatihah ayat 5 yang berbunyi:

ُ‫س تَ عِ ي‬
‫إِ اَّي َك نَ عح بُ ُد َو إِ اَّي َك نَ ح‬
Artinya : Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan.

Secara manthuq ayat ini menunjukkan kepada kita untuk mengesakan


Allah dalam beribadah dan memohon pertolongan, dan mafhum nya ialah
sesungguhnya selain daripada Allah tidak boleh di ibadah (disembah) dan
bergantung memohon pertolongan kepadanya. 15

15 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulumi al-Quran, 246.


BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat disimpulkan
bahwasannya: Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”,
sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang
diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dalalah iqtidha,
dalalah isyarah dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang
dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari
suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang
diucapkan (mafhum mukhalafah). Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat
(fahwal khitab dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat
(mafhum as-Syurut, al-Ghayah, al-Shifah dan al-Hashri).

Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah, namun untuk
mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu apabila makna mafhum bertentangan
dengan lafadz atau syariat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan fi ulum al-quran, Resalah Publisher,


Beirut-Lebanon

Baihaqie, Endang, Ringkasan Ilmu Al-Bayan, Al-Ma’any dan Al-Badi’


(Jatinangor, CV. Semiotika: 2015)

Hamid Hakim, Abdul, Mabadi Awaliyah, Maktabah as-Sa’adiyah,


Jakarta

Khalil al-Qattan, Manna’, Mabahis Fi Ulum al-Quran, maktabah


wahbah, Kairo

Ma’luf Al-yussu’i, Luis, dan Tottel, Bernard, Munjid, (Berut, Darul


Masriq, 2008)

Sembiring, Habibi, Mudzakkiratu fi usul al-Fiqh, (M edan, Ar-raudhatul


Hasanah :2006)

Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung


Warson Munawwir, Ahmad, Al Munawwir, Penerbit Pustaka Progressif,
Yogyakarta, 1984

Anda mungkin juga menyukai