Dosen pengampu :
Puji Syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dan tidak lupa kami haturkan
Sholawat serta salam kepada junjunan Nabi besar Muhammad SAW yang telah
mengantarkan kita ke zaman yang terang benderang.
Kami juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan penuh
kekurangan baik dari segi penulisan, penjelasan dan lainnya. Maka dari itu, kami sangat
memerlukan kritik ataupun saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak demi
menyempurnakan makalah ini dari kekurangan-kekurangan yang ada.
Akhir kata kami berharap makalah ini dapat menjadi bahan informasi dan
sumber tambahan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
KATA PENGANTAR.................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 3
A. Mantuq ........................................................................................................ 6
B. Mafhum........................................................................................................ 10
1. Simpulan .............................................................................................. 11
2. Daftar pustaka ...................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya
dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang
lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan
tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi
makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan
ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang
memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya
tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan
mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan
memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari mantuq
dan mafhum serta kehujahannya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Mantuq ?
2. Berapa jenis pembagian Mantuq ?
3. Apa yang dimaksud dengan Mafhum ?
4. Berapa jenis pembagian Mafhum ?
3. Tujuan
a. Memahami maksud dari lafadz mantuq.
b. Mengetahui dan memahami pembagian Mantuq.
c. Memahami maksud dari lafadz mafhum dari sebuah nash.
d. Mengetahui dan Memahami pembaian-pembagian mafhum.
4. Manfaat
Supaya kami semua dan para pembaca memahami ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan al-Qur’an dan dapat menerapkannya dalam kajian al-Qur’an serta mampu
mengenal dan memahami dalil-dalil yang bermakna mantuq dan mafhum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Manthuq
Manthuq di tinjau dari segi bahasa (etimologi) berasal dari asal kata - ينطق-نطق
( نطقاberbicara, berkata)1.
حمل النطق
ّ دل عليه الّلفظ يف
ّ ما:فاملنطوق
Arti manthuq ialah suatu lafazh bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu
makna. Dilalah mantuq ialah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu
sendiri. Dilalah mantuq seperti ini mencakup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah
Hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat, dan iqtida nash.3
حمل النطق
ّ دل عليه الّلفظ يف
ّ ما
Maksud daripada definisi ini yakni mathuq adalah makna tersurat yang
dipahami seseorang dari sebuah ucapan.
1. Nash
Artinya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna.”
2. Zhahir
Zhahir ialah jika ia menunjukkan suatu makna yang kuat (rajih), namun
mengandung kemungkinan makna lain, tetapi kemungkinan ini lemah (marjuh)
maka disebutlah hal itu dengan zhahir.6 Bisa juga di artikan suatu lafazh atau
perkataan yang menunjukkan suatu makna yang segera dipahami ketika
diucapkan, namun dengan disertai dengan adanya makna lain yang lemah.
kemungkinan yang pertama adalah lafazh berarti orang yang tidak mengerti (al-
jahl), dalam hal ini sebagai makna yang marjuh (lemah), kemungkinan yang
kedua yaitu orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri (zhalim), dalam
hal ini makna yang kedua sebagai makna yang rajih, dan makna yang kedua
inilah yang lebih kuat dan jelas.
3. Muawwal
Firman Allah:
Artinya: “Dia bersama kalian di mana pun kalian berada” (Q.S. Al-
Hadiid: 4)
Maksud daripada ayat ini tidak bisa dikatakan secara kasat mata bahwa
“kebersamaan” itu adalah kebersamaan dalam kedekatan secara dzat, maka
makna “kebersamaan” ini di alihkan maknanya pada “kekuasaan, ilmu,
penjagaan”.
4. Dalalah Iqtidha
Firman Allah:
Pada ayat ini memerlukan lafazh yaitu ( فأفطر فعدةlalu ia berbuka maka)
karena kewajiban qadha puasa bagi musafir itu ialah ketika ia berbuka di dalam
perjalanannya, apabila ia tidak berbuka atau tetap melakukan puasa maka
baginya tidak ada kewajiban untuk mengganti puasanya.
5. Dalalah Isyarah
Ayat ini menerangkan bahwasanya sah berpuasa bagi orang yang pagi-
paginya masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan
“bercampur” hingga dengan fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi.
B. Definisi Mafhum
Pengertian Mafhum ditinjau dari segi bahasa berasal dari asal kata فهمyang
Petunjuk lafazh terhadap hukum suatu hal yang tak disebutkan di dalam redaksi
lafazh tersebut.
Mafhum terbagi menjadi dua bagian, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah
دَللة اللفظ على ثبوت حكم املذكور للمسكوت عنه َلشرتاكهما يف علة اْلكم او ما يوافق حكمه املنطوق
Petunjuk lafazh akan berlakunya suatu hukum bagi hal yang tak disebutkan dalam
redaksi lafazh karena ada kesamaan illat hukum antara keduanya atau dalil yang hukumnya
sama dengan hokum manthuq. Dan mafhum muwafaqah terbagi kedalam dua bagian, yaitu :
Yaitu sebab yang dijatuhkan lebih tinggi daripada perkara yang ada di dalam
manthuq (tersurat) dan contoh yang berkaitan dengan hal ini ialah firman Allah di
dalam surah al-Isra ayat 23 yang berbunyi :
ٍّ ََلُ َما أ
ُف َوََل تَ حن َه حر ُُهَا َوقُ حل ََلَُما قَ حوًَل َك ِرميًا
ah”. Dalil ini telah menunjukkan adanya larangan atau pengharaman berkata
“ah”, kepada orang tua karena di dalamnya (perkataan ah) perkataan atau
ucapan dapat menimbulkan rasa sakit “al-Adza” pada kedua orang tua. Maka
kesimpulan dari nash ini bahwasanya dalil ini menunjukan pula pengharaman
memukul, mencaci, dan tidak memberi makan mereka berdua atau lainnya.
Terlebih lagi dalam perkara ini lebih menimbulkan rasa sakit daripada berkata
“ah”. Maka dikarenakan perkara ini asyaddu atau lebih utama jadi hukum pada
perkara ini sama seperti perkataan atau mengungkapkan “ah”, bahkan hukum
pada perkara tersirat ini (yang tidak disebutkan di dalam nash) lebih utama
daripada perkara yang disebutkan di dalam nash tersebut.
Contoh lain dapat kita perhatikan di dalam kehidupan sehari hari ialah ungkapan
yang dapat kita lihat di setiap SPBU yang menyatakan larangan “dilarang
merokok di area ini”, karena secara tidak langsung dilarang juga membakar
sampah di area tersebut, karna membakar sampah lebih utama daripada
membakar atau menghidupkan rokok.
Yaitu ketetapan hukum perkara yang ada sama seperti perkara yang ada di
dalam lafazh tersurat “manthuq” dalam sebuah nash. Contoh yang berkaitan
dengan masalah ini ialah firman Allah dalam surah an- Nisa ayat 10 yang
berbunyi :
ََو ن حم ا إِ اَّنَا ََيح كُ لُو َن ِيف بُطُوِنِِ حم ًَن رًا ۖ َو َس يَ ح
صل ح ين ََيح كُ لُونَ أ ح
ً َم َوا َل ا لحيَ تَ امَ ٰى ظُل
ِا
َ إِ نا ا ل ذ
َس عِ ريًا
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dalam ayat di atas menegaskan pengharaman memakan harta anak yatim, karna itu
adalah sebuah kezaliman dan menghilangkan haknya, maka mafhum yang kita dapat
Membakar atau setiap cara yang bertujuan untuk menghabiskan harta anak yatim sama
haramnya sebagaimana hartanya memakan harta anak yatim.
2. Mafhum Mukhalafah
دَللة اللفظ على نفي حكم املذكور للمسكوت عنه او ما خيالف حكمه املنطوق
Petunjuk lafazh akan tidak berlakunya suatu hukum bagi hal yang tak disebutkan
dalam redaksi lafazh atau dalil yang menyelisihi hukum pada dalil manthuq.12 Contoh hadis
Nabi SAW sebagai berikut :
Secara jelas atau manthuqnya riba haram hukumnya sebagaimana yang Allah
tegaskan didalam surah al-Baqarah Ayat yang berbunyi:
حرم الرَبء
ّ أحل هللا البيع و
ّ و
رَبialah pembolehan pinjam meminjam yang didalamnya tidak ada unsur riba, karna
riba hukumnya haram. Mafhum mukhalafh terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
Maksud dengan sifat di sini ialah sifat manawiyah13 sesuai dengan lafazh,
seperti contoh firman Allah dalam Surah al- Hujrat ayat 6 yang berbunyi :
Mafhum yang kita dapat dengan adanya penyebutan kata sifat fasik di dalam
ayat tersebut ialah bahwasanya selain orang fasik tidak wajib bagi kita meneliti
kabar yang dibawa, dalam artian kata juga bahwasanya wajib menerima kabar
dari orang yang memiliki sifat adil atau amanah. Contoh lain dari redaksi hadis
ialah sabda Nabi SAW yang berbunyi
كل مسكر مخر وكل مخر حرام» يدل على أن غري املسكر حَلل
Mafhum yang kita dapat ialah bahwasanya sesuatu yang tidak unsur sifat
memabukkan halal, seperti air susu, air sirop atau air bening yang dikonsumsi
manusia pada umumnya.
13 Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Quran, (maktabah wahbah, kiro), 246
وه نا لِتُ ضَ يِّ قُ وا عَ لَيح هِ نا ۚ َو إِ حن كُ نا ِ ُ وه نا مِ حن َح يح
ُ ُّث َس كَ نح تُ حم م حن ُو حج دِكُ حم َو ََل تُضَ ا ر ُ َُس كِ ن
أح
وه نا
ُ َُرضَ عح َن لَكُ حم ف آت ُ ت حَح ٍل فَأَنح فِ قُ وا عَ لَيح هِ نا َح اَّتٰ يَضَ عح َن حَح ل
َه ان ۚ فَإِ حن أ ح ِ ُوَل
َ أ
ِ وف ۖ و إِ حن تَ عَ اس ر ُُتح فَس تُ ر
ٰ ض عُ لَهُ أُ حخ َر
ى ٍ أُج ور ُه نا ۖ وأح ََتِر وا ب ي نَ كُ م ِِبَعح ر
َ ح َح َ ُ َ ُ َح ح َ ُ
Artinya : Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Ghayah secara bahasa berarti kan tujuan atau batasan. Jadi, yang dimaksud
dengan mafhum al-Ghayah yaitu menetapkan hukum yang berada di luar tujuan, nash
bila nash tersebut terdapat tujuan atau batasan. Contoh yang dapat kita ambil ialah
surah al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:
Maka telah jelas pada ayat di atas secara mantuq nya atas
kebolehannya (ibahah) makan dan minum di malam hari bagi mereka yang
melaksanakan ibadah puasa pada bulan ramadhan dari terbenamnya matahari
hingga terbitnya fajar. Dan dari ayat atau nash di atas dapat kita pahami juga
secara mafhumnya pengharaman makan dan minum setelah tujuan atau
batasan ini, yaitu Thuluu’I al-Fajr.
Pada redaksi ayat atau nash diatas terdapat kata ila yang mana kata ila
dapat kita pahami dengan makna atau arti sampai, sehingga kata siku adalah
batasan akhir membasuh tangan yang dianjurkan dan harus menjadi bagian yang
di basuh berdasarkan dalil secara manthuq di atas. Jadi mafhum yang dapat kita
ambil dari ayat tersebut bahwasannya membasuh tangan lebih dari siku-siku
tidaklah wajib, berkenaan apakah hukumnya perbedaan ulama dalam
menetapkan hukum pada hal membasuh tangan lebih dari siku-siku ini.
d. Mafhum al-Hashri
14 Endang Baihaqie, Ringkasan Ilmu Al-Bayan, Al-Ma’any dan Al-Badi’ (Jatinangor, CV.
ُس تَ عِ ي
إِ اَّي َك نَ عح بُ ُد َو إِ اَّي َك نَ ح
Artinya : Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat disimpulkan
bahwasannya: Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”,
sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang
diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dalalah iqtidha,
dalalah isyarah dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang
dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari
suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang
diucapkan (mafhum mukhalafah). Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat
(fahwal khitab dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat
(mafhum as-Syurut, al-Ghayah, al-Shifah dan al-Hashri).
Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah, namun untuk
mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu apabila makna mafhum bertentangan
dengan lafadz atau syariat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA