Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAWADHU’ DAN SOMBONG

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


matakuliah Pendidikan Agama Islam

Disusun Oleh :
Nama : Dela Khoirunnisa
NIM : M17030017
Dosen : Ngaji Babar W, S.T

PROGRAM STUDY DIII FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI
YOGYAKARTA
2019
BAB I

PENDHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa ajaran Islam yang di bawa

oleh Nabi Muhammad SAW. adalah sebagai rahmat bagi semesta alam.

(Lihat dalam surah Al-An’am : 107). Sayyid Qutb, Ibn Jarir al-Thabary

dan Ahmad Mustafa al-Maraghy, sebagai mufassir berpendapat bahwa

maksud rahmat ini adalah dapat diterima oleh seluruh umat manusia,

apakah mereka dari kalangan mukmin maupun mereka yang bukan

mukmin. Dalam arti lain bahwa, rahmatan lil al-‘alamin bisa bermakna

bahwa ajaran Islam sejak diturunkannya telah memiliki karakteristik

sebagai ajaran yang abadi,sempurna dan universal.

Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek

penting untuk mengetahui keuniversalan ajaran Islam tersebut adalah

adanya dorongan untuk senantiasa mencari ilmu pengetahuan dimana saja

dan kapan saja umat Islam berada. Dengan adanya dorongan dari ayat-ayat

Al-Qur’an maupun dalam Hadits yang menganjurkan umat Islam agar

mencari ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa

disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana salah satu di antaranya

adalah lahirnya ilmu tasawuf yaitu mengenai sikap tawadhu’ yang akan

dibahas dalam isi makalah ini.


Ilmu tasawuf sesungguhnya ialah salah satu cabang dari ilmu-ilmu

Islam yang utama, selain ilmu Tauhid (Ushuluddin) dan ilmu Fiqih yang

mana dalam ilmu Tauhid bertugas membahas tentang soal-soal I’tiqad

(kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal ketuhanan,

kerasulan, hari ahir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya.

Kemudian dalam ilmu Fiqih adalah lebih membahas tentang hal-hal

ibadah yang bersifat dhahir (lahir), seperti soal shalat, puasa, zakat, ibadah

haji dan sebagainya. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf lebih membahas

soal-soal yang berkaitan denganakhlak, budi pekerti, amalan ibadah yang

berkaitan dengan masalah bathin (hati), seperti cara-cara ikhlas, khusu’,

taubat, tawadhu’, sabar, ridha (kerelaan), tawakkal dan yang lainnya.


BAB II

PEMBAHASAN

A. KAJIAN PUSTAKA

Sikap tawadhu’ adalah kebalikan dari sikap sombong. Tawadhu’

adalah bagian dari akhlak yang mulia, sedangkan kesombongan termasuk

akhlak yang tercela. Tawadhu’ adalah sikap rendah hati, namun tidak

sampai merendahkan kehormatan diri dan tidak pula memberi peluang

orang lain untuk melecehkan kemuliaan diri.

Takabur atau sombong adalah sikap merasa lebih unggul atau lebih

mulia di bandingkan dengan yang lain. Kesombongan adalah sikap terlalu

yakin terhadap diri sendiri, hingga muncul perasaan menganggap rendah

dan hina pihak lain serta enggan berkumpul dengan orang lain. Orang

seperti ini tidak mau menerima perbedaan pendapat apalagi nasihat orang

lain. Bila ada orang yang mengingatkannya dia akan marah bahkan

menghina orang tersebut.

Coba kita lihat, bila seseorang mempunyai sikap tawadhu’, maka

akhlak-akhlak mulia lainnya akan muncul pada dirinya, seperti perasaan

bahwa manusia ini sama, lebih mengutamakan orang lain, toleran, bisa

memahami perasaan orang lain, dan mau membantu orang yang terzo limi.

Adapun kesombongan akan menjurumuskan seseorang kepada

sikap-sikap negatif yang lain, seperti, iri hari, benci, pemarah, egois,

terperdaya dengan diri sendiri, dan ingin menguasai. Orang yang


mempunyai sifat sombong cenderung merendahkan kawan-kawan

sesamanya. Bila dia telah mengusai pengetahuan tertentu, maka dia akan

menghina dan mencela kawan-kawannya yang ketinggalan

pengetahuannya. Bila berinteraksi dengan orang lain, dia mengganggap

bodoh dan menghina mereka, dan bila mengerjakan sesuatu, dia suka

menyelesaikannya sendiri.

Karena sikap sombong dan ‘ujub (bangga terhadap diri sendiri)

hampir sama, maka Imam al-Ghazali membuat perbandingan antara

keduanya. Ia menegaskan bahwa takabur berbeda dengan ‘ujub; orang

yang ‘ujub tidak akan menyakiti pihak lain, karena dia hanya sebatas

membanggakan diri secara berlebihan, namun tidak disertai dengan sikap

merendahkan atau menghina pihak lain. Takabur juga berbeda dengan

al-‘adhamah (merasa bangga dengan potensi yang ada), karena orang yang

dalam hatinya ada perasaan ‘adhamah, masih menganggap ada orang lain

yang lebih baik dan lebih bagus darinya, atau paling tidak masih ada yang

menyamainya.

Dalam kitab tahzib al-akhlak, Ibnu Maskawaih berkata,”Orang

yang pandai dan terhormat seharusnya terhindar dari sifat takabur dan

bangga terhadap diri sendiri. Ada sebuah kisah, seorang penguasa

berbangga diri di hadapan seorang hamba sahaya yang pandai. Melihat hal

ini, hamba sahaya tersebut berkata,’Bila kamu berbangga diri kepadaku

atas kuda yang kamu miliki, maka keistimewaan yang engkau banggakan

adalah milik kuda bukan milikmu. Bila kamu berbangga diri karena
bajumu, maka yang bagus adalah bajumu, bukan dirimu, dan bila kamu

membanggakan diri karena kehormatan nenek moyangmu, makan

kehormatan itu adalah milik mereka bukan milikmu”

Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al

Qur’an dan As-Sunah mencelanya dan mengajak kita untuk

meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini diancam tidak

masuk ke dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah memuji

hamba-hamba-Nya yang rendah hati dan tawadhu’ kepada sesama. Allah

ta’ala berfirman,

‫م ْال َجا ِهلُونَ قَالُوا َساَل ًما‬Mُ ُ‫ض هَوْ نًا َوإِ َذا خَاطَبَه‬
ِ ْ‫َو ِعبَا ُد الرَّحْ َم ِن الَّ ِذينَ يَ ْم ُشونَ َعلَى اأْل َر‬

“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang

berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil

menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al

Furqaan: 63)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِّ ‫ْال ِك ْب ُر بَطَ ُر ْال َح‬


‫ق َو َغ ْمطُ النَّاس‬

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR.

Muslim)

Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya, Allah ta’ala berfirman:

َ‫إِنَّهُ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْستَ ْكبِ ِرين‬


“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan

diri.” (QS. An Nahl: 23)

Allah Ta’ala juga berfirman,

ِ ْ‫ك ال َّدا ُر اآْل َ ِخ َرةُ نَجْ َعلُهَا لِلَّ ِذينَ اَل ي ُِري ُدونَ ُعلُ ًّوا فِي اأْل َر‬
‫ض َواَل فَ َسادًا‬ َ ‫تِ ْل‬

“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak

berambisi untuk menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan

kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)

Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling

buruk adalah orang yang menyombongkan diri kepada manusia dengan

ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang dia miliki. Orang

semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Karena barang

siapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan

membuatnya rendah hati dan menumbuhkan kehusyu’an hati serta

ketenangan jiwa. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk

terus memperhatikannya. Bahkan di setiap saat dia selalu berintrospeksi

diri dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia pasti akan

terlempar keluar dari jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa yang

menuntut ilmu untuk berbangga-banggaan dan meraih kedudukan,

memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi

dan merendahkan mereka, sungguh ini tergolong kesombongan yang

paling besar. Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya
terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil dzarrah (anak semut), la

haula wa la quwwata illa billah.

Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda

kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin

bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan

kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin

meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya

maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah

hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk

membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan

posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha

untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati

kepada mereka.”

Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin

bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan

kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah

keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka

baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka

bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka

dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali

meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan

dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah
untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian

kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula

halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan,

pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman

tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,

‫هَ َذا ِم ْن فَضْ ِل َربِّي لِيَ ْبلُ َونِي أَأَ ْش ُك ُر أَ ْم أَ ْكفُ ُر‬

“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa

bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml: 40).”

Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya berbagai

kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu

akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti

kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya

berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya

Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk

kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai

musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman,

َ َ‫ َوأَ َّما إِ َذا َما ا ْبتَاَل هُ ف‬. ‫فَأ َ َّما اإْل ِ ْن َسانُ إِ َذا َما ا ْبتَاَل هُ َربُّهُ فَأ َ ْك َر َمهُ َونَ َّع َمهُ فَيَقُو ُل َربِّي أَ ْك َر َم ِن‬
‫ق َعلَيْه‬

‫ َكاَّل‬. ‫… ِر ْزقَهُ فَيَقُو ُل َربِّي أَهَان َِن‬

“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan

kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun

mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya


mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah

menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-

17)

Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezekinya) dan

Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi)

kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah

setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah

kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)

Contoh Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu

Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim

mengatakan, Aku pernah mendengar Malik membawakan sebuah kisah

bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang

lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan

seluruh umat manusia dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan

Umar mendapatkan ketinggian dan kemuliaan derajat yang lebih di antara

manusia yang lain. Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam

mimpiku, ‘Karena faktor apakah Umar bin Al Khathab bisa mengungguli

orang-orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang berujar kepadaku,

‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang mati

syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun

selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’ Pada keesokan harinya,

laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang

duduk bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada
mereka berdua. Ketika dia selesai bercerita maka Umar pun menghardik

orang itu seraya berkata kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi

orang tidur!” Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika

Abu Bakar telah wafat dan Umar memegang urusan pemerintahan, maka

beliau pun mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar

berkata kepadanya, “Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan

dahulu.” Lelaki itu menjawab, “Bukankah anda telah menolak cerita saya

dahulu?!” Umar mengatakan, “Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan

keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat

itu dia sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan

mengatakan, “Umar radhiyallahu ‘anhu tidak merasa ridha keutamaan

dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir

mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya dia tidak perlu merasa berat

ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi inilah salah satu bukti

kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” (lihat Ma’alim fi Thariq

Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104). Wallahua’lam bissowab.

Anda mungkin juga menyukai