Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SIFAT-SIFAT TERCELA
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf dan Tarekat
Dosen Pengampu :
Zainudin, S.Ag., M.Pd,I

Disusun Oleh :
Kelompok 10
1. Adisa Hayu Prasania (126201201031)
2. Stamrotul Ismi Mawaddah (126201203260)
3. Rizqi Nahru Fadlulloh (126201202106)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
MARET 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa tercurah kepada Allah SWT, atas berkat
dan limpahan rahmat-Nya lah makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Berikut ini penyusun lampirkan sebuah makalah dengan judul “Sifat-Sifat
Tercela”. Yang bertujuan untuk menambah wawasan tentang ilmu tasawuf dan
tarekat di dunia Islam bagi para pembaca dan juga bagi penyusun. Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zainudin, S.Ag., M.Pd,I. selaku dosen
pengampu mata kuliah Ilmu Taswauf dan Tarekat yang telah memberikan tugas
makalah ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan penyusun serta
pembaca. Penyusun menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
penyusun untuk menyempurnakan makalah ini.

Tulungagung, 11 Maret 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ........................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................... 5
A. Takabur....................................................................................................... 5
B. Riya’ ............................................................................................................ 8
C. Ujub ........................................................................................................... 11
D. Sum’ah ...................................................................................................... 13
BAB III ................................................................................................................. 15
PENUTUP ............................................................................................................ 15
A. Kesimpulan ............................................................................................... 15
B. Kritik dan Saran ...................................................................................... 15

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sifat-sifat Tercela merupakan perilaku yang dibenci oleh Allah SWT,
siapapun yang Takabur, riya’, ujub, dan sum’ah itu semua sikap dan tindak-
tanduk manusia yang tak beradab, manusia yang berakhlak tercela bagaikan tak
beradab, karena sudah barang tentu orang yang berakhlak tercela akan berbuat
sekehendak hatinya saja. Meskipun pada dasarnya, manusia itu selalu perlu
diingatkan dan dijelaskan tentang perkara-perkara agamanya serta dunianya
agar ia kemudian terdorong untuk berkerja dengan keras, ulet, dan semangat
yang tinggi. Maka dari itu, situasi seperti ini celakalah orang yang tidak
mendapatkan rahmat Allah SWT.

Sifat terpuji dan tercela yang tertanam dalam diri manusia selalu
berdampingan dan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Apabila perilaku
seseorang menampilkan kebaikan, maka terpujilah sikap orang tersebut.
Sebaliknya, apabila perilaku seseorang menampilkan kebaikan atau kejahatan,
maka tercelalah sikap orang tersebut. Sifat tercela sangat dilarang oleh Allah
SWT dan harus dihindari dalam pergaulan sehari-hari karena akan merugikan
diri sendiri maupun orang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sifat Takabur ?
2. Apa pengertian dari sifat riya’ ?
3. Apa pengertian dari sifat ujub ?
4. Apa pengertian dari sifat sum’ah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari sifat Takabur.
2. Untuk mengetahuai pengertian dari sifat riya’.
3. Untuk mengetahui pengertian dari sifat ujub.
4. Untuk mengetahui pengertian dari sifat sum’ah.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Takabur
1. Pengertian Takabur
Takabur berasal dari bahasa Arab takabbara-yatakabbaru yang artinya
sombong atau membanggakan diri. Menurut kamus Lisanul Arab1, yang
dimaksud dengan Takabur adalah orang yang menganggap dirinya lebih utama
daripada orang lain, dan merasa dirinya mempunyai hak serta keistimewaan
yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dalam bahasa Arab, Takabur disetarakan
dengan Ta’azzum yang berarti menampaknampakkan keagungan dirinya di
depan khalayak.

Buya Hamka dalam tafsirnya mengatakan, takabur artinya membesarkan


diri, atau bergadang diri, karena lupa diri itu siapa.2 Syeikh Muhammad
Nawawi al- Bantani mengatakan (sombong) ialah pandangan hamba kepada
dirinya sebagai orang mulia dan pandangannya kepada orang lain dengan
penghinaan. Apabila seorang itu menganggap dirinya mulia, tetapi memandang
orang lain lebih mulia darinya atau seperti dirinya, maka orang tersebut tidak
dianggap menyombongkan diri kepada orang lain. Andaikata seorang itu
meremehkan orang lain namun orang tersebut menganggap dirinya lebih hina
dan andai kata orang tersebut menganggap orang lain seperti dirinya atau
sama sepertinya, orang tersebut tidak dianggap sombong. Akan tetepi, orang
yang sombong ialah orang yang menganggap dirinya lebih baik daripada orang
lain sebagaimana yang dikatakan oleh Iblis3 :

Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku
dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". (Q.S Sad: 76)

1
Ibnu Manzur Al-Afriqiy, Lisanul Arab, Dar-Al Fikri. jilid 5. Hal 125
2
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar, cet. 5, jil. 4, (Singapura:
Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003), hlm. 2502.
3
Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Maroqil ‘Ubudiyah Syarah Bidayah al-Hidayah, terj. Zaid
Husein al-Hamid, cet. 1, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), hlm. 199-200.

5
Kesombongan itu terbagi kepada dua macam yaitu batin dan zahir.
Kesombongan batin adalah perangai (penyakit) dalam jiwa atau hati,
sedangkan kesombongan zahir adalah amal-amal perbuatan yang zahir dari
anggota badan4 atau tampak dalam tindakan anggota badan.5

2. Macam-Macam Takabur
Ada beberapamacam-macam Takabur, diantaranya adalah :
a. Sombong kepada Alloh SWT
Ini merupakan bentuk kesombongan yang paling keji. Penyebabnya
adalah kebodohan dan pembangkangan seperti umat terdahulu yaitu
kesombongan Namrud atau kisah tentang sekelompok orang-orang
yang bodoh. Kesombongan yang pernah dilakukan oleh manusia kepada
Allah yaitu:
1. Mengaku diri sebagai Tuhan.
2. Tidak mau mengesakan diri kepada Allah.
3. Tidak mau beribadah kepada Allah.
4. Berpura-pura bertanyakan keberadaan Allah atau nama-Nya.
b. Sombong kepada Rasul
Ini adalah maksud keengganan jiwa untuk mematuhi nabi dan rasul.
Kadang- kadang hal itu memalingkan pikiran dan ketajaman hati sehingga
seorang itu tetap berada dalam kegelapan kebodohan akibat
kesombongan lalu enggan mematuhi, tetapi orang tersebut mengira
sebagai pihak yang benar. Kadang-kadang enggan sekalipun tahu tetapi
jiwanya tidak bersedia mematuhi kebenaran dan tunduk kepada para rasul.

4
Sa‟id bin Muhammad Daib Hawwa, Al-Mustakhlash Fī Tazkiyatil Anfus; Mensucikan Jiwa:
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, cet. 9, (Jakarta Timur: Robbani
Press, 2005), hlm. 228.
5
Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi (Ibnu Qudamah),
Mukhtashar Minhajul Qasidin; Jalan Orang-Orang Yang Mendapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi,
cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), hlm. 288.

6
c. Sombong kepada sesama manusia
Kesombongan kepada hambanya ini adalah dengan menganggap diri
lebih terhormat dan melecehkan orang lain sehingga tidak mau mematuhi
kepada perintah orang lain, meremehkan orang lain dan tidak mau sejajar
dengan orang lain.
Berikut ini beberapa contoh sikap takabbur menurut pendapat ulama
yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari:
a. Suka memuji diri dan membanggakan diri, harta, ilmu, keturunan
selalu ingin dipuji.
b. Memandang dirinya lebih sempurna disbanding siapapun.
c. Meremehkan/merendahkan orang lain.
d. Memalingkan muka ketika bertemu orang lain.
e. Suka mencela dan mengkritik orang lain dengan maksud
menjatuhkannya.
f. Berlebih-lebihan dalam berpakaian.
g. Berlagak dalam berbicara.
h. Pemboros dalam harta benda.
i. Selalu membanggakan dirinya, Selalu mengecilkan orang lain.
j. Sakit hati jika ada yang menyainggung.

3. Ciri-Ciri Takabur
Takabur itu baru terwujud bila seseorang mendapat tiga keyakinan di
dalam dirinya. diantaranya:
a. Ia melihat dirinya memiliki martabat.
b. Ia melihat pada diri orang lain juga memiliki martabat.
c. Bila ia menganggap martabatnya lebih tinggi dari pada orang lain.
Apabila tiga keyakinan di atas terdapat pada diri seseorang, berarti di dalam
dirinya, telah tertanam sifat sombong. Hatinya akan menjadi takabur. Karena
hal itulah, dihatinya timbul rasa gengsi, rasa berwibawa, juga kesenangan dan
kecenderungan kepada yang diyakininya sebagai sesuatu yang besar.
Kewibawaan, perasaan besar, kecenderungan kepada hal yang diyakini itulah

7
perangai sifat takabur. Orang yang takabur hanya memanfaatkan orang lain
buat kepentingan dirinya.6

4. Penyumbuhan Takabur
Takabur termasuk di antara sifat-sifat yang sangat mencelakakan dan sulit
untuk dihindari. Hukum pemberantasannya adalah fardhu „ain bagi setiap
individu. Al-mawardi dengan tegas menganjurkan untuk menjauhi sifat
takabur, karena ia akan mereduksikan makna keutamaan melalui berbagai
perbuatan yang hina. Setiap orang yang dikuasai sifat ini, orang itu tidak akan
memiliki kemampuan untuk menasehati orang lain, dan ia tidak pantas menjadi
pendidik, karena kemampunnya terukur hanya sebatas mengaku memiliki
kemampuan itu. Sifat ini akan mengaplikasikan kebencian, karena ia tidak
memperdulikan unsur persahabatan.
Adapun cara menyembuhkan atau mencegah takabur adalah :
a. Memahami bahaya sifat ini, terutama bahayanya diahirat kelak.
b. Melatih diri kita perlahan untuk bersikap tawadhu, baik kepada Allah
maupun kepada sesama mahluk.
c. Merasakan hakikat kekurangan diri dan kelebihan yang ada pada orang
lain jika sewaktu-waktu datang sifat takabur.
d. Menyadari kehilafan kita dengan mengucapkan Subhanallah. Hanya
Allah yang maha sempurna dalam zat, sifat, dan ekerjaan-Nya. Dialah
yang pantas dengan atribut kesombongan.
e. Beristigfar atas kekhilapan tersebut.7

B. Riya’
1. Pengertian Riya’
Secara bahasa riya berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata ru’yah yang
artinya adalah menampakkan. Menurut Astuti dalam Kamus Populer Istilah

6
Al-Banjari, Rachamad Ramadhana, Membaca Kepribadian Muslim Seperti Membaca Al-Qur’an,
DIVA Press, Jogjakarta, 2008,h.220
7
Al-Qorni, Uwes, Penyakit Hati, PT Remaja Rosdakarya, Cet VIII, Bandung, 2002.

8
Islam, riya adalah berbuat baik karena ingin dilihat orang lain sehingga
mendapat pujian/ beribadah tidak untuk mencari keridhaan Allah
subhanahu wa ta’ala melainkan untuk mencari pujian dari orang lain.8 Riya’
adalah menampakkan amal ibadah, ataupun perilaku berbuat baik supaya orang
lain tau dan memuji perilakunya tersebut, dan apa yang dilakukan seorang
tersebut tidaklah semata-mata karena Allah SWT.
Said Hawa menyatakan dalam bukunya bahwa riya adalah menunjukan
amal perbuatan maupun ibadat bukan karena Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi
karena ada keinginan selain itu seperti pujian, dilihat orang lain sebagai
manusia yang khusyuk, mengharapkan hadiah dari seseorang, dan dicintai oleh
sesama manusia. Said Hawa bahkan mengkatagorikan riya sebagai syirik
khafi yaitu mempersekutukan Allah dengan yang selain Allah dengan samar-
samar atau tersembunyi.9
Beberapa ahli tasawuf juga melakukan pembahasan tentang riya
karena pengertian dari tasawuf sendiri adalah jernihnya hubungan dengan
Allah. Pangkalnya adalah kita berpaling dari dunia. Bersama Allah tanpa
tergantung dengan suatu apa pun.10 Sedangkan riya, bertujuan untuk mencari
kedudukan di hati manusia.11

2. Bentuk dan Tingkatan Riya’


Menurut Abu bakar Jabir Al-Jazairi dalam bukunya Minhajul Abidin,
terdapat tiga bentuk riya yaitu :12
a. Seorang hamba semakin menambah ketaatanya apabila ia mendapatkan
pujian dari orang lain, akan tetapi ketaatanya akan berkurang dan
bahkan meninggalkanya apabila ia dicela atau diejek.
b. Semakin giat dalam beribadah jika ia melakukanya bersama orang
banyak, namun bermalas-malasn bila sendirian.

8
Dewi Astuti, Kamus Populer Istilah Islam, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013).

9
Said Hawa, Induk Pensucian Diri, Cet-4, (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2002), hal.471
10
M. Abdul Mujeb, Ahmad Ismail, Syafi’ah, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, hal 21
11
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim,hal 321
12
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, hal. 321

9
c. Bersedekah bila ada orang lain melihatnya, tetapi jika tidak ada yang
melihatnya, maka iatidak mau bersedekah.
Mujeb dkk. menyatakan bahwa, bila dilihat dari sudut penampilan maka
riya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:13
a. Riya Jali (riya yang nyata), yakni riya yang sejak semula diniatkan
bahwa amal yang akan ditampilkan sengaja untuk tujuan mencari
kedudukan, bukan dikerjakan karena mengharap ridha Allah.
b. Riya Khafi (riya tersembunyi), yakni riya yang sejak semula bukan
bertujuan untuk mendapatkan kedudukan, tetapi suatu waktu terpeleset
pada tujuan tersebut.

3. Bahaya Riya’
Menurut Sa’d al-Qahtani, bahaya dari riya sangatlah besar bagi individu,
masyarakat dan umat. Karena riya akan selalu membayangi setiap amal. Di
antara bahaya riya adalah:14
a. Sifat riya merupakan sifat yang lebih berbahaya bagi umat islam
daripada dajjal.
b. Sifat riya lebih ganas dari terkaman serigala terkaman serigala terhadap
seekor kambing.
c. Riya dapat menghilangkan keberkahan amal dan dapat membatalkanya.

4. Cara Menghindari Riya’


Para ulama berupaya memberikan berbagai jalan guna menemukan kiat-
kiat agarterhindar dari keriyaan serta mampu menghadirkan keikhlasan dalam
jiwa. Diantara cara yang mereka tawarkan adalah:

a. Menghadirkan sikap muraqabatullah, yaitu sikap yang menghayati


bahwa Allahsenantiasa mengetahui segala gerak-gerik kita hingga yang

13
M. Abdul Mujeb, Ahmad Ismail, Syafi’ah, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, hal. 374
14
Sa’d Al-Qahtani, Menjadi Dai Yang Sukses, Penerjemah: Aidil Novia, (Jakarta: Qisthi
Press, 2005), hal. 287-290.

10
sekecil-kecilnya, bahkanyang tergores dan terlintas dalam hati
sekalipun yang tidak pernah diketahui olehsiapapun.
b. Seseorang perlu menyadari dan meyakini, bahwa dengan riya, seluruh
amalannyaakan tidak memiliki arti sama sekali. Amalannya akan hilang
sia-sia dan akanmusnah. Serta dirinya tidak akan pernah mendapatkan
apapun dari usahanya sendiri.
c. Dirinya pun perlu menyadari, bahwa lambat launpun manusia akan
mengetahuiapa yang terdapat di balik amalan-amalan baik yang
dilakukannya, baik di duniaapalagi di akhirat kelak.
d. Dirinya juga perlu meyadari pula bahwa dengan riya, seseorang dapat
diharamkan dari surga Allah,
e. Banyak berdzikir kapada Allah SWT, terutama manakala sedang
menjalankansuatu amalan, yang tiba-tiba muncul pula niatan riya. Hal
ini sebaiknya segeraditerapi dengan dzikir.

C. Ujub
1. Pengertian Ujub
Secara bahasa, kata ujub berasal dari kata “ajaba” yang maknanya “kagum,
terheran-heran, takjub.” “Al I’jabu bin nafsi” yang berarti kagum pada diri
sendiri. Secara terminologi, ujub didefinisikan sebagai suatu sikap
membanggakan diri dengan memberikan satu penghargaan yang terlalu
berlebihan kepada kemampuan diri. Sikap ini tercermin pada rasa tinggi diri
(superiority complex) dalam bidang keilmuan, amal perbuatan ataupun
kesempurnaan bentuk fisik, kemudian ketika ia menampakkan kelebihannya itu
pada orang lain dan merendahkan orang lain, maka ia telah terjangkit penyakit
takabur. Oleh karena itu, sikap ujub dan takabur memiliki keterkaitan satu
sama lain dan sifat takabur adalah sifatnya iblis dan syaitan. Allah SWT sangat
melarang kaum muslimin memiliki sifat ujub yang dapat menjerumuskan
kepada sifat takabur atau sombong. Allah berfirman: “ Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah akmu

11
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
norang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman : 18).15

2. Macam-macam Ujub
Dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, Al-Gazhali menyebutkan ada 8 macam
ujub, yaitu:

a. Ujub dengan nasab yang tinggi


b. Ujub terhadap keindahan tubuh dan parasnya
c. Ujub dengan kekuatan
d. Ujub dengan kecerdasan dan akal
e. Ujub terhadap jumlah yang banyak
f. Ujub dengan harta
g. Ujub dengan pendapat yang salah
h. Ujub dengan bernasab kepada para penguasa dan pengikutnya yang dzalim

3. Bahaya Ujub
Bahaya dari sifat ujub, diantaranya adalah:
1) Ujub menyebabkan timbulnya rasa sombong (takabur), merendahkan
orang lain, dan tidak mau mengakui kelebihan yang dimiliki orang
lain.
2) Ujub membuat seseorang lupa untuk bersyukur kepada Allah bahkan
mensyukuri diri sendiri, seakan-akan amalan yang dilakukannya
adalah atas kehebatannya.
3) Jika seseorang memiliki sifat ujub, maka bisa membuat lenyap dari
dirinya sifat tunduk dan merendah di hadapan Allah SWT yang telah
menganugerahkan segala kelebihan dan kenikmatan kepadanya.
4) Terlebih akan lenyap sikap tawadhu’ di hadapan manusia.16
5) Membatalkan pahala serta akan dibenci dan dijauhi orang lain.

15
Abdurrohim,dkk., Akidah Akhlak X, (Kementerian Agama RI:2013),hlm. 49
16
Firanda, hlm. 120

12
6) Sikap ujub dapat menghilangkan raasa saling hormat menghormati,
lenyapnya rasa simpati orang kepadanya, dan menanamkan kebencian.

4. Cara Menghindari Sifat Ujub


Cara menghindari sifat ujub, diantaranya adalah:
1) Membiasakan diri bersikap rendah hati, dengan cara melihat orang-
orang yang lebih baik dari kita, lebih pandai, lebih hebat, lebih sholih
dari kita, sehingga akan membuat kita sadar bahwa masih banyak
yang lebih baik, lebih hebat dari kita.
2) Membaca dan mengingat kisah sejarah yang Allah abadikan dalam
Al-Qur’an, mengenai orang yang ujub, takabur dengan kekuatannya
yang akhirnya Allah binasakam, sepeti Fir’aun dan Qarun.
3) Menyadari bahwa pada hakikatnya semua yang ada pada diri kita
adalah milik Allah. Baik itu harta, ilmu, kemampuan dan berbagai
karunia Allah lainnya.
4) Harus senantiasa memahami bahwa yang menjadi ukuran kemuliaan
seseorang adalah ketaqwaannya, bukan bentuk fisik, bukan kekayaan,
bukan ilmu yang dimilikinya.
5) Tingginya jabatan, kedudukan, dan leluhur yang bangsawan tidak
boleh dijadikan alasan untuk berbuat sewenang – wenang dan
membanggakan diri. Sebab, semua itu amanah dari Allah SWT.17

D. Sum’ah
Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun
secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah, kemudian
menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain.18

Adapun sum’ah mempunyai hubungan erat sekali dengan riya’, bahkan


tergolong sama. Akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Perbedaan

17
Abdurrohim,dkk.,Loc.cit
18
Syeikh Ahmad Rifa’i; Riayah Akhir, Bab Tasawuf, Juz 2, korasan 23 halaman 2 baris 3

13
antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu Riya’ adalah memperlihatkan
amal dan perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian seperti shalat, adapun
sum’ah merupakan amalan yang diperdengarkan kemudian menceritakan
perbuatannya (sudah dikerjakan dengan penuh keikhlasan, namun pada
akhirnya mengharapkan pujian yang sifatnya duniawi).

Perbedaan riya’ dan sum’ah adalah pada riya’ berarti beramal karena
diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya
diperdengarkan kepada orang lain. Riya’ berkaitan dengan indramata,
sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga.19

Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat


“samma’an naasa bi’amalihi” digunakan jika seseorang menampakkan
amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya.20 Dalam Alquran
Allah mengingatkan kepada kita mengenai sifat sum’ah dan riya’ ini dalam
Q.S. Al-Baqarah : 264 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)


sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia.”

19
Dr. Sulaiman Al-Asyqor, Al-Ikhlas, halaman 95
20
Kitab Lisanul Arab, 8/165

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Takabur adalah orang yang menganggap dirinya lebih utama daripada
orang lain, dan merasa dirinya mempunyai hak serta keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh orang lain
Riya’ adalah menampakkan amal ibadah, ataupun perilaku berbuat baik
supaya orang lain tau dan memuji perilakunya tersebut, dan apa yang dilakukan
seorang tersebut tidaklah semata-mata karena Allah SWT.
Ujub adalah suatu sikap membanggakan diri dengan memberikan satu
penghargaan yang terlalu berlebihan kepada kemampuan diri.
Sum’ah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah, kemudian
menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain.
B. Kritik dan Saran
Penulis merasa bahwa makalah ini masih memiliki sangat banyak
kekurangan, baik dalam segi penulisan maupun dalam segi yang lainnya. Jadi
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman
sekalian selaku pembaca. Untuk materi ini, penulis memberi saran agar kita
senantiasa berusaha mendalami tentang Ilmu Tasawuf dan Tarekat agar kita
menjadi muslim yang berkualitas, yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia
dan selalu dalam lindungan Allah SWT.

15
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim
Abdurrohim,dkk.,Loc.cit
Al-Banjari, Rachamad Ramadhana, Membaca Kepribadian Muslim Seperti
Membaca Al-Qur’an, DIVA Press, Jogjakarta, 2008
Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi
(Ibnu Qudamah)
Al-Qorni, Uwes, Penyakit Hati, PT Remaja Rosdakarya, Cet VIII,
Bandung, 2002
Dr. Sulaiman Al-Asyqor, Al-Ikhlas
Dewi Astuti, Kamus Populer Istilah Islam, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2013)
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar,
cet. 5, jil. 4, (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003)
Ibnu Manzur Al-Afriqiy, Lisanul Arab, Dar-Al Fikri. jilid 5
Kitab Lisanul Arab
M. Abdul Mujeb, Ahmad Ismail, Syafi’ah, Ensiklopedia Tasawuf Imam
Al-Ghazali
Mukhtashar Minhajul Qasidin; Jalan Orang-Orang Yang Mendapat
Petunjuk, terj. Kathur Suhardi, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997)
Said Hawa, Induk Pensucian Diri, Cet-4, (Singapura: Pustaka Nasional Pte
Ltd, 2002)
Sa’d Al-Qahtani, Menjadi Dai Yang Sukses, Penerjemah: Aidil Novia,
(Jakarta: Qisthi Press
Sa’id bin Muhammad Daib Hawwa, Al-Mustakhlash Fī Tazkiyatil Anfus;
Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Aunur Rafiq Shaleh
Tahmid, cet. 9, (Jakarta Timur: Robbani Press, 2005)
Syeikh Ahmad Rifa’i; Riayah Akhir, Bab Tasawuf, Juz 2, korasan 23
Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Maroqil ‘Ubudiyah Syarah
Bidayah al-Hidayah, terj. Zaid Husein al-Hamid, cet. 1, (Surabaya: Mutiara Ilmu,
2010)

16

Anda mungkin juga menyukai