MAKALAH
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Kelompok 11
SEMESTER I-B
TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR
Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 2
C. Tujuan Pembahasan..................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan.................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 16
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
pemalsuan-pemalsuan terhadap hadits Rasululah saw. Mulai
zaman inilah hadits-hadits palsu mulai bermunculan.
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Hadis semacam ini tentu saja tidak benar dan tidak dapat
diterima tanpa terkecuali, sebab ini sesungguhnya bukan hadits,
tindakan demikian adalah merupakan pendustaan terhadap Nabi
Muhammad saw. yang pelakunya diancam dengan neraka. Hadits
ini haram untuk disampaikan pada masyarakat umum, kecuali
hanya sebatas memberikan penjelasan dan contoh bahwa hadits
tersebut adalah maudhu’ (palsu).
1
Ajaj Al-Khathib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, cetakan Maktabah
Wahbah, (Kairo: 1963), hal. 415
2
Subhi al Shaleh, Ulum al Hadits wa Musthalahuhu, Darul ilm, (Beirut:
1997), hal. 263
3
B. Ciri-ciri Hadits Maudhu’
3
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung: PT. Angkasa), hal. 178
4
Hasbi Ashshiddiqy, Pokok-pokok Dirayah Ilmu Hadis, (Jakarta:PT. Bulan
Bintang, 1981), hal. 369-374
4
12. Menerangkan pahala yang sangat besar terhadap suatu
perbuatan kecil atau siksaan yang amat besar terhadap suatu
amal yang tak berarti.
5
Rabiatul Aslamiah, Hadis Maudhu dan Akibatnya, Alhiwar Jurnal Ilmu dan
Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni 2016, hal. 25-27
5
yang masih menyimpan dendam dan sakit hati melihat kemajuan
Islam. Mereka inilah yang kemudian membuat hadis-hadis
maudhu. Golongan ini terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi,
Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam dan
benci terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk
melawan kekuatan Islam secara terbuka maka mereka
mengambil jalan yang buruk ini, yaitu menciptakan sejumlah
hadist maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam dan
menghilangkan kemurnian dan ketinggiannya dalam pandangan
ahli fikir dan ahli ilmu.
Ada yang berpendapat bahwa faktor ini merupakan faktor
awal munculnya hadist maudhu’. Hal ini berdasarkan peristiwa
Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam
dengan mengaku kecintaannya kepada Ahli Bait. Sejarah
mencatat bukti bahwa ia adalah seorang Yahudi yang berpura-
pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani
menciptakan hadist maudhu’ pada saat masih banyak sahabat
ulama masih hidup.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari
kalangan orang zindiq ini, adalah:
1. Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000
hadist maudhu’tentang hukum halalharam, ia membuat hadis
untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin
Sulaiman, Walikota Bashrah.
2. Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang dihukum bunuh oleh
Abu Ja’far Al-Mashur.
3. Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati
oleh Khalid bin Abdillah.
c. Faktor Kebodohan
Ada golongan dari umat Islam yang suka beramal ibadah
namun kurang memahami agama, mereka membuat hadits-
hadits maudhu’(palsu) dengan tujuan menarik orang untuk
berbuat lebih baik dengan cara membuat hadis yang berisi
dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal dengan
menyebutkan kelebihan dan keutamaan dari amalan tertentu
tanpa dasar yang benar melalui haditstarghib yang mereka buat
sendiri. Biasanya hadits palsu semacam ini menjanjikan pahala
yang sangat besar kepada perbuatan kecil. Mereka juga
membuat hadis maudhu’ (palsu) yang berisi dorongan untuk
6
meninggalkan perbuatan yang dipandangnya tidak baik dengan
cara membuat hadis maudhu yang memberikan ancaman besar
terhadap perbutan salah yang sepele.
6
Hasbi Ashshiddiqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: PT.Bulan
Bintang, 1981), hal. 255
7
D. Hukum Meriwayatkan Hadits Maudlu’
8
kafir dengan melakukan pembohongan tersebut secara sengaja dan
boleh dijatuhi hukuman mati.
Pendapat ini dianggap lemah olehImam al-Haramain
sendiri.Seseorang yang berdusta atas Nabi walaupun hanya satu
hadits saja, ia telah menjadi fasik dan riwayat-riwayatnya yang
lainnya juga ditolak dan tidak boleh dijadikan hujah. Namun jika ia
bertaubat dan taubatnya sungguh- sungguh, sebagian ulama seperti
Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Humaidi (w. 219H) (guru Imam
Bukhari dan sahabat Imam Syafi’i), Abu Bakar al- Sairafi (w. 330H)
(salah seorang fuqaha’ madzhab Syafi’i), ashabul wujuh dalam
madzhab Syafi’i dan fuqaha’ mutaqaddimin dalam ushul dan furu’
mengatakan bahwa taubatnya tidak memberi pengaruh dan
riwayatnya tidak boleh diterima selama. Bahkan kesalahannya itu
dijadikan catatan atasnya untuk seterusnya.
Namun menurut Imam Nawawi (w. 677H) pendapat golongan
ulama ini lemah karena berlawanan dengan kaidah
syarak.Menurutnya, sah taubatnya secara pasti dan riwayatnya
boleh diterima setelah dia bertaubat sesuai dengan syarat-syarat
taubat yang benar.Pendapat Imam Nawawi ini berdasar pada ijmak
ulama yang mengatakan bahwa sah riwayat orang-orang yang kafir
setelah memeluk Islam dan kebanyakan sahabat dulunya juga kafir,
kemudian mereka memeluk Islam dan persaksian mereka diterima
dan tidak ada perbedaan di antara persaksian dan periwayatan.
Namun yang pasti para ulama berijma’ bahwa haram membuat
hadits-hadits maudhu’, yang berarti juga haram meriwayatkan atau
menyebarkan hadits-hadits maudhu’ padahal ia mengetahui dengan
yakin kedudukan hadits tersebut adalah maudhu’. Barangsiapa yang
tetap meriwayatkan dan menyebarkan hadits-hadits maudhu’
dalamkeadaan mengetahui dengan yakin kedudukan hadits tersebut
dan tidak menerangkan kedudukannya, ia termasuk pendusta atas
nama Rasulullah saw. Ini dijelaskan dalam sebuah hadits sahih yang
berbunyi: “Barangsiapa yang menceritakan satu hadits dariku dan
dia mengira bahwa hadits itu adalah dusta, maka dia termasuk di
dalam salah seorang pendusta”. Oleh sebab itu, ulama mengatakan
sudah seharusnya bagi seseorang yang hendak meriwayatkan
sesuatu hadits agar memastikan kedudukan hadits tersebut.
Tapi jika meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ dan menyebutkan
kedudukan hadits tersebut sebagai maudhu’, tidak ada masalah.
Sebab dengan menerangkan kedudukan hadits tersebut membuat
9
orang bisa bisa membedakan antara hadits yang shahih dengan
yang maudhu’ dan sekaligus dapat menjaga sunnah dari perkara-
perkara yang tidak benar.
10
ungkapan ini di setiap cover belakang kitab-kitab hasil
cetakannya. Padahal ini adalah hadits maudhu' atau hadits palsu.
Tapi jika ditinjau dari segi makna, ungkapan ini tidak salah; karena
ada hadits marfu' yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang searti
dengan ungkapan tersebut. Hadits tersebut artinya "jibril datang
padaku lalu ia berkata: Allah berfirman: "jika tidak ada engkau
wahai Muhammad maka aku tidak akan menciptakan surga. Jika
tidak ada engkau aku tidak akan menciptakan neraka". Dan dari
riwayat Ibnu 'Asakir " Jika tidak ada engkau aku tidak akan
menciptakan dunia"
.عظم مولدي كنت شفيعا له يوم القيامة من
Barang siapa yang mengagungkan kelahiranku maka aku
akan menjadi penyafaatnya di hari kiamat. Ungkapan inipun
sangat masyhur sekali di kalangan kita terlebih jika dalam
perayaan Maulid Nabi. Ungkapan ini selalu dibaca oleh para
muballigh sebagai dalil perayaan tersebut bahkan hiasan dekor
panggung pun bertuliskan ungkapan ini, padahal ungkapan ini
tidak tertulis di kitab-kitab hadits yang mu'tamad seperti Shaheh
Bukhori, Muslim dan kutubus sittah. Dari kesimpulan yang penulis
dapatkan tentang ungkapan ini mengindikasikan bahwa ungkapan
ini adalah hadits maudhu' atau hadits palsu, dengan alasan
ungkapan ini tidak tertulis dalam kitab-kitab hadits shoheh dan
sanadnya tidak jelas bahkan tidak tertulis dan ada sedikit
kejanggalan dalam makna ungkapan tersebut, pasalnya ungkapan
ini memperbincangkan pengagungan atau perayaan Maulid Nabi
sedangkan pengagungan dan perayaan Maulid Nabi teresebut
belum pernah terrealisasikan pada zaman Nabi Muhammad.
Selain lima ungkapan di atas yang telah masyhur di kalangan kita
yang dianggap sebagai hadits, masih banyak lagi ungkapan-
ungkapan yang dianggap hadist di kalangan kita yang tidak
mungkin penulis memuatnya dalam tulisan ini satu persatu. 7
7
Edi Kuswandi,Hadits Maudlu’ dan Hukum Mengamalkannya, (Surabaya: Sekolah Tinggi
Agama Islam YPBWI, 2016), hal. 5-9
11
F. Upaya Para Muhadditsin dalam Mengantisipasi Pemalsuan
Hadits
12
oleh tabi’in kecil (shighar at – tabi’in), atau oleh atba ‘Al-Tabi’in
berkonsultasi dengan tabi’in kecil.
2. Mengambil tindakan tegas terhadap pemalsuan hadits
Dalam rangka menjaga keutuhan dan kemurnian sesuatu
hadits, mereka tidak segan menindak para pemalsuan hadits dengan
melarang mereka meriwayatkan dan menjauh masyarakat dari
padanya, bahkan menyerahkan mereka kepada penguasa untuk di
hokum dan dibunuh. Di antara ulama sebagi penentang pemalsu
hadits adalah Amr Asy-Sya’bi (w.103), Syu’bah bin Al-Hajjaj (w.160
H), Sufyan – Sauri (w.161 H), Abdurrahman Ibnu Mahdi (w.198 H).
3. Menerangkan keadaan perawi hadits
Para muhadditsin yang terdiri dari para tabi’in dan At-ba’ Al-
Tabi’in telah mempelajari biografi para perawi mengenai
kejujurannya, kemampuan daya ingatan. Usaha ini tidak lain
tujuannya kecuali untuk dapat membedakan hadits hadits shahih,
hasan dan dha’if. Mereka mengeritik para perawi benar-benar karena
Allah. Hasil usaha ini lahirlah sesuatu ilmu yang dinamakan dengan
“Ilmu Jarh Wata’dil”.
4. Menetapkan kaedah-kaedah umum yang kuat untuk mengetahui
hadits maudhu.
Sebagaimana para Muhadditsin telah membuat kaedah-kaeda
kesahihan suatu hadits dan kehasanannya, atau kedhaifannya, maka
mereka juga membuat syarat-syarat kemaudhu’an hadits baik pada
matan maupun pada sand.8
BAB III
PENUTUP
8
Burhanuddin A. Gani, Historis Hadis Maudhu’, Al-Mu’ashirah Vol. 14, No. 1, Januari 2017,
hal. 9-10
13
A. Kesimpulan
A. Saran
Demikian makalah yang membahas tentang “Hadits Maudhu”
ini, semoga dapat dijadikan informasi untuk kita semua.
Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan dalam
makalah ini baik dari segi penulisan maupun isinya, oleh karena
itu kami harapkan saran dan kritikan dari para pembaca yang
bersifat membangun untuk lebih baik dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
14
Al-Khathib, Ajaj. 1963. As-Sunnah Qabla At-Tadwin.Cetakan Maktabah
Wahbah.Kairo
Ashshiddiqy, Hasbi. 1981. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: PT.
Bulan Bintang
15