Anda di halaman 1dari 14

METODE PENNERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADITS

Makalah ini Disusun Untuk memenuhi Tugas

Mata Kuliah Studi Hadits

Dosen Pengampu: Misbahul Munir M.HUM

Disusun Oleh
Khoirun Nisa (2131117)
MARDIANTO (2131118)

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH KELAS 2D

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, dan tak lupa shalawat dan salam senantiasa kita panjatkan kepada
panutan alam, Nabi Muhammad SAW, kami merasa bahagia dapat meyelesaikan makalah
“Nisbah dan Profit Margin Dalam Perbankam Syariah”. Makalah ini di buat untuk melengkapi
Tugas dari Dosen Pengampu Mata Kuliah Manajemen Pembiayaan Dr. Hendra Cipta, M.S.I

Penulis menyadari bahwa kami tidak mampu menyelesikan makalah ini tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini izinkan kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang secara materiil maupun moril memberikan bantuan demi terselesaikannya
makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hendra Cipta, M.S.I selaku dosen
Manajemen Bank Syariah di IAIN SAS BABEL.

Akhirnya kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga
bisa dipergunakan dengan baik. Kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari
pembaca.

Bangka Belitung, 21 Maret 2022

Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Dilihat dari segi
periwayatannya, hadis berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua
periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan hadis Nabi sebagian
periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara
ahad. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan
qath’iy al-wurud atau qath’iy as-tsubut di mana seluruh ayat telah diakui
keasliannya, sedang hadis, terutama yang dikategorikan hadits ahad masih
diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepastian periwayatannya: apakah
berasal dari Nabi atau bukan. Hadis dilihat dari segi periwayatannya berkedudukan
sebagai zhanniy al-wurud atau zhanniy as-tsubut.
Kajian-kajian yang banyak dilakukan umat islam terhadap al-Qur’an adalah
untuk memahami kandungannya dan berusaha mengamalkannya. Terhadap hadits,
kajian mereka tidak hanya menyangkut pemahaman kandungan dan pengamalannya,
tetapi juga periwayatannya. Karenanya, kajian terhadap periwayatan hadis ini
kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu ad-Dirayah.1
Makalah ini membahas aspek Metode Penerimaan dan Penerimaan hadits
yang secara khusus mengkaji Pengertian Penerimaan dan Penyampaian serta
Periwayatan Hadis, syarat-syarat peneriama hadits dan penyampaiannya serta
argumen yang melandasinya, metode-metode penerimaan dan penyampaian hadits,
dan periwayatan hadits : antara bi al-lafzh dan bi al-ma’na.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian penerimaan dan penyampaian serta periwayatan hadits?
2. Apa saja syarat penerima hadits dan penyampaiannya serta argumen yang
melandasinya?

1 Dr. M Alfatih suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Perum POLRI Gowok, 2010), hal. 105-106.
3. Bagaimana metode-metode penerima dan penyampaian hadits?
4. Apa yang dimaksud periwayatan hadits : antara bi al-lafzh dan bi al-ma’na?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penerimaan dan penyampaian serta periwayatan
hadits.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat penerima hadits dan penyampaiannya serta
argument yang melandasinya.
3. Untuk mengetahui metode-metode penerimaan dan penyampaian hadits.
4. Untuk memahami periwayatan hadits antara bi al-lafzh dan bi al-ma’na.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penerimaan dan Penyampaian Serta Periwayatan Hadits


Dalam ilmu hadits kita mengenal istilah tahammul dan ada'. Tahammul adalah
proses penerimaan hadits yang dilakukan oleh seorang rawi, sedangkan ada' adalah
proses penyampaian hadits yang biasa dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya,
atau seorang rawi. Format atau simbol (shighat) tahammul dan ada' menjadi tanda apakah
hadits itu bersambung atau tidak. Ulama' merumuskan detail-detail kecil shighat
tahammul dan ada' karena ingin memastikan sumber sebuah periwayatan.
Sedangkan periwayatan hadits adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian
hadits itu sendiri. Dalam hal periwayatan ada beberapa syarat untuk meriwayatkannya
yaitu islam, baligh, 'adalah, dhabit, bersambung dan tidak syadz.2

B. Syarat Penerima Hadits dan Penyampaiannya Serta Argumen yang Melandasinya


Para ulama ahli hadist mengistilahkan menerima dan mendengar suatu
periwayatan hadist dari seorang guru dengan beberapa metode penerimaan hadist disebut
dengan istilah Tahammul.
1. Penerimaan Anak-anak, orang kafir dan orang fasik
Para ulama ahli hadits berbeda pendapat mengenai penerimaan hadist
terhadap anak yang belum sampai umur (belum mukallaf), orang yang menerima
hadist dalam keadaan kafir serta dalam keadaan fasik. Jumhur muhadditsin
berpendapat bahwa seorang yang menerima hadist waktu masih kanak-kanak, atau
masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasik dapat diterima periwayatannya
setelah masing-masing dewasa, memeluk Islam dan bertobat. Adapun alasannya anak
yang belum dewasa dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma'. Yakni seluruh
umat Islam tidak ada yang membantah dan tidak ada yang membeda-bedakan
riwayat-riwayat para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Para
sahabat yang menerima hadist sebelum dewasa diantaranya Al-Hasan, Al-Husein,

2 http://harakahislamiyah.com/diskusi/ragam-cara-penerimaan-dan-penyampaian-hadits. Di akses pukul 09:14.


Senin 28 Oktober 2019.
Ibnu 'Abbas, Nu'man bin Basyir dan lainnya. Tetapi mereka memperselisihkan
masalah batas minimal umur anak yang belum dewasa, yang dapat dibenarkan dalam
penerimaan riwayat.
Beberapa pendapat tersebut diantaranya:
Pertama, Al-Qadhi Iyad mengatakan bahwa batas minimal adalah 5 tahun,
sebab pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang dia ingat serta
mengingat-ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadist riwayat Bukhari
dari sahabat Mahmud bin Al-Rubai':

ِ ‫ت ِمنَ النَّبِي صلي هللا عليه وسلم َم َّجةً َم َّجهَا فِي وجْ ِهي ِم ْن د َْل ٍو و أنَا ابْنُ َخ ْم‬
" َ‫س ِسنِ ْين‬ ُ ‫َعقَ ْل‬
”Saya ingat Nabi Saw. Meludah air yang diambilnya dari timba kemukaku,
sedang pada saat itu aku berumur lima tahun"
Kedua, pendapat Al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa
kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu
membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang dimaksudkan
adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan keadaan sekitar.
Ketiga, pendapat Abu Abdullah Al-Zuba'i yang dikutip oleh Mundzier
Suparta mengatakan bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadits pada usia
10 tahun. Sebab pada usia ini akal mereka sudah dianggap sempurna dalam arti
bahwa mereka sudah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat
hafalannya serta sudah beranjak dewasa.
Keempat, berbeda dengan pendapat ulama syam memandang usia yang ideal
bagi seorang untuk meriwayatkan hadist pada usia 30 tahun, dan ulama kufah
berpendapat minimal berusia 20 tahun. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan
ketamyizan seseorang diantaranya situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena itu
ketamyizan seseorang bukan diukur dari usia tetapi didasarkan pada tingkat
kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab
pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat
hafalannya. Mengenai penerimaan hadist oleh orang kafir jumhur ulama ahli hadist
menganggap sah. Dalil yang digunakan oleh jumhur adalah hadist Jubair bin
Muth'im:
ِ ‫أنَّهُ َس ِم َع النَّبِي صلي هللا عليه وسلم يَ ْق َرُأ فِي ال َم ْغ ِر‬
ُّ ِ‫ب ب‬
‫الطوْ ِر‬
"Bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat At-Thur pada
shalat maghrib"

Jubair mendengar sabda Rasulullah SAW. tersebut pada saat tiba di Madinah
untuk penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan kafir. Yang
akhirnya ia memeluk Islam. Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang fasik dengan
dalil qiyas "babul-aula". Artinya, kalau penerimaan riwayat orang kafir yang
disampaikan setelah memeluk agama Islam dapat diterima, apalagi penerimaan orang
fasik yang disampaikan setelah ia bertobat dan diakui sebagai orang yang adil, tentu
lebih dapat diterima. Kecuali riwayat orang gila yang diriwayatkan setelah sehat tetap
tidak dapat diterima, lantaran diwaktu ia gila, hilanglah kesadarannya, hingga tidak
lagi dikatakan sebagai orang yang dhabith.3

C. Metode-metode Penerimaan Hadits


Para ulama ahli hadits memberikan definisi periwayatan dengan “Membawa dan
menyampaikan hadits dengan menyandarkanya kepada orang yang menjadi sandarannya,
dengan menggunakan bentuk kaliamt periwayatan”. Dengan definisi ini, orang yang tidak
menyampaikan hadits yang dikuasainya tidak dapat disebut sebagai periwayat. Demikian
pula bila hadits yang diriwayatkanya tidak dia sandarkan kepada orang yang
mengatakanya. Oleh karena itu, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan
hadits, yakni:
1. Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits
2. Kegiatan menyampaikan hadits kepada orang lain
3. Ketika hadits disampaiakan, rangakaian periwayatnya disebutkan.

Pengambilan atau penerimaan hadits ini oleh para ulama ahli hadits diistilahkan
dengan at-tahammul, sedangkan penyampaianya kepada orang lain diistilahkan dengan

3 ‘Ajaj Al- Khatib, USHUL AL-HADITS (Pokok-pokok Ilmu Hadits) Penerjemah: H. M Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Cet. Ke- 1, hal. 201.
al-ada.4 Pada umumnya, ulama membagi metode (tata cara) periwayatan hadits kepada
delapan macam , yakni sebagai berikut:
1. Al-Sama’ min lafdzi Syaikh
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari
perkataan guru nya dengan cara didektekan baik dari hapalannya maupun dari
tulisnnya. sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya
tersebut. Menurut jumhur ahli hadist bahwa cara ini adalah cara yang paling tinggi
tingkatannya. sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa as-sima’ yang
dibarengi dengan al-kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih kuat. Karena
terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara lainnya.
disamping itu, para sahabat juga menerima hadist Nabi dengan cara seperti ini.
Termasuk dalam kategori sama’ juga, seseorang yang mendengarkan hadist dari
syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas). Jumhur ulama membolehkannya
karna para sahabat juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadist
Rasulullah melalui para istri-istrinya. Menurut Al-Qadhi Iyad, yang dikutip oleh Al-
Suyuthi, didalam cara ini para ulama tidak memperselisihkan kebolehan para rawi
dalam meriwayatkannya menggunakan kata-kata.
Istilah-istilah yang dipakai dalam metode ini adalah:
‫َح َّدثَنَا‬ (seseorang telah menceritakan kepada kami)
‫َأ ْخبَ َرنَا‬ (seseorang telah mengabarkan kepada kami)
‫َأ ْنبََأنَا‬ (seseorang telah memberitahukan kepada kami)
‫ْت فُاَل نًا‬
ُ ‫( َس ِمع‬saya telah mendengar dari seseorang)
‫ال لَنَا فُالن‬
َ َ‫( ق‬seseorang telah berkata kepada kami)
‫( َذ َك َر لَنَا فاَل ٌن‬seseorang telah menuturkan kepada kami)

2. Al Qira’ah ‘ala Al Syaikh (‘Aradh Al Qira’ah)


Yakni suatu cara seseorang membacakan hadist dihapan gurunya, baik dia sendiri
yang membacakan ataupun orang lain, sedang sang guru mendengar atau
menyimaknya baik sang guru hafal maupun tidak tetapi ia memegang kitabnya atau
mengetahui tulisannya atau ia tergolong tsiqqah. DR. ‘Ajjaj Al-khatib dengan

4 Abdullah Karim, Membahas ilmu-ilmu hadits, (Kalimantan: CV Haga Jaya Offset, 2005), Cet. Ke-1, hlm. 37-41.
mengutip pendapat Imam Ahmad mensyaratkan orang yang membaca itu mengetahui
dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi Syeikh menurut Imam
Haramain henda nya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa
yang dibacakan oleh Qori’, sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan.5
Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah. Para ulama sepakat bahwa
cara seperti ini dianggap sah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai derajat al-
qira’ah. Diantara mereka Abu Hanifah, Ibnu Juraij, Sufyan Al-Tsauri menganggap
bahwa al qira’ah lebih baik jika dibanding al-sama’, sebab dalam al-qira’ah jika
bacaan guru salah murid tidak leluasa dalam menolak kesalahan. Tetapi dalam al-
qira’ah bila bacaan murid salah guru segera membenarkannya. Imam Malik, Imam
Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al-qira’an
dan al-sama’ mempunyai derajat yang sama. Sementara Ibnu Al-Shalah dan Imam
Nawawi memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya dibanding al-qira’ah.

3. Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan
hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu. Sekalipun murid tidak
membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti:

َ ‫ك َأ ْن تَرْ ِو‬
‫ي َعنِّى‬ ُ ‫َأ َج ْز‬
َ َ‫ت ل‬ (saya mengizinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)

Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk
meriwayatkan hadist. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist
dengan menggunakan ijazah ini dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan bahkan ada
sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar benar diingkari.
Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat
5 Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau
syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu
ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi
satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin ilmu bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat
para ahli hafalan (huffadz). Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan
pendengarannya yang diterima dari orang lain.
hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah
muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah olah naskah tersebut adalah
naskah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar benar ahli ilmu.
Al-Qhadi ‘iyad membagi ijazah ini dalam enam macam, sedang ibnu Al-shalah
menambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Tujuh macam ijazah
tersebut adalah:

a) Seseorang guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa


orang tertentu sebuah kitab atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada mereka.
Al-ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.
b) Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu, seperti “saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk
kamu riwayatkan dariku”. Cara seperti menurut jumhur ulama juga
diperbolehkan.
c) Bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kaum
muslimin atau kepada orang orang yang ada (hadir)”.
d) Bentuk Al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu
yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak).
e) Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada. Seperti mengijazahkan kepada bayi
yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.
f) Bentuk ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan
kepada penerima ijazah. Seperti ungkapan “ saya ijazahkan kepadamu untuk
kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan kuperdengarkan kepadamu” cara
seperti ini dianggap batal.
g) Bentuk al-ijazah al-mujaz, “saya ijazahkan kepadamu ijazahku” bentuk seperti ini
diperbolehkan.

4. Al-Munawalah
Yakni seseorang guru memberikan hadist atau beberapa hadist kepada muridnya
untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah
seseorang guru memberi kepada seseorang murid kitab asli yang didengar dari guru
nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan. Sambil berkata “inilah hadist-
hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka Riwayatkanlah hadist ini dariku
dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-munawalah mempunyai dua bentuk:
a) Al munawah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan
kitabnya yang telah ia riwayatkan atau naskahnya yang telah dicocokkan atau
beberapa hadist yang telah ditulis, lalu ia katakan kepada muridnya “ini riwayat
saya, maka riwayatkanlah dariku”. Termasuk al-munawalah dalam bentuk ini
ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya kemudian
sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkan
darinya. cara ini menurut Al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang dianggap
sah oleh para ulama ahli hadist. Hadist-hadist yang berdasar atas munawalah
bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi “seseorang telah memberitahukan
kepada ku/kami”.
b) Al munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada
muridnya ”ini hadist saya” “inilah adalah hasil pendengaranku atau dari
periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya
ijazahkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk
ini tidak diperbolehkan. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa
dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi “seseorang telah memberikan
kepada ku/kami”

Lafadz lafadz yang digunakan untuk memberikan munawalah dibarengi


dengan ijazah adalah:
‫هَ َذا َس َما ِعى َأوْ ِر َوايَتِى ع َْن فُاَل ٍن فَارْ ِو ْي ِه‬
“Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang,
riwayatkanlah!”

Lafadz Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah:


‫هَ َذا َس َما ِعى َأوْ ِم ْن ِر َوايَتِى‬
“Ini adalah hasil pendengaran ku atau berasal dari periwayatan ku”
Yang diucapkan bersama sama dengan memberikan naskah atau salinan kepada
muridnya. Lafadz yang digunakan oleh Rawi dalam meriwayatkan hadist atas
dasar:
Munawalah bersama ijazah,
‫ َأ ْنبََأنَا‬, ‫َأ ْنبََأنِى‬ (seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami)
Munawalah tidak bersama ijazah,
‫َاو ْلنَا‬
ِ ‫ ن‬,‫َاو ْلنِى‬
ِ ‫ن‬ (seseorang telah memberikan kepada ku/kami).

5. Al Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk
menuliskan sebagian hadistnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya
atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk
menyampaikannya.
Al-mukatabah ada dua macam:
a) Al-mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan
beberapa hadist untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata kata “ini
adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazahkan
kepadamu untuk meriwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-mukatabah
dalam bentuk ini sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan
ijazah, yakni dapat diterima.
Contoh:

َ ‫ْت بِ ِه ِإلَ ْي‬


‫ك‬ ُ ‫ َأ َج ْز‬,‫ك‬
ُ ‫ت َما َكتب‬ ُ ‫َأ َج ْز‬
َ ‫ت لَكَ َما َكتَ ْبتُهُ ِإلَ ْي‬
“ku izinkan apa apa yang telah aku tulis kepad mu”
b) Al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru memberikan hadist
untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk
meriwayatkan atau mengijazahkan. Al-mukatabah dalam bentuk ini
diperselisihkan oleh para ulama Syafi’iyah dan ulama Ushul menganggap sah
periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah.
Contoh:
‫ال َح َّدثَنَا فُاَل ٌن‬
َ َ‫ق‬
“telah memberitakan seseorang kepadaku”

6. Al-I’lam
Yakni pemberitahuan seseorang kepada murid, bahwa kitab atau hadist yang
diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada
muridnya untuk meriwayatkannya. sebagian ulama ahli Ushul dan pendapat ini
dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan cara
ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau
banyak cacatnya. Sedangkan pendapat ulama ahli hadist, ahli fiqh dan ahli Ushul
memperbolehkannya.

Contoh:
‫َأ ْعلَ َمنِى فُاَل ٌن قَا َل َح َّدثَنَا‬
“seseorang telah memberitahukan kepada ku: “telah berkata kepada kami…”

7. Al Washiyat
Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian meninggalkan pesan
kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitabnya, setelah sang guru
meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh jumhur dianggap
lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadist yang
diriwayatkannya atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh
meriwayatkan hadist dari si pemberi wasiat dengan redaksi:

‫َح َّدثَنِى فُاَل ٌن بِ َكذ‬ (seseorang telah memberitahukan kepadaku begini), karena si
penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
Tetapi lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadist berdasarkan wasiat
seperti:
ٍ ‫ي فُاَل ٌن بِ ِكتَا‬
‫ب قَا َل فِ ْي ِه َح َّدثَنَا‬ َ ْ‫ َأو‬.....
َّ َ‫صى ِإل‬
“seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam
kitab itu: “telah bercita kepadamu……”
8. Al Wijadah
Yakni, seseorang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab-kitab
hadist dan tidak melalui cara al-sama’, al-ijazah, ataupun al-munawalah. Para ulama
berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari
mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan periwayatan hadist dengan cara ini. Imam
Syafi’i dan segolongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadist yang
periwayatannya melalui cara ini. Ibnu al-Shalah mengatakan, bahwa sebagian ulama
muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.
Lafadz lafadz yang digunakan, ialah seperti:
ُ ‫قَ َرْأ‬
‫ت بِ َخطِّ فُاَل ٍن‬ (saya telah membaca khath seseorang).6

6 Fatchur Rahman, IKHTISHAR MUSHTALAHUL HADITS( Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995) Cet. Ke- 8 hlm. 212-219.

Anda mungkin juga menyukai