Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Paham ahluss sunnah waljamaah an –nadhiyah

Untuk memenui tugas mana kuliah kenuan /aswaja

Yang dibina oleh bapak zainal roshadi m.p.d

Oleh : siti zunaidatul nim:2186236005

Nafissatur rosyidah:2186236002

Universitas nadlatul ulama blitar

Fakultas agama islam

Program study pendidikan islam anak usia dini

Oktober 2021
Kata penggantar

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa atas rahmad dan hidayahnya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul faham ahlussunnah waljamaah.makalah di susun
untuk memmenui tugas mata kuliah ke nuan/ aswaja. Selain itu,makalah ini bertujuan
menambah wawasan tentang pengertian ahlussunnah waljammah , asal usul ahlussunah
waljammah ,konsep ahlussunnah waljaammah annadiyah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak zainal roshadi mpd.

Dosen mata kuliah ke nuan aswaja.

Ucapan terima kasih juga di sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu saran dan kritik
yang membangun di harapkan demi kesempurnaan makalah ini...........................

Blitar, 19 Oktober 2021

PENULIS
Bab I

Pendahuluan

1.1. latar belakang.

Dalam pembahasan dan keilmuan akhlussunnah yaitu suatu mazhab dalam islam yg
mendasarkan struktur keagamaan sistem nilai efektif dan ritual- ritual pada oktisnya di atas
rash-rash al qur’an dan sunah nabi muhammad saw.dalam pengertian yg kita singgung diatas,
penggunaan dan interpetasi nash-nash agama haruslah di maknai secara umum.karena
ketiadaan pembatasan jalur periwayatan nash(utamanya sunnah nabi saw)yang di sepakati
secara ij’ma(consensus)dan dianggap baku oleh ulama-ulama mazhab ahlusuunah. mereka
umumnya memiliki metode verifikasi tertentu yang melalui. Mendefinisikan nash-nash yang
mereka anggap otoratif.

Arti ahlussunnah adalah penganut sunah nabi dan arti waljamaah adalah penganut it’tiqot
jamaah sahabat –sahabat nabi.

1.2. RUMUSAN MASALAH

a.bagaimana defenisi akhlusunah waljamaah?

b. pertama asal usul akhlusunah waljamaah?

c. bagaimana konsep akhlusunah waljamaah?

1.3 tujuan.

a. mengetahui defenisi akhlusunnah waljamaah

b..mengetahui darimana asal usul akhlussunnah waljamaah


C..mengetahui bagaimana konsep akhussunnah waljamaah
Bab II

Pembahasan

Dalam pembahasan dan keilmuan akhlussunnah yaitu suatu mazhab dalam islam yg
mendasarkan struktur keagamaan sistem nilai efektif dan ritual- ritual pada oktisnya di atas
rash-rash al qur’an dan sunah nabi muhammad saw.dalam pengertian yg kita singgung diatas,
penggunaan dan interpetasi nash-nash agama haruslah di maknai secara umum.karena
ketiadaan pembatasan jalur periwayatan nash(utamanya sunnah nabi saw)yang di sepakati
secara ij’ma(consensus)dan dianggap baku oleh ulama-ulama mazhab ahlusuunah. mereka
umumnya memiliki metode verifikasi tertentu yang melalui. Mendefinisikan nash-nash yang
mereka anggap otoratif.

Arti ahlussunnah adalah penganut sunah nabi dan arti waljamaah adalah penganut it’tiqot
jamaah sahabat –sahabat nabi.

Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah

Klaim nama Aswaja (Ahl-Sunnah Wal jama’ah) diperebutkan oleh beberapa


kelompok dan semua mengakui bahwa dirinya adalah penganut paham Aswaja. Tidak
Jarang klaim tersebut hanya untuk kepentingan sesaat. Jadi Apakah sebenarnya yang
dimaksud Aswaja itu? Bagaimana terhadap klaim tersebut?

Jawab :

Aswaja merupakan singkatan dari Ahlusunnah Wal Jama’ah. Ada 3 suku kata yang


membentuknya, yaitu:

1. Ahlun bermakna:
1. Keluarga (Ahlul bayt, keluarga rumah tangga)
2. Pengikut (Ahlussunnah, pengikut sunnah)
3. Penduduk (Ahlul Jannah, penduduk surga)

1. As-Sunnah dalam kitab Risalah Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah  karya Hadrotus


Syaikh K.H Hasyim Asy’ari[1] :

ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَو‬


َ ِ‫ة ْال َم ْسلُوْ َك ِة فِي ال ِّدي ِْن َسلَ َكهَا َرسُوْ ُل هللا‬dِ َّ‫ضي‬ ِ ْ‫ اِ ْس ٌم لِلطَّ ِر ْيقَ ِة ْال َمر‬d‫ َوشَرْ ًعا‬،‫ضيَّ ٍة‬ ِ ْ‫اَل ُّسنَةُ لُ َغةً اَلطَّ ِر ْيقَةُ َولَوْ َغ ْي َر َمر‬
ً ْ َّ
ِ ‫ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِ ْي َو ُسنَّ ِة ال ُخلَفَا ِء الر‬: ‫صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم‬
‫ َوعُرْ فا َما‬، ْ‫َّاش ِد ْينَ ِم ْن بَ ْع ِدي‬ َّ َ ‫ لِقَوْ لِ ِه‬، ‫ص َحابَ ِة‬َّ ‫َغ ْي ُرهُ ِم َّم ْن هُ َو َعلِ َم فِي ال ِّدي ِْن َكال‬
‫ رسالة أهل السنة‬،‫ َوال ُّسنِّي َم ْنسُوْ بٌ إِلى ال ُّسنَّ ِة اهـ (حضرة الشيخ محمد هاشم أشعري‬،‫ان أَوْ َولِيًّا‬ dَ ‫ب َعلَ ْي ِه ُم ْقتَ ِدى نَبِيًّا َك‬
َ َ‫َواظ‬
.)٥‫ص‬, ‫والجماعة‬

1. Menurut lughowi (bahasa): Jejak dan langkah   walaupun tidak diridhai Allah SWT


2. Secara syar’i: Jejak yang diridhai Allah SWT dan menjadi pijakan dalam agama, yang
pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau orang yang menjadi panutan dalam
agama seperti sahabat
3. Secara ‘urfi (tradisi): Ajaran yang dilalui oleh seorang panutan dalam agama, seperti
nabi atau wali. (Risalah Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah hal. 5)

1. Menurut  Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani[2] Makna: al-Jama’ah:

ِ‫َّاش ِد ْينَ ْال َم ْه ِديِّ ْينَ َرحْ َمةُ هللا‬


ِ ‫فى ِخاَل فَ ِة اأْل َئِ َّم ِة اأْل َرْ بَ َع ِة ْالـ ُخلَفَا ِء الر‬
ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ق َعلَ ْي ِه أَصْ َحابُ َرس‬
َ ِ‫ُول هللا‬ َ َ‫َو ْالـ َج َما َعةُ َما اتَّف‬
)٨٠‫ ص‬١ ‫ج‬ ,‫َعلَ ْي ِه ْم أَجْ َم ِع ْينَ (الغنية لطالبي طريق الحق‬

“Al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi r
pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT
(Mudah-mudahan Allah memberi Rahmat kepada mereka semua)”. (al-Gunyah li Thalibi
Thariq al-haqq, juz 1 hal. 80) 

Makna al-Jama’ah: menjaga kekompakan, kebersamaan dan kolektifitas, kebalikan dari


kata al-furqah (golongan yang berpecah belah).

Dikatakan al-jama’ah, karena golongan ini selalu memelihara kekompakan, kebersamaan


dan kolektifitas terhadap sesama. Meskipun terjadi perbedaan pandangan dikalangan
sesama mereka, perbedaan tersebut tidak sampai mengkafirkan, membid’ahkan dan
memfasikkan orang yang berbeda diantara sesama ahlussunnah wal jamaah.

ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو ْال ُخلَفَا ِء بَ ْع َده‬


َ ‫ن بِ ُسنَّ ِة النَّبِ ِّي‬dَ ْ‫ث َو ْالفِ ْق ِه فَإِنَّهُ ْم ْال ُم ْهتَ ُدوْ نَ ْال َمتَ َم ِّس ُكو‬
ِ ‫أ َّما اَ ْه ُل ال ُّسنَّ ِة فَهُ ْم أَ ْه ُل التَّ ْف ِسي ِْر َو ْال َح ِد ْي‬
ْ ْ ْ َّ ْ
‫ (زيادات‬. َ‫ن َوال َحنبَلِيُّوْ ن‬dَ ْ‫ب أرْ بَ َع ٍة ال َحنَفِيُّوْ نَ َوالشافِ ِعيُّوْ نَ َوال َمالِ ِكيُّو‬ َ َ
ِ ‫في َمذا ِه‬ ِ ‫ت اليَوْ َم‬ ْ ِ ‫ قَالُوا َوقَ ْد اجتَ َم َع‬.ُ‫اجيَة‬ ِ َّ‫َّاش ِد ْينَ َوهُ ُم الطَّائِفَةُ الن‬ ِ ‫الر‬
)٢٤-٢٣ ‫ ص‬,‫تعليقات‬

 Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli
fiqh. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi   SAW dan
sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-
firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini
terhimpun dalam madzhab yang empat yaitu Madzab Hanafi,[3]  Syafi’i,[4] Maliki,
[5] dan Hanbali.[6]” (Ziyadat Ta’liqat hal. 23-24)

Kemudian definisi lain dijelaskan oleh Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdusyyakur[7] dalam
kitabnya al-Kawakib al-Lamma’ah :
ِ َ‫ال ْالبَ َدنِيَّ ِة َواأْل َ ْخال‬
‫ق‬ ِ ‫ ال ِّدنِيَّ ِة َواأْل َ ْع َم‬ ‫ص َحابَ ِة فِى ْال َعقَائِ ِد‬ َ ‫ة لِلَّ ِذ ْينَ اَل َز ُموْ ا ُسنَّةَ النَّبِ ِّي‬dِ ‫اَ ْه ُل ال ُّسنَّ ِة َو ْال َج َما َع‬
َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوطَ ِر ْيقَةَ ال‬
)٨ ‫ ص‬,‫ْالقَ ْلبِيَّ ِة (الكواكب اللماعة‬

“Yang disebut Ahl al-Sunnah Wal al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman


pada sunnah Nabi SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-
amal lahiriyyah serta akhlaq hati”. (al-Kawakib al-Lamma’ah, hal. 8)

Paham Ahlussunnah wa al-Jama’ah mencakup aspek aqidah, syari’ah dan akhlak.


Ketiganya merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip
keagamaan dalam Islam. Didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariyah[8] dan
Maturidiyah[9] dalam bidang aqidah, empat imam madzhab besar dalam bidang fiqh
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), dan bidang tasawuf menganut manhaj Imam al-
Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi.[10]

‫ أِل َ َّن َج ِم ْي َع‬،‫صةٌ بِنَا‬


َّ َ‫صفَةٌ ُم ْخت‬ِ ‫ َوهَ ِذ ِه‬،ُ‫ ْال َج َما َعة‬:‫اجيَ ِة فَقَا َل‬
ِ َّ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُسئِ َل ع َِن ْالفِرْ قَ ِة الن‬ َ ُ‫ َجا َء فِ ْي ِر َوايَ ٍة أُ ْخ َرى أَنَّه‬d‫َو ِم ْنهَا‬
ْ
،َ‫ار َج َوهُ ْم الَ يَ َروْ نَ ال َج َما َعة‬ ِ ‫ َو َك ْيفَ يَتَنَا َو ُل هَذا ا ِال ْس ُم ال َخ َو‬،‫ق ْال ُم ْختَلِفَ ِة يُ َس ُّموْ نَهُ ْم أ ْه َل ال ُّسن ِة َوال َج َما َع ِة‬
ْ ْ َ ْ َّ َ ِ ‫ْال َخاصِّ َو ْال َعا ِّم ِم ْن أَ ْه ِل ْالفِ َر‬
َّ
‫ق بِ ِه ْم هَ ِذ ِه الصِّ فَةُ التِ ْي َذ َك َرهَا ال َّرسُوْ ُل‬ ْ
ِ ‫ص َّحةَ ا ِإلجْ َم‬
ُ ‫ َو َك ْيفَ تَلِ ْي‬،‫اع‬ ِ َ‫ َوال ُم ْعت َِزلَةَ َوهُ ْم الَ يَ َروْ ن‬،َ‫ض َوهُ ْم الَ يَ َروْ نَ ْال َج َما َعة‬
ْ َ ِ‫َوال َّر َواف‬
.)١٨٦-١٨٥ ‫ ص‬،‫ التبصير في الدين‬،‫ (اإلمام أبو المظفر االسفراييني‬.‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُسئِ َل اهـ‬ َ

“Di antara ciri khas Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah diterangkan dalam riwayat lain, bahwa
Nabi SAW  pernah ditanya tentang kelompok yang selamat, lalu beliau menjawab: “Kelompok
yang selamat adalah al-jama’ah”. Ini adalah identitas yang khusus pada kami (madzhab al-
Asy’ari dan al-Maturidi), karena semua orang yang alim dan yang awam dari berbagai
golongan, menamakan mereka dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama’ah.  Khawarij, bukan
ASWAJA karena mereka tidak berpandangan perlunya menjaga kebersamaan. Rafidhah
(Syiah), bukan ASWAJA karena mereka juga tidak berpandangan perlunya menjaga
kebersamaan. Mu’tazilah bukan ASWAJA, karena mereka tidak mengakui kebenaran ijma’
sebagai dalil. Sifat kolektifitas yang disebutkan oleh Rasul SAW  ini tidak layak bagi
mereka.” (al-Tabshir Fi al-Addin, hal. 185-186)

Adapun kelompok yang mengkalim bahwa dirinya berfaham Ahl al-Sunnah Wal al-
Jama’ah maka mereka harus benar-benar mengamalkan sunnah Rasulllah SAW dan
sahabatnya dalam praktik keseharian. Abu Sa’id al-Khadimi berkata :

َ ِ‫ْق ْالقَوْ ِل َو ْالفِع ِْل َو َذل‬


‫ك بِالنِّ ْسبَ ِة إِلَى َز َمانِنَا‬ ْ ‫ك اَل يَ ُكوْ نُ بِال َّد ْع َويْ بَلْ بِت‬
ِ ‫َطبِي‬ َ ِ‫ة (قُ ْلنَا َذل‬dِ ‫(فَإِ ْن قِ ْي َل) ُكلُّ فِرْ قَ ٍة تَ َّد ِع ْي أَنَّهَا أَ ْه ُل ال ُّسنُّ ِة َو ْال َج َما َع‬
‫ ص‬, ‫ (البرقة شرح الطريقة‬.)‫ب الَّتِ ْي أُجْ ِم َع َعلَى َوثَاقَتِ ِه َّن‬ ِ ُ ‫ت‬‫ك‬ُ ْ
‫ال‬ َ‫ب ال َّش ْي َخي ِْن َو َغي ِْر ِه َم ِ ن‬
‫م‬ ‫ا‬ ِ ُ‫ث َك ُكت‬ ِ ‫اح األَ َحا ِد‬ ِ ‫ص َح‬ ِ ‫إِنَّ َما يُ ْم ِكنُ بِ ُمطَابَقَ ِة‬
)١١٢-١١١

“(Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai golongan Ahl al-Sunnah
Wal Jama’ah. Jawaban kami adalah : bahwa Ahl al-Sunnah Wal Jama’ah itu bukan hanya
klaim nama semata tetapi harus diwujudkan dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita
sekarang ini, perwujudan itu dapat dilihat denga mengikuti apa yang tertera dalam Hadist-
hadist yang shahih. Seperti Shahih al-Bukhori, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya yang
telah disepakati validasinya.” (Al-Bariqah Syarh al-Thariqah, hal 111-112)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan bahwa Ahl al-Sunnah Wal Jama’ah
merupakan ajaran yang sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan
para sahabatnya. Semua itu tidak bisa hanya sebatas klaim semata, namun harus
dibuktikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari[11]
KONSEP AHLUSSUNNAH WAL-JAMAAH :DINAMIKA POLITIK ISLAM A. Latar Belakang Berdirinya
Ahlussunnah Wal Jama’ah Secara generik pengertian Ahlusunnah Wa Al Jama’ah (selanjutnya
disebut Aswaja atau Sunni) adalah mereka yang selalu mengikuti perilaku Sunnah nabi dan para
sahabatnya (ma ana ‘alaihi al-yaum wa ashhabi). Aswaja adalah golongan pengikut yang setia
mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya. Sedangkan menurut
Dhofier (1982 : 148), Aswaja dapat diartikan sebagai para pengikut tradisi nabi dan kesepatan ulama
(Ijma’ ulama). Dengan menyatakan diri sebagai pengikut nabi dan ijma’ ulama, para Kiai secara
eksplisist membedakan dirinya dengan kaum moderis Islam, yang berpegang teguh hanya Al –
Qur’an dan alHadist dan menolak ijma’ ulama. Sebelum istilah Aswaja untuk menunjuk pada
kelompok, madzhab, atau kekuatan politik tertentu, ada beberapa istilah yang digunakan untuk
memberi identifikasi terhadap aliran dan kelompok yang nantinya dikenal sebagai Aswaja. Marshall
Hadgson menyebutnya Jama’i Sunni, sedangkan pakar lain menyebutkan Proto Sunnisme (embrio
aliran sunni). Akan tetapi, istilah yang paling umum digunakan adalah Ahlusunnah wa Al Jama’ah dan
Ahlusunnah wa Al Jama’ah wa alatsar. Istilah ini digunakan oleh kelompok madzhab Hambali untuk
menyebut 15 kelompok dirinya yang merasa lebih berpegang pada perilaku nabi dan menentang
kelompok rasionalis, filosofis, dan kelompok sesat. Secara generik pengertian Ahlusunnah Wa Al
Jama’ah (selanjutnya disebut Aswaja atau Sunni) adalah mereka yang selalu mengikuti perilaku
Sunnah nabi dan para sahabatnya (ma ana ‘alaihi alyaum wa ashhabi). Aswaja adalah golongan
pengikut yang setia mengikuti ajaranajaran Islam yang dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya.
Sedangkan menurut Dhofier (1982 : 148), Aswaja dapat diartikan sebagai para pengikut tradisi nabi
dan kesepatan ulama (Ijma’ ulama). Dengan menyatakan diri sebagai pengikut nabi dan ijma’ ulama,
para Kiai secara eksplisist membedakan dirinya dengan kaum moderis Islam, yang berpegang teguh
hanya Al – Qur’an dan alHadist dan menolak ijma’ ulama. Sebelum istilah Aswaja untuk menunjuk
pada kelompok, madzhab, atau kekuatan politik tertentu, ada beberapa istilah yang digunakan untuk
memberi identifikasi terhadap aliran dan kelompok yang nantinya dikenal sebagai Aswaja. Marshall
Hadgson menyebutnya Jama’i Sunni, sedangkan pakar lain menyebutkan Proto Sunnisme (embrio
aliran sunni). Akan tetapi, istilah yang paling umum digunakan adalah Ahlusunnah wa Al Jama’ah dan
Ahlusunnah wa Al Jama’ah wa alatsar. Istilah ini digunakan oleh kelompok madzhab Hambali untuk
menyebut kelompok dirinya yang merasa lebih berpegang pada perilaku nabi dan menentang
kelompok rasionalis, filosofis, dan kelompok sesat. 16 Selama ini yang kita ketahui tentang
ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti Imam Abu Hasan Al
Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab
empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al
Gozali. Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu
simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk
mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah
(Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir)
tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian,
bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih
dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya. Ahlusunnah tidak bisa terlepas
dari kultur bangsa arab “tempat Islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita
ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang
biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang
pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara 17 mereka merupakan
sesuatu yang hampir mustahil. Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat
labil persatuan dan kebersamaannya, Rasulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat
menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar ideologi atau iman. Selama
23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu
meredam kefanatikan qabilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah
mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah
manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal
dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, genderang perselisihan sudah
mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah ( peristiwa
bani saqifah ). Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus
berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat
beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga
masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan. Unsur-
unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa
meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Ustman Bin Affan
sebagai kholifah pengganti Umar bin Khattab 18 oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar
menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi
pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedi besar dalam sejarah umat Islam
yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Ustman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu
Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan
Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu,
sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah,
Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlussunnah. Melihat rentetan latar belakang sejarah
yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa
terlepas dari latar belakang politik.23 B. Prinsip – Prinsip Perjuangan Ahlussunnah Wal Jama’ah
Dalam pendekatan perjuangan Ahlussunnah Wal Jama’ah, ulama-ulama seperti halnya yang ada di
dalam ormas Islam NU lebih banyak mengikuti dakwah model Walisongo, yaitu menyesuaikan
dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan. Budaya yang berasal dari
suatu daerah ketika Islam belum datang dan apabila tidak bertentangan dengan agama akan terus
dikembangkan dan dilestarikan. Sementara budaya yang jelas bertentangan ditinggalkan. 23 Ali
Maschan Musa, Nasionalisme Kiai : Kontruksi Sosial Berbasis Agama, Surabaya : LKiS, 2007, hal.98-
100 19 Karena identiknya gaya dakwah ala Walisongo itu, nama Walisongo melekat erat dalam
jami’iyah NU. Dimasukkan ke dalam bentuk Bintang Sembilan dalam lambang NU. Sebutan Bintang
Sembilan identik dengan Nahdhatul Ulama. Secara garis besar, pendekatan kemasyarakatan NU
dapat dikategorikan menjadi tiga bagian : a. Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak
pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan tatharruf
(ekstrime). b. Tasamuh, yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan
pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. c. Tawazun, yaitu sikap seimbang dalam
berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama umat manusia dan antara
manusia dengan Allah SWT6 . Karena prinsip dakwahnya yang model Walisongo itu, NU dikenal
sebagai pelopor kelompok Islam moderat. Kehadirannya bisa diterima oleh semua kelompok
masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai perekat bangsa. Nahdlatul Ulama adalah organisasi
keagamaan yang bertujuan melestarikan,mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam
Ahlusunnah Waljama’ah. Arti Ahlusunnah Waljama’ah adalah para pengikut yang berpegang teguh
kepada Al-Qur’an, Al-Hadist, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. 6 H. Soeleiman Fadeli, M. Subhan, S. Sos,
Antologi NU, Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, ( LTNU ) Jawa Timur, 2007, hal. 13. 20 Doktrin
Ahlusunnah Waljama’ah berpangkal pada tiga panutan : a. Mengikuti paham Al-Asy’ari dan Al-
Maturudi dalam bertauhid. b. Mengikuti salah satu madzhab fiqih yang empat (Hanafi, Maliki,
Hambali dan Syafi’i dalam beribadah. c. Mengikuti cara yang ditetapkan al-Juanaidi al-Baghdadi dan
alGhazali dalam bertarekat. Penyusun anutan ini adalah ulama Ushuluddin, Syeikh Abul Hasan al-
Asy’ari, maka penganutnya disebut Asy’ariyah. Walaupun pada hakekatnya Imam Abul Hasan Al-
Asy’ari hanya menggali, merumuskan, menyiarkan dan mempertahankan apa yang sudah ada dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadist. Menurut sejarahnya, istilah Ahlusunnah Wal Jama’ah muncul karena
digunakan Asy’ari untuk mereka yang aqidahnya lebih berdasarkan Sunnah Rasul ketimbang akal.
Dengan demikian tidak dapat menggunakan istilah itu untuk golongkan pengikut madzhab, karena
madzhab adalah hasil pemikiran manusia dan bukan ajaran Al-Qur’an dan AS-Sunnah. Memang ada
perbedaan dengan golongan Syiah dan Muktazilah dalam prinsip. Nahdatul Ulama (NU), dikenal
sebagai organisasi yang berhaluan tradisional yang berlawanan dengan modernis. Disebut demikian,
karena NU memang bertujuan untuk mempertahankan atau memelihara tradisi Islam yang disebut
paham ahlusunnah wa al Jama’ah (Aswaja). Tradisi itu sebenarnya adalah sebuah konsensus besar di
bidang teologi dan metode berfikir. Di bidang teologi, mereka mengikuti 21 aliran kalam Asy’ariah
dan Maturidiyah. Di bidang fikih, mereka mengikuti empat mazhab besar. Yaitu, mazhab Maliki,
mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi dan mazhab Hambali. Di Indonesia, ada juga organisasi-organisasi
gerakan islam yang memang mengikuti madzhab yang lebih khusus lagi, khususnya hanya Syafi’i.
Sedang di bidang tasawuf, mengikuti Al-Ghazali. Di dunia Islam , ada juga yang mengikuti mazhab
yang lebih spesifik. Misalnya di Pakistan, yang umat Islamnya cenderung mengikuti madzhab Hanafi.
Di Saudi Arabia, khususmya di Madinah, mengikuti madzhab Maliki dan di negara–negara Afrika
Utara, banyak mengikuti mazhab Hambali. Umat Islam Indonesia sendiri di kenal sebagai penganut
madzhab Syafi’i. Namun NU di Indonesia lebih “terbuka”. Sehingga dalam pembahasan mengenai
fikih atau hukum–hukum agama, NU bisa melakukan analisis perbandingan madzhab. Sebagaimana
di lakukan oleh Ibn Rusyd, filsuf muslim abad pertengahan dari andalusia yang di kenal rasional itu.
Anehnya, kitab fikih Bidayatul Mujtahid yang lintas madzhab itu tidak diajarkan di pesantren–
pesantren NU, malahan di pondok modern Gontor, Ponorogo yang beraliran modernis itu. Dengan
haluan mempertahankan tradisi itulah, maka NU distigmatisasi dengan progresif sebagai cenderung
kepada sikap konservatif yang dilawankan dengan progresif. Haluan itu umumnya dianggap curiga
atau takut kepada perubahan dan kemajuan. Sikap ini berhadapan dengan sikap progresif yang
selalu mendorong prtubahan dan terbuka terhadap perubahan. Dalam konteks yang lebih baru,
kelompok konservatif ini dianggap menghambat modernisasi atau pembangunan. Jika 22
modernisasi dan pembangunan umumnya ingin melakukan perubahan kelembagaan dan nilai-nilai
tradisional yang dianggap menghambat maka kelompok konservatif ini cenderung menolak dan
menghalangi perubahan tersebut. Itulah gambaran atau persepsi masyarakat, khususnya di kalangan
akademisi atau kaum modernis terhadap NU. Tapi apakah kenyataannya demikian, itulah
persoalannya. Dalam kenyataan sejarah, khususnya dalam perkembangan politik, NU justru tidak
menampakkan konservativismenya, terutama dari sikap dan perilaku politiknya. Di sini timbul
pertanyaan, apakah politik itulah yang mendinamisasi NU ?. karena dalam politik, NU harus
berhadapan dengan berbagai persoalan kenegaraan dan berinteraksi dengan berbagai kelompok
yang memilki pandangan yang berbeda. Politik itulah yang mengharuskan NU merespons berbagai
masalah yang di jumpai, sehingga timbul pemikiran-pemikiran baru. Karena itu maka NU
berkembang sebagai kekuatan politik yang dinamis. Dalam kenyataannya, NU memang menjadi
kekuatan politik, atau paling tidak memiliki nilai politik yang di pertimbangkan oleh berbagai
kekuatan politik. Di lain pihak, dalam gerakan Islam telah tumbuh apa yang kemudian sangat di kenal
sebagai aliran fundamentalis. Aliran fundamentalis ini, ternyata lahir bukan dari rahim golongan NU
yang tradisional, melainkan justru berhadapan dengan aliran fundamentalis. Dalam nomenklatur
gerakan Islam, aliran ini disebut sebagai Salafiyah yang berorientasi pada pandangan para pendahulu
yang masih dekat dengan 23 generasi Nabi (the early beginners). Mereka beranggapan Islam yang
hidup pada waktu itulah yang merupakan Islam yang paling otentik. Dan mereka berpegang pada
ajaran yang di nilai paling otentik, yaitu paham Salafiyah. Sepintas terdapat kekaburan antara
kelompok fundamentalis dan kelompok tradisionalis. Padahal keduanya berdiri pada sisi yang
berhadapan. Aliran fundamentalis yang berorientasi pada otentisitas ajaran itu, bermula dari paham
Ibnu Taymiah dan Wahabisme. Aliran yang ingin memurnikan ajaran Islam itu melihat golongan
tradisional sebagai sarang bid’ah dan khurafat. Namuin golongan tradisional menentang pandangan
ini. Mereka menolak penilaian sebagai sumber bid’ah. Mereka beranggapan, bahwa mereka adalah
pemelihara dan penerus tradisi yang disebut sebagai ahlusunnah wal jama’ah itu. Begitulah duduk
perkaranya sehingga kelompok tradisisonal berhadapan dengan kelompok fundamentalis.24 C.
Ruang Lingkup Negara Bangsa Konsep bangsa seperti yang di fahami dalam wacana politik sekarang
memang termasuk barang baru, artinya muncul pada era kehidupan modern ini saja setelah revolusi
Prancis pada tahun 1789 M. bangsa atau nation disini diartikan sebagai kesatuan orang-orang yang
mempunyai kesamaan sejarah, kesaman cita-cita dan perjuangan, kesamaan wilayah tempat tinggal
dan pemerintahan. Meskipun kemungkinan diantaranya ada perbedaan dalam asal-usul keturunan
(ras), keyakinan (agama), maupun bahasa. Faham nasionalisme modern sekarang mengacu pada
pengertian nation atau bangsa seperti yang dikemukakan tersebut, seperti Indonesia 24 Ibid 24 yang
dalam kebangsaannya terdiri dari beberapa suku, beberapa ras, beberapa bahasa daerah, beberapa
budaya dan tradisi lokal. Tetapi mereka semua menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia yang satu
kesatuan (Tunggal Eka) diatas berbagai macam perbedaan-perbedaan (Bhineka). Dalam referensi
keIslaman terutama yang berbahasa Arab, kata bangsa biasanya disebut dengan qaum dan
kebangsaan disebut dengan qaumiyah. Tetapi setelah pengertian bangsa itu dikaitkan wilayah
tempat tinggal yang mempunyai batas-batas tertentu seperti yang berlaku pada Negara Bangsa
(Nation State) maka istilah kebangsaan berubah lebih populer dengan sebutan Wathoniyah dari
pada Qaumiyah. Ada lagi beberapa kata yang mempunyai makna dekat dengan kebangsaan
tersebut, seperti sya’biyah (peoples), dan ummah dan yang membedakan pengertiannya adalah
konteks dimana istilah-istilah tersebut dipakai. Bagian awal literatur politik yang diwarisi dari zaman
Nabi Muhammad s.a.w. adalah As-Shahifah. Yakni dokumen yang kerap dikenal sebagai Piagam
Madinah, yang kebanyakan dihubungkan dengan episode Hijrah antara tahun 622 – 624 M.
konstitusi itu menyebut kaum mukmin membentuk satu umat yang menyertakan kaum Yahudi
Madinah. Meskipun terdiri atas suku-suku. Tapi masing-masing harus bertanggung jawab atas
perilaku anggotanya. Umat sebagai satu keseluruhan (kesatuan) bertindak secara kolektif dalam
menegakkan tatanan sosial dan keagaman, serta dalam melawan musuh saat perang dan damai.
Perlu kiranya disini dikutip beberapa bagian teks dari Piagam Madinah tersebut seperti yang dinukil
oleh beberapa sejarawan Islam klasik semisal Ibnu Hisyam, Ibnu Katsir masing-masing 25 dalam
kitabnya As-Sirah an-Nabawiyah, sampai ke sejarawan masa kini seperti Dr.A. Basith Badar, dalam
At-Tarikh as-Syamil li al-Madinah al-Munawarah11. Pada awalnya, setidaknya sampai dengan zaman
pra modern, umat Islam tidak mengenal nasionalisme. Adapun yang dikenal hanya dua konsep
teritorialreligius, yaitu wilayah damai dan wilayah perang. Oleh karena tiu, munculnya konsep
negara-bangsa telah melahirkan ketegangan historis dan konseptual12. Meski demikian, di dalam
Islam dikenal dua terminologi yang mendekati konsep negara-bangsa, yaitu kosa-kata millah dan
ummah, yang berarti masyarakat. Akan tetapi, istilah tersebut lebih mengacu pada kelompok sosio-
religius bukan kepada masyarakat politik. Pada pihak lain, konsep negara-negara mengacu atas
kriteria etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah serta mengabaikan unsur religius. Sedang pada tataran
institusional, konsep negara-bangsa berbenturan dengan konsep khilafah atau pan-Islamisme.
Nasionalisme dunia Islam, jika diurut dari sejarah negara-negara muslim yang telah terlebih dahulu
bersentuhan dengan masyarakat dan negara Eropa. Dalam realitas sejarah, tidak semua ide dan
model nasionalisme yang ada di Eropa dapat diterima oleh masyarakat Islam, namun juga tidak
dijumpai negara dan pemikir 11 Muhammad Tholhah Hasan, “Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam
Persepsi dan Tradisi NU”, Lantabora Press-Jakarta, 2005, hal. 340 12 Azyumadi Azra, Pergolakan
politik islam, Jakarta, Paramadina, 1996, hal. 11. 26 muslim yang secara terang-terangan menentang
dan menempatkan dirinya pada posisi yang antagonistik terhadap Eropa13. Ada fenomena menarik
dari perilaku komunitas Nahdliyin berkenaan dengan wawasan paham Ahlsunnah Wal Jama’ah.
Dalam salah satu peristiwa nasional, Muktamar NU di Lirboyo November 1999 serombongan jamaah
datang tanpa mempedulikan aturan protokoler yang telah ditetapkan. Mereka tidak begitu
memahami perbedaan antara pertemuan resmi dan tak resmi. Mereka hanya berkeyakinan bahwa
kehadirannya di arena pertemuan para ulama ini akan mendapat barokah. Isi pembicaraan
muktamar sendiri menjadi kurang penting, bahkan seberapa pengunjung di antaranya tidak
mengetahui sama sekali. Yang terpenting dari kehadirannya adalah dapat bertemu kiai. Meskipun
pada kenyataannya tidak lebih dari sekedar melihat dari jauh barisan para kiai yang baru akan
engikuti upacara pembukaan muktamar yang kebetulan di hadiri oleh Ketua Umum Lembaga
Eksekutif (Tanfidzyah) PBNU yang saat itu telah merangkap jabatan sebagai Presiden RI, KH
Abdurrahman Wahid. Beberapa bulan sebelum peristiwa Lirboyo itu berlangsung, mereka pernah
ikut terlibat dalam pesta demokrasi Pemilihan Umum tahun 1999. pada beberapa pemilu
sebelumnya mereka juga biasa terlibat mulai dari pemasangan tanda gambar, berteriak-teriak dalam
kampanye terbuka, sampai pada saat pemilihan umum di laksanakan. Tapi kali ini agak berbeda,
sebab partai yang akan di pilihnya 13Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial
Berbasis Agama,Jogjakarta, LkiS, 2007, hal. 47. 27 mencitrakan organisasi panutannya Nahdlatul
Ulama. PKB adalah partai yang dideklarasikan oleh seorang ulama pemimpin NU KH Abdurrahman
Wahid. Dalam batas-batas pemahaman fikih yang diautnya sejak pertama kali belajar agama,
keterlibatannya dalam pesta tersebut merupakan bagian jika sewaktu-waktu pesta itu meminta
korban jiwa, hal itu diyakini sebagai Syahid14. Di pesantren-pesantren tradisional, fenomena sosial
seperti ini merupakan gambaran identitas yang langsung ataupun tidak langsung. Telah di pelihara
dari generasi ke generasi. Pengabdian kepada keyakinan agama dalam bentuk-bentuk perilaku ritual
dan sosial yang di lakukannya diikat dalam satu kalimat : Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Kaliat ini
di pahaminya sebagai etika dalam melakukan apa pun baik ibadah formal (mahdhah) maupun ibadah
sosial (ghairu mahdhoh). Bahkan bagi lapisan sosial tertentu dari keanggotaan kaum Nahdliyin,
doktrin Aswaja ini di pahami sebagai prinsip ajaran dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Sehingga dengan keyakinan yang sama, orang-orang (Islam) yang tidak menganut ajaran Aswaja ini
otomatis dianggap sebagai out-group15 dan dinilai tidak sempurna dalam beragama. Negara
Republik Indonesia terbentuk melalui proses pertumbuhan dan perjuangan panjang putra-putra
bangsa yang penuh pengorbanan. Di dalam proses yang panjang itu para ulama dan Zu’ama sebagai
bagian dari bangsa ini telah ikut meletakkan dasar-dasar kehidupan kebangsaan Indonesia yang
bersatu, terjalin dalam 14 Muhtadi, Asep Saeful, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, Jakarta : LP3ES,
2004, hal. 123 15 Uraian mengenai “out-group” dan “in-group”, Jalaluddin Rakhmat, Psikologi
Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 144. 28 pengelompokan yang berdasar
kesukuan dan kedaerahan. Di masa perjuangan melawan ke Indonesia dan terus
mengembangkannya dalam perjuangan kemerdekaan hingga proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945 yang melahirkan bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bersatu atas rahmat Allah
SWT. Dalam proses yang panjang itu, umat Islam di kawasan nusantara ini telah memberikan peran
aktifnya berupa amal-amal nyata, membentuk manusia yang beriman, berahklak karimah, cerdas
dan terampil, membangun kehidupan keluarga dan masyarakat secara baik. Lebih dari itu bahkan
melawan dan menolak penjajah, kemudian mempersatukan manusia dan komunitas dalam suatu
keluarga besar menjadi satu bangsa dan pada akhirnya memproklamasikan kemerdekaan bangsa
dan negara hingga kemudian mempertahankan serta mengisi kemerdekaan itu. Peranan aktif
tersebut di sumbangkan oleh umat Islam di Indonesia dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab
yang di dasari semangat16. Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah menggemukakan pendapatnya
tentang paham Bangsa itu. Menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu asas akal yang terjadi dari
dua hal17 : Pertama, rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat. Kedua, rakyat
itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras),
bukannya bahasa, bukannya agama, 16 Dr. H. M. Djamaludin Miri, Lc, Ma dkk,Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes Nahdlatul Ulama ( 1926 –1999
M ),LTN NU Jawa Timur, 2004 hal. 190 17 Iman Toto K. Rahardjo & Suko Sudarsono, Bung Karno,
Islam, Pancasila & NKRI, Komunitas Religius Indonesia, Jakarta, Desember 2006, hal. 5. 29 bukannya
persamaan tubuh, bukan pula batas-batas negeri yang menjadikan Bangsa itu. D. Karakteristik
Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Politik Studi-studi teoritis tentang hubungan Islam dan politik yang
dilakukan para ahli keislaman, kebanyakan berada dalam prespektif hubungan Negara dan
masyarakat sehingga khasanah studi yang lebih kecil, yang membahas tentang hubungan
interaksional antara ajaran Islam dengan tindakan politik kurang disentuh, walaupun ada masih
sangat sedikit. Teori hubungan politik dan agama di dalam Islam, antara lain dimaknai sebagai
hubungan antara agama dan negara yang tak terpisahkan, seperti yang telah dikonsepsikan oleh
para pemilik politik mazhab Syi’ah, Al-Maududi, Al - Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan
beberapa tokoh yang lain. Dalam pandangan para tokoh ini, wilayah agama dan negara tidak dapat
dipisahkan, wilayah agama juga meliputi wilayah politik atau negara. Oleh karena itu menurut
paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintah negara
diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan karena kedaulatan itu memang berasal dari dan
berada ditangan Tuhan. Pandangan inilah yang juga disebut sebagai fundamentalis Islam.25 25 Ali
Maschan Musa, Nasionalisme Kiai : Kontruksi Sosial Berbasis Agama, Surabaya : LKiS, 2007, halaman
23 - 24 30 Menurut Al-Maududi syari’ah Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik
antara agama negara. Syari’ah merupakan totalitas pengaturan kehidupan manusia yang tidak
mengandung kekurangan sedikitpun. Negara harus didasarkan pada empat prinsip, yaitu mengakui
kedaulatan Tuhan, menerima otoritas Nabi Muhammad, memiliki status wakil Tuhan (Khalifah), dan
menerapkan musyawarah.26 Negara merupakan sarana politik untuk mengaplikasikan hukum tuhan.
Dalam kaitan ini, kebangkitan jama’ati Islami merupakam representasi alMaududiyah di bidang
politik yang bertujuan untuk menerapakan syariat dalam konteks kehidupan kenegaraan. Pikiran
pikiran al- maududi banyak mengilhami praktik politik di Pakistan ketika dibimbing oleh Zia Ul Haq.
Menurut Al- Maududi institusi negara islam terdiri dari kepala negara dan lembaga legislatif. Posisi
pentignya terletak ditangan kepala negara yang disebut sebagai Imam, kholifah. Atau amir.
Pemikiran politik yang memandang hubungan agama dan negara bersifat simbiotik yaitu
berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini negara membutuhkan agama
sebagai dasar atau pijakan kekuatan moral sehinga ia dapat menjadi mekanisme kontrol. Sementara
disisi lain agama memerlukan agama sebagai sarana utnuk pengembangan agama itu sendiri. 26
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara ; Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1995,
halaman 166 31 Adapun yang sangat menonjol dalam studi religio-politik dalam wacana ini ialah
pemikiran Al -Mawardi. Bukunya yang sangat terkenal dibidang keagaman bertitel Al Ahkam Asy
Sulthaniyah. dalam pandangan Al- Mawardi kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrument
untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur agama. Pemeliharaan dan
pengaturan dunia adalah dua dimensi yang berhubungan secara simbiotik. Dengan demikian, negara
berada dibawah kontroll agama. Dalam pengangakatan kepala negara melalui pemilihan, ia
membagi umat Islam menjadi dua kelompok, yakni ahl al- ikhtiyar dan ahl alimamah termasuk yang
pertama diartikan sebagai kelompok masyarakat yang dapat memberi wewenang kepada kepala
negara untuk mengatur masyarakta melalui proses pemilihan terlebih dahulu. Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi, yaitu adil, berilmu pengertahuan, khususnya ilmu agama, tidak cacat fisik, laki-
laki mempuyai wawasan politik.27 Pemikiran lain yang cukup menonjol dalam wacana ini adalah
Abdul Hamid Al- Ghozali. Menurutnya negara dibutuhkan oleh masyarakat berkaitan pemenuhan
kebutuhan akan industri dan profesi sehingga kepala negara harus memiliki sumber legitimasi
keagaman. Industri yang diibutuhkan untuk kepentingan masyarakat ialah pertanian, pemintalan
yang didukung oleh pembangunan dan politik sedangkan profesi politik yang dibutuhkan untuk
kepentingan masyarakat ialah sub profesi pengukuran tanah sub profesi ketentaraan, sub profesi
kehakiman sub profesi ilmu 27 Imam Al- Mawardi.Al-Ahkam As-Sulthaniyyah:Hukum-hukum
Penyelenggaraan Negara Dalam Syaieat Islam,Jakarta, Darul Falah, 2006 . hal.21 32 hukum. Begitu
pentingnya sub profesi politik tersebut, Al-Ghozali menyatakan bahwa kedudukannya berada satu
tingkat dibawah kenabian. Disisi lain menurut Al-Ghozali pemilihan kepala negara bukanlah
keharusan rasional, melainkan keharusan agama. Hal ini di dasarkan pada pemikiran bahwa
kesejahteraan ukhrowi harus dilakukan melalui pengamalan dan pengahayatan didunia secar benar.
Inilah yang di jadikan argumen bahwa antara negara dan agama merupakan dua hal yang saling
membutuhkan.28 Pemikiran politik yang memandang hubungan agama dan negara bersifat
sekularistik. Pandangan ini menolak hubungan yang bersifat sibiotik maupun intregratik. Dalam
konteks keindonesiaan, menurut Adnan, hubungan agama dan negara dapat dibagi menjadi tiga
kategori. Pertama kelompok akomodatif . kelompok ini di pelopori oleh Nur Kholis Majid. Nur Kholis
Majid berpandangan bahwa kahidupan spiritual diatur oleh agama dan kehidupan duniawi diatur
oleh logika duniawi. Pemikiran ini seolah mengandung elemen sekularistik, yaitu adanya upaya
memisahklan antara agama dengan dunia, meskipun yang sebenarnya hanyalah perbedan wilayah:
ada wilayah yang semata-mata urusan agama dan ada wilayah yang semata-mata duniawi.
Pemikiran seperti ini dapat mengalihkan perhatian masyarakat dari “Islam politik” ke “Islam
kultural”. Sebagai akibatnya, Islam berwatak liberalis dan humanis yang menawarkan kebebasan dan
kemanusiaan bagi 28 Op Cit.76-79 33 penganutnya, dari pada watak politis yang menakutkan,
utamanya bagi penyelenggara negara. Kedua, kelompok moderat dengan tokoh Amien Rais,
Jalaluddin Rahmat, Dan Imaduddin Abdurrahim. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak hanya
dipahami sebagai agama, tetapi juga sebagai ideologi.Islam adalah agama totalistik yang mengatur
segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya kehidupan sosial politik, Ketiga kelompok
idealis-Radikal. Kelompok ini beranggapan bahwa Islam berada di atas semua ideologi sehigga untuk
memperjuangkannya diperlukan cara-cara kekerasan dan sekaligus menolak ideologi Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan berorganisasi sosial masyarakat dan bahwa agama harus
menjadi ideologi mengantikan Pancasila, pandangan ini dapat dilihat pada visi dan aksi

Abdul Qadir Jaelani.29 29 Nur Kholis Madjid, Islam Keindonesiaan Dan Kemodernan Jakarta : Para
Madina, 1993, Hal. 23,
Bab III

Kesimpulan: Jadi defenisi akhlussunah waljamaah secara syr’ari adalah jejak yg diridhoi
allah swt dan Menjadikan pijakan dalam agama yang pernah di tempuh oleh rasulullah saw
atau orang yg menjadikan panutan dalam agama seperti sahabat. Sedangkan asal usul
ahlussunah waljamaah mulanya adalah sebuah hadis tdengan banyak redaksi, yang salah
satunya di riwayatkan oleh at_tirmidzi dan al baihaqi. rasulullah dikabarkan pernah bersabda
yang artinya sesungguhnya bani israil terbagi menjadi 72golongan dan umatku akan terpecah
menjadi 73 kelompok. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan siapakah kelompok
itu? Rasul menjawab yakni orang-orang yang berada di suatu jalur yg sama dengan apa yang
dilampahi olehku dan sahabatku.

Sedangkan konsep ahlussunah waljamaah annadiyah adalah .

a.mengikuti paham al-asy’ari dan al-maturidi dalam bertauhid

b.mengikuti salah satunya mazhab fiqih yang 4(hanafi,maliki ,hambali dan syafai’i)dalam
beribadah .

c.mengikuti cara yang di tetapkan al-junaidi,al-bahiaqi dan al ghazali dalam bertarekat.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat di rumuskan bahasa akhlussunnah waljam’aah


merupakan ajaran yang sesuai dengan apa yang telah di gariskan rosullah dan para
sahabatntya. Semua itu tidak bisa hanya sebatas klaim semata namun harus di buktikan dalam
sikap dan tingkah laku sehari- hari.
Daftar pustaka [1] Beliau Hadrotus syaikh K.H Hasyim Asy’ari adalah pendiri Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama (NU) bersama  kiyai-kiyai pesantren di Nusantara

[2] Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani merupakan sufi besar yang wafat tahun 561 H
[3]Madzhab ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit. Lahir di Kuffah
tahun 80 H dan wafat di Baghdad tahun 150 H.
[4]Madzhab ini dipelopori oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Mayoritas ahli sejarah
sepakat bahwa beliau lahir tahun 150 H dan meninggal dunia di Cairo tahun 204 H.
[5]Madzhab ini dipelopori oleh Imam Malik bin Anas bin Malik. Para sejarawan berselisih
tentang kelahiran imam Malik, namun mereka sepakat beliau lahir di Madinah tahun 93 H.
Wafat di Madinah tahun 179 H
[6] Madzhab ini didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal. Lahir di
Baghdad 163 H dan wafat tahun 241 H.

[7] Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdusyyakur adalah ulama’ dari Desa Senori, kecamatan
Bangilan. Kitab al-Kawakib al-Lamma’ah fi tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah Wal
Jam’ah diajukan saat mu’tamar Nahdlatul Ulama ke-23 di Solo, Jawa Tengah. Kemudian
ditetapkan tashihnya di Denanyar Jombang akhir tahun 1383 H/Pertengahan Mei 1964
M. Hadir di majlis tersebut K.H Bishri Syansuri, Ust. ‘Adlan ‘Ali. K.H Cholil, K.H Manshur
Anwar. Beliau semua adalah pembesar ulama’-ulama’ Jombang. K.H Abdul Jalil Humaid
Kudus sebagai sekertaris II tinggi NU (Muqaddimah kitab al-Kawakib al-Lamma’ah).
[8] Manhaj ini dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dilahirkan di kota Basrah 260
H/874 M dan wafat di tahun 330 H/ 947 H.
[9] Manhaj ini dipelopori oleh Imam Abu Mansur al-Maturidi. Tak ada data yang sejarah
yang menginformasikan kelahirannya, namun diduga kuat lahir pada masa Khalifah al-
Mutawakkil (205-247 H/ 820-861).
[10] Tim PWNU JawaTimur, Aswaja An-Nahdliyyah, (Surabaya : Khalista, cet. 1, 2007).
[11] Abdusshomad, Muhyiddin, Fiqih Tradisional, (Surabaya : Khalista, cet. 7,2008)

Anda mungkin juga menyukai