Anda di halaman 1dari 16

TEMA-TEMA TASAWUF YANG

MERUPAKAN PERILAKU KEJIWAAN PESERTA TASAWUF


Dosen Pengampu : Dr.m, Yusron Azzahidi.M.H

OLEH:

KELOMPOK 6

1. Husnul Khotimah
2. Hulfatul Rohmi
3. Dhimas Aditya Rizki

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NAHDLATUL
WATHAN LOMBOK TIMUR

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya sehingga
kami masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini guna memenuhi penyelesaian tugas
pada mata kuliah tilda semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para
pembaca.
Dalam penulisan makalah ini, saya tentu saja tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa
bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu bapak
Dr.m, yusron azzahidi.M.H Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan
megharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke depannya.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan semoga materi yang ada dalam makalah ini dapat
bermanfaat sebagaimana mestinya bagi para pembaca.

Anjani,juni 2023

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................4
BAB II.PEMBAHASAN........................................................................................5
SISTEM PENGOLAHAN DATA PERILAKU KEJIWAAN SEBELUM MEMASUKI DUNIA
TASAWUF & TAKHALLAQ DAN IQAMATU AL ADAB................................5

A. Azmu, Himmah dan Ihsan............................................................................6


B. Ilmu Dan Hikmah..........................................................................................7
C. Firasat Dan Ru’yah,,,,,,,,,..............................................................................7
D. Sidqu dan Istiqamah......................................................................................8
E. Ikhbat dan Khusu’.........................................................................................8
F. Futuwwah dan Muruah.................................................................................9
G. Ghirah dan Sakinah.......................................................................................9
H. Farhu dan Surur.............................................................................................10
I. Bastu dan Ithar...............................................................................................10

1. Perilaku Kejiwaan Ketika Sedang Menjalani KehidupanTasawuf Sakaru, Sahwu,


dan Mah...................………………................................................……11

BAB III KESIMPULAN……………………………………………………….....14


DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...…...15

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu diantara khasanah tradisi islam yang sangat berharga. Tasawuf
merupakan konsepsi pengetahuan yang menekankan spiritualitas sebagai metode untuk
tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Namun terkadang banyak
kalangan muslim yang menganggab bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyimpang dari
islam.Padahal esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah saw. Walupun dalam
perkembangan berikutnya bentuk dan corak tasawuf itu berbeda dengan yang pernah dipraktekkan
oleh Rasulullah saw. Dalam perkembangan tasawuf itu , ia telah memberikan warna yang tidak dapt
dipisahkan dari perjalanan sejarah Islam. Ajaran tasawuf juga menerangkan bahwa orang yang
mengikuti ajaran tasawuf haruslah mempunyai akhlak yang baik, dan menghindari akhlak-akhlak
yang buruk. Karena Jika akhlak seseorang itu baik maka tasawufnya juga akan semakin baik. Dalam
pembahasan kami ini akan menerangkan juga tentang keadaan para peserta tasawuf, yang sering
dirasakan tidak sesuai dengan karakteristik kemanusiaannya. Tapi perilaku tersebut bukan perilaku
yang dapat merusak martabat manusia melainkan perilaku mulia yang menggambarkan perilaku
yang luar biasa.

Rumusan Masalah
 Bagaimana perilaku kejiwaan sebelum memasuki Dunia Tasawuf?
 Bagaimana perilaku kejiwaan ketika sedang menjalani kehidupan tasawuf?

4
BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM PENGOLAHAN DATA PERILAKU KEJIWAAN SEBELUM MEMASUKI DUNIA
TASAWUF & TAKHALLAQ DAN IQAMATU AL ADAB

Orang yang akan memeasuku dunia Tasawuf, dianjurkan agar segala persoalan moral (akhlaq)
disempurnakan; baik erhadap Allah, terhadap manusia maupunterhadap lingkungan, yang disebut al-
attakhalluq. Persoalan akhlaq merupakan dasar-dasar yang harus kuat untuk ditempati membangun
kondisi kejiwaan yang terkait dengan tahapan perjalanan spiritual Tasawuf (al-Sālik). Seorang sufi yang
bernama al-Kattāni eolah-olah memberi rambu-rambutentang hal-hal tersebut, dengan mengemukakan
kata hikmahnya yang mengatakan : Tasawuf dasarnya akhlaq, barang siapayang bertambah akhlaqnya,
maka tasawufnya juga semakin baik.

Takhalluq adalah upaya untuk melakukan hal-hal yang baik, lalu menghindari hal-hal yang buruk. Dan
ada nuga yang mengatakan, bahwa takhalluq adalah upaya membersihkandiri dari sifat-sifat buruk, lalu
menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji. Untuk membangun Takhalluq baik pada diri setiap
manusia,maka Ibnu al-Qayyim mengemukakan empat macamsifat yang dapat mewujudkan hal tersebut :

1. Sifat sabar harus kuat; yaitu seseorang harus mampu menahan hawa nafsu yang sering
menggoda, bertindak dengan cara yang santun dengan penuh kasih rasa sayang(al-sabru wa
alhilmu).
2. Kemampuan menghindari perbuatan buruk karena malu terhadap Allah (al-‘iffah); baik
perkataannya maupun perbuatannya. Ia sangat menjauhi larangan syara’ (al-fakhshā’), sikap
kikir (al-bukhlu), bohong (al-kadhib), mengumpat (al-ghibah) dan mengadu-adu (al-namimah).
3. Kebenaran moral untuk menyikapi kebenaran sesuatu yang benar,menyikapi kesalahan sesuatu
yang salah (al-shajā’ah).
4. Berlaku adil pada dirinya dan terhadap orng lain(al-‘adlu).

Ada beberapa ayat al-qur’an yang dapat dijadikan dasar pembentukan akhlaq baik; antara lain surat al-
Qalam ayat 4, surah al-A’rafayat199 dan surah al-furqan ayat 63.

Sedangkan adabkesopanan (iqāmatu al-adab) yang dimaksud dalam kajian ini, khusus adap kesopanan
terhadap Allah dan terhadap Rasul-Nya, karena itu Ibnu al-Qayyim menyebut sebagai realisasai perintah
agama (al-adab huwa al-din kulluhu), yang patuh menjalankan anjura Allah dan mengikuti sunnah Rasul-
Nya. Ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar motivasi untuk menegakkan adap
kesopanan, antar lain surah Ali-Imran ayat 31-32, surah al-Nisa’ ayat 58-59, dan surah al-Nur ayat 56.

5
Azmu, Himmah dan Ihsan

Azmu adalah keinginan keras untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Kalau dikaitkan dengan
Akhlaq, maka Azmu menjadi dua macam; yaitu keinginan keras untuk membersihkan diri dari perbuatan
buruk dan keinginan keras untuk menghasi diri dengan perbuatan baik. Tetapi kalau dikaitkan dengan
tasawuf, maka enjadi dua: yaitu keinginan keras untuk memasuki dunia tasawuf atau tarekat dan
keinginan keras untuk melakukan latihan kerohanian (suluk) .[1]

Adapun cita-cita yang memulai suatu keinginan disebut hammun, sedangkan yang mengantarkan cita-cita
itu disebut himmah. Himmah merupakan kekuatan yang paling tangguh pada diri manusia. Yang ditan
daidengan dua ciri, pertama, ciri alam bentuk kondisi mental yang berupa keyakinan penuh terhadap
objek. Kedua, ciri yang berbentuk aktivitas, di mana aktivitas pemilik himmah senantiasa mengacu pada
pencapaian objek yang dituju. Dengan himmah, para wali Allah mampu melakukan berbagai kejaiban
(karamah). Namun disebabkan oleh pengetahuan (ma’rifah) penghambaan (‘ubudah) dan tata krama
sempurna (adab) mereka. Mereka tidak mau melakukan kemampuan sepiritual ini kecuali atas dan
sesuai dengan perintah Allah. Tidak ada anugrah yang lebih besar bagi manusia selain dilahirkan kedunia
ini dengan kerinduan azali untuk kembali kepada asal-usulnya. Inilah anugrah tersebar yang diberikan
Allah kepada seseorang dan inilah keberuntungan tertinggi karena kerinduan ini, himmah ini ditetapkan
dalam jiwa yang belum terbentuk, ketika masih belumada meskipun sudah ada dalam pengetahuan
Allah.[2] Salah satu ayat yang dapat dijadikan dasar motivasi untuk melakukan himmah adalah surat al-
Najm ayat 12.

Kemudian ihsan dimaksud sebagai suatu komunikasi dengan Allah, bersama dengan cara yang khusyu’,
sebagaimana diterangkan dalam hadits, bahwasembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.
Anjuran hadits tersebut , menekankan kesempurnaan kehadiran bersama Allah dengan cara murāqabah
secaratotal karena takut kepada siksaan-Nya. Anjuran hadits tersebut, menekankan kesmpurnaan
kehadiran bersama Allah, dengan cara murāqabah secara total karena takut kepada siksaan-Nya, serta
dengan cara inabah dan ikhlas, muhabbah dan ma’rifahsatu ayat yang dapat dijadikan dasar motivasi
untuk melakukan ihsan adalah surah ar-Rahman ayat 60.

Artinya; “ tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”

Ilmu dan Hikmah

Ilmu adalah suatu pengalaman sebelum memastikan kebenaran sesuatu dan sesudahnya. Pengalaman
sebelumnya berbentuk dalil, aksioma dan postulate sedangkan pengalaman sesudahnya berbentuk

6
tuntunan untuk menghapus kebodohan, yang terdiri dari tiga tingkatan menurut teori ilmu tasawuf;
yaitu ilmu yang nyata (ilmu al-jaliyyi), yang bersumber dari pengamatan panca indera; lalu ilmu abstrak
(ilmu kafiyyi), yang bersumber dari pengamatan kejiwaan untuk mengetahui sifat-sifat yang tersimpan
dari hati manusia. Kemudian ilmu al-ladunni yang bersumber dari ilham yang sering diterima oleh
manusia dari bsikan Allah.

Abd al-Karim bin Ibrahim al-jili menyampaikan bahwa ilmu merupakan sifat Allah yang dianugrahkan
kepada hambanya dengan memiliki dua macam dimensi; yaitu dimensi kehidupan dan dimensi ibadah.
Maka barangsiapa yang memiliki lmu, ia lebih dekat dengan kehidupan, ia lebih dekat dengan Tuhan-
Nya, karena ia dapat beribadah dengan –Nya, karena ia dapat beribadah dengan-Nya karena ilmunya.

Lalu hikmah adalah pengetahuan yang terkait dengan makna yang terkandung dalam al-Qur’an dan
sunnah Nabi; yaitupengetahuan yang benar-benar tidak menyimpang, tidak melebihi batas ketentuan
yang sebenarnya, tidak mendahului waktu berlakunya dan tidak pula ketinggalan zaman.

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar memahami hikmah, antara lain surah al-
Baqarah ayat 151 dan surah al-Nisa’ ayat 40.

Firasat dan Ru’yah

Firasat adalah pengetahuan batin yang dicampakan Allah ke dalam hati seseorang, tentang hal-hal yang
akan dialami. Tatkala pengetahuan batin sering benar dn sering pula salah, maka disebut al-lahnu
(pemahaman), tetapi kalau istilah firasat tidak pernah salah.

Dengan jaminan bahwa firasat tidak salah, maka Rosulullah mengatakan, takutilah firasat orang-orang
mu’min(wali), karena sesungguhnya firasatnya merupakan nur dari Allah. Oleh karena itu, Sulayman al-
Darani mengatakan, sebenarnya firasat itu adalah mukashafatu al-nafsi wa ma’aniyatu al-ghayb wa
huwa min maqamati al-imani al-raqiyah (pengetahuan yang membuka diri dari makna-makna yang gaib,
yang sebenarnya bersumber dari iman yang dinamis).

Kemudian Ru’yah adalah hasil penglihatan, pendengaran dan pengamatan yang lain, yang disebut oleh
al-kalabadhi sebagai pengamatan dari akal dan dari pendengaran. Ru’yah tersebut ada yang dimiliki oleh
orang awam, wali, dan Nabi. Tentu saja Ru’yah Nabi tidak mungkin salah, sebagaimana ru’yah Nabi
Ibrahim yang diabadikan dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 260, dan ru’yah Nabi Musa yang
diabadikan dalam surah al-A’raf ayat 143.

7
Sidqu dan Istiqamah

Sidqu adalah perilaku yang selalu mengucapkan perkataan benar, sehingga orang yang berkata benar
disebut al-sadiq. Tetapi jika perkataan benar selalu disikapi sepanjang hidunya, maka ia disebut al-
siddiq. Al-Harith al-Muhasibi mengatakan, setiap mau mengatakan sesuatu, sikap sidqu harus menjadi
niat untuk mendasari kebenaran lisan dan perbuatan. Apabila sidqu menjadi niat, maka hati tidak akan
takut lagi terhadap siksaan Allah, tetapi langsung mengharapkan ridha Allah setelah mengucapkan
perkataan benar. Tentang sidqu, al-Qur’an mengabadikan dalam surah An-Nisa’ ayat 69, surah at-Taubah
ayat 119 dan surah az-Zumar ayat 33.

Mengenai istiqamah diartikan sebagai ketetapan dalam perilaku baik, sehingga pengarih hawa nafsu
untuk mengubahnya tidak akan dapat tercapai. Maka Ibn Al-Qayyim mengemukakan fungsinya dalam
diri manusia, sebagai suatu spirit yang menyemangati seluruh sikap yang dapat mendorong perbuatan
baik, hingga mencapai upaya untuk bersatu dengan Allah.

Ada beberapa ayat Al- Qur’an yang memerintahkan agar selalu beristiqamah dalam kebenaran; antara
lain surah Hud ayat 112, surah Fussilat ayat 6 dan surah al-jinn ayat 16-17.

Ikhbat dan Khusyu’

Kata Ikhbat adalah jama’ dari kata khabtu; yang artinya patuh. Kata tersebut didapatkan dalam al-Qur’an
surah al-Hajj ayat 34 yang menerangkan tentang perintah Allah kepada Nabi agar memberikan
keterangan yang menggenbirakan kepada orang-orang yang patuh menjalankan perintah agama, yang
disebut dengan mukhbitin. Perilaku ini dijadikan oleh peserta Tasawuf (salik) sebagai awal dari
perjalanan sepiritualanya untuk mencari tahapan maqamat hingga menemukan tujuh yang diharapkan.
Kepatuhan menjalankan perintah Allah, menghasilakan ketenangan jiwa yang dapat dirasakan oleh
hamba, karena itu Imad al-Din al-Amawi mengatakan, bahwa sebenarnya ikhbat adalah perilaku
kejiwaan yang memotivasi tercapainya perasaan tuma’ninah (awailu maqami al-tuma’ninah).

Sedangkan kata khusyu’ diartikan sebagai konsentrasi menjalankan perintah


Alllah, yang istilah tersebut dirangkai dalam pelaksanaan shalat, misalnya al-Qur’an menyampaikan
dalam surah al-Mu’minun ayat 1-2. Imad al-Din al-Amawi mebagi khusyu’ menjadi tiga macam tingkatan
yaitu;

1. Khusyu’ dalam menjalankan ketentuan agama untuk mendapatkan kebenaran.


2. Khusyu’ dalam mengawasi diri dan mengendalikan perbuatan (al-khusyu’ fi al-maraqabah wa al-
muhasabah).
3. Khusyu’ untuk memungsikan mukashafah yang dapat membuka kebenaran penglihatan kepada
yang Maha Kuasa.

8
Iman al-Ghazali dalam hal ini menguraikan fungsi khusyu’ dengan mengatakan, bahwa sebenarnya
khusyu’ itu adalah penggerak iman dan inti keberhasilan keyakinan. Barang siapa yang khusyu’ dalam
segala ibadahnya, pasti dapat menemukan kebenaran ilahi, dan sebaliknya kebenaran Ilahi yang
didapatkannya, kembali lagi membina khusyu’ yang selalu melekat pada diri seseorang.

Futuwwah dan Muruah

Kata futuwwah berasal dari kata fata (pemuda), yang dinisbatkan kepada semangat juang kepada Ahli
Kahfi yang diterangkan al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 13, semangat juang pemuda Ibrahim dalam surah al-
Anbiya’ ayat 80 dan semangat juang pemuda Yusuf dalam surah Yusuf ayat 36. Karena itu futuwwah
dapat diartikan sebagai semangat kepemudaan (ruh al-shabbi al-hadith al-sinni).

Sedangkan muru’ah adalah kemampuan jiwa mengalahkan dorongan nafsu yang bergolak pada dirinya
dengan cara menasihati diri, berbuat kebajikan dan selalu menganalisis perbuatan yang telah dikerjakan.

Ibn al-Qayyim al-Jawziyah mengemukakan kaitan futuwwah dan muru’ah dengan mengatakan, muru’ah
lebih luas cakupannya dari pada futuwwah, sedangkan futuwwah merupakan bagian dari muru’ah.
Apabila muru’ah sudah melekat pada diri manusia, maka dengan sendirimya futuwwah juga sudah
dimiliki. Tetapi sebaliknya, bila hanya futuwwah yang dimiliki oleh seseorang, maka sikap muru’ah-nya
masih belum sempurna. Karena itu seseorang harus memiliki kepribadian muru’ah dan futuwwah.

Ghirah dan Sakinah

Kata ghirah berarti sikap yang selalu ingin mengubah perbuatan buruk menjadi baik, dan mengubah
perbuatan baik menjadi lebih baik lagi. Ada beberapa pembagian ghirah yang dikemukakan oleh Ibn al-
Qayyim al-Jawziyyah; yaitu ada yang mengatakan bahwa ghirah dapat dilihat dari dua aspek, yakni sikap
yang ingin menjadikan baik dari sesuatu dalam diri yang buruk (al-ghirah mina al-shay’), dan sikap yang
ingin meningkatkan sesuatu dalam diri yang baik menjadi lebih baik lagi (al-ghirah fi al-shay’). Ada juga
yang mengatakan, bahwa ghirah adalah perubahan sikap dari tindakan baik yang berdimensi fisik
menjadi tindakan yang berdimensi psikhis (al-ghirah min nafsihi ‘alanafsihi). Adalagi yang mengatakan,
bahwa ghirah adalah perubahan sikap dari tindakan yang selalu ingin mendapatkan sesutu dari Allah,
menjadi tindakan yang selalu ingin menyembah-Nya (ghirat al-haqqi ‘ala’abdihi wa ghirah al-‘abdi li
rabbihi).

Kemudian kata sakinah diartikan sebagai kelegaan dari sesuatau yang menjepit diri manusia; baik dari
kesulitan materi maupun dari kesulitan spiritual. Sakinah yang didapatkan para wali dengan karamahnya,

9
yang digunakan menyampaikan kebenaran kepada orang yang tidak mau menerima seruannya,
sedangkan sakinah yangdidapatkan oleh Nabi karena mukjizatnya yang digunakan agar umat dapat
mempercayai ajaran yang dibawakannya

Farhu dan Surur

Farhu diartikan dengan suka-cita atau gembira dalam kaitannya dengan peribadatan atau kecintaan yang
telah dilakukan hamba terhadap tuhannya, serta telah mendapatkan nikmat dan peliharaan-Nya,
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 58. Ada juga yang mengatakan, bahwa
arti farhu adalah suka-cita setelah terlepas dari gangguan, sehingga kekhawatirannya hilang sama sekali.
Ini dikaikan dengan keterangan surah al-An’am ayat 44.

Sedangkan kata surur yang diartikan juga dengan suka-cita, kebalikan dari kata khuznu (sengsara), di
akhirat. Meskipun ada pendapat yang mengatakan, bahwa kedua istilah tersebut sama; yaitu suka-cita
ketika mendapatkan kelebihan, kemuliaan dan kebaikan dari Allah; baik pemberian di dinia maupun
pemberian di akhirat dengan mengatakan: sesungguhnya surur dan farh merupakan fungsi kejiwaan
yang menyenangkan diri serta mengembangkannya

Bastu dan ithar

Kata bastu adalah sikap terbuka terhadap orang lain. Kalu dikatakan bastu al-wajhi, berarti bersimpatik
atau senyum terhadap orang lain. Dan kalau dikatakan bastu al-yadayn, berarti membuka diri atau
memberikan sesuatu kepada orang lain. Tetapi istilah bastu yang dimaksudkan oleh sufi adalah
keterbukaan terhadap sesama manusia (inbisat ma’a al-khalqi) keterbukaan terhadap kebenaran
(inbisat ma’a al-haqqi) dan keterbukaaan terhadap Allah (inbisat ma’a rabbihi).

Sedangkan kata ithar (kemurahan yang mengutamakan orang lain atas dirinya) kebalikan dari kata
shuhhun (kikir). Istilah ithar yang berarti kemurahan hati, terkait juga dengan kata sakha dan jud, yang
keduanya berarti kemurahan hati. Tetapi Ibn al-Qayyim membedakan pengertiannya menjadi tiga macam
:

1. Pemberian yang terbatas sekedar hajat minimal orang yang diberi sesuatu, maka disebut
2. Pemberian yang banyak, melebihi kebutuhan orang yang diberi sesuatu, maka disebut

10
3. Pemberian yang sangat mengutamakan kebutuhan orang lain atas kebutuhannya sendiri, maka
disebut ithar. Sama halnya dengan sikap kemurahan golongan Anshar terhadap golongan
Muhajirin ketika awal hijrah nabi ke madinah. Dalam hal ini dapat dibaca dalam surah al-Hasr
ayat 9.

1. Perilaku Kejiwaan Ketika Sedang Menjalani Kehidupan Tasawuf. 2.


Sakaru, Sahwu, dan Mahwu

Sakaru diartikan sebagai perilaku kejiwaan peserta Tasawuf yang tidak sadar diri setelah melakukan
Dhikir dan tafakur. Kondisi tersebut, memperlihatkan suatu peserta tasawuf yang tidak sesuai lagi
dengan karakter kemanusiaannya sehingga sering juga disebut jadhbu (perilaku yang aneh-aneh). Tetapi
perilaku tersebut, bukan perilaku yang dapat merusak martabat manusia, seperti halnya karakter hewan,
tetapi perilaku mulia yang menggambarkan perilaku yang luar biasa, sehingga sering disebut shatahat
(kesadaran mistik). Lalu kata sahwu diartikan sebagai kondisi setengah sadar setelah mengalami kondisi
sakar . salik yang mengalami hal seperti ini disebut dengan saha al-sakaran. Tetapi bila kesadarannya
sudah pulih kembali secara sempurna, maka itulah yang disebut mahwu.

Ketika tasawuf mengalami kondisi mahwu, maka peserta tasawuf (salik) berdzikir lagi sebanyak-
banyaknya lalu menunggu datangnya kondisi fana’ dan baqa’ dengan cara tafakkur. Jadi dhikir dan
tafakkur dirangkai menjadi satu paket untuk mencapai kondisi fana’ dan baqa’, setiap proses pencapaian
kondisi kerohanian yang lebih lanjut, akan dimulai lagi dengan kondisi fana’ dan baqa’, hingga
pencapaian ma’rifah yang lebih tinggi, membutuhkan kondisi fana’, dan baqa’ yang berulang kali

2. Tajrid dan Tafrid

Al-Kalabadhi memberikan pengertian Tajrid sebagai kondisi kejiwaan salik yang berproses meninggalkan
kesan ingatan kebendaan, lalu berkonsentrasi kepada kewajibannya terhadap Allah. Sedangkan tafrid
diartikan sebagai konsentrasi kejiwaan yang menjauhkan kesan ingatan dari bentuk apaun, untuk
mengingat keesaan Allah. Jadi persamaannya adalah keduanya merupakan proses menjauhkan kesan
ingatan dari sifat kebendaan tetapi, perbedaanya adalah:

1. Tajrid bertujuan untuk berkonsentrasi kepada kewajiban salik terhadap Allah (an takuna af
aluhu li wujubi haqqilah).
2. Sedangkan tafrid bertujuan untuk mengesakan Allah (an takuna af aluhu lillahi wahdahu).

Lalu Ibnu Al-Qayyim al-Jawziyyah memberikan juga pengertian tajrid sebagai upaya meninggalkan
ingatan dari kesan fenomena alam (inkhilau ‘an shuhudi al-shawahid) dengan mengemukakan

11
argumentasi analogis dari perintah Allah yang menyuruh nabi Musa yang menanggalkan terompahnya
ketika akan bertemu dengan-Nya, sesuai dengan keterangan surah Taha ayat 11-12. Kemudian tingkatan
tajrid menurutnya adalah :

1. Tajrid yang berorientasi menuju kebenaran (al-Tajri ila al-haqq), yang didapatkan orang-orang
yang saleh.
2. Tajrid yang sedang menemukan sasara kebenaran (al-Tajrid bi al-haqq), yang didapatkan orang-
orang yang benar.
3. Tajrid yang sudah mendapatkan keterangan dan berita dari Allah (al-tajrid ‘ani al-haqq), yang
didapatkan oleh orang-orang yang sudah menemukan ma’rifat.

Selan jutnya tafrid menurut pendapat al-Kalabadhi adalah konsentrasi kejiwaan salik untuk
mengasingkan dirinya dari sesuatu ketika sedang merasakan sesuatu dari Allah, lalu membaginya juga
menjadi tiga tingkatan :

1. Tafrid dengan kondisi yang sangat mendesak karena haus untuk bertemu dengan Allah.
2. Tafrid dengan kondisi yang sangat mendesak karena ridu kepada Allah.
3. Tafrid dengan kondisi yang sangat mendesak untuk menyambungkan dirinya dengan Allah.

3. Wajdu, Dahshah dan Hayman

Wajdu adalah kondisi kejiwaan yang sedang menyaksikan kebenaran dengan melalui pandangan,
penglihatan, dan pikiran. Kondisi kesaksian tersebut, berdasarkan dengan keterangan al-Qur’an surah al-
Hajj ayat 46, surah al-Mukminun ayat 68, surah Muhammad ayat 24, surah Yunus ayat 10, surah ar-Rum
ayat 8dan surah an-Nahl ayat 44.

Sedangkan dahshah adalah kondisi kekaguman yang luar biasa ketika menyaksikan wujud yang agung,
yang terdiri dari tiga macam :

1. Kekaguman Salik ketika mengetahui kebenaran Allah, mendapati dan merasakan-Nya.


2. Kekaguman salik ketika bersama-sama dengan-Nya.
3. Kekaguman salik ketika komunikasinya sambung menyambung dengan Allah, sehingga selalu
memperileh informasi dari pada-Nya; dengan meliputi komunikasi yang sangat terikat (ittisalu al
I’tisam) komunikasi yang langsung melihat dan merasakan ( ittisalu al-shuhud) serta komunikasi
yang langsung bersatu (ittisalu al-wujud).

12
4. Kemudian hayman merupakan kondisi kejiwaan salik yang merasakan kagum bercampur dengan
kasih dan harap kepada kekasih-Nya (Allah). Yang meliputi hayman ketika melihat, merasakan
dan ketika sudah tenggelam dalam lautan kekuasaan-Nya, sehingga tidak lagi merasakan
keberadaan diri, kecuali hanya merasakan Allah semata-mata, maka inilah yang disebut haymanu
al-fana’ wa al-baqa’.

4. Taslim dan Tafwid

Taslim berarti menyerah, sedangkan tafwid berarti menyerah dan menerima limpahan Allah. Kalau
tawakal merupakan peyerahan setelah melakukan sesuatu perbuatan, maka taslim dan tafwid tidak
demikian. Keduanya merupakan penyerahan diri tanpa melakukan sesuatu, tetapi perbedaannya adalah
taslim tidak mengharapkan sesuatu dari Allah setelah menyerah, sedangkan tafwid mengharap limpahan
dari pada-Nya.

Baik taslim maupun tafwid, keduanya merupakan puncak kondisi tawakal yang sering didapatkan oleh
peserta tasawuf dalam perjalanan spiritualnya, untuk mencari tujuan tasawuf (ma’rifah) yang
didambakannya.

5. Waslu dan Ma’rifah

Waslu artinya sampai atau bersambung antara hati salik dengan cahaya kebenaran menurut Abu al-
Tayyib al-Samiri, sehingga berlanjut pada penampakan kebenaran yang dicari oleh peserta tasawuf.
Sedangkan ma’rifah adalah penampakan kebenaran ilahi setelah salikmendengarkan, melihat dan
merasakan dengan kekaguman dan kebungungan (dahshah dan hayrah). Kebingungan yang dimaksudkan
disini adalah kondisi yang tidak sadarkan diri karena meghadapi sesuatu yang luar biasa, sehingga salik
hanya bisa menyerah (taslim) dan menunggu limpahan dari Allah (tafwid). Tidak ada ungkapan yang
dapat keluar dari mulutnya, kecuali kepasrahan. Maka sebenarnya Ma’rifah tidak dapat diterangkan,
karena tidak ada keterangan yang bisa dijadikan analogi. Karena itu, ketika Dhu al-Nun al- Misri ditanya
oleh murinya tetang kebenaran ma’rifah yang sering dialaminya, ia hanya mengatakan; Saya pernah
mendapatkan ma’rifah karena Tuhan-ku, seandainya bukan karena Tuhan-ku, pasti saya tidak
mendapatkannya. Ada dua macam pendapat dalam perolehan ma’rifah bagi setiap peserta tasawuf :

1. Ada yang mengatakan, bahwa ma’rifah itu merupakan proses kelanjutan dari kondisi kejiwaan
sebelumnya; misalnya dari kondisi tajrid, tafrid, wajdu, dahshah, hayman, taslim dan tafwid
tanpa fana’ dan baqa’.

13
2. Ada juga yang mengatakan, bahwa ma’rifah yang didapatkan oleh peserta tasawuf , harus
melalui fana’ dan baqa’. Karena itu, kondisi kejiwaan seperti tajrid, tafrid, wajdu, dahshah,
hayman, taslim dan tafwid , terpisah dari ma’rifah, karena dipisahkan oleh fana’ dan baqa’.
Sedangkan fana’ dan baqa’ diwujudkan oleh dhikir dan tafakkur.[4]

Ma’rifah juga berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Dalam
Tasawuf yang dipandang sebagai bapaknya ma’rifah adalah Dzun Nun, ada tiga macam pengetahuan
tentang Tuhan :

1. Pengetahuan awam : Tuhan satu dengan perantara ucapan Syahadat.


2. Pengetahuan Ulama : Tuhan satu dengan menggunakan logika.
3. Pengetahuan Sufi : Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.

Dari pembagian itu, Dzun Nun sebenarnya ingin mengatakan bahwa pengetahuan dalam arti yang
ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentangTuhan dan pengetahuan itu disebut ma’rifah.
Sampai dimana tingkat ma’rifah manusia kepada Tuhan, terdapat perbedaan dikalangan kaum sufi. Al-
Ghazali berpendapat bahwa ma’rifah itu tidak menyebabkan seorang sufi menjadi satu dengan Tuhan
(ittihad). Menurutnya ma’rifah ialah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan keteraturan hokum-hukum
Ilahi pada segala benda. Sementara ada juga yang berpendapat bahwa ma’rifah akan mampu membawa
seseorang mengalami penghayatan fana sehingga dapat bersatu dengan Tuhan atau dalam bahasa orang
sufi sampai kepada ittihad. [5]

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Perilaku kejiwaan sebelum memasuki dunia
tasawufmempunyai beberapa bagian yaitu:

1. Takhalluq dan Iqāmatu al-Adab


2. Azmu, Himmah dan Ihsan
3. Ilmu dan Hikmah
4. Firasat dan Ru’yah
5. Sidqu dan Istiqamah

14
6. Ikhbat dan Khusyu’
7. Futuwwah dan Muruah
8. Ghirah dan Sakinah
9. Farhu dan Surur
10. Bastu dan Ithar

Adapun Perilaku kejiwaan ketika sedang mengalami kehidupantasawuf juga terdiri dari beberapa bagian
yaitu:

1. Sakaru, Sahwu dan Mahwu


2. Tajrid dan Tafrid
3. Wajdu, Dahshah dan Hayman
4. Taslim dan Tafwid
5. Waslu dan Ma’rifah

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Mukhtar. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Seebuah Pengantar Ilmu


Tasawuf”. Yogyakarta:Aura Media

Jumantoro Totok,Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf.Semarang:Amzah.

Mahjudddin, Haji. 2010. Akhlaq Tasawuf II. Jakarta: Kalam Mulia.

[1]Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, (Jakarta:Kalam Mulia, 2010), hlm. 238.

15
[2]Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Semarang:Amzah, 2005), hlm.75.

[3]Mahjuddin, Op. Cit, hlm.229

[4]Mahjuddin, Op. Cit,hlm 238

[5]Mukhtar Hadi, Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf”, (Yogyakarta:Aura Media,
2009), hlm.104.

16

Anda mungkin juga menyukai