Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KELOMPOK 9

TASAWUF AKHLAQI

Di susun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf

Dosen Pengajar: Dr. Ali Akbar, M.Ag

1. Arie Maulana Syahputra (204212099)

2. Desiana Batu Bara (0204212153)

3. Riska Nurajijah Pane (0204212111)

KELAS 2 D

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS HUKUM DAN SYARIAH

UIN SUMATERA UTARA


1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................ 2

KATA PENGANTAR..........................................................................................
3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
5
A. Pengertian Tasawuf Akhlaqi........................................................
5
B. Ajaran Tasawuf Akhlaqi..............................................................
5
C. Tasawuf Akhlaqi dan Karakteristiknya........................................
6
D. Tokoh Tokoh Tasawuf akhlaqi....................................................
7

BAB III PENUTUP............................................................................................


16
Kesimpulan........................................................................................................ 16
Saran.................................................................................................................. 16

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Tasawuf Akhlaqi” tepat pada
waktunya. Makalah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh nilai tugas pada mata
kuliah Akhlak Tasawuf pada Program S1 Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Terima kasih saya ucapkan kepada
Bapak Dr. Ali Akbar, M.Ag selaku dosen pengampu yang telah membimbing kami
mahasiswa semester II Tahun Ajaran 2021.

Dalam makalah ini membahas dan menjelaskan mengenai pengertian, karakteristik


serta tokoh tokoh tasawuf akhlaqi. Pemakalah telah berupaya dengan semaksimal mungkin
dalam penyelesaian tugas makalah ini, namun pemakalah menyadari bahwa ini masih belum
sempurna, baik dari segi materi maupun teknik penyajiannya.

Demikianlah makalah ini kami susun dan akhir kata saya mengharapkan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semoga tugas makalah ini bermanfaat dalam
memperkaya ilmu pengetahuan.

Medan, 25 April 2022

Pemakalah

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
      Dalam pembahasan makalah kali ini kami akan membahas tentang tasawuf akhlaki yang
di mana kita sudah tau pengertian tasawuf akhlaki adalah yang berfokus pada perbaikan
akhlak dan budi pekerti manusia dengan melakukan atau berupaya melakukan hal-hal yang
baik (mahmudah) serta juga menghindari perbuatan-perbuatan diri dari sifat tercela atau hal-
hal yang dibenci oleh allah sebenarnya manusia mampu menjalakan perintah dari allah akan
tetapi manusia sendiri masih belum bisa menahan hawa napsunya sehingga jiwa atau hati
manusia sering resah dan terbawa akan rayuan-rayuan setan yang membuat hidup manusia itu
akan menyesal di kemudian hari.
Dalam pembahasan tasawuf akhlaki terdapat pengertian dan tujuan tasawuf ahklaki,
tokoh-tokoh tasawuf ahklaki yanga akan kami bahas dalam bembahasan nanti. Sehingga, kita
akan mengtahui pentingnya akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari

C.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan tujuan tasawuf akhlaki ?
2.      Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf akhlaki ?

D.      Tujuan   
1.      Mengetahui definisi dan tujuan tasawuf akhlaki
2.      Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf akhlaki

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TASAWUF AKHLAQI

Tasawuf akhlaki,Dua kata itu adalah “tasawuf” dan “akhlak”. Arti dari kata “tasawuf”
dalam bahasa Arab adalah bisa membersihkan atau saling membersihkan. Kata
“membersihkan” merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek dari
tasawuf ini adalah akhlak manusia. Kemudian saling membersihkan merupakan kata kerja
yang di dalamnya harus terdapat dua subjek yang aktif memberi dan menerima. Secara
etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan
tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia yang menjadi
sasarannya. Tasawuf akhlaki ini bisa pandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga
akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.

Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik
untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus
terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.  Agar mudah menempatkan posisi
tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat atau bersosial

B. AJARAN TASAWUF AKHLAQI

1. Takhalli
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat
batin. Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari akhlak tercela. Salah satu akhlak tercela
yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak tercela lainnya adalah ketergantungan
pada kenikmatan duniawi. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuk dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.
Menurut kaum sufi kemaksiatan pada dasarnya dapat di bagi menjadi dua yaitu maksiat lahir
dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota
lahir, seperti tangan, mulut, dan mata. Maksiat batin adalah segala sifat tercela yang diperbuat
oleh anggota batin yaitu hati. Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, oleh kaum sufi
dipandang penting karena sifat-sifat ini merupakan najis maknawi (najasah ma’nawiyyah).
Adanya najis-najis ini pada diri seseorang, menyebabkannya tidak dapat dekat dengan tuhan.
Hal ini sebagaimana mepunyai najis dzat (najasah dzatiyyah), yang menyebabkan seseorang
tidak dapat beribadah kepada tuhan.
Sikap mental yang tidak sehat sebenarnya diakibatkan oleh keterikatan pada kehidupan
duniawi. Keterikatan itu, menurut pandangan para sufi, memiliki bentuk yang bermacam-

5
macam. Bentuk yang dapat dipandang sangat berbahaya adalah sikap mental riya’. Menurut
Al-Ghazali, sifat ingin disanjung dan ingin di agungkan, menghalangi seseorang menerima
kebesaran orang lain, termasuk untuk menerima keagungan Allah. Hasrat yang ingin
disanjung itu sebenarnya tidak lepas dari adanya perasaan paling unggul, rasa superioritas,
dan merasa ingin menang sendiri. Kesombongan dianggap sebagai dosa besar kepada Allah.
Oleh karena itu, Al-Ghazali menyatakan bahwa kesombongan sama dengan penyembahan
diri, bentuk lain dari politeisme.
2. Tahalli
Tahalli ialah upaya menghiasi diri dengan akhalak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum
sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri
dengan jalan membiasakan diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak
perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat “luar” maupun
yang bersifat “dalam”. Kewajiban yang bersifat “luar” adalah kewajiban yang bersifat formal,
seperti sholat, puasa, dan haji. Adapun kewajiban yang bersifat “dalam”, contohnya yaitu
iman, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli.
Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sikap mental yang buruk dapat
dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ketahap berikutnya yang disebut tahalli.
Sebab apabila suatu kebiasaan telah di lepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka
kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama
ditinggalkan, harus segera diisi dengan kebiasaan baru yang baik.
Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela atau (takhalli)
dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli), segala perbuatan dan tindakannya
sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas. Ia akan ikhlas kepada Allah, ikhlas mengabdi
kepada masyarakat, ikhlas berbuat baik dan ikhlas memberi bantuan kepada sesama. Ikhlas
artinya dalam melakukan perbuatan tidak mengharapkan suatu balasan. Seluruh hidupnya
diikhlaskan untuk mencari keridhaan Allah semata. Manusia yang seperti inilah yang dapat
mendekatkan diri kepada Tuhan.

3. Tajalli
Tajalli merupakan terbukanya dinding penghalang (tabir)  yang membatasi manusia
dengan Allah SWT. sehingga tercapai sinar ilahi. Hal ini dapat dilihat setelah seseorang
mampu menguasai dirinya serta dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya maka
hatinya akan menjadi jernih serta memancarkan ketenangan dan ketentraman.

C. TASAWUF AKHLAQI DAN KARAKTERISTIKNYA

Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik Islam hingga zaman modern
sekarang sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang
tidak terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di negara-
negara yang dominan bermazhab Syafi'i.

Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:

1. Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam
pengejawantahan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qurani dan Hadis sebagai
kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada konteks yang
berada di luar pembahasan Al-Quran dan Hadis.

6
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada
ungkapan-ungkapan syathahat Terminologi-terminologi dikembangkan tasawuf Sunni lebih
transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathahat

3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.

4. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat. Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan
antara tasawuf [sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (sebagai aspek lahirnya).1

D. TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAQI

Berikut ini adalah contoh-contoh sufi beserta ajaran ajarannya yang termasuk ke dalam aliran
tasawuf akhlaqi.

1. Hasan Al-Bashri (21-110 H)

a. Biografi Singkat

Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa'id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang
Zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632
M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H [728 M.). Ia dilahirkan
dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khaththab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70
orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya,2

Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu


kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Mesjid Bashrah. Ajaran-
ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Sahabat-sahabat Nabi
yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Bahkan, ketika ada orang
datang kepada Anas bin Malik sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan persoalan agama,
Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan Hasan, Abu
Qatadah pernah berkata, "Bergurulah kepada Syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri
[keistimewaannya). Tidak ada seorang tabiin pun yang menyerupai sahabat Nabi selainnya.3

Karier pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. la berguru hampir kepada seluruh
ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya
masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana.4

Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia
menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya secara umum. Tak heran
pula kalau ceramah-ceramahnya dihadiri seluruh kelompok masyarakat. Di samping dikenal
sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara' dan berani dalam memperjuangkan
kebenaran. Di antara karya tulisnya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan
tafsir-tafsir Al-Quran,5

________________________
1
Abu Al-Wafa' Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi 'Utsmani dari Madkhal
lla At-Tashawwuf Al-Islam, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 191.

7
2
Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1986, hlm. 76.
3
Ibid. 14. 'Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-'Arabi, Dar Al-'Ilm li Al-Malayin, Bairut, 1983, hlm. 216. 15. Ibid.
4
Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-‘Arabi, Dar al-‘Ilm li Al-Malayin, Bairut, 1983, hlm. 216.
5
Ibid.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

Abu Na'im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai
berikut, "Sahabat takut [khauf dan pengharapan (raja) tidak akan dirundung kemuraman dan
keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah." Pandangan tasawufnya
yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau
tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Ia
pernah berkata, "Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya
dijadikan sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia [Hasan
Al-Bashri].”6 Lebih jauh lagi, Hamka telah mengemukakan sebagian ajaran ajaran tasawuf
Hasan Al-Bashri berikut ini:7

 Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tenteram
yang menimbulkan perasaan takut.
 Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan
benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang
siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia
akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat
ditanggungnya.
 Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas
perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana'
betapa pun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa'-betapa pun
sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh
tipuan.
 Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan
mati suaminya.
 Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena
berada di antara dua perasaan takut: Takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
 Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, akan
kiamat yang akan menagih janjinya.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar filsafat
Islam, menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di
dalam neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti, ternyata bukan perasaan takut terhadap
siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan
kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya itu. Sikap itu seirama dengan sabda Nabi,
"Orang beriman yang selalu mengingat dosa dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana
orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan

8
menimpa dirinya."8 Di antara ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah
bibir kaum sufi adalah:

_______________________
6
Hamka, Tasauf..... hlm. 77,
7
Ibid., hlm. 77-78
8
Ibid., hlm. 79

"Anak Adam!

Dirimu, diriku! Dirimu hanya satu,

Kalau ia binasa, binasalah engkau,

Dan orang yang telah selamat tak dapat menolongmu.

Tiap-tiap nikmat yang bukan surga, adalah bina. Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan
neraka adalah mudah,"9

2. Al-Muhasibi (165-243 H)

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu 'Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-
Muhasibi. Tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah,
Irak, tahun 165 H/781 M. dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia
adalah sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadis, dan
fiqh. la merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap
perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintrospeksi diri menurut amal yang dilakukannya. 10
la merupakan guru bagi kebanyakan ulama di Baghdad. Orang yang paling banyak menimba
ilmu darinya dan yang dipandang sebagai muridnya paling dekat dengannya adalah Al-Junaid
Al-Bagdadi [w. 298 H.] yang kemudian menjadi seorang sufi dan ulama besar Baghdad.11

Al-Muhasibi menulis sejumlah buku. Menurut Abd Al-Mun'im Al-Hifni, seorang ahli
tasawuf dari Mesir, Al-Muhasibi menulis kurang lebih 200 buku. Di antara buku-bukunya
adalah Ar-Ri'ayah li Huquqillah [Pemeliharaan terhadap Hak-Hak Allah), Al-Washaya
(Wasiat-Wasiat), Al-'Aql, Al-Makasib (Keberuntungan), dan Al Masā'il fi Amal Al-Qulub wa
Al-Jawarih [Berbagai Masalah Mengenai Perbuatan Hati dan Anggota Badan]. 12 Al-Muhasibi
[w. 243 H.] menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya.
Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat Islam, Al-Muhasibi menemukan
kelompok-kelompok. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang
keakhiratan. Namun, jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-
orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Di antara mereka
terdapat pula orang-orang yang terkesan sedang melakukan ibadah karena Allah, tetapi
sesungguhnya tidak demikian.13

9
________________________
9
Ibid.
10
M. Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm. 47.
11
Ibid., hlm. 46
12
Ibid., hlm. 48.
13
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Dar An-Nahdhah Al Arabiyyah, Kairo,
1979, hlm. 56.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

1. Makrifat

Al-Muhasibi berbicara pula tentang makrifat. Untuk itu, ia menulis sebuah buku tentangnya.
Namun, dikabarkan bahwa ia -tidak diketahui alasannya kemudian membakarnya. la sangat
berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama, dan tidak sekali-kali mendalami
pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan mengaburkan
keraguan. Inilah yang mendasarinya untuk memuji sekelompok sufi yang tidak berlebih-
lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam konteks ini pula, ia menuturkan
sebuah hadis Nabi, "Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan
Dzat Allah, sebab kalian akan tersesat karenanya." Berdasarkan hadis di atas dan hadis-hadis
senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa makrifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang
mendasarkan kepada kitab dan sunnah.14

2. Khauf dan Raja'

Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut] dan raja' (pengharapan) menempati posisi
penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat
itu dengan etika-etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan dua sifat di atas,
seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat lainnya. Pangkal wara,
menurutnya, adalah ketakwaan; Pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (muhasabat an-
nafs); Pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja; Pangkal khauf dan raja' adalah
pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang
keduanya adalah perenungan.15

Khauf dan raja' dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada Al-
Quran dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan
ibadah dan dengan janji serta ancaman Allah.

3. Al-Qusyairi (376-465 H)

a. Biografi Singkat

Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya
demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada
abad ketiga dan keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf

10
pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis. Nama lengkap Al-Qusyairi adalah
'Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat
ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu 'Ali Ad-
Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya, dan dari
gurunya itulah, Al Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankannya untuk
pertama-tama mempelajari syariat.

________________________
14
Ibid., hlm. 58.
15
Ibid., him. 60.

Oleh karena itu, Al Qusyairi lalu mempelajari fiqh pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad
bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh
pada Abu Bakr bin Farauk (wafat tahun 406 HJ. Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishaq
Al-Isfarayini (wafat tahun 418 HJ dan menelaah banyak karya Al-Baqillani. Dari situlah, Al-
Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah yang dikembangkan Al-
Asy'ari dan muridnya.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah

Seandainya karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan


tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan
doktrin Ahlus Sunnah, sebagaimana pernyataannya,

"Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufil membina prinsip-prinsip tasawuf
atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan.
Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak
tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan
sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid
mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan
doktrin doktrin mereka pun didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan
seperti dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu
tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke
dalam jurang kehancurannya.16 Secara implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut
terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan
penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-
Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya.

2. Kesehatan Batin

"Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang
kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas realitas itu
tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian.....
setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat

11
adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan
yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin..... dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan
Al Quran maupun As-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap
pengenalan terhadap Allah [makrifat] yang tidak dibarengi kerendahhatian maupun kelurusan
jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.17

________________________
16
Ibid., hlm. 142.

17
Ibid.

3. Penyimpangan Para Sufi

Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-Qusyairi mengemukakan
suatu penyimpangan lain dari para sufi abad kelima Hijriyah,

“Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada.
Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas bekas
mereka.”

"Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat
realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak banyak lagi
generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah
kerendahhatian dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin menggelora
dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan agama dari kalbu. Betapa sedikit
orang-orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang menolak membedakan
masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan
membuang jauh rasa malu. Bahkan, mereka menganggap enteng pelaksanaan ibadah,
melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan. Dan mereka jatuh dalam
pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak
diperbolehkan...."18

Pendapat Al-Qusyairi di atas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apa pun masalahnya,
paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari
perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah
laku. Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut Al-
Qusyairi, harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah wal Jama'ah, yang dalam hal
ini ialah dengan.

4. Al-Ghazali (450-505 H)

a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta'us
Ath-Thusi Asy-Syafi'i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-
Ghazali.19 la dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di

12
Khurasan, Iran pada tahun 450 H/1058 M., tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad.20

________________________
18
Ibid., him. 142-143
19
la dipanggil Abu Hamid karena ia mempunyai anak laki-laki bernama Abu Hamid. Anak ini meninggal dunia
semenjak kecil sebelum wafatnya Al-Ghazali. Karena anak inilah, Al-Ghazali digelari Abu Hamid. Lihat Sa'id
Basil, Manhaj Al-Bahsi'an Al-Ma'rifat 'Inda Al-Ghazali, Dar Al-Kitab Al-Banani, Beirut, t.t., hlm. 16.
20
Annemarie Schiemel, Mystical Dimension of Islam, The University of North Carolina Pres, Chapel Hill, 1975,
hlm. 93

Ayah Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi
ulama, dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian.21 Ketika menjelang wafatnya,
ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi.

Sang Sufi menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, sampai
harta titipannya habis dan suf itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya,
sufi itu menyarankan kedua anak titipan pada pengelola sebuah madrasah untuk belajar
sekaligus menyambung hidup mereka.22

Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-
Rizkani. Kemudian, Al Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan di
sinilah, ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M.] hingga
menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika
perdebatan.23

Setelah Imam Haramain wafat (478 H/1086 M.), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, tempat
berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485 H./1091 M.] dan juga merupakan
tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan perdebatan antara ulama-
ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk
melibatkan diri dalam perdebatan itu. Ternyata, ia sering mengalahkan para ulama ternama,
sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.

Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah. Ia mulai
mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Waktu yang ia pergunakan untuk
mengarang terhitung selama tiga puluh tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun ia
menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa
lapangan ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat dan ilmu kalam, 50 fiqh ushul fiqh, tafsir, 52
tasawuf, dan akhlak.24

Karya-karyanya itu membuat Al-Ghazali tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir
kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan Islam pun banyak yang menilai bahwa dalam
hal ajaran, ia adalah orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah . Mungkin ini
berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian itu. Uniknya lagi,

13
pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan
Agama Yahudi dan Kristen.

________________________
21
Al-Subki, Thabaqat Asy-Syafiliyyat Al-Kubra, Musthafa Babi Al-Halabi, Juz IV, t.t., Mesir, him. 102.
22
Abd Halim Mahmud, Qadhiyat At-Tashawwuf Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Dar Al-Ma'arif, Kairo, 1119 H.,
hlm. 40
23
Lihat M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, Vol. II, Wiesbaden: Otto Harrasspwitz, 1963, hlm. 583-584
24
Kelompok ilmu-ilmu tasawuf dan akhlak antara lain: 1) Ihya Ulum Ad-Din, 2) Mizan Al Amal, 3) Kimiya
Sa'adah, 4) Misykat Al-Anwar, 5) Mukasyafah Al-Qulub, 6) Minhaj Al

Titisan' Al-Ghazali dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi filosof Yahudi besar, Musa
bin Maymun (Moses the Maimonides). Karya karyanya yang amat penting dalam sejarah
perkembangan filsafat Yahudi itu dapat sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-
Ghazali.25

Di kalangan Kristen abad tengah, pengaruh Al-Ghazali merembes melalui filsafat


Bonaventura. Seperti halnya Musa bin Maymun, Bonaventura pun dapat dipandang sebagai
'titisan' Kristen dari Al-Ghazali. Lebih jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Ghazali juga
memperoleh salurannya dalam mistisisme Kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah
ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam, memiliki orientasi ilmiah yang
lebih kuat dibanding ordo-ordo lainnya, seperti diungkapkan dalam novel best seller-nya
Umberto Eco, The Name of the Rose.26

Harus diakui juga bahwa banyak literatur yang menyebutkan jasa-jasa Al-Ghazali bagi
peradaban Islam. Cyrill Glassé, misalnya, menyebutkan, "Peradaban Islam telah mencapai
kematangannya berkat Al-Ghazali”27

b. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali

Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Quran dan
Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu,
ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para filosof Islam, sekte
Isma'iliyyah, aliran Syi'ah, Ikhwan Ash Shafa, dan lain-lainnya. Ia menjauhkan tasawufnya
dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan, sehingga dapat dikatakan
bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.28 Corak tasawufnya adalah psiko-
moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya
seperti Ihya' Ulum Ad-Din, Minhaj Al-'Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi'raj
As-Salikin, dan Ayuhal Walad.

Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan
hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu
dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah.
Ia pun berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan
hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar,

14
________________________
25
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Paramadina, Jakarta: 1997, hlm. 90.
26
Nurcholis Madjid menggambarkan bahwa novel ini sangat menarik bagi kaum Muslimin, karena
menggambarkan tragedi perbenturan antara ilmu pengetahuan yang datang dari Islam dengan dogma gereja.
Diterbitkan di New York oleh Time Warner, 1986, sudah diangkat ke layar perak, dan menghasilkan film yang
memperoleh pujian sangat luas, dengan judul yang sama, The Name of the Rose (ibid).

Cyrill Glassé, The Consise Encyclopedia of Islam, San Francisco: Harper, 1989, s.v. "Al-Ghazali": Nurcholis
27

Madjid, op. cit., hal. 87.


28
Taftazani, Sufi....., hlm. 156.

dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir
maupun batin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini, tidak ada
lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.29

Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga
sampai kepada makrifat yang membantu menciptakan (sa'adah).

1) Makrifat

Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, makrifat adalah


mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang
ada.30 memperoleh makrifat bersandar pada sirr, qalb, dan ruh. Selanjutnya, Harun Nasution
juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat
mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui
rahasia. rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apa
pun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi (kasyn dari Allah. Pada waktu itu
pulalah, Allah menurunkan cahaya Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi
hanyalah Allah. Di sini, sampailah ia ke tingkat makrifat.

Ringkasnya, makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam
maupun makrifat ulama mutakallim, tetapi makrifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq
ruhani dan kasyf ilahi. Makrifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya' tanpa
melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung
dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi
mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui
ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.

2] As-Sa'adah

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah
(ru'yatullah). Di dalam kitab Kimiya' As-Sa'adah, ia menjelaskan bahwa As-sa'adah
(kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan
ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah.
Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh
anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.

15
Kenikmatannya qalb -sebagai alat memperoleh makrifat terletak ketika melihat Allah.
Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena makrifat itu
sendiri agung dan mulia. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan
hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung
pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati,
malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.

________________________
29
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mungidz min Adh-Dhalal, Al-Maktabah Asy-Syibiah, Beirut, t.t., hlm. 75.
30
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 78,

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
     Dari penjelasan-penjelasan tersebut, maka kamui menyimpulkan bahwa pengertian ilmu
akhlak adalah suatu ilmu yng membahas persoalaan yang bernilai baik atau buruk, lalu
mengemukakan teori-teori yang dapat dijadikan tuntunan untuk melakukan perbuatan
baik.sehingga petunjuk mengenai cara-cara menghinfdari perbuatan buruk. Tasawuf ahkhlaki
merupakan kajiuan ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya
berupa  teori sebagai sebuah pengetahuan., tetapi harus dilakukan dengan aktifitas kehidupan
manusia.
B.       Saran
     Mengingatnya penegtehuan tim penulis, begitu pula kurangnya rasa ingin tahu dari tim
penulis. Berharap pembaca bisa memaklumi jika terdapan adanya kesalahan dalam penulisan
atau kata-kata dalam makalah yang tim penulis susun. Adapun kebenaran itu datangnya dari
Allah SWT dan kekuerangannya datang adri tim penulis. Tim penulis berharap pembaca
tidak puas dengan makalah yang tim penulis buat ini dan pada akhirnya pembaca akan tewrus
memperdalam pengetahuan yang sangat luas. Dalam makalah ini juga, tim penulis butuh
kritikan dan saran guna perbaikan dimasa yang akan datang.

16

Anda mungkin juga menyukai