Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KELOMPOK 10

PUASA

Di susun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Ushul Fiqh

Dosen Pengajar: Aminuddin Lubis, M.A.

1. Ayu Tiara Dewi (0204212120)

2. Fathya Dwi Syahyani (0204212062)

3. Malik Aldiansyah (0204212116)

4. Riska Nurajijah Pane (0204212111)

KELAS 2 D

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS HUKUM DAN SYARIAH

UIN SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................

KATA PENGANTAR............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................
A. Defenisi Puasa................................................................................
B. Rukun Puasa dan Syarat
Puasa........................................................
C. Hal yang Membatalkan
Puasa.........................................................
D. Macam Macam
Puasa.....................................................................
E. Qadha dan Fidiyah
Puasa................................................................

BAB III
PENUTUP.................................................................................................
Kesimpulan.............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Sholat” tepat pada waktunya.
Makalah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh nilai tugas pada mata kuliah Ushul
Fiqh pada Program S1 Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak
Aminuddin Lubis, M.A selaku dosen pengampu yang telah membimbing kami mahasiswa
semester II Tahun Ajaran 2022.

Dalam makalah ini membahas dan menjelaskan mengenai defenisi, syarat, rukun,
membatalkan puasa dan macam macam puasa serta Qadha dan Fidiyah puasa. Pemakalah
telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian tugas makalah ini, namun
pemakalah menyadari bahwa ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun teknik
penyajiannya.

Demikianlah makalah ini kami susun dan akhir kata saya mengharapkan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semoga tugas makalah ini bermanfaat dalam
memperkaya ilmu pengetahuan.

Medan, 8 juni 2022

Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pentingnya pembahasan mengenai bab Puasa adalah yang Pertama, sebagai salah satu
bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki bagi kita. Kedua,
sebagai perisai diri dari nafsu dan amarah. Ketiga, puasa juga bisa digunakan untuk menjaga
kesehatan. Keseluruhan dari makalah ini adalah pada Bab I berisi tentang latar belakang
kenapa kami membuat makalah ini, rumusan masalah yang berisi beberapa pokok
pembahasan yang akan kami ulas pada makalah dan tujuan pembahasan mengenai puasa.
Pada Bab II terdapat materi pembahasan dari beberapa rumusan masalah yang sudah kami
sertakan pada Bab I. Dan yang terakhir, pada Bab III berisikan kesimpulan dari pembahasan
materi Puasa.

B.  Perumusan Masalah
1.      Apa defenisi dan rukun serta syarat puasa?
2.      Sebab membatalkan puasa?
3.      Sebutkan macam-macam puasa!
4.      Apa itu qadha dan fidiyah?

C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui apa defenisi dan rukun serta syarat puasa
2. Apa yang dapat menyebabkan puasa batal
3. Mengetahui macam macam puasa
4. Mengetahui qadha dan fidiyah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Puasa

Dari segi bahasa, puasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kaff) dari sesuatu.
Misalnya, dikatakan “shama ‘anil-kalam”, artinya menahan dari berbicara. Allah SWT
berfirman sebagai pemberitahuan tentang kisah Maryam:

... َ ‫ ِ ِ نسي‬٢٦ ‫ص ٗوما فَ ۡلَن أ ٰ َ ي نَ َۡذر ُت ِل ۡ لرَّح َم ِّ ِن إ َ ۡيَوم ۡ ٗ ٱل ا إ‬


ۡ َ ‫م ِّ َكل ُ ِن‬

“Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah...”(Q.S.
Maryam : 26)

Maksudnya, diam dan menahan diri dari berbicara. Orang Arab lazim mengatakan,
“shama an-nahar”, maksutnya perjalanan matahari berhenti pada batas pertengahan siang.
Adapun menurut syarak (syara’), puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang
membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang bersangkutan pada siang hari, mulai
terbit fajar sampai terbenam matahari. Dengan kata lain, puasa menurut istilah adalah
menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan
syahwat kemaluan serta menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat
atau sejenisnya. Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit
fajar sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak melakukannya, yaitu orang
Muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus dilakukan dengan
niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-
ragu. Tujuan niat adalah membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah
menjadi kebiasaan.1

B. Rukun Puasa Dan Syarat Puasa

1. Rukun puasa

Ialah menahan diri dari dua macam syahwat, yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan.
Maksudnya, menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya. 2 Dalam buku Fiqh
Islam disebutkan ada 2 rukun puasa, yaitu:

 Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang dimaksud
dengan malam puasa ialah malam yang sebelumnya. Sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit, maka
tiada puasa baginya.” (Riwayat Lima Orang Ahli Hadis) Kecuali puasa sunat, boleh
berniat pada siang hari, asal sebelum zawal (matahari condong ke barat).
 Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari.3
__________________________________________

1
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 84-85.
2
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 85.
3
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 230

2. Syarat - Syarat Puasa

a. Syarat Wajib Puasa

 Baligh Puasa tidak diwajibkan atas anak kecil. Akan tetapi, puasa yang dilakukan
oleh anak kecil yang mumayiz, hukumannya sah, seperti halnya sholat. Wali anak
tersebut, menurut mazhab Syafi’i, Hanafi, dan hanbali, wajib menyuruhnya berpuasa
ketika dia telah berpuasa tujuh tahun. Dan jika anak kecil itu tidak mau berpuasa,
walinya wajib memukulnya ketika di atelah berusia sepuluh tahun. Hal itu
dimaksudkan agar dia menjadi terbiasa dengan puasa, seperti halnya sholat. Kecuali,
terkadang seseorang mampu melakukan sholat, tetapi belum tentu mampu berpuasa.4
Sabda Rasulullah SAW : “Tiga orang terlepas dari hukum (a) orang yang sedang tidur
hingga ia bangun, (b) ornag gila sampai ia sembuh, (c) kanak-kanan sampai ia balig.”
(Riwayat Abu Dawud dan Nasai)5
 Berakal Puasa tidak wajib dilakukan oleh orang gila, orang pingsan dan orang-orang
mabuk, karena mereka tidak dikenai khithab taklifiy; mereka tidak berhak berpuasa.
Pendapat ini dipahami dari Hadis Nabi SAW berikut: Pena diangkat dari tiga orang;
dari anak kecil sampai dia dewasa, dari orang gila sampai dia sadar, dan dari orang
tidur sampai dia terjaga.6 Orang yang akalnya (ingatannya) hilang tidak dikenai
kewajiban berpuasa. Dengan demikian, puasa yang dilakukan oleh orang gila, orang
pingsan, dan orang mabuk tidak sah. Sebab, mereka tidak berkemungkinan untuk
melakukan niat.7
 Mampu (Sehat) dan Berada di Tempat Tinggal (Iqamah) Puasa tidak diwajibkan
atas orang sakit. Walaupun demikian mereka wajib mengqadhanya. Kewajiban
mengqadha puasa bagi keduanya ini telah disepakati oleh para ulama. Tetapi jika
keduanya ternyata berpuasa, puasanya dipandang sah. Dalilnya ialah ayat berikut:

‫ٖت فَ َّمۡ عُد‬


ٖۚ ُ ‫عل َ ِر ً يضا أ نك َّ م م َم َن ك َ ان ِ م‬ َ َ ‫دة فَ ٖ َٰى َ سفَر ۡو‬ ٞ ‫ي َ ِّ مۡ ن أ ِ َّع‬
َّ ‫ي ٗاما َ أ َخ َٖۚر ُ ٍام أ‬َّ
‫ة طَ ٖۚ ۥ‬ٞ ‫ ر ل َّو َع َ ۡخيٗ را فَ َمن تَطَ ٖۖ فَ ين ٖ َع ُام ِ مۡ س ِك‬ٞ‫َودَٰ ِذ َ ين َو َعلَى َّ ِ يُطيق ۥ هُ ُ ٱل ونَهُ َّ َهُو َ ۡخي‬
‫ م َون َوأ‬١٨٤ُ ‫ ر ل ْ ُصُوموا َن تَ ۡتَع َل‬ٞ‫ف ُن كنتُمۡ ِ َّ ُكمۡ إ َ ۡخي‬ ِ ‫ۡدي‬ َ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada harihari yang lain. Dan wajib bagi orang-
orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 184)
b. Syarat Sah Puasa8
__________________________________________

4
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 163.
5
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014),227.
6
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 162.
7
Ibid, 163.
8
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 169. 9 Dari Aisyah. Ia berkata,
“kami disuruh oleh Rasulullah SAW mengqada puasa dan tidak disuruhnya mengqada salat,”
(Riwayat Bukhari)
1) Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah puasa.
2) Mumayiz (dapat membedakan yang baik dengan yang tidak baik).

3) Suci dari darah haid (kotoran) dan nifas (darah sehabis melahirkan). Orang yang haid atau
nifas itu tidak sah berpuasa, tetapi keduanya wajib mengqadha (membayar) puasa yang
tertinggal itu secukupnya.

4) Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya. Dilarang puasa pada dua hari raya dan
hari Tasyrik (tanggal 11-12-13 bulan Haji). Dari Anas, “Nabi SAW telah melarang berpuasa
lima hari dalam satu tahun; (a) Hari Raya Idul Fitri, (b) Hari Raya Haji, (c) tiga hari Tasyriq
(tanggal 11,12,13 bulan Haji).” (Riwayat Daruqutni)9

C. Hal Yang Membatalkan Puasa.

1. Makan dan minum Firman Allah SWT :

َّ َ ٰ ‫َب َ يَّن َل ُ ُكم ۡ ٱش َربُوا‬


ِ‫َحت‬ َ ‫ اس َ و ُكل ٖۚ ُكمۡ ِئ ى ِن َسٓا ٰ َ َل ِ إ َو ْ ى يَت‬ٞ ‫ب‬ َ َ‫ح َّل ُ أ ةَ ْ ٱلرَّفَ ُث ِّ ٱلص َي ِام َل ُكمۡ ۡل‬
َ ِ‫يل ُوا هُ َّن ل‬
‫َۡخيطُ َۡخي ِم َن ِط ۡۡٱ َل ٱل ۡب َي ُض ۡ ۡ ۡۡٱ ۡلَس َو ٱل ِد ۡفَج ِر ِم َن ۡ ٱل‬

“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benag hitam, yaitu fajar.” (Q.S.
Al Baqarah : 187)

Makan dan minum yang membatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan sengaja. Kalau
tidak sengaja, misalnya lupam tidak membatalkan puasa. Sabda Rasulullah SAW :
“Barangsiapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan puasa, kemudian ia makan atau minum,
maka hendaklah puasanya disempurnakan, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya
makan dan minum.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) Memasukkan sesuatu ke dalam lubang
yang ada pada badan, seperti lubang telinga, hidung, dan sebagainya, menurut sebagian
ulama sama dengan makan dan minum; artinya membatalkan puasa. Mereka mengambil
alasan dengan qias, diqiaskan (disamakan) dengan makan dan minum. Ulama yang lain
berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan karena tidak dapat diqiaskan dengan makan
dan minum. Menurut pendapat yang kedua itu, kemasukan air sewaktu mandi tidak
membatalkan puasa, begitu juga memasukkan obat melalui lubang badan selain mulut,
suntuk, dan sebagainya, tidak membatalkan puasa karena yang demikian tidak dinamakan
makan dan minum.
2. Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam. 10 Muntah yang tidak
disengaja tidaklah membatalkan puasa. Sabda Rasulullah SAW : Dari Abu Hurairah.
Rasulullah SAW telah berkata, “Barangsiapa paksa muntah, tidaklah wajib mengqada
puasanya; dan barangsiapa yang mengusahakan munta, maka hendaklah dia mengqada
puasanya.” (Riwayat Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)

__________________________________________

9
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 229.
10
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 231.

3. Bersetubuh Firman Allah SWT :

َ َ‫ح َّل ُ أ ةَ ٖۚ ٱلرَّفَ ُث ِّ ٱلص َي ِام َل ُكمۡ ۡل‬


ِ‫يل ُكمۡ ِئ ى ِن َسٓا ٰ َ َل ِ إ‬

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu.”
(Q.S. Al-Baqarah : 187)

Laki-laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di waktu siang hari di bulan
Ramadan, sedangkan dia berkewajiban puasa, maka ia wajib membayar kafarat.11

4. Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah sehabis melahirkan) 12 Dari Aisyah. Ia
berkata, “Kami disuruh oleh Rasulullah SAW mengqada puasa, dan tidak disuruhnya untuk
mengqada salat.” (Riwayat Bukhari)

5. Gila.13 Jika gila itu datang waktu siang hari, batallah puasa.

6. Keluar mani dengan sengaja (karena berentuhan dengan perempuan atau lainnya). Karena
keluar mani itu adalah uncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya
disamakan dengan bersetubuh. Adapun keluar mani karena bermimpi, mengkhayal, dan
sebagainya, tidak membatalkan puasa.14

D. Macam-Macam Puasa

1. Puasa Wajib

Puasa jenis ini terdiri dari tiga macam :

 Puasa yang diwajibkan karena waktu tertentu, yakni puasa pada bulan ramadan,
 Puasa yang diwajibkan karena suatu sebab (‘illat), yakni puasa kafarat, dan
 Puasa yang diwajibkan karena seseorang mewajibkan puasa kepada dirinya sendiri,
yakni puasa nazar.
4. Puasa Tathawwu’ atau Puasa Sunnah15

Tathawwu’ artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan amal ibadah
yang tidak diwajibkan. Istilah ini diambil dari ayat berikut.

... ََّ‫ و َع َ ۡخيٗ را َو َمن تَط‬...


“Dan barang siapa melakukan kebaikan dengan kerelaan hati....” (Q.S. Al Baqarah:158)

__________________________________________

11
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 231..
12
Ibid, 232.
13
Ibid, 233.
14
Ibid, 233.
15
Ibid, 122-132
Istilah ini terkadang diungkapkan dengan kata nafilah, sebagaimana dalam shalat. Yakni
berdasarkan ayat berikut :
َ‫ َٗة ل‬... ‫و ِم َن ِل ٱل ِه ۡ َّي ِ فَتَهَۦ َك ۡجَّد ب َّ نَافِل‬

“Dan pada sebagian malam hari, bertahajudlah kamu sebagai nafilah bagimu.” (Q.S. Al
Isra’ : 79)

Menurut kesepakatan para ulama, yang termasuk puasa tathawwu’ ialah sebagai berikut.16

 Berpuasa sehari dan berbuka sehari Puasa ini merupakan jenis puasa tathawwu’ yang
paling utama. Berdasarkan hadis yang terdapat dalam kitab AshShahihain
dikemukakan sebagai berikut: “Puasa yang paling utama iaah puasa Dawwud. Dia
berpuasa sehari berbuka sehari” Dalam hadis lain ditambahkan sebagai berikut:
“Tidak ada yang lebih utama daripada puasa Dawud.”

 Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan Dalam puasa jenis ini, yang lebih utama ialah
berpuasa pada tiga hari bidh, yakni pada tanggal 13,14, dan 15. Ketiga hari ini
dinamakan bidh karena malam hari pada ketiganya diterangi bulan dan pada siang
harinya diterangi matahari. Pahala puasa jenis ini seperti puasa dahr, yakni pelipat
gandaan. Satu kebaikan dilipat-gandakan menjadi sepuluh kali kebaikan, tanpa ada
bahaya dan kerusakan seperti yang terdapat dalam puasa dahr. Dalil puasa jenis ini
ialah hadis yang diriwayatkan Abu Dzar. Dia mengaakan bahwa Nabi saw. Bersabda
kepadanya: “Jika kamu (hendak) berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka berpuasalah
pada tanggal 13, 14, dan 15” Dalam hadis diriwayatkan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa sebanyak tiga hari dalam satu bulan.

 Puasa pada hari Senin dan Kamis dalam setiap minggu. Puasa jenis ini berdasarkan
perkataan Usamah bin Zaid berikut:17 “Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa pada hari
Senin dan Kamis. Lalu, ketika beliau ditanya mengenai hal itu, beliau bersabda ,
‘Sesungguhnya, amalan-amalan manusia diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis.’”
Dalam lafal lain disebutkan: “Aku senang amalanku diperlihatkan ketika aku
berpuasa.”

 Puasa hari Arafah; yaitu puasa tanggal 9 Zulhijah bagi orang yang tidak sedang
melakukan ibadah haji.18 Puasa ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
berikut: “Berpuasa pada hari arafah dipandang oleh Allah sebagai amalan yang
menjadi kafarat untuk satu tahun sebelum dan sesudahnya.” Hari Arafah merupakan
hari yang paling utama. Pernyataan ini didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim berikut: “Tiada satu hari pun yang di dalamnya Allah lebih banyak
memerdekakan seseorang dari api neraka, selain hari Arafah.”

__________________________________________

16
Ibid, 123.
17
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 125.
18
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 126.

 Berpuasa pada bulan-bulan yang dimuliakan. 19 Yakni, keempat bulan dalam satu
tahun; tiga bulan berturut-turut (Zulkaidah, Zulhijah, Muharram), serta Rajab.
Keempat bulan ini merupakan bulan-bulan yang utama untuk berpuasa setelah bulan
Ramadan. Bulan-bulan mulia yang paling utama ialah Muharram, Rajab, Zulhijah,
dan Zulkaidah. Selanjutnya adalah bulan Syakban. Dalam bulan Muharram ada hari-
hari yang paling utama, sebagaimana telah kami jelaskan, yaitu hari Asyura. Mazhab
Hanafi berpendapat bahwa puasa yang disunnahkan dalam bulan-bulan yang mulia
adalah pada tiga hari, yakni hari Kamis, Jumat, dan Sabtu.

 Puasa pada bulan Syakban.20 Puasa ini disunahkan berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Dia menyatakan bahwa Nabi SAW tidak pernah
berpuasa sebulan penuh dalam setahun, kecuali dalam bulan Syakban. Dan beliau,
lanjut Ummu Salamah, menyambungkannya sengan puasa Ramadan. Dari Aisyah
diceritakan sebagai berikut : “Nabi SAW tidak berpuasa melebihi bulan Syakban.
Beliau berpuasa di dalamnya (bulan Syakban) secara penuh”
E. Qadha dan Fidiyah Puasa

1. Hukum Qadha

Menurut kesepakatan ulama, qadha diwajibkan atas orangorang yang membatalkan puasa
Ramadan selama sehari atau lebih karena ada uzur, seperti sakit, melakukan perjalanan, haid,
dan lain-lain. Qadha juga diwajibkan atas orang yang membatalkan puasanya karena tidak
ada uzur, misalnya, tidak berniat pada malam hari karena lupa atau sengaja. Pendapat ini
berdasarkan ayat berikut :

ٞ ‫ ِ َّع‬... َ‫“ ى َ سفَر ٰ َ ۡو َ ع َل َ ِر ً يضا أ نك َّ م م َم َ ن ك َ ان ِ م ُ فَ َخ َر ُ ٍ يَّام أ َ مۡ ن أ ِّ ف‬...


... ٖ ‫دة‬

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain...”

Aisyah berkata dalam hadis yang telah disebutkan di muka, “Kami mengeluarkan darah haid
pada zaman Rasulullah SAW. Kami diperintahkan mengqadha puasa.” Puasa yang wajib di
qadha adalah puasa Ramadan, puasa kafarat, puasa nazar, dan menurut mazhab Hanafi dan
Maliki, puasa tathawwu’. Mazhab Maliki mewajibkan qadha bagi orang yang sengaja
membatalkan puasa tathawwu’-nya tanpa sebab. Adapun orang yang membatalkan puasa
tathawwu’-nya karena lupa, menurut kesepakatan ulama, hendaknya menyempurnakan
puasanya. Dia tidak berkewajiban qadha. Apabila dia membatalkan puasa tathawwu’-nya
karena ada uzur yang membolehkan (berbuka), dia tidak wajib mengqadhanya.

a. Waktu Pengqadhaan Puasa Ramadan Waktu pengqadhaan puasa Ramadan

adalah semenjak bulan Ramadan berakhir sampai bulan Ramadan selanjutnya. Seseorang
disunahkan menyegerakan pengqadhaan puasanya.
__________________________________________

19
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 131.
20
Ibid, 132.
Tujuannya, agar tanggungannya segera bebas dan kewajibannya segera gugur. Orang
yang belum bisa melakukan qadha untuk ibadah apapun dalam waktu yang segera, wajib
bertekad mengqadhanya. Mengqadha puasa dalam waktu yang sesegera mungkin, ketika
bulan Ramadan berikutnya akan segera tiba, hukumnya wajib. Mazhab Syafi’i berpendapat
bahwa mengqadha puasa dalam waktu yang sesegera mungkin, hukumnya wajib bagi orang
yang membatalkan puasanya tanpa ada uzur yang diakui kebenarannya. Orang yang belum
mengqadha puasa Ramadan, dimakruhkan melakukan puasa tathawwu’. Mengenai orang
yang mengangguhkan pengqadhaan puasanya sampai bulan Ramadan berikutnya tiba, ada
dua pendapat. Pertama, pendapat Jumhur. Pendapat ini menyatakan bahwa dia setelah bulan
Ramadan yang kedua itu berakhir wajib melakukan qadha dan kafarat sughra (fidyah).
Kedua, pendapat mazhab Hanafi. Manurut mazhab ini,, orang tadi tidak berkewajiban
mengeluarkan fidyah, baik pengangguhan itu dilakukan karena ada uzur maupun tidak ada
uzur. Jumlah fidyah, menurut mazhab Syafi’i, disesuaikan dengan jumlah tahun (maksudnya
jika penangguhan qadha itu melewati satu tahun, fidyah yang dikeluarkan adalah satu kali.
Jika penangguhan itu melewati dua tahun, fidyah yang dikeluarkan adalah dua kali. Begitu
seterusnya.) Mengqadha puasa pada hari yang dilarang, seperti hari raya, tidak sah
hukumnya. Begitu juga, pengqadhaan puasa tidak sah dilakukan pada hari-hari yang di
dalamnya suatu jenis puasa telah dinazari. Misalnya, hari-hari pertama bulan Zulhijah.
Demikian juga., pengqadhaan puasa tidak sah dilakukan pada bulan Ramadan berikutnya.
Karena, waktu tersebut telah ditetapkan sebagai hari H pelaksanaan puasa 29 Ramadan. Oleh
sebab itu, puasa selain puasa Ramadan yang dilakukan secara ada’, tidak diterima.
Mengqadha puasa pada hari syak, hukumnya sah. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa berpuasa tathawwu’ di dalamnya sah juga. Pengqadhaan puasa dilakukan
sesuai dengan bilangan. Jika bulan Ramadan berjumlah 29 hari, puasa yang wajib diqadha
adalah sebanyak jumlah tersebut.

b. Mengqadha Secara Beruntun (Tatabu’)

Mayoritas ulama sepakat bahwa mengqadha puasa secara beruntun, hukumnya mustahabb.
Akan tetapi, tidak disyaratkan mengqadha puasa secara tatabu’ atau dengan segera. Dengan
demikian, pengqadhaan puasa Ramadan ini diserahkan kepada kehendak masing-masing.
Sebab, nas AlQur’an yang mewajibkan pengqadhaan puasa, juga tidak mengikat. Meskipun
demikian, jika bulan Syakban berikutnya hanya tersisa beberapa hari yang cukup untuk
mengqadha puasa, maka tatabu’ dalam mengqadha puasa dalam kasus ini adalah wajib.
Karena, waktu telah sempit. Pewajiban tatabu’ dalam mengqadha puasa pada saat seperti ini
sama dengan kewajiban melaksanakan puasa Ramadan secara ada’ bagi orang yang tidak
memiliki uzur. Dalil ketidakwajiban mengqadha puasa secara tatabu’ ialah pada ayat berikut :
ٞ ‫ ِ َّع‬... َ‫“ خ َر ُ ٍ يَّام أ َ مۡ ن أ ِّ ف‬...
... َ‫دة‬

maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain...”

Ayat ini hanya mewajibkan jumlah pengqadhaan. Ia tidak mewajibkan pengqadhaan secara
tatabu’. Mazhab Zhahiri dan Hasan Bashri menjadikan tatabu’ sebagai syarat. Dalil mereka
adalah ucapan Aisyah yang 30 menyatakan bahwa ayat ini (Q.S. Al Baqarah:184) pada
mulanya berbunyi “fa’iddatun min ayyamin ukhar mutataabi’at” kemudian kata
“mutataabi’at” dihapuskan.

4. Fidyah

Hukum fidyah adalah wajib. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an berikut :

َِ‫ة ط‬ٞ َ‫ ۡدي‬... ‫ف‬ ُ ‫ ى َّ ُ ٱل ونَهُ ين‬... ‫…“ ذ َ ين َو َع َل‬


ِ ‫ي ِطيق ۥ ٖ َع ُام ِ مۡ س ِك‬

Dan wajib bagi orang-orang yang berta menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang miskin…(Q.S. Al Baqarah : 184)

Fidyah, menurut mazhab Hanafi, sebanyak setengah sha’ biji gandum, atau uang senilai itu.
Fidyah, baru boleh dilakukan jika orang yang bersangkutan tidak mampu berpuasa sepanjang
hidupnya. Adapun menurut Jumhur, fidyah boleh berupa satu mud makanan yang
mengenyangkan untuk setiap hari. Banyaknya fidyah disesuaikan dengan jumlah puasa yang
tidak dilakukan. Seseorang diwajibkan membayar fidyah ketika ia dirasa tidak mampu
berpuasa, seperti orang tua renta yang merasa berat berpuasa atau puasa akan membuatnya
menderita kesulitan yang sangat berat. Jika orang tua renta tersebut menanggung bebannya
sendiri dan tidak mampu memberi makan orang miskin, maka ia tidak berkewajiban apa pun.
Seperti yang disebutkan pada ayat berikut :

ُ ‫ ل ُف ِّ َّ ٱّلل‬...
َ َ‫ي َكل ُ ََّل ُ ۡوس َعهَا ِ ًسا إ ۡ نَف‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya…(Q.S. Al


Baqarah : 286)21

Fidyah diwajibkan juga atas orang sakit yang kesembuhannya tidak bisa diharapkan. 22 Fidyah
juga diwajibkan bersamaan dengan qadha kepada perempuan hamil dan menyusui yang
mengkhawatirkan dirinya (tanpa anaknya). Keduanya boleh berbuka puasa, dan hanya
berkewajiban mengqadha puasa.23 Fidyah bersama qadha juga diwajibkan kepada orang yang
meremehkan pengqadhaan puasa Ramadan. Misalnya orang yang menangguhkan
pengqadhaan puasanya sampai Ramadan berikutnya tiba. Jumlah fidyah disesuaikan dengan
jumlah puasa yang ditinggalkan.24
__________________________________________

21
Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 283.
22
Ibid.
23
Ibid, 284.
24
Ibid, 285

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari makalah yang kami buat ini kami simpulkan bahwa dari segi bahasa, puasa berarti
menahan dan mencegah dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah menahan diri dari
perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta
menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya.) Hal itu
dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam
matahari. Puasa dilakukan oleh orang tertentu yang berhak, yaitu orang Muslim, sudah
baligh, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat,
yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu dan
mampu menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari.

Orang yang berpuasa disunnahkan untuk melakukan sahur, menta’hirkan makan sahur,
menyegerakan berbuka, berbuka dengan sesuatu yang manis, berdoa sewaktu berbuka puasa,
memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa, hendaklah memperbanyak
sedekah selama dalam bulan puasa, dan menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan. Ada
beberapa uzur yang memperbolehkan seseorang untuk membatalkan puasanya, diantaranya
ketika sedang berada di perjalanan jauh, dalam keadaan sakit, bagi wanita hamil dan
menyusui, berada pada masa tua, takut akan rasa lapar dan haus yang membahayakan, dan
karena terpaksa membatalkan puasanya. Ada pula beberapa hal yang membatalkan puasa,
yaitu, makan dan minum yang disengaja, muntah yang disengaja, bersetubuh, keluar darah
haid (kotoran) atau nifas, gila, dan keluar mani dengan sengaja. Pembatalan puasa juga dapat
diganti dengan melakukan qadha, kifarat ataupun fidyah. 36 Puasa mengajarkan kita untuk
lebih bersyukur terhadap segala hal yang telah kita miliki pada saat ini. Mengajarkan kita
untuk mampu membantu orangorang fakir dan miskin.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam. 1986. Ihya’ Ulumuddin Jilid II Terj. Ismail Yakub, MA.SH. Medan:
Faizan.
Basri, Helmi. 2010. Fiqih Ibadah. Pekanbaru : Suska Press
Jawad Mughnoyah, Muhammad. 2001. Fiqih Lima Mazhab Cetakan VII. Jakarta: PT Lentera
Basritama
Latif, Djamil. 2001. Puasa dan Ibadah Bulan Puasa. Jakarta : Ghalia Indonesia
Majid, Nurcholis. 2003. Rukun Islam. Surabaya: Pustaka Visi Global
Rasjid, H. Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Rasyid Ridha, Muhammad. 1994. Tafsir “Al-Manar”. Surabaya: Pustaka Visi Global
Ridwan, Hasan. 2009. Fiqih Ibadah. Bandung : Pustaka Setia
Rifa’i , Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtalid. Jakarta: Pustaka Amani
Sabiq, Sayyid. 1993. Fikih Sunnah. Bandung : PT Al-Ma’arif
Siti Nurjannah, Hanis. Puasa dan Pembentukan Insan Berkarakter. diakses dari
hanissitinurjannah.blogspot.com/2015/02/Puasa-dan-Pembentukan-Insan-Berkarakter.html,
diakses pada 23/03/2017 pukul 6:52
Sumaji, Ania dan Zuhdi, Najmuddin. 2008. Masalah Puasa. Solo: PT Tiga
Serangkai[1] Amir Syarifuddin. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Bandung: Kencana

Anda mungkin juga menyukai