Anda di halaman 1dari 39

PUASA

MAKALAH
DISKUSI KELOMPOK
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Diskusi Kelompok
Mata Kuliah: Fiqih/Ushul Fiqh
Pembimbing: Dr. Asep Sulaeman, M.Pd

Disusun Oleh : Kelompok 07


1.Iqbal Farhan Hamdi ( 1195010063 )
2.Irfan Izzatur Rahman ( 1195010064 )
3.Ismi Jamilah ( 1195010068 )

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM (SPI)


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas fiqih. Dalam penyusunan makalah ini,
penyusun banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan
dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penyusun
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai fiqih. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, Oktober 2019

Tim Kelompok 07

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2
1.3 Tujuan.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3
2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Puasa.......................................................3
2.1.1 Pengertian Puasa.........................................................................3
2.1.2 Dasar Hukum Puasa....................................................................4
2.2 Syarat Wajib, Rukun dan Hal Yang Membatalkan Puasa......................9
2.2.1 Syarat Wajib Puasa.....................................................................9
2.2.2 Rukun Puasa...............................................................................12
2.2.3 Hal Yang Membatalkan Puasa....................................................14
2.3 Macam-Macam Puasa.............................................................................21
2.3.1 Puasa Wajib................................................................................21
2.3.2 Puasa Sunnah..............................................................................24
2.3.3 Puasa Haram...............................................................................26
2.3.4 Puasa Makruh.............................................................................26
2.4 Hukum-Hukum Yang Terpenting dalam Islam......................................27
2.4.1 Hal-Hal Yang Diperbolehkan Bagi Orang Puasa.......................27
2.4.2 Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa.................................29
2.4.3 Hal-Hal Yang Disunnahkan Dalam Puasa..................................29
2.5 Hikmah Puasa.........................................................................................31

BAB III Penutup...............................................................................................33


3.1 Simpulan.................................................................................................33
3.2 Saran.......................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................iv

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsep puasa dalam pemaknaan istilah seringkali dimaknai dalam


pengertian sempit sebagai suatu prosesi menahan lapar dan haus serta yang
membatalkan puasa. Padahal hakekat puasa yang sebenarnya adalah
menahan diri untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.
Selain itu, puasa juga memberikan ilustrasi solidaritas muslim
terhadap umat lain yang berada pada kondisi hidup miskin. Dalam konteks
ini, interaksi sosial dapat digambarkan pada konsepsi lapar dan haus yang
dampaknya akan memberikan kemungkinan adanya tenggang rasa antar
umat manusia.
Pengkajian tentang hakekat puasa ini dapat dikatakan universal dan
meliputi seluruh kehidupan manusia baik kesehatan, interaksi sosial,
keagamaan, ekonomi, budaya dan sebagainya. Begitu universal dan
kompleksnya makna puasa hendaknya menjadi acuan bagi muslim dalam
mengimplementasikannya pada kehidupan sehari-hari. Dengan pengertian
lain puasa dapat dijadikan pedoman hidup.
Adapun macam-macam puasa ditinjau dari hukumnya, puasa bisa
diklasifikasikan menjadi puasa wajib, puasa sunah, puasa haram, dan
puasa makruh. Untuk melaksanakan puasa baik puasa wajib ataupun
sunnah mempunyai syarat -syarat dan juga rukunnnya. Puasa wajib
merupakan puasa yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat islam di
dunia. Diwajibkannya puasa atas umat Islam mempunyai hikmah yang
dalam, yakni merealisasikan ketaqwaan kepada Allah SWT. Puasa
mempunyai faedah bagi rohani dan jasmani, dan dalam aspek sosial,
karena lewat ibadah ini kaum muslimin ikut merasakan penderitaan orang
lain yang tidak dapat

1
memenuhi kebutuhan pangannya seperti yang lain. Ibadah puasa juga
menunjukkan bahwa orang-orang beriman sangat patuh kepada Allah
SWT.
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini, adalah :

1) Apa yang dimaksud dengan pengertian dan dasar hukum puasa ?


2) Jelaskan mengenai syarat wajib, rukun dan hal yang membatalkan
puasa ?
3) Jelaskan mengenai macam-macam puasa ?
4) Jelaskan mengenai hukum-hukum yang terpenting dalam puasa ?
5) Bagaiamana hikmah puasa ?
1.3 Tujuan Masalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, adalah :

1) Mahasiswa dapat memahami pengertian dan dasar hukum puasa.


2) Mahasiswa dapat mengetahui syarat wajib, rukun dan hal yang
membatalkan puasa.
3) Mahasiswa dapat mengetahui macam-macam puasa.
4) Mahasiswa dapat memahami hukum-hukum yang terpenting dalam
puasa.
5) Mahasiswa dapat memahami hikmah puasa.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Puasa

2.1.1 Pengertian Puasa

Puasa berasal dari bahasa sansekarta yaitu upawasa. Orang jawa


biasa menyebut pasa. Sejumlah suku di Indonesia biasa menyebut puasa
juga.

Puasa juga disebut shaum/syiam (Arab), fasting (Inggris),


onthaunding (Belanda), yang diartikan “hal yang berpantang”.

Puasa secara Bahasa diartikan menahan secara mutlak, baik dari


makan dan minum, bersetubuh, ataupun yang lainnya. Jadi, orang yang
meninggalkan makan, minum dan bersetubuh dapat dikatakan berpuasa
sebab ia menahan diri darinya. Orang yang diam dapat dikatakan berpuasa,
sebab ia menahan diri dari berbicara sebagaimana firman Allah SWT:

Sesungguhnya aku telah


bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. (QS. Maryam
(19) : 26)

Puasa disini berarti tidak berbicara. Hal ini dipertegas dengan baris
selanjutnya:

Maka aku tidak akan berbicara


dengan seorang manusia pun pada hari ini. (QS. Maryam (19) :26)

3
Kuda juga dikatakan berpuasa ketika ia menahan diri dari makan
atau diam berdiri tidak makan sesuatu.

Ibnu Manzhur berkata: “Puasa berarti meninggalkan makan-


minum, nikah dan berbicara.”1

Sedangkan pengertian puasa menurut istilah ulama fiqh adalah


menahan diri dari segala yang membatalkan sehari penuh mulai dari terbit
fajar shadiq hingga terbenam matahari dengan syarat-syarat tertentu.
Pengertian ini disepakati oleh kalangan mazhab Hanafi dan Hambali.
Namun, kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i menambahkan kata “niat”
pada akhir rumusan pengertian diatas. Sedangkan menurut kalangan
mazhab Hanafi dan Hambali niat tidak termasuk rukun puasa, emlainkan
syarat sah puasa sehingga ia tidak menjadi bagian dan pengertian puasa.
Meski demikian, barangsiapa yang puasa tanpa niat maka puasanya
menurut kesepakatan ulama fiqh tidak sah.

Dengan demikian, perbedaan status niat sebagai syarat atau rukun


hanyalah kaidah fiqh yang perlu diketahui oleh para akar spesialis dan
pengkaji ilmu fiqh. Sedangkan orang-orang selain mereka cukup
mengetahui bahwa niat itu suatu keharusan, tidak sah puasa tanpanya. 2
Jadi, pengertian puasa menurut istilah syar’i adalah menahan diri dari
keinginan syahwat perut dan kemaluan dari terbit fajar hingga terbenam
matahari disertai niat puasa.

2.1.2 Dasar Hukum Puasa

Dasar hukum puasa berlandaskan pada Alquran, Sunnah, dan


ijma’. Dalil dari Alquran adalah firman Allah SWT berikut ini:

183 ‫ين ِم ْن َقْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقون‬ ِ َّ


َ ‫ب َعلَى الذ‬
ِ
َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ ِ ِ َّ
َ ‫ا أَيُّ َها الذ‬
َ ‫ين َآمنُوا ُكت‬
ِ ِ ٍ ‫أَيَّ ام ا م ع ُد ود‬
ِ َ ‫ فَ م ن َك‬Eۚ‫ات‬
َ ‫يض ا أ َْو َع لَ ٰى َس َف ٍر فَ ع َّد ةٌ م ْن أَيَّ ٍام أ‬
‫ َو َع لَ ى‬Eۚ ‫ُخ َر‬ ً ‫ان م ْن ُك ْم َم ِر‬ َْ َ َْ ً

1
Lisan Al-‘Arab, entri kata ( ‫)رمض‬
2
Al-fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-‘Arba’ah, Jilid 1, hlm. 541.

4
‫وم وا‬ ٍ ‫ام ِم س ِك‬ ِ ُ ‫ين يُ ِط‬ ِ َّ
ُ ‫ص‬ُ َ‫َن ت‬
ْ ‫ َو أ‬Eۚ ُ‫ع َخ ْي ًر ا َف ُه َو َخ ْي ٌر لَ ه‬
َ ‫ فَ َم ْن تَ طَ َّو‬Eۖ ‫ني‬ ْ ُ ‫يق ونَ هُ ف ْد يَ ةٌ طَ َع‬ َ ‫ال ذ‬

َ ‫ إِ ْن ُك ْن تُ ْم َت ْع لَ ُم‬Eۖ ‫َخ ْي ٌر لَ ُك ْم‬


184 ‫ون‬

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan berpuasa atas kamu


sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa; (Yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Jika di antara kamu ada
yang sakit atau sedang berada dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka
wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari
yang lain.Orang-orang yang tidak mampu lagi melaksanakan puasa
diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang-orang
miskin, barang siapa merelakan hati melakukan kebajikan maka itulah
yang lebih baik baginya dan berpuasa lebih bagimu jika kamu
mengetahui. (QS. Al-Baqarah (2): 183-184)

Orang yang merenungkan ayat tersebut akan menemukan fakta bahwa


Allah SWT telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan dan diiringi
dengan hikmahnya serta ajakan untuk melaksanakan perintah-Nya.
Perhatikanlah harf an-nida’ (kata seru) ya ayyuha (wahai) untuk seruan
jatuh dan makna yang dikandungnya, yaitu ketinggian derajat orang-orang
beriman. Perhatikan pula uslub (pola) ta’rif dengan al-maushul dan shilah-
nya, yaitu iman, yang pada hakikatnya adalah suatu ikatan perjanjian
antara hamba dengan Rabb-nya yang menuntut ketaatan dan melaksanakan
perintah Allah SWT serta meninggalkan apa yang tidak disyariatkan oleh-
Nya. Selanjutnya perhatikan firman Allah SWT : “Agar kamu bertakwa”
dan hikmah-hikmah puasa yang terkandung didalamnya.3

Ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika Allah SWT mewajibkan


puasa kepada orang-orang beriman, bukanlah untuk yang pertama kali
dalam sejarah agama-agama dan bukan pula syariat yang baru, melainkan
Allah SWT telah mewajibkannya terhadap umat sebelumnya seperti ahli

3
Mengenai makna ayat diatas, lihat Tafsir Ibn ’Abbas, hlm. 84; Imam Suyuthi, Ad-Dur
Al-Mantsur, hlm. 175; Tafsir At-Thabari, II/75; Tafsir Ruh Al-Bayan, I/289; dan Tafsir Al-
Baidhawi, II/275

5
kitab, umat agama-agama sebelumnya. Demikianlah Allah SWT
meringankan dan memudahkan syariat puasa ini terhadap jiwa orang
beriman. Sesungguhnya manusia itu jika ia tahu bahwa ia tidak
dibebankan dengan sesuatu yang baru, melainkan yang telah berlaku sejak
dahulu dan dilaksanakan oleh umat sebelumnya maka sesuatu itu akan
menjadi ringan baginya dan termotivasi untuk melaksanakannya.4

Selanjutnya, Allah SWT menyebutkan dalam ayat tersebut bahwa


puasa bukanlah suatu ujian dan kesulitan, melaikan suatu latihan dan
pendidkan, perbaikan, pembersihan, dan pembinaan akhlak. Sehingga ia
lulus dari latihan itu sebagain orang yang memiliki keutamaan dan
kesempurnaan, mampu mengendalikan hawa nafsunya. Hal itu karena
orang yang berpuasa telah mammpu berpaling dari segala sesuatu yang
mubah, maka ia tentu lebih mampu meninggalkan segala sesuatu yang di
haramkan. Orang yang terbiasa meninggalkan makanan dan minumam
yang halal dan nikmat karena menjalankan perintah Allah SWT,
bagaimana munkin mendekati makan dan minuman serta jaln hidup yang
di haramkan, najis, keji, dan dimurkai oleh Allah. Oleh karena itu Allah
berfirman ‫“ لعلكم تتقون‬agar kamu bertaqwa”.

Puasa itu tidak diwajibkan dan dibebankan kepadamuselama erbulan


bulan melainkan hanya beberapa hari tertentu secara turut turut da selesai
dalam waktu singkat. Apalah arti satu bulan ini yang hanya dipuasai siang
harinya jika di banding satu tahun penuh yang habis dengan kenikmatan
yang mubah, kesenangan, dan keselaksaan,? Bahkan, meski sudah
sedemikian mudah dan ringan, orang yang sakit dan musafir tidak
diwajibkan puasa, begitu pula orang yang lemah, yang tidak mampu
berpuasa, yang khawatir atas kesehatan dirinya.

Pada ayat berikutnya,5 ayat tersebut menyebutkan keutamaan bulan


puasa, yaitu bulan diturunkannya Al-quran sebagai kebangkitan baru dan

4
Lihat Abu Al-Hasan An-Nadwi, Al-Arkan Al-‘Arba’ah, hlm.206
5
Q.S. Al-Baqarah(2): 185

6
dimulainya kehidupan ummat manusia. Oleh karena itu, selayaknya bagi
selayaknya bagi seorang muslim, dengan puasa dan ibadah dibulan yang
penuh berkah ini, Ia memperoleh suatu kehidupan baru, keimanan baru,
dan kekuatan baru.

Adapun dalil dari sunnah yang menjelaskan kewajiban puasa antara


lain sebagai berikut.

1. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khaththab


ra, ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
َّ ‫س َشهَا َد ِة أَ ْن اَل إِلَهَ إِاَّل هَّللا ُ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُو ُل هَّللا ِ َوإِقَ ِام ال‬
‫صاَل ِة َوإِيتَا ِء‬ ٍ ‫بُنِ َي اإْل ِ ْساَل ُم َعلَى خَ ْم‬
َ‫ضان‬ َ ‫ال َّز َكا ِة َو ْال َح ِّج َو‬
َ ‫صوْ ِم َر َم‬
Islam dibangun di atas lima pilar: Kesaksian bahwa tiada tuhan
melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah, melaksanakan shalat,
menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.6

Hadis di atas menunjukkan wajibnya puasa Ramadhan secara jelas dan


tegas, tidak ada keraguan dan kekaburan maknanya. Imam An-Nawawi
menerangkan makna hadis ini seraya berkata: “Barangsiapa yang telah
melaksanakan lima rukun Islam ini, berarti Islamnya telah sempurna.
Sebagaimana rumah dapat berdiri tegak sempurna dengan terpenuhi tiang-
tiangnya, begitu pula Islam dapat berdiri tegak dan kokoh dengan
terpenuhi rukun-rukunnya. Dalam hak ini bangunan yang bersifat abstrak
(nonfisik) diibaratkan dengan bangunan fisik. Segi kemiripannya adalah
bahwa jika sebagian tiang bangunan fisik itu roboh, maka rumah itu tidak
dapat berdiri sempurna, demikian pula bangunan nonfisik. Oleh karena
itu, Rasulullah saw bersabda:
Shalat adalah tiang agama, maka barangsiapa meninggalkannya, maka
ia berarti telah merobohkannya.

6
Lihat Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Hadits no. 3, hlm. 2. Dalam riwayat ini, haji
didahulukan daripada puasa. Ini termasuk pola urutan dalam penyebutan minus hukum, sebab
puasa Ramadhan wajib sebelum haji, dalam riwayat versi lain, puasa disebut terlebih dahulu
daripada haji. Lihat Dr. Ali Ahmad Mar’i, Min Arkan Al-Islam Shiyam Ramadhan, Direktorat
Jendral Urusan Islam Kementrian Urusan Wakaf Mesir: Seri Studi Islam Edisi 198, hlm. 12.

7
2. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra, ia
berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:

ُ‫إِ َذا َرأَ ْيتُ ُموهُ فَصُو ُموا َوإِ َذا َرأَ ْيتُ ُموهُ فَأ َ ْف ِطرُوا فَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ُدرُوا لَه‬

Jika kalian melihat (hilal), maka puasalah, dan jika kalian melihatnya
maka ber-Idul Fitrilah, Jika ia tertutup dari (pandangan) kalian (oleh
mendung) maka kira-kirakanlah/hitunglah.

3. Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal ra, ia


berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai
Rasulullah, beritahukanah kepada aku tentang suatu amalan
(perbuatan) yang dapat memasukkan aku ke surga dan menjauhkan
aku dari neraka”
Nabi saw bersabda: “Kau telah menanyakan suatu perkara yang sangat
besar, namun ia sungguh ringan atas orang yang dimudahkan oleh
Allah, Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan –Nya dengan apa
pun, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah dibulan Ramadhan
dan hajilah ke baitullah.”
Kemudian beliau menimpali, “Maukah kau aku tunjukkan pintu-pintu
kebaikan? Puasa (sebab ia) adalah perisai (dari neraka), sedekah (sebab
ia) dapat memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api,
shalat seorang laki-laki ditengah malam.”
Kemudian beliau membaca ayat: “Lambung mereka jauh dari tempat
tidurnya…” hingga “atas apa yang mereka kerjakan.”. (QS. As-
Sajdah (32): 16-17)
Selanjutnya beliau bersabda “Belumkah aku beritahukan kepadamu
apa itu pangkal urusan (agama) dan pilarnya?” Aku jawab, “Belum,
wahai Rasulullah.” Beliau menukas, “Pangkal urusan (agama) adalah
Islam, sementara pilarnya adalah puasa, sedang punuknya adalah jiad.”
Kemudian beliau bersabda, “Belumkah aku beritahukan kepadamu
kunci untuk memperoleh semua itu?” aku jawab, “Belum, wahai
Rasulullah.” Beliau lantas memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah

8
ini!” aku tanya, “Wahai Nabi Allah,a apakah kita dipersalahkan karena
apa yang kita bicarakan dengannya?” Belaiu menjawab, “Semoga
ibumu kehilangan anak, bukankah orang ditelungkupkan di dalam api
neraka di atas wajah mereka atau hidung mereka kecuali akibat buah
lisan mereka!7”
4. Dan masih banyak lagi hadis-hadis yang menunjukan wajib puasa.

Adapun mengenai dalil dari ijma’, para ulama mujtahiud telah sepakat
bahwa puasa Ramadhan meruapakn salah satu kewajiban dalam agama
Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim laki-laki dan
perempuan jika telah memenuhi syarat dan tidak terdapat halangan.

2.2 Syarat Wajib, Rukun dan Hal Yang Membatalkan Puasa

2.2.1 Syarat Wajib Puasa

Keempat imam mazhab8 sepakat bahwa puasa hukumnya wajib


atas setiap orang Islam yang sudah baligh, berakal, suci dari haid dan nifas
(bagi perempuan), mukim dan kuat berpuasa. adapun bagi wanita haid dan
nifas, puasa hukumnya haram, dan jika tetap berpuasa maka puasanya
tidak sah dan ia wajib mengqadhanya. Jadi, jika tidak ada dalam diri setiap
muslim yang sudah akil-baligh suatu sifat yang menghalangi puasa, anatar
lain: haid (menstruasi) dan nifas (khusus bagi perempuan), maka ia wajib
berpuasa Ramadhan dengan kewajiban yang bersifat determinative tanpa
ada unsur kesekurelaan di dalamnya, sebab ia termasuk kategori yang
terkena kewajiban (ahl al-wujud), “Karena itu, barangsiapa diantara
kamu haidr (dinegeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah (2): 185)

Dengan demikian, puasa tidak wajib atas orang kafir. Konsekuensi


logisnya, ketika masuk Islam, orang kafir tidak wajib mengqadha puasa
yang ditinggalkannya selama ia kafir. Hal ini sudah menjadi keputusan

7
‘Umdah Al-Ahkam min kalam Khair Al-Anam, Kitab Ash-Shaum, Hadis no. 2, hlm. 133.
8
Lihat Biddayah Al-Mujtahid I/355, dan Al-Irsyadat fi Al-‘Aqaid wa Al-‘Ibadat, hlm.
109.

9
ijma’. Adapun mengenai kewajibannya, dalam artian keberadaaannya
sebagai “mukhatab” (sasaran perintah), maka menurut pendapat yang
sahih, orang-orang kaifr tetap menjadi mukhatab (sasaran perintah)
cabang-cabang Islam, dan pendapat ini dianut oleh jumhur ulama.
Sedangkan bagi orang murtad (yang kembali masuk Islam). Menurut
pendapat yang sahih ia hanya dikenai kewajiban mengqadha apa yang
ditinggalkannya sebelum ia murtad dan tidak diwajibkan mengqadha apa
yang ditinggalkannya selama ia murtad.9

Puasa juga tidak wajib atas anak kecil (ash-shabiy), akan tetapi ia
perlu dibiasakan dengannya agar terbiasa. Sebagaiaman halnya shalat,
anak tujuh tahun seyogianya diperintahkan melaksanakan puasa dalam
bentuk anjuran , dan dihuhkum pukul jika meninggalkannya saat sudah
berusia sepuluh tahun. Namun, menurut Abu Hanifah, puasa anak-anak
bagaimanpun tetap tidak sah. Begitupun orang gila, sebab ia kehilangan
akal yang meruapakan munath at-taklif (acuan pembebanan), berdasarkan
sabda Nabi saw:

َّ ‫ُرفِ َع ْالقَلَ ُم ع َْن ثَالَثَ ٍة َع ِن النَّائِ ِم َحتَّى يَ ْستَ ْيقِظَ َو َع ِن ال‬


‫صبِ ِّى َحتَّى يَحْ تَلِ َم َوع َِن‬
َ‫عقِل‬ ْ َ‫ون َحتَّى ي‬ِ ُ‫ْال َمجْ ن‬
Diangkatlah pena dari tiga orang: Orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia mimpi basah, dan orang gila sampai ia berakal.10

Adapun orang yang tidak mampu berpuasa sama sekali, sebab


seandainya ia berpuasa malah akan membuatnya semakin menderita
bahaya yang tak tertahankan atau menderita penyakit akut yang tidak dapat
diaharpak kesembuhannya, maka ia tidak wajib berpuasa, namun ia harus
membayar fidyah sebagai ganti puasa dengan memberi makan satu orang
miskin untuk tiap hari (yang ditinggalkannya) jika memang ia hidup
berkecukupan. Tetapi jika ia hidup kesusahan maka ia tidak dikenainnya,

9
Hasyiyah An-Najdi ‘ala Ar-Raudh Al-Murabba’ I/118
10
HR. An-Nasaí

10
dan baru dikenainnya jika dikemudian hari ia hidup berkecukupan. Hal ini
didasarkan pada firman Allah SWT:

ٍ‫ام ِم س ِك ني‬ ِ ِ ِ َّ
ْ ُ ‫ين يُط ُيق ونَهُ ف ْد يَةٌ طَ َع‬
َ ‫َو َع لَ ى ال ذ‬
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi
makan orang miskin. (QS. Al-Baqarah (2): 184)

Yang Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan


lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwasananya ia membaca
firman Allah SWT: “Wa ‘ala al-ladzina yuthinahu” dengan wa ‘ala al-
ladznina yaklifunahu, artinya wajib atas orang-orang yang kepayahan
menjalankannya, yakni kakek nenek yang sudah lanjut usia, untuk
memberi makan orang miskin setiap hari (yang ditinggalkannya) tanpa
perlu mengqadhannya. Ibnu Abbas menjelaskan, ayat ini tidak pernah di
naskh, hanya saja kakek lanjut usia yang tidak mampu berpuasa diberi
keringanan dan diperintahkan untuk memberi makan orang yang
mengetahui bahwa ia tidak mampu berpuasa.11
Orang sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya dan
kelelahan berpuasa statusnya sama dengan kakek lanjut usia, tanpa ada
pembedaan. Begitupula para buruh kasar yang terbebani dengan
pekerjaan-pekerjaan berat. Sebab yang dimaksud dengan “al-ladzina
yuthiqunahu” dalam ayat diatas sebagaimana pemaparan Syaikh
Muhammad Abduh adalah kakek-kakek anjut usia yang sudah renta,
penderita penyakit kronis (menahun) yang tidak tersembuhkan, dan
semisal mereka, antara lain pekerja kasar yang Allah jadikan penghasilan
tetap mereka dari pekerjaan-pekerjaan berat yang mereka jalani, misalnya
ekspolrasi batu bara dari tambang-tambangnya atau narapidana yang

11
Nail An-Authar

11
divonis hukuman bekerja seumur hidup. Jika memang mereka benar-benar
keberatan berpuasa maka kewajiban puasa gugur dari mereka, dan mereka
boleh tidak berpuasa dengan kompensasi harus membayar fidyah sebagai
gantinya.
Jika bulan Ramadhan datang pada musim panen di musim
kemarau, maka buruh (al-ajir) boleh tidak berpuasa jika memang ia benar-
benar merasa sangat keberatan, dengan syarat ia sangat membutuhkan
hasil panen tersebut untuk penghidupannya. Sehingga jika tidak
membutuhkan maka hukumnya makruh. begitupula pemilik ladang. Ia
boleh tidak berpuasa ketika benar-benar merasa keberatan, misalnya jika ia
khawatir hasil panenya akan terbengkalai jika tidak segera dipanen.
Dengan demikian, orang-orang yang menjadi objek sasaran dalam
ayat “diwajibkan atas kamu berpuasa” dapat dikelompokkan dalam tiga
golongan berikut:
1. Orang muqim (bukan musafir) yang sehat. Ia wajib berpuasa.
2. Orang sakit dan musafir. Keduanya boleh tidak berpuasa dengan
konsekuensi harus mengqadha di luar Ramadhan
3. Orang yang tidak mampu berpuasa karena alasan yang tidak bisa
diharapkan hilangnya, misalnya kakek lanjut usia dan penderita
penyakit kronis. Mereka boleh tidak berpuasa dan sebagai gantinya
mereka harus memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari
yang ditinggalkannya. Begitupula ibu hamil dan menyusui. Mereka
boleh tidak berpuasa namun dengan konsekuensi harus mengqadha.
2.2.2 Rukun Puasa
Rukun puasa ada tiga yang menjadi komponen pembentuk
hakikatnya, yaitu sebagai berikut:
1) Mencegah diri dari segala yang membatalkan mulai dari terbit fajar
hingga terbenam matahari. Rukun ini telah disepakati bulat oleh para
imam, berdasarkan firman Allah SWT:

12
ْ ‫ َو ُك لُ وا َو‬Eۚ ‫ب اللَّ هُ لَ ُك ْم‬ ِ
ُ‫اش َر بُ وا َح ىَّت ٰ َي تَ َب نَّي َ لَ ُك م‬ َ َ‫وه َّن َو ْاب َت غُ وا َم ا َك ت‬
ُ ‫فَ ا آْل َن بَ اش ُر‬
‫ام إِ ىَل اللَّ ْي ِل‬ ِّ ‫ مُثَّ أَ مِت ُّ وا‬Eۖ ‫ض ِم َن ا خْلَ ْي ِط ا أْل َ ْس َو ِد ِم َن الْ َف ْج ِر‬
َ َ‫الص ي‬ ُ َ‫ط ا أْل َ ْب ي‬
ُ ‫ا خْلَ ْي‬
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
(QS. Al-Baqarah (2): 187)
Adapun yang dimaksud benang putih dan benang hitam disini adalah
terangnya siang hari dan gelap gulita malam.12
Hal ini juga didasarkan pada hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim,
bahwasanya Addi bin Hatim berkata : “Tatkala turun firman Allah
(hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam), aku langsung
mengambil seutas tali hitam dan seutas tali putih, lalu meletakkannya
dibawah bantalku. Aku perhatikan keduanya di malam hari, namun itu
tidak kunjung terang bagiku. Pagi harinya aku bergegas menghadap
Rasulullah saw dan menyebutkan hal tersebut kepada beliau. Beliau
pun bersabda “Sesungguhnya hal itu adalah gulita malam hari dan
benderang siang hari.”
2) Niat. Niat yaitu tekad bulat hati untuk berpuasa sebagai aktualisasi
pelaksanaan perintah Allah SWT dan pendekatan diri kepada-Nya.
Niat ditetapkan sebagai rukun berdasarkan keumuman hadits:
ِ ‫إنَّ َما األع َمال بالنِّيَّا‬
‫ت‬
Sesungguhnya segala perbuatan tergantung niat.13
Jika puasa fardhu, maka niat wajib dilakukan dimalam hari sebelum
fajar, merujuk pada sabda Nabi saw:
Barangsiapa tidak menenghimpun (niat) puasa sebelum fajar, maka
tiada puasa baginya. (HR. Lima perawi utama14)

12
Lihat Fiqh As-Sunnah III/215, Bidayah Al-Mujtahid I/312, dan Syara’i Al-Islam fi Al-
Fiqh Al-Ja’fari hlm. 9.
13
Al-Baihaqi, Ma’rifah As-Sunan wa Al-Atsar, II/326 dari narasi Umar bin Khaththab.
14
HR. Khamsah berarti Ahmad, Abu Dawuh, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah

13
Sedangkan jika puasa sunnah, maka niat tetap sah meskipun setelah
terbit fajar, bahkan matahari telah meninggi, selama ia belum makan
apa-apa. Hal ini merujuk pada penuturan Aisyah ra. : Suatu hari
Rasulullah saw menemuiku, lalu bertanya,
“Apakah kalian memiliki sesuatu (yang dapat dimakan)?”
Kami jawab, “Tidak.”
Beliau menukas, “Kalau begitu aku puasa.”15
Niat harus ditentukan secara definitif untuk setiap hari yang
dipuasainya dari bulan Ramadhan maupun puasa kaffarat dan nadzar,
dengan mengatakan dalam hati: Aku niat besok akan puasa Ramadhan
atau nadzar atau sejenisnya.
Simpul kata, menurut ketetapan ijma’ tidak ada puasa kecuali dengan
niat, baik fardhu maupun tathawwu’, sebab sebagaimana halnya shalat,
puasa merupakan ibadah murni (mahdhah) sehingga ia pun
mengandaikan niat.
3) Pelaku puasa (ash-sha’im), yaitu orang yang sah berpuasa, dalam
artian telah memenuhi syarat-syarat wajib puasa, antara lain Islam,
akil baligh, mampu berpuasa, dan bebas dari halangan syaar’ seperti
haid dan nifas bagi kaum perempuan.

2.2.3 Hal Yang Membatalkan Puasa


Berikut ini beberapa hal yang dapat membatalkan puasa, di
antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut.
1. Memasukkan suatu benda dari luar tubuh kedalam tubuh secara
sengaja, baik berupa makanan maupun bukan makanan, misalnya asap
rokok, melalui bagian tubuh yang berlubang/berongga, antara lain leat
hidung (sinus) seperti gurah, mata dan telinga seperti tetesan, dubur
(lubang anus) atau vagina perempuan seperti enema. Hal ini
didasarkan pada perkataan Ibnu Abbas: “Sesungguhnya batal

15
Ibid., IV/221.

14
disebabkan oleh sesuatu yang masuk, bukan oleh sesuatu yang
keluar.”16
Penggeneralisiran sesuatu yang masuk (tanpa keterangan rinci) ini
menunjukkan bahwa ia membatalkan puasa, baik berupa makanan
maupun bukan makanan. Jika seorang makan atau minum dengan
kehendak sendiri (tanpa paksaan orang lain) dan ia sadar dengan
puasanya, maka puasanya telah batal, sebab ia melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan puasa tanpa udzur.
Adapaun kriteria sesuatu yang membatalkan puasa adalah jika sesuatu
benda masuk, meski sesedikit apa pun, dari lubang yang terbuka ke
dalam rongga tubu. Sehingga tidak masalah kiranya jika ada minyak
yang masuk ke dalam tubuh akibat perembesan melalui lubang pori-
pori kulit.17
Ibnu Taimiyah menjelaskan, puasa seorang tidak batal akibat bercelak,
suntik injeksi (ke urat nadi, bukan enema yang dilakukan melalui
lubang anus), meneteskan sesuatu kedalam uretra (saluran kencing),
operasi luka didalam otak, dan operasi luka yang mengenai bagian
dalam tubuh.
Termasuk pengecualian dalam masalah ini adalah kemasukan lalat,
kulit gandum dan sejenis keduanya, misalnya asap dupa, debu jalan,
dan lain sebagainya. Puasa juga tidak batal jiga mencicipi makanan
lalu dimuntahkan, atau meletakkan madu dimulatnya lalu diludahkan
sesuai kebutuhan, memamah makanan untuk anak bayi yang hanya
dapat mengonsumsi mamahan makanan sementara tidak ada orang
yang dapat memamahkan makanan untuknya (dengan syarat tidak ada
sesuatu yang masuk kedalam perut), dan memakai wangi-wangian.

16
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan lafal: “Batal puasa oleh sesuatu yang
masuk sementara wudhhu oleh sesuatu yang keluar.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara
mu’allaq, sedang Al-Baihaqi melansirnya dengan maushul. Lihat At-Talkhish Al-Hibr II/211.
17
Lihat ‘Umdah As-Salik hlm. 31, Minhaj Al-Muslim hlm. 314, Mu’ajallah Al-I’tisham,
Edisi 1 Tahun ke-39, Ramadhan 1396 H

15
Semua itu tidak membatalkan puasa karena tidak adanya ketetapan
mengenai hal tersebut dari syara.18
2. Muntah dengan sengaja. Jika orang yang sedang puasa ingin dan
berusaha memuntahkan isi perutnya, lalu ia muntah dengan sengaja
maka ia wajib mengqadha puasanya. Sedangkan jika ia muntah tanpa
sengaja dan tanpa upaya/inisiatif dari dirinya, melainkan terdorong
keluar dengan sendirinya tanpa sekeinginannya maka hal itu tidak
merusak puasanya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda,

ِ ‫ضا ٌء َوإِ ِن ا ْستَقَا َء فَ ْليَ ْق‬


‫ض‬ َ َ‫ْس َعلَ ْي ِه ق‬
َ ‫م فَلَي‬Eٌ ِ‫صائ‬
َ ‫َم ْن َذ َر َعهُ قَ ْى ٌء َوه َُو‬
Sesungguhnya terserang muntah, maka ia tidak wajib mengqadha.
Namun, jika berusaha memuntahkan maka hendaklah ia mengqadha.19
3. Haid dan nifas, meskipun hanya sesaat sebelum terbenam matahari.
Sebab keabsahan puasa tergantung pada ketiadaan keduanya, dan ini
sudah menjadi kesepakatan bulat kalangan ahli ilmu. Jika seorang
wanita mengalami haid atau nifas (persalinan) di siang hari bulan
Ramadhan, lalu ia terus melanjutkan puasa dan tidak membatalkannya
maka puasanya tidak sah. Hal ini merujuk pada penutuuran Aisyah ra.:
“Kami mengalami haid pada masa Rasulullah saw, lalu kami
diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha
shalat.”20
Jika wanita haid dan nifas tetap nekad niat berpuasa dan menahan diri
dari hal-hal yang membatalkannya, sementara ia tahu bahwa dirinya
dilarang melakukan hal tersebut maka ia berdosa, puasanya tidak sah,

18
Al-Irsyaddat fi Aqa’id wa Al-Ibadat, hlm. 114.
19
HR. Ad-Darimi, keempat penyusun Sunan, Ibnu Hibban, Ad-Duruquthni, Al-Hakim.
Al-Bukhari mengatakan, aku tidak melihatnya tersimpan (mahfuzh). Sementara Al-Hakim
menyatakan hadis ini shahih menurut kriteria Al-Bukhari dan Muslim.. Hadis ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Umar secara mauquf. Lihat At-Talkhish Al-Hibr fi Takhrij Ahadis Ar-Rafi’i
Al-Kabir II/180.
20
Mutaffaq ‘aiah: Diriwayatkan dari narasi Mu’adzah. Redaksi diatas merupakan salah
satu versi riwayat Muslim. Sementara dalam riwayat versi At-Tirmidzi dan Ad-Dirimi yang
dilansir dari Al-Aswad Aisyah berkata: Kami mengalami haid di sisi Rasulullah saw., maka beliau
memerintahkan kami mengqadha puasa dan tidak memerintahkan untuk mengqadha shalat. At-
Tirmidzi menyatakan hadis ini hasan. Lihat At-Talkhis Al-Hibr I/163.

16
dan ia tetap wajib mengqadhanya.21 Andaikata puasa tetap sah meski
pelaku mengalami haid, tentu syara’ tidak akan memerintahkan Aisyah
untuk mengqadha puasanya. Adapun alasan tidak diperintahkannya
mereka mengqadha shalat yang ditinggalkan selama haid dan nifas
adalah untuk memberikan keringanan pada mereka dari beban sangat
berat jika harus mengqadhanya.
4. Ejakulasi (istimna), yaitu keluarnya sprema akibat hubungan seksual,
meskipun dalam bentuk perzinaan. Begitu juga akibat ciuman,
rabaan/sentuhan, dan sejenisnya. Jika seseorang mencium istrinya atau
memeluknya, lalu ia keluar sperma, maka puasanya batal (fasid) dan ia
hanya wajib mengqadha. Adapun jika pelaku puasa melakukan
hubungan senggama di siang hari di bulan Ramadhan tanpa udzur
maupun lupa maka ia divonis sebagai pemaksiat, puasanya langsung
batal, namun tetap diharuskan menahan diri layaknya orang berpuasa
sepanjang sisa-sisa siang, dan dikenai kaffarat yang sangat besar, yaitu
membebaskan seorang budak, atau (jika tidak mampu) berpuasa dua
bulan berturut-turut, atau (jika tidak mampu) memberi makan enam
puluh orang miskin. Dalam hal ini, jumhur ulama tidak membedakan
antara adanya ejakulasi atau tidak dalam hubungan tersebut.
Sedangkan jika ia melakukan senggama karena dipaksa atau lupa maka
ia memiliki udzur dan dengan demikian ia pun tidak dikenai kafarat di
atas, merujuk pada sabda Nabi saw: “Demikianlah atas umatku
kekeliruan, kealpaan dan keterpaksaan.”
Berbeda dengan jumhur ulama, Imam Ahmad menyatakan kewajiban
kaffarat atas orang yang melakukan senggama di siang hari bulan
Ramadhan secara mutlak, baik dengan sengaja maupun lupa, entah ia
sadar atau tidak sadar, entah ia sukarela, dipaksa, atau keliru, misalnya
seorang yang melakukan senggama dengan keyakinan bahwa fajar

21
Al-Mughni III/142.

17
belum masuk, namun ia kemudian ia tersadar bahwa ia melakukan
hubungan setelah fajar.22
Adapun jika sperma keluar akibat ciuman, rabaan/sentuhan dan
sejenisnya, termasuk dalam hal ini onani/mastrubasi, maka puasa
pelakunya batal dan ia hanya dikenai qadha saja sebagaimana telah
kamisebutkan. Onani/mastrubasi sendirinya hukumnya haram, sebab ia
mengganggu kesehatan dan membuang-buang air kehiudpan dan
menyia-nyiakannya, kecuali jika ia khawatir terjerumus zina.
Sedangakan jika sperma keluar dengan sendirinya akbat fantasi
seksual atau melihat/menonton sesuatu yang dapat memabngkitkan
gairah seksual tidak membatalkan pausa, sebab tiak ada nash maupun
ijma’ yang menyatakannbatalnya puasa karena sebab demikian, dan itu
merupakan perkara yang sulit dikontrol dan tidak mungkin dilawan,
karena itu Rasulullah saw bersabda “Dimaafkan atas uamtku
kekeliruan, kelupaaan dan apa yang dibicarakannya dalam hati
selama belum dilaksanakan atau belum dikatakan.”23
Pendapat berbeda dikemukakan Abu Hafsh Al-Barmaki. Menurutnya,
hal itu tetap membatalkan puasa, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu
Aqil, sebab fantasi pikiran merupakan sesuatu yang dihadirkan
sehingga termasuk dalam perkara yang berada diabwah inisiatif
pelaku, bukan di luar kehendaknya. Buktinya, pelaku perbuatan ini
divonis dosa dalam kebid’ahan atau kekafiran dan sebailnya Allah
SWT memuji/mengapresiasi orang-orang yang memikirkan penciptaan
langit dan bumi. Nabi saw juga menganjurkan penggunaan segenap
pikiran untuk merenungkan nikmat-nikmat Allah.24 Adapun jika
terbesit di dalam hati pelaku puasa gambaran adegan seksual, lalu
sperma keluar dengan sendirinya maka hal itu ti(dak membatalkan
22
Al-Mughni III/120, Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah I/652, dan Al-Irsayadat hlm.
112.
23
Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata : Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah memberi toleransi atas umatku dalam hal-hal yang dibicarakan dalam hati
selama belum dilaksanakan atau belum dikatakan.” (Muttafaq ‘alaih). Lihat Nail Al-Authar
VI/274.
24
Al-Mughni III/114

18
puasanya, sebab pikiran yang bergejolah dalam hati tidak mungkin
ditepis.
Dalam hal ini, pendapat yang tepat (Ash-shahih) menurut penulis
adalah bahwasanya orang yang keluar sperma atau madzi dengan
sendirinya tanpa kehendak dan inisiatifnya hanya karena melihat atau
memikirkan adegan seksual tetap tidak batal puasanya, sebab kondisi
ini seperti mimpi basah (ihtilam). Jika seseorang mimpi basah dan
keluar sperma saat tertidur, maka tidak apa-apa.25
5. Gila dan pingsan. Barangsiapa berniat puasa, lalu ia mendadak gila
atau tidak sadarkan diri sepanjang siang dan tidak kunjung sadar pada
sebagiannya maka puasanya tidak sah. Sebab puasa menurut istilah
syara’ adalah menahan diri dengan niat, sementara orang gila maupun
pingsan tidak memiliki kesadaran untuk berniat sehingga tidak ada
puasa bagi mereka. Namun, jika ia sadar di sebagian siang maka
puasanya sah, baik hal itu terjadi di awal siang maupun di akhirnya.
Meskipun sama-sama tidak sadar, puasa orang tidur tetap sah,
meskipun ia tidur sepanjan siang dan waktu tidur tidak memakan
seluruh waktu puasa, sebab tidur adalah kebiasaan dan berbeda dengan
halnya dengan orang gila dan orang pingsan, orang yang tidur tidak
kehilangan perasaan/kesadaran secara penuh; jika dibangunkan ia akan
terbangun.
6. Murtad (apostasi), yaitu keluar dari Islam dengan pernyataan,
perbuatan atau keyakinan, merujuk pada firman Allah SWT:
ُّ ‫َع َم ا هُلُ ْم يِف‬
‫الد ْن يَ ا‬ ْ َ‫ك َح بِ ط‬
ْ‫ت أ‬ ٰ ‫ت و ه و َك افِ ر فَ أ‬
َ ِ‫ُولَ ئ‬ ِِ ِ ِ ِ
ٌ َ ُ َ ْ ‫َو َم ْن َي ْر تَ د ْد م ْن ُك ْم َع ْن د ين ه َف يَ ُم‬
ِ‫و ا آْل ِخ ر ة‬
َ َ
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalanya di
dunia dan di akhirat (QS. Al-Baqarah (2):217)

25
Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah I/572

19
Barangsiapa murtad dari Islam ditengah-tengah puasanya, maka
puasanya lansung batal dan ia wajib mengqadhanya jika ia kembali
Islam, baik ia masuk Islam lagi pada hari itu juga maupun setelah
selesainya hari tersebut,
7. Jika orang puasa makan, minum atau senggama dengan anggapan hari
masih malam, namun ternyata hari sudah siang maka menurut jumhur
ulama, termasuk empat imam mazhab, ia wajib mengqadha. Hal ini
berdasarkan hadis yang dituturkan oleh Hanzhalah; ia bercerita: Kami
di Madinah ketika bulan Ramadhan, lalu sebagian orang makan dan
minum, namun ternyata matahari sudah terbit. Umar pun berkata,
“Hendaklah ia berpuasa qadha sehari sebagai gantinya.”26 Alasan lain,
ia makan dan minum dengan penuh kesadaran dan kehendak sendiri
(tanpa paksaan).27
Sedangkan menurut Ishaq, Dawud (Azh-Zahiri), Ibnu Hazm, Atha,
Urwah, Al-Hasan Al-Bashri dan Mujahid, puasanya tetap sah dan ia
tidak dikenai kewajiban qadha, berdasarkan firman Allah SWT: “Dan
tidak adadosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. Al-Ahzab
(33):5) Dan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mentolerir
kekeliruan dari umatku.”28
8. Memutus niat puasa, meskipun tidak makan dan minum. Barangsiapa
berniat buka puasa, namun tidak juga berbuka (makan dan minum),
sementara ia berpandangan bahwa memutus niat tidak membatalkan
puasa, maka puasanya tidak batal. Namun, jika ia melakukan hal
tersebut tanpa interpretasi demikian, maka puasanya batal. Alasannya,

26
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam dua versi berbeda. Dalam versi satu
Umar mengatakan: “Kami tidak peduli dan mengqadha puasa satu hari sebagai gantinya.”
Sementara dalam versi lain yang diriwaytkan dari Zaid bin Wahb dari Umar, disebutkan bahwa ia
tidak perlu di qadha. Dalam hal ini, Al-Baihaqi lebih me-rajih-kan riwayat yang menyatakan
keharusan puasa qadha karena mata rantai sanadnya lebih tsiqah, dan ia lebih diperkuat lagi
dengan riwayat yang menyatakan: “Dan qadhalah sehari sebagai gantinya.” Lihat At-Talkhish
II/211.
27
Lihat Syarh Al-‘Umdah hlm. 155.
28
Dilansir oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, Kitab Ath-Thalaq, Hadis no. 16; dan
Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Hadis VII/746

20
yang menjadi pokok adalah pengandaian adanya niat dalam segala
bagian ibadah. Jika memang susah sekali mengandaikan hakikat ada
tidaknya niat dalam hal tersebut, maka diandaikanlah ketetapan hukum
asal didalamnya, yaitu ia tidak berniat memutuskan puasa. Namun, jika
ia benar-benar berniat memutusnya (dibuktikan dengan langsung
makan dan minum), maka hilanglah secara hakikat maupun hukum,
dan serta-merta puasanya pun ikut batal karena hilangnya salah satu
rukun atau syaratnya sesuai perbedaan pendapat para imam dalam
masalah tersebut.
Sementara itu, Ibnu Abu Hamid mengatakan: Puasa tetap tidak batal
karena hal tersebut, sebab ia merupakan ibadah yang harus tetap
dilanjutkan meskipun batal (dalam artian pelakunya tetap diharuskan
menahan diri dari makan dan minum sepanjang sisa hari), sehingga ia
pun tidak batal karena niat keluar darinya sebagaimana halnya haji.
Pendapat ini jelas ditolak, sebab pengqiyasan puasa pada haji dalam
kasus ini merupakan qiyas ma’a al-fariq (menyamakan sesuatu yang
berbeda), mengingat haji dianggap sah dengan niat mutlaq (umum) dan
mubham (tidak jelas), bahkan dapat digantikan oleh orang lain,
sedangkan hal demikian tidak berlaku dalam puasa. Karena itu, jika
seseorang membatalkan niat puasa dengan maksud hendak berbuka
(makan dan minum) dan mengarah padanya, maka tidak diragukan lagi
puasanya pun batal dan rusak.

2.3 Macam-Macam Puasa

2.3.1 Puasa Wajib

Puasa wajib adalah puasa yang harus dilaksanakan bagi seorang


mukmin dalam waktu dan ketentuan tertentu yang tidak boleh dilalaikan
dengan sengaja, apabila tidak dilaksanakan akan mendapat ganjaran
berupa dosa.Apabila tidak sanggup untuk melaksanan puasa wajib,
seorang muslim diwajibkan untuk membayar fidyah.

21
(Yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Jika di antara kamu ada yang sakit
atau sedang berada dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka wajiblah ia
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang
lain.Orang-orang yang tidak mampu lagi melaksanakan puasa diwajibkan
membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang-orang miskin,
barang siapa merelakan hati melakukan kebajikan maka itulah yang lebih
baik baginya dan berpuasa lebih bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-
Baqarah : 184)

Puasa- puasa wajib antara lain:


1. Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa yang dilaksanakan di bulan
Ramadhan. Bulan Ramadhan yang pada bulan itu Al-qur’an (pertama)
diturunkan yang berkedudukan sebagai petunjuk bagi manusia,
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk, dan pembeda antara hak dan
yang batil.
“Barang siapa yang diantara kamu yang hadir pada bulan itu (di
tempat tinggalnya), hendaklah berpuasa. Barang siapa yang sakit atau
sedang dalam perjalanan ( tidak diwajibkan melaksanakan puasa),
laksanakanlah puasa itu pada hari-hari yang lain (sebagai gantinya).
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Dia tidak menghendaki
kesulitan bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuknya yang
diberikan kepadamu,agar kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Baqarah: 185)

22
Ayat di atas memberikan petunjuk kepada kita tentang puasa
Ramadhan yang mencakup, pertama, hukum puasa Ramadhan adalah
wajib. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya tanpa alasan
yang dibenarkan syara’ berdosa; kedua, orang yang tidak mampu
melaksanakan puasa karena alasan fisik atau karena alasan kesehatan,
diwajibkan membayar fidyah dengan memberi makanan kepada orang-
orang miskin, dan yang ketiga, orang yang sedang sakit atau sedang
melakukan perjalanan jauh dibolehkan untuk tidak melaksanakan
puasa dengan kewajiban menggantinya pada hari yang lain.
2. Puasa Nazar

Puasa nazar adalah puasa wajib yang berasal dari ucapan atau
keinginan diri sendiri. Umpama seseorang menghadapi suatu
pekerjaan yang sangat berat menurut perhitungannya, pekerjaan
tersebut baru dapat selesai apabila ada pertolongan (keramat) dari
Allah seperti menyelesaikan kuliah karena promotornya selalu pulang-
pergi keluar negeri. Kemudian yang bersangkutan berkata kepada
isterinya: “ apabila sudah tamat kuliah, saya akan berpuasa dua hari.”
Puasa dua hari itu wajib dilaksanakanoleh yang bersangkutan apabila
ia sudah menyelesaikan kuliahnya.
Diantara puasa sunah adalah puasa enam hari pada bulan syawal,
puasa hari senin dan kamis, puasa al Syura, dan puasa Daud as.
3. Puasa Kifarah

Puasa Kifarah mempunyai beberapa bentuk. Di antaranya adalah


Puasa kifarah karena salah membunuh, puasa kifarah karena sumpah
dan nazar.
Para ulama mazhab sepakat bahwa kifarah itu di ulang-ulang,
karena ada sebab-sebab yang menyebabkan pengulangan tersebut, baik
dua hari atau lebih,barang siapa yang makan dan minum dalam dua
hari, maka ia wajib membayar kifarahnya dua kali.Tetapi kalau makan
dan minum atau bersetubuh beberapa kali sehari, maka menurut

23
Hanafi, Maliki dan Syafi’i: tidak perlu membayar kifarah berulang-
ulang, sekalipun berbuka dengan berbagai macam makanan dan
minuman.
2.3.2 Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah menahan diri dari makan minum serta hal-hal
yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, bagi
yang melaksanakannya mendapat pahala dan bagi yang meninggalkannya
tidak mendapat dosa.
Macam-macam puasa sunnah:
1. Puasa Asyura’ (tanggal 10 muharram dan 9 muharram)
Puasa hari Assyura’ pada bulan Muharram merupakan amalan
yang disunnahkan. Puasa pada hari ini dapat menghapus dosa selama
satu tahun sebelumnya. Hal ini sesuai sabda Rasulullah
“Aku memohon kepada Allah untuk menghapuskan dosa yang
pernah aku perbuat pada satu tahun sebelumnya.”(H.R Muslim)29
2. Puasa Ayyam Al-Baidl (tanggal Bulan Purnama;13,14 dan 15 bulan
hijriyah)
Tanggal 13,14 dan 15 dari setiap bulan Qamariyah (tahun Hijriyah)
merupakan tanggal yang dikhususkan oleh Rasulullah untuk berpuasa
sunnah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ,ia menceritakan:
“Rasulullah berpesan kepadaku 3 hal,yaitu ; berpuasa tiga hari
pada setiap bulannya,mengerjakan dua raka’at shalat Dhuha serta
shalat witir sebelum tidur.”(Muttafaqun Alaih)
3. Puasa hari Arafah (tanggal 9 Djulhidzah)
Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa pada hari Arafah itu dapat menghapuskan dosa selama dua
tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Adapun
puasa Asyura’ dapat menghapuskan dosa selama satu tahun yang telah
berlalu.”(H.R. Muslim)

29
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,Fiqih Wanita,Jakarta Timur, Pustaka Al-
Kautsar,2010,hlm.245.

24
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Dinamakan
demikian, karena pada malam tarwiyah Ibrahim as pernah
diperintahkan di dalam tidurnya untuk menyembelih putranya, Ismail.
Sehingga pada hari itu ia menjadi bimbang, apakah mimpi tersebut
merupakan perintah dari Allah atau hanya sekadar mimpi. Lalu pada
malam berikutnya Ibrahim juga diperintahkan untuk hal yang sama di
dalam tidurnya, sehingga ia pun ‘arafa (mengetahui, meyakini), bahwa
perintah tersebut berasal dari Allah SWT. Untuk itu, disebutlah
sebagai hari Arafah , yaitu hari yang sangat mulia dan memiliki
keutamaan yang sangat besar.30
4. Puasa hari senin dan kamis
Juga disunnahkan bagi wanita Muslimah untuk berpuasa pada hari
Senin dan Kamis. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari
Usamah bin Zaid, dimana Rasulullah senantiasa berpuasa pada hari
Senin dan Kamis. Beliau pernah bertanya oleh seseorang mengenai hal
itu.maka beliau pun menjawab: “Sesungguhnya amal perbuatan
manusia diangkat menuju Allah pada hari Senin dan Kamis” (HR Abu
Dawud).
5. Puasa enam hari di bulan Syawal
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa berpuasa pada bulan Ramdhan, lalu dilajutkan
dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka nilainya seperti
berpuasa sepanjang tahun.”(H.R Muslim,Abu Dawuddan At-Tirmidzi)
Puasa enam hari pada bulan Syawal ini boleh dikerjakan secara
berturt-turut dan boleh juga berselang waktunya. Seperti berpuasa pada
hari Senin dan Kamis saja setiap minggunya, sehingga berjumlah enam
hari.
6. Puasa Nabi Daud as (sehari puasa dan sehari tidak)
7. Puasa di bulan Sya’ban

30
Kamil Muhammad ‘Uwaidah,Fiqih Wanita,Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar,2010,hlm.244.

25
8. Puasa di bulan-bulan suci (dzulqa’dah, dzulhidjah, muharram dan
rajab)

2.3.3 Puasa Haram

Puasa haram adalah puasa yang tidak boleh dilakukan pada hari-
hari tertentu dengan syarat yang telah ditentukan dalam syariat islam dan
barang siapa mengabaikannya maka akan mendapatkan ganjaran berupa
dosa.
Macam- macam puasa haram:
1. Berpuasa pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha
Diharamkan bagi seorang muslim berpuasa pada har i raya idul
fitri maupun idul adha, baik itu untuk mengqadha puasa yang
ditinggalkan, membayar kafarat maupun sebagai puasa sunnah. .
2. Berpuasa pada hari-hari Tasyriq
Puasa pada hari-hari tasyriq juga diharamkan. Sebagaimana
diriwayatkan dari Nabisyah Al-Hadzali, bahwa Rasulullah telah
bersabda:
“Hari-hari tasyriq adalah hari untuk makan, minum dan berdzikir
kepada Allah. (H.R. Muslim)
3. Puasa sunnah yang dilakukan seorang istri tanpa izin suaminya
“Dari Abu Hurairah ra,bahwa Rasulullah bersabda tidak halal bagi
seorang istri untuk berpuasa sementara suaminya ada kecuali dengan
izinnya” (H.R. Muttafaq ‘Alaih)

2.3.4 Puasa Makruh

Puasa makruh adalah puasa yang berpahala bila ditinggalkan,


sedang bila dikerjakan maka tidak berpahala dan tidak pula berdosa.
Macam-macam puasa makruh
1. Puasa hari Jum’at saja
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

26
“Sesungguhnya hari jum’at itu merupakan hari raya bagi kalian.
Karena itu . janganlah kalian berpuasa, kecuali apabila juga kalian
berpuasa pada hari sebelum dan sesudahnya.”(H.R.Al-Bazzar)
2. Puasa hari Sabtu saja
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu, kecuali yang
diwajibkan atas kalian.”(H.R. At-Tirmidzi)
3. Puasa satu hari atau dua hari menjelang Ramadhan
4. Puasa separuh kedua di bulan Sya’ban ( mulai dari tanggal 16 Sya’ban
dst) tanpa alasan
5. Puasa Al- Dhar (setahun penuh)
6. Puasa sunnah padahal dia punya hutang puasa wajib (Ramadhan)
7. Puasa hari Syak/ragu (ragu apakah sudah tanggal 1 Ramadhan atau
masih tanggal 30 Sya’ban; ragu apakah sudah tanggal 1Syawwal atau
masih 30 Ramadhan.

2.4 Hukum-Hukum Yang Terpenting dalam Islam

2.4.1 Hal-Hal Yang Diperbolehkan Bagi Orang Puasa

1. Siwah (gosok gigi) sepanjang siang. Ia tidak masalah (la ba’tsa bih)
bagi orang puasa, merujuk pada penuturan Ammar bin Rabi’ah: “Aku
melihat Nabi saw sering bersiwak hingga tak terhitung jumlahnya
(karena saking seringnya) padahal beliau sedang berpuasa.” At-
Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Ziyad bin Hudair
menambahkan: “Belum pernah kulihat seorang pun yang lebih kontinu
bersiwak dengan siwak basah selagi berpuassa daripada Umar bin
Khaththab.”
2. Turun ke air dan membenamkan diri di dalamnya untuk mandi atau
untuk mendinginkan badan karena suhu panas yang ekstrem, baik
dengan mengguyurkan air ke badannya atau membenamkan diri di
dalamnya. Hal ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu

27
Bakar bin Abdurrahman dari seorang sahabt Nabi saw bahwa ia pernah
memberinya sebuah hadis, tuturnya: “Aku pernah melihat Rasulullah
saw mengguyurkan air ke kepalanya ketika sedang berpuasa karena
kehausan atau kepanasan.”31 Jika ada setitik air yang masuk hingga
otaknya akibat mandi/basuhan maupun kesengajaan, maka tidak
masalah. Lain halnya, jika ia menyelam ke dalam air dan berlebih-
lebihan, atau bermain-main air atau turun ke air untuk tujuan
mendinginkan badan, maka hal itu makruh.
3. Memakai celak, tetes mata dan sejenisnya yang bisa masuk ke mata,
baik yang dapat dirasakan rasanya ditenggorokan maupun tidak. Sebab
mata bukanlah lubang kedalam kerongkongan sehingga orang yang
berpuasa tidak batal puasanya jika ia memakai celak, disuntik pada oto
atau pembuluh nadi (bukan suntik dari anus yang disebut enema).
Meski demikian, bercelak selama puasa menurut kalangan ulama
mazhab Syafi’i bertentangan dengan yang utama (Khilaf al-aula)
4. Diperbolehkan juga bagi orang puasa melakukan hal-hal yang tidak
dapat diwaspadai, misalnya menelan ludah dan kemasukan debu
jalanan atau kulit gandum, meski sebanyak apapun, karena sulit
dihindari dan demi menepis rasa keberatan (harj dan musyaqqah).
Aisyah dan Atha bahkan memberi keringanan untuk mengunyak ‘ilk
atau liban (getah), sebab tidak ada sedikitpun yang sampai ke
kerongkongan dan ai seperti kerikil yang diletakan di dalam mulut. Hal
ini diperbolehkan jika bagian-bagian darinya aman dari proses
pencairan. Namun, jika memang ada bagian-bagian yang mengalami
proses pencairan dan turun ke kerongkongan, maka puasanya batal.32
5. Makan dan minum tanpa sengaja atau lupa. Hanya saja, Imam Malik
memandang perlunya mengqadha puasa dalam kondisi ini jika
memang puasa dilakoninya adalah puasa fardhu demi kehat0hatian,
sedangkan jika puasa sunnah maka tidak perlu diqadha sama sekali.
31
HR. Ahmad, Malik dan Abu Dawud dengan sanad shahih
32
Lihat Siraj As-Salik I/191, Hasyiyah An-Najdi ‘ala Ar-Raudh Al-Murabba’ II/432, dan
Fiqh As-Sunnah III/61.

28
2.4.2 Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa

Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa melakukan hal-hal yang


dapat menyebabkan kebatalan puasa, meskipun pada dasarnya ia sendiri
tidak merusak/membatalkan puasa, antara lain sebagai berikut:

1. Berlebih-lebihan dalam berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke


dalam hidung) saat berwudhu
2. Ciuman yang merangsang birahi seksual dan menyeret pada rusaknya
puasa akibat keluarnya madzi, bahkan menyeret pada senggama yang
mewajibkan kafarat atasnya.33
3. Berlama-lama memandang istri.
4. Memikirkan masalah seks.
5. Meraba-raba tubuh istri dengan belaian tangan maupun tubuh.
6. Mengunyah liban (getah) karena dikhawatirkan ada sebagian zatnya
merembes ke tenggorokan mengingat hal tersebut seolah-olah
memerah mulut, menghimpun liur, dan lebih lanjut menyebabkan
dahaga.
7. Mencicipi makanan, meskipun ia adalah koki pembuatnya. Jika
memang harus mencicipnya, ia wajib memuntahkannya kembali agar
tidak ada sedikitpun darinya yang sampai ke tenggorokannya.

2.4.3 Hal-Hal Yang Disunnahkan Dalam Puasa

1. Menyegerakan berbuka puasa ketika matahari sudah jelas-jelas


terbenam dan menjelang shalat, merujuk pada sabda Nabi saw:
“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan
diri berbuka puasa.”34 Anas ra juga menuturkan: “Nabi saw tidak
pernah shalat maghrib sebelum berbuka puasa, meskipun hanya
dengan seteguk air.”35

33
Al-Mughni III/108.
34
Mutaffaq ‘alaih.
35
HR. At-Tirmidzi.

29
2. Berbuka dengan kurma matang, lalu kurma kering, kemudian manisan,
baru setelah itu air. Dari ketiganya, yang paling afdhal adalah yang
pertama. Disunnahkan juga berbuak dengan jumlah yang ganjil. Tiga,
lima atau tujuh, merujuk pada penuturan Anas bin Malik: “Rasulullah
saw selalu berbuka puasa dengan menu kurma-kurma matang (ruthab)
sebelum shalat. Jika tidak ada maka dengan beberapa buah kurma
kering (tamar). Dan jika tidak ada juga, beliau berbuka dengan
beberapa teguk air.”36
3. Berdoa ketika hendak berbuka puasa dengan emngucapkan doa
berikut: “Ya Allah, bagi-Mu aku berpuasa dan atas rezeki-Mu aku
berbuka, maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”37. Ibnu Umar memiliki doa yang
lain, Ia berucap: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu, demi rahmat-Mu
yang mencukup segala sesuatu, ampunilah dosa-dosaku.”38
4. Mengakhirkan makan sahur. Waktu saur dimuali dari sepertiga malam
terakhir dan semakin mundur semakin baik (afdhal), selama tidak
ragu-ragu akan tibanya fajar. Nabi saw bersabda, “Sesungguhya
sebaik-baik hal yang membedakan antara puasa kita dan puasa
ahlukitab adalah makan sahur.” Beliau juga bersabda, “Makan
sahurlah, sesungguhnya ada keberkahan di balik makan sahur.”39
5. Meninggalkan pembicaraan yang buruk dan tercela. Jika sampai
mengakibatkan dosa, maka hukumnya sudah haram dan wajjib
ditinggalkan, misalnya ghibah (menggunjing), namimah (mengadu
domba), bohong, dan hal-hal yang diharamkan lainnya. Hal ini
didasarkan pada hadis Nabi saw: “Barangsiapa yang tidak
meninggalakn perkataan dusta dan mengamalkannya (selama puasa),
maka Allah tidak membutuhkan (jerih payahnya berpuasa)
meninggalkan makanan dan minuman.”40
36
HR. Ad-Duruquthni.
37
HR. Abu Dawud.
38
HR. Ibnu Majah dengan status shahih
39
Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan An-Nasa’i
40
HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud

30
2.5 Hikmah dalam Puasa

Hikmah puasa terangkum dalam penutup ayat-ayat pertama tentang


puasa, yaitu firman Allah SWT “Agar kamu bertakwa”. Di sini, Allah
‘Azza wa Jalla tidak berfirman: Agar kamu sekalian menderita, atau sehat,
atau bersahaja (hemat). Akan tetapi Allah SWT berfirman Agar kamu
sekalian bertakwa. Dengan demikian, Allah SWT menjadikan puasa
sebagai ujian ruhani (spiritual) dan moral, dan sebagai media (sarana)
untuk mencapai sifat orang-orang bertakwa (al-muttaqin). Allah SWT
menjadikan pula takwa sebagai tujuan haqiqi dari pengalaman puasa
tersebut.

Imam Al-Ghazali (Hujjatul Islam), telah menyinggung hikmah


puasa ini dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum Ad-Din. Ia berkata: “Tujuan puasa
adalah agar berakhlak dengan akhlaq Allah SWT, dan meneladani perilaku
malaikat dalam hal menahan diri dari hawa nafsu. Sesungguhnya mereka
(malaikat) bersih dari hawa nafsu. Manusia adalah mahluk yang memiliki
kedudukan (derajat) di atas binatang karena dengan cahaya akal pikirannya
ia mampu mengalahkan hawa nafsunya, dan dibawah derajat malaikat
karena manusia diliputi hawa nafsu. Dia diuji dengan melakukan
mujahadah terhadap hawa nafsunya. Jika ia terbuai oleh hawa nafsunya, ia
jatuh ke dalam derajat yang paling rendah, masuk dalam perilaku binatang.
Dan jika ia dapat menundukan (mengekang) hawa nafsunya, ia naik ke
derajat yang paling tinggi dan masuk dalam tingkatan malaikat.”41

Penyiapan puasa sebagai laboratorium pencetak ketakwaan tampak


dalam berbagai aspek yang agung sebagai berikut:

1. Puasa membiasakan manusia agar takut terhadap Allah SWT baik


secara rahasia maupun terang-terangan, dalam kesendirian maupun
dalam keramaian, sebab orang yang berpuasa tidak ada yang
mengawasi kecuali Allah SWT.

41
Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, Jilid I, hlm. 202.

31
2. Puasa menundukkan keganasan hawa nafsu dan menjadikkan diri
mampu menguasainya sesuai syariat.
3. Puasa membiasakan empati dan kasih sayang terhadap kaum fakir
miskin dan segera memberikan bantuan.
4. Puasa menghilangkan zat-zat yang merugikan yang mengendap dalam
tubuh, terutama dalam tubuh orang-orang yang terbiasa hidup mewah
karena mereka kurang aktivitas, meringankan bagian-bagian lembab di
dalam tubuh yang membahayakan, membersihkan lambung dari racun,
mengeluarkan lemak yang sangat berbahaya bagi hati. Nabi saw
bersabda, “Puasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.”42
5. Sebagian ilmuan Eropa mengatakan, puasa satu bulan penuh dalam
setahun dapat menghilangkan sisa-sisa zat makanan yang tidak
berguna yang menggumpal dalam tubuh selama satu tahun. Orang
yang berpuasa akan merasa senang dan tentram, tidak merasa
kegalauan dan kegelisahan dari gangguan berbagai penyakit yang
berbahaya.
6. Puasa melatih kesabaran, dan kesabaran merupakan jalan menuju
takwa.

BAB 3

PENUTUP
SIMPULAN DAN SARAN
42
HR. Ibnu As-Sunni dan Abu Nu’aim, dan dinyatakan hasan oleh As-Suyuthi. Lihat
Minhaj Al-Muslim, hlm. 303.

32
3.1 Simpulan
 al-shaum (puasa) menurut bahasa adalah al-imsak (menahan
diri). Sedangkan menurut istilah adalah “menahan diri dari
makan dan minum dan hal yang membatalkan puasa mulai
terbitnya fajar sampai terbenamnyamatahari.”
 Hukum puasa dan macam-macam puasa :
a. Puasa Wajib : Puasa Ramadhan, Puasa Nazar,dan Puasa
Kifarah.
b. Puasa Sunnah :Puasa Asyura’, Puasa Ayyam Al-Baidl,
Puasa hari Arafah, Puasa hari Senin dan Kamis, dsb.
c. Puasa Haram :Puasa padahari Raya Idul Fitri dan Idul
Adha, Puasa pada hari Tasyriq, Puasa Sunnah yang
dilakukan seorang istri tanpa izin suami.
d. Puasa Makruh :Puasa hari Jum’at saja,Puasa hari Sabtu
saja, Puasa Sunnah padahal diapunyahutang Puasa Wajib
(Ramadhan),dsb.
 Hal – hal yang membatalkan puasa :
 Muntah dengan sengaja
 Berhubungan suami- isteri
 Keluar air mani secara langsung ( dalam keadaan jaga) dengan
syahwat dan di sengaja
 Gila, walau hanya sebentar
 Mabuk atau pingsan, jika di sengaja dan tidak disengaja
namun menghabiskan seluruh siang
 Datang haid
 Murtad
 Nifas
 Melahirkan
 Hikmah Puasa
 Melatih ketakwaan

33
 Menundukan hawa nafsu
 Membiasakan empati dan kasih sayang terhadap fakir
miskin
 Menghilangkan zat-zat merugikan dalam tubuh
 Melatih kesabaran

3.2 Saran

Sebelumnya penulis memohon maaf, apabila masih banyak


kesalahan dalam panyajian makalah ini. Maklum kami selaku penulis
masih dalam proses pembelajaran. Setelah mengetahui sedikit banyaknya
mengenai ruang lingkup Puasa , marilah kita menerapkannya kepada diri
kita dan alangkah lebih baik bila diamalkan ke ruang lingkup yang lebih
luas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam,Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah, 2013.

34
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa. Semarang:
Pustaka Rizki Putra,1998

35
iv

Anda mungkin juga menyukai