Anda di halaman 1dari 13

PUASA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih


Dosen Pengampu: Dr. Mohamad Jaenudin, M.Ag., M. Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 9

Ahdiat Junjunan Saepudin 1217060001


Aulia Nurfauziah 1217060006
Kirana Almi Fauzia Eka Putri 1197060040
Muhamad Taufiq Rahman Somantri 1197060048

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran sehingga penulis
mampu menyelesaikan pembuatan makalah untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah Fiqih. Penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk
makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat, terimakasih.

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................1
DAFTAR ISI.................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................4
1.2 Tujuan Makalah..................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Puasa................................................................................ 5
2.2 Rukun Puasa.......................................................................................6
2.3 Macam-macam Puasa.........................................................................6
2.4 Syarat-syarat Puasa.............................................................................8
2.5 Hal yang Mmebatalkan Puasa............................................................9
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................12

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dan dilaksanakan
oleh manusia sebelum Islam (Ash-Shiddieqy, 2009). Puasa adalah suatu rukun
dari rukun-rukun Islam. Puasa di fardhukan atas umat islam yang mukallaf selama
tidak ada halangan yang menghalangi pelaksanaannya (Ash-Shiddieqy, 1954).
Puasa merupakan suatu kegiatan fardhu yang tidak boleh di tinggalkan dan suatu
syi’ar Agama Allah yang besar. Orang yang berpuasa, sebagaimana orang yang
mendirikan shalat, zakat, dan haji, pada hakikatnya sedang memperjuangkan
keselamatan alam semesta dan kehidupan seluruh umat manusia (Al-jazairi.
2009).
Ibadah puasa merupakan ibadah yang diperintahkan Allah swt. kepada
seluruh agama. Tidak mengherankan apabila puasa telah dipraktikkan oleh
manusia sepanjang sejarah peradabannya, terlepas dari perbedaan tata cara
pelaksanaannya. Di samping itu, puasa juga telah dilakukan manusia dengan
berbagai motivasi yang berbeda. Ada orang yang berpuasa untuk memperoleh
kesehatan, mengurangi berat badan, mendapatkan ilmu tertentu bahkan lebih jauh
dari itu ada yang berpuasa untuk mencapai kedalaman spiritual dengan
mensucikan jiwa dari kecenderungan hawa nafsu (Tarigan, 2008).
Puasa disyariatkan Allah swt. pada dasarnya sebagai media untuk melatih diri
agar manusia memiliki kemampuan mengendalikan diri (mengendalikan hawa
nafsu). Melalui ibadah puasa manusia dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu
tersebut. Dengan puasa, manusia akan menyadari hakikat dirinya dan tanpa
disadari akan mengembalikannya menjadi manusia yang autentik (genuine).
Manusia yang autentik adalah manusia yang menjunjung fitrahnya untuk selalu
berpegang pada kebenaran serta memperjuangkan kebenaran demi kemanusiaan
(Ibid).

1.2 Rumusan Masalah

3
1. Apa yang dimaksud dengan puasa?
2. Apa saja rukun puasa?
3. Apa saja macam-macam puasa?
4. Apa saja syarat-syarat puasa?
5. Apa hal yang membatalkan puasa?

1.3 Tujuan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian dari puasa.
2. Untuk mengetahui rukun dari puasa.
3. Untuk mengetahui macam-macam puasa.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat puasa.
5. Untuk mengetahui apa yang membatalkan puasa?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Puasa


Puasa artinya menahan dan mencegah diri dari hal-hal yang mubah, yaitu
berupa makan dan berhubungan dengan suami isteri, dalam rangka mendekatkan
diri pada Allah. Dalam hukum Islam puasa berarti menahan, berpantang, atau
mengendalikan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan
diri dari terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib).
Jadi, pengertian puasa menuju sehat secara syar’i adalah menahan dan mencegah
kemauan dari makan, minum. Bersetubuh dengan isteri, dan yang semisalnya
sehari penuh, dari terbit fajar siddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari
(waktu maghrib), dengan tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah (Qardawi,
2000).
Ada juga yang mendefinisikan puasa dari segi syara’, puasa berarti
menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh
orang yang bersangkutan pada siang hari, mulai terbit fajar sampai terbenam
matahari, dengan kata lain, Puasa adalah menahan diri dari perbuatan yang berupa
dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan) serta menahan diri
dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu
dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar kedua
(fajar shadiq) sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak
melakukannya, yaitu orang muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak nifas.
Puasa harus dilakukan dengan niat: yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan
perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu, tujuan niat adalah membedakan antara
perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan (Al-Zuhaili, 1998).
Pengertian puasa banyak yang mendefinisikan, sedangkan menurut istilah
banyak para pakar hukum Islam yang memberikan definisi antara lain menurut

5
Yusuf Qardawi bahwa puasa adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan,
minum, bersetubuh dengan isteri dan semisal sehari penuh, dari terbitnya fajar
siddiq hingga terbenamnya matahari, dengan niat tunduk dan mendekatkan diri
kepada Allah (Qadarwi, 2000).
2.2 Rukun Puasa
Rukun puasa adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh orang-
orang yang sedang melakukan puasa, apabila rukun tersebut tidak ditunaikan
maka puasanya tidak sah (Faiq, 2010). Diantaranya rukun-rukun puasa adalah
sebagai berikut :
1. Niat
2. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga
terbenamnya matahari (El-hamdy, 2010).

2.3 Macam-macam Puasa


a. Puasa Wajib. (fardhu). Puasa wajib di sini bisa juga disebut dengan puasa
fardhu, yang terdiri dari Puasa Ramadhan, puasa qadha’(mengganti puasa
Ramadhan yang batal pada hari-hari yang lain), puasa kifarat (puasa yang
diwajibkan karena melakukan pelanggaran terhadap ketentuan agama), dan
puasa untuk melaksanakan nazar (puasa yang dijanjikan oleh seseorang atas
dirinya), semuanya hukumnya wajib. Namun biasanya yang dikategorikan
puasa fardhu di sini adalah Puasa Ramadhan (Ash-Shiddqy, 2000).
b. Puasa Kafarat. Puasa yang wajib ditunaikan karena berbuka dengan sengaja
dalam bulan Ramadhan (dalam hal ini khilaf), bukan karena sesuatu ‘udzur
yang dibenarkan syara’, karena bersetubuh dengan sengaja dalam bulan
ramadhan pada siang hari, karena membunuh dengan tidak sengaja, karena
mengerjakan sesuatu yang diharamkan dalam Haji, serta tidak sanggup
menyembelih binatang Hadyu, karena merusak sumpah dan berdziar terhadap
isteri (Ibid),
c. Puasa yang diharamkan. Puasa yang dilakukan diwaktu hari raya Idul Fitri
maupun Idul Adha, pada hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Zulhijjah ), isteri
melakukan puasa sunnah tidak mendapatkan izin dari suami. Untuk masalah

6
puasa hari raya semua para pakar hukum Islam sepakat mengharamkan,
kecuali Imam Hanafi, alasannya berpuasa pada dua hari raya tersebut adalah
makruh yang diharamkan itu adalah hampir mendekati kepada haram,
sementara untuk masalah puasa di hari Tasyriq, para ulama’ berbeda
pendapat, Imam Syafi’i puasa hari Tasyriq hukumnya tidak dihalalkan, baik
pada waktu melaksanakan ibadah haji atau bukan, Imam Hambali: tidak
diharamkan berpuasa pada hari tasryiq, selain melaksanakan haji, tetapi tidak
diharamkan kalau pada waktu melaksamnakan haji, Imam Hanafi; berpuasa
pada hari Tasyriq adalah makruh hanya diharamkan pada hari 11 dan 12
Zulhijjah pada waktu selain haji, tapi tidak diharamkan kalau dalam
melaksanakan ibadah haji, sementara puasa sunnahnya isteri ulama’ sepakat
bahwa isteri tidak boleh berpuasa sunnah tanpa mendapatkan izin suaminya,
kalau puasanya mengganggu hak-hak suaminya selain menurut Imam Hanafi,
beliau mengatakan puasa isteri tanpa izin suaminya adalah makruh saja bukan
haram.
d. Puasa makruh, Ada beberapa pendapat tentang puasa ini, para ulama’ sepakat
tentang hari-hari makruh dalam melakukan puasa, yakni: Hanya hari jum’at
saja, puasa hari sabtu saja, sehari atau dua hari sebelum puasa Ramadhan
serta puasa separuh terakhir pada bulan Sya’ban yang tidak ada hubungannya
dengan harihari sebelumnya dan tidak ada sebab yang mengharuskan atau
mewajibkan untuk berpuasa.
e. Puasa yang disunnahkan. Puasa yang dilaksanakan di luar bulan Ramadhan
sebagai tambahan yang dianjurkan. Serta dapat melengkapi yang fardlu
apabila tidak ada kekurangan atau cacat padanya. Puasa sunnah dapat
diistilahkan dengan puasa tathawu’ antara lain: puasa enam hari di bulan
syawal, puasa tanggal 9 Dzulhijjah, puasa ‘Assyura dan Tasyu’a yaitu hari
yang kesepuluh dan kesembilan di bulan Muharram, puasa tiga hari di tiap-
tiap bulan (tanggal 13, 14, 15, bulan qamariah), puasa senin kamis, puasa di
bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).

2.4 Syarat Puasa

7
Adapun syarat seseorang diwajibkan untuk melaksanakan puasa menurut
Hidayatullah (2019) adalah:
a. Islam. Orang kafir tidak berkewajiban berpuasa, karena puasa adalah suatu
ibadah sedangkan orang kafir bukanlah ahli ibadah, karenanya tidak
berkewajiban berpuasa. Kalau orang kafir berpuasa maka puasanya tidak sah
(Labib, 2007).
b. Berakal. Orang gila tidak wajib berpuasa
c. Baligh. Orang yang sudah berusia 15 tahun (qamariah) atau telah ada tanda-
tanda baligh yang lain, seperti keluar mani bagi laki-laki, atau keluar darah
haid bagi perempuan yang berumur sekurang-kurangnya sembilan tahun
(qamariah). Maka anak-anak tidak wajib berpuasa.
d. Mampu berpuasa. Orang yang lemah karena terlalu tua atau sakit yang dapat
membawa madarat pada dirinya dengan sebab berpuasa, maka tidak
diwajibkan berpuasa baginya.
Sedangkan puasa akan dianggap sah apabila ketentuan-ketentuan di bawah ini
terpenuhi, yaitu:
a. Islam
b. Mumayyiz. Mumayyiz adalah orang yang sudah tahu membedakan antara
suci dan kotornya sesuatu; mengetahui cara,syarat dan sahnya suatu ibadah.
Termasuk juga dalam hal ini tahu menilai sesuatu itu bernilai atau tidak.
c. Suci dari haid dan nifas. Perempuan yang sedang haid ataun nifas tidak sah
berpuasa. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk mengganti jumlah puasa yang
ditinggalkannya pada bulan yang lain.
d. Dalam waktu yang dibolehkan berpuasa (Ayub, 2004).

2.5 Hal yang Membatalkan Puasa


Berikut adalah beberapa hal yang dapat membatalkan puasa, yaitu:
a. Muntah dengan sengaja. Muntah dengan sengaja itu dapat membatalkan
puasa, walaupun tidak ada yang kembali ke dalam perut. Hal ini didasarkan

8
pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban
dari Abu Hurairah, ia berkata bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya: “Barang siapa yang tidak sengaja muntah maka tidak diwajibkan
mengqadha puasanya, dan barang siapa muntah dengan sengaja maka harus
mengqadha puasanya” (Labib, 2007).
b. Mengeluarkan sperma bukan melalui persetubuhan. Mengeluarkan sperma
bukan melalui persetbuhan dalam keadaan terjaga karena bersentuhan atau
sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar sperma karena mimpi tidak
membatalkan puasa karena keluarnya tanpa disengaja (al-Jarullah, 1997).
c. Ragu. Seseorang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena
mengira diperbolehkan, maka batal puasanya, menurut pendapat imam yang
empat dan sebagian Ulama Fiqih, orang itu wajib meng-qadha puasanya
keadaan itu terjadi karena hal-hal berikut:

- Batal puasa orang yang sahur karena ia mengira hari masih malam, padahal
fajar sudah terbit.

- Batal puasa orang yang berbuka karena ia mengira matahari sudah terbenam,
padahal belum. Bagi orang yang ragu apakah matahari sudah terbit atau
belum, ia boleh sahur sehingga yakin bahwa matahari sudah terbit. Dan orang
yang ragu apakah matahari sudah terbenam apa belum, tidak boleh berbuka
sampai ia yakin bahwa matahari sudah terbenam.

- Meneruskan makan setelah makan karena lupa. Batal puasa orang yang
makan atau minum dalam keadaan terlupa, tetapi orang tersebut mengira
perbuatan itu membatalkan puasa, kemudian dia meneruskan makan dan
minum dengan sengaja. Ulama mazhab hanafi, Syafi’i dan ahmad
menganggap orang tersebut wajib meng-qadha puasanya.
d. Haid dan Nifas. Batal puasa perempuan yang sedang haid atau nifas dan ia di
wajibkan meng-qadha puasa.

9
e. Murtad. Menurut kesepakatan para pakar hukum Islam, batal puasa siapa saja
yang murtad atau keluar agama Islam dia wajib meng-qadha puasanya
apabila kembali masuk Islam.
f. Berubah niat. Niat puasa hendaklah dilakukan secara konsisten, sejak terbit
fajar hingga terbenamnya matahari seandainya seseorang itu berniat
membatalkan puasanya, kemudian memantapkan niatnya itu, maka batal
puasanya dan wajib qadha.
g. Bersetubuh dengan sengaja. Barang siapa yang melakukan persetubuhan pada
siang hari pada bulan Ramadhan sedangkan dia berpuasa, maka wajib atasnya
qadha dan membayar kafarat

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Puasa merupakan salah satu ibadah yang termasuk kedalam salah satu
rukun Islam, ibadah puasa memiliki beberapa syarat diantaranya adalah harus
Islam, baligh, dan berakal. Macam-macam puasa terdiri dari puasa wajib pada
bulan Ramadan dan puasa sunnah, adapun hal-hal yang membatalkan puasa antara
lain muntah dengan disengaja, makan dan minum dengan sengaja, haid, murtad,
berubah niat, dan melakukan hubungan suami istri di siang hari dengan sengaja.

11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jarulah., A. (1997). Risalah Ramadhan. Jakarta : Yayasan al-Sofwa.
Al-Jazairi, A.B.J. (2009). Ensiklopedi Muslim (Minhajul Muslim), Terjemahan
oleh Fadhli Bahri, dari judul asli Minhaajul Muslim. Bekasi: Darul Falah.
Faiq.,M. (2010). Keajaiban Puasa. Semarang : Plasma Publishing.
Hasbi Ash Shiddieqy., T.,M., (1954). Pedoman Puasa. Jakarta: bulan Bintang.
Hasbi Ash-Shiddieqy.. T., M., (2009). Pedoman Puasa. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Hasbi Ash-Shiddieqy.. T., M.,. (2000). Pedoman Puasa. Semarang: Pustaka Rizki
Pustaka.
Hidayatullah. (2019). Fiqih Cetakan Pertama. Universitas Islam Kalimantan
Selatan: Universitas Muhammad Arsyad Al-Banjari. Banjarmasin.
Labib MZ. (2007). Problematika Puasa, Zakat, Haji dan Umrah. Surabaya: Putra
Jaya
Muhammad.,A.,H. (2004). Puasa dan I’tikaf Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Qardawi,. Y,. (2000). Fiqih Puasa. Surakarta: Era Interrmedia.
Tarigan.,A.,A (2008). 40 Pesan Ramadhan Agar Puasa Lebih Bermakna. Jakarta:
Siraja Prenada Media Group.
Ubaidurrahim,. E,. (2010). Rahasia Kesyahadatan Puasa Senin Kamis. Jakarta :
Wahyu Media
Wahbah,. A,.Z. (1998). Puasa dan I’tikaf, Kajian Berbagai Mazhab. Bandung:
Remaja Rosda Karya.

12

Anda mungkin juga menyukai