Anda di halaman 1dari 23

PUASA SUNNAT

Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Fiqih Ibadah

Dosen Pengampu :
Mukhamad Sukur,M.Pd.I.

Disusun oleh :

Nova Auliyatul Faizah (1860101223254)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM UIN

SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
sang penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “PUASA SUNNAT” ini
dengan lancar. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya ke jalan yang diridhai.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas semester ganjil mata kuliah Fiqh Ibadah.
Pada kesempatan ini, penyusun berterimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung yang telah memberi ijin penulis untuk menimba ilmu di kampus
tercinta ini.
2. Dr. H. Nur Efendi, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu hukum UIN
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang mendukung dan memberi ijin atas studi
yang penulis jalani di fakultas ini.
3. Abd Khair wattimena. H.H, selaku Koordinator Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang selalu memberi bimbingan dan
dukungan selama penulis menjalani studi di Jurusan Hukum Ekonomi Syariah.
4. Mukhamad Sukur,M.Pd.I.selaku dosen Fiqih Ibadah yang telah memberikan tugas
ini kepada kami..
5. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan dalam penulisan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh sebab itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun
guna menjadi acuan untuk masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah wawasan bagi pembaca pada umumnya.

Tulungagung, 5 November 2022

Nova Auliyatul Faizah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................i

BAB I...........................................................................................................................................ii

PENDAHULUAN........................................................................................................................ii

A. Latar Belakang .......................................................................................................................ii

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................ii

C. Tujuan.....................................................................................................................................ii

BAB II..........................................................................................................................................1

PEMBAHASAN..........................................................................................................................1

A. Pengertian Puasa ....................................................................................................................1

B. Macam - Macam Puasa Sunnah..............................................................................................2

C. Landasan Puasa Sunah............................................................................................................5

D. Hikmah Puasa Sunnah............................................................................................................15

BAB III ........................................................................................................................................17

PENUTUP....................................................................................................................................17

A. Kesimpulan.............................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................18

i
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Puasa dalam bahasa Arab di istilahkan dengan “shaum” atau “ shiyam”.


Secaraterminology “shaum” atau “shiyam” itu berarti “al-imsak” yaitu menahan dari
apa saja.Ibnu Mandzur memberikan penjabaran untuk maksud “menahan diri” yaitu
meninggalkanmakan, minum, hubungan suami istri, dan berbicara.Sedangkan puasa
secara Syar’i adalah “ menahan diri dari makan, minum, hubungansuami istri dan apa
saja yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampaiterbenam matahari,
dengan mengharapkanridha Allah SWT. Dalam ajaran Islam, puasa mempunyai
kedudukan yang tinggi, karena disamping sebagai ibadah wajib yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga mengandung banyak hikmah yang berkaitan
dengan rohani dan jasmani. Hanyalah Allah yang mampu menghitung secara pasti
berapa banyak fadlilah dan pahala puasa sunnah; dari sini, Allah berkenan
menyandarkan ibadah puasa untuk diri-Nya sendiri, bukan yang lain; Allah berfirman
(dalam hadits qudsi) Semua perbuatan manusia itu untuknya sendiri, kecualipuasa,
karena sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalascukup
ibadah puasanya itu.Dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim: barangsiapaberpuasa
satu hari di jalan Allah, maka Allah akan memisahkan dirinya dari neraka sejauh 70
kharif (70 tahun jarak perjalanan).
Dalam syariat islam puasa di golongkan menjadi dua yaitu puasa wajib dan
puasasunah. Puasa wajib merupakan rukun islam, yaitu puasa ramadhan. Selain puasa
wajibada juga puasa sunnah yang diperintah Rasullah seperti puasa 6 hari pada bulan
syawal.Puasa pada hari senin dan kamis, puasa arafah, puasa Asyura dan masih banyak
yanglainnya.

ii
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Puasa sunnah?
2. Apa saja macam-macam Puasa sunnah?
3. Bagaimana Landasan Puasa sunnah?
4. Apa hikmah mengerjakan Puasa sunnah?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari Puasa sunnah.
2. Mengetahui macam-macam Puasa sunnah.
3. Mengetahui landasan Puasa sunnah.
4. Mengetahui hikmah mengerjakan Puasa sunnah

iii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa
Secara etimologis (bahasa), puasa dalam Bahasa Arab artinya menahan,
mengekang, diam, berhenti, atau menahan diri dari sesuatu, baik dalam bentuk
perkataan maupun perbuatan. Sedangkan secara terminologi “menahan diri” dari
makan, minum, hubungan suami istri, dan berbicara yang kotor. Sedangkan
puasa secara Syar’i adalah “ menahan diri dari makan, minum, hubungan suami
istri dan apa saja yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampai
terbenamnya matahari, dengan mengharapkan ridha Allah SWT. Puasa dibagi
menjadi 2, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Pada makalah kali ini kami
membahas Puasa sunnah yang artinya menahan diri dari makan minum serta hal-
hal yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, bagi
yang melaksanakannya mendapat pahala dan bagi yang meninggalkannya tidak
mendapat dosa. Puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan
amalan wajib. Selainitu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat
seseorang menjadi wali Allah yang terdepan(as saabiqun al muqorrobun). Lewat
amalan sunnah inilah seseorang akanmudah mendapatkan cinta Allah.

Abror, Khoirul. 2019. “Fiqh Ibadah”. Bandar lampung (Jakarta:Gay Media Pratama)
Hal. 43

1
B. Macam- Macam Puasa
1. Puasa enam hari bulan Syawal.
Menurut para ulama dari madzhab Hanafi, Imam Asy-Syafi'i, Imam Ahmad, dan
sebagian ulama dari madzhab Maliki, puasa ini dianjurkan. Puasa ini boleh
dilakukan secara langsung sesudah puasa Ramadhan dan boleh pada hari-hari
berikutnya di bulan Syawwal, baik dengan berturut-turut atau tidak.
"Barangsiapa yang setelah berpuasa Ramadhan kemudian menyusulinya dengan
berpuasa enam hari pada bulan Syawaal, maka seolah-olah ia berpuasa selama
setahun." (HR. Ahmad, Muslim, dan At-Tirmidzi. Katanya, hadits ini hasan dan
shahih. Di dalam sanadnya terdapat nama Sa'ad bin Sa'id yang kualitas
hapalannya disangsikan oleh sebagian ulama ahli hadits)

2. Berpuasa pada bulan-bulan haram.


Bulan-bulan haram ialah bulan Dzulqa'dah, bulan Dzulhijjah, bulan Muharram,
dan bulan Rajab. Disebut bulan haram karena bulan-bulan tadi memiliki
kehormatan dan kesucian yang tidak ada pada bulan-bulan lainnya. Selain itu
pada zaman jahiliyah dan juga pada zaman permulaan Islam, peperangan
dianggap sebagai sesuatu yang suci dan terhormat. Dasarnya ialah firman Allah
Ta'ala, khat"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi,
diantaranya empat bulan haram." (At-Taubah: 36)

Adapun dasar puasa pada bulan-bulan haram ialah hadits yang menceritakan tentang
seorang lelaki dan suku Al-Bahili yang memohon tambahan pesan tentang puasa kepada
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau lalu bersabda kepadanya, "Berpuasalah
pada bulan-bulan haram lalu tinggalkan, berpuasalah pada bulan-bulan haram lalu
tinggalkan, dan berpuasalah pada bulan-bulan haram lalu tinggalkan." (HR. Ahmad, Al-
Baihaqi, dan Abu Daud dengan sanad yang sangat bagus)

Ayyub,Syaikh Hasan 2003 .”fikih ibadah”. Al-kautsar (Peran kelompok muslim)


Jakarta Hal.632

2
3. Puasa pada hari Arafah
Hari Arafah ialah tanggal sembilan bulan Dzulhijjah. Puasa pada hari ini sangat
ditekankan bagi orang-orang yang tidak sedang melakukan wuquf di padang
Arafah, berdasarkan hadits,
"Puasa pada hari Arafah itu dapat menghapus dosa dua tahun, baik dosa yang
telah lalu maupun yang akan datang, dan puasa Asyura itu dapat menghapus
dosa yang telah lalu selama setahun."
(HR. Ahmad, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Al-Baihaqi dari beberapa jalur sanad)
Kata At-Tirmidzi, "Menurut para ulama, puasa hari Arafah itu di Arafah.
Maksudnya: Yang melakukan puasa hari Arafah hanyalah para jamaah haji yang
sedang menjalankan wuquf di Arafah. Jadi menurut mereka, makruh hukumnya
puasa pada hari Arafah."Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Barangsiapa berpuasa pada hari Arafah, niscaya diampuni dosanya selama
enam puluh hari berturut-turut." (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, dan oleh
Abu Ya'la dengan sanad yang tokoh-tokohnya adalah para perawi hadits shahih)

4. Puasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah


Bagi orang yang tidak sedang menunaikan ibadah haji dianjurkan berpuasa
selama sembilan hari pada bulan Dzulhijjah, yaitu mulai permulaan bulan
Dzulhijjah.

5. Puasa sehari dan berbuka sehari


Inilah puasa yang paling utama dari yang paling disukai oleh Allah Ta'ala bagi
siapa saja yang sanggup melakukannya. Dan inilah yang disebut dengan puasa
Daud. Dasarnya adalah hadits, "Sebaik-baiknya puasa ialah puasa Daud Alaihis
Salam Daud biasa berpuasa sehari dan berbuka sehari." (HR. Al-Bukhari dan
An-Nasa'i. Lafazh hadits ini oleh An-Nasa'i)

6. Puasa Rajab
Tidak ada riwayat shahih yang secara khusus menganjurkan untuk berpuasa
pada bulan Rajab. Yang ada hanyalah riwayat yang mendorong supaya kaum
muslimin melakukan amal saleh pada bulan-bulan haram.

3
7. Puasa Sya'ban
Dianjukan berpuasa pada hari-hari di bulan Sya'ban secara penuh, atau
setidaknya sebanyak mungkin, berdasarkan hadits Ummu Salamah yang
menyatakan, "Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pemah
berpuasa sebulan penuh dari satu tahun, kecuali pada bulan Sya'ban, beliau
sambung dengan puasa Ramadhan." (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i) Aisyah
Radhiyallahu Anha mengatakan, "Tidak ada bulan selama setahun di mana
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Aallam lebih sering berpuasa melebihi bulan
Sya'ban. Beliau biasa berpuasa pada bulan Sya'ban secara penuh." (HR. Ahmad,
Al-Bukhari, dan Muslim)

8. Puasa pertengahan Sya'ban


Berdasarkan hadits dari Aisyah RA berkata, “Aku tidak pernah melihat
Rasulullah SAW melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan
Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa
sunah melebihi (puasa sunah) di bulan Sya’ban.”  (HR. Bukhari no. 1969
dan Muslim no. 1156).

Ayyub,Syaikh Hasan 2003 .”fikih ibadah”. Al-kautsar (Peran kelompok muslim)


Jakarta Hal.633

4
C. LANDASAN PUASA SUNNAH
1) Puasa senin kamis
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

‫ َكانَ يَت ََحرَّى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬


َ ‫ِإ َّن َرس‬

ِ ‫اال ْثنَ ْي ِن َو ْال َخ ِم‬


.‫يس‬ ِ ‫صيَا َم‬
ِ
Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan
berpuasa pada hari Senin dan Kamis.” (HR. An Nasai no. 2362 dan Ibnu
Majah no. 1739. All Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

2) Puasa bulan Syawal

Dalil yang dibawakan dalam hal ini adalah hadits berikut. Dari Abu Ayyub
Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: 

‫كصيَ ِام ال َّد ْه ِر َم ْن‬


ِ ٍ ‫صا َم َر َمضانَ ثُ َّم َأتَبَ َعهُ ِستًّا ِم ْن َش َّو‬
َ‫ال كان‬ َ

“Siapa yang melakukan puasa Ramadhan lantas ia ikutkan dengan puasa


enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti berpuasa setahun penuh.” (HR
Muslim, no 1164).

3) Puasa Daud

‫ َوِإ ْفطَا ُر يَوْ ٍم‬، ‫صيَا ُم يَوْ ٍم‬ ْ ‫ َش‬، ‫صوْ ِم دَا ُو َد‬
ِ ، ‫ط َر ال َّد ْه ِر‬ َ ْ‫صوْ َم فَو‬
َ ‫ق‬ َ َ‫ال‬

Artinya: "... Puasalah sehari dan berbukalah sehari, karena yang demikian itu
adalah seutama-utamanya puasa. Itulah puasa saudaraku Daud AS,"(HR Bukhari
dan Muslim).

Winarno, 2013. “Hidup Sehat Dengan Puasa”. Yogyakarta : Graha Ilmu Hal. 76

5
4) Puasa Arafah ( 9 Dzulhijjah) dan Asyura (10 Muharram)

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10
Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud no.
2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

5) Puasa Tasua (9 Muharram)

“Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW berpuasa Asyura (10 Muharram).


Para sahabat memberi tahu, ‘Ya Rasul, itu adalah hari yang diagungkan
Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Kalau ada kesempatan
pada tahun depan, insya Allah kita akan berpuasa Tasua (9 Muharram).’
Ibnu Abbas berkata, ‘Belum datang tahun depan, tetapi Rasulullah sudah
terlebih dulu wafat,’” (HR Muslim).

6) Puasa Yaumul Bidh

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

‫ ِّل‬ƒƒƒ‫ ِة َأي ٍَّام ِم ْن ُك‬ƒƒƒَ‫وْ ِم ثَالَث‬ƒƒƒ‫ص‬


َ َ‫وت‬ƒƒƒ‫ث الَ َأ َد ُعه َُّن َحتَّى َأ ُم‬ َ ْ‫َأو‬
ٍ َ‫انِى خَ لِيلِى بِثَال‬ƒƒƒ‫ص‬
‫ َونَوْ ٍم َعلَى ِو ْت ٍر‬، ‫صالَ ِة الضُّ َحى‬ َ ‫ َو‬، ‫َشه ٍْر‬

“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan


padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: 1-
berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2- mengerjakan shalat Dhuha, 3-
mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no. 1178)

7) Puasa bulan Sya’ban

Berdasarkan hadits dari Aisyah RA berkata, “Aku tidak pernah


melihat Rasulullah SAW melakukan puasa satu bulan penuh kecuali
puasa bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau lebih
banyak berpuasa sunah melebihi (puasa sunah) di bulan
Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).

Winarno,2013. Hidup Sehat Dengan Puasa. Yogyakarta : Graha Ilmu


hal. 77

6
Ada beberapa hal yang dianjurkan bagi orang yang berpuasa untuk
memperhatikannya. Berikut ini adalah keterangannya:

1. Berbuka sebelum shalat maghrib.


Hal ini dimaksudkan untuk menenangkan kesibukan-kesibukan nafsu, dengan
menikmati hidangan makanan, supaya Anda bisa shalat dengan lebih khusyu'
seperti yang diwajibkan. Hukum ini berlaku kapan saja, yaitu ketika makanan yang
segera ingin Anda santap sudah terjadi di depan Anda, sementara dalam waktu
bersamaan waktu shalat sudah tiba. Dalam masalah ini sebaiknya Anda
mendahulukan makan daripada shalat, karena hal itulah yang diperintahkan oleh
Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam lewat sabdanya
"Apabila hidangan sudah disajikan, maka mulailah dengannyasebelum shalat
maghrib, dan janganlah kamu terburu-burumenikmati santapan kalian." (HR. Al-
Bukhari dan Muslim)
Bersumber dari Aisyah Radhiyallahu Anha sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Apabila santap malam sudah diletakkan dan shalat sudah
diiqamati, maka mulailah santap malamnya." (HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan
Muslim)

Hal-hal yang Diperbolehkan bagi Orang yang Berpuasa

Ada beberapa hal yang diperbolehkan bagi orang yang sedang berpuasa. Berikut ini
saya ketengahkan sebagiannya:
1. Memakai celak dan obat tetes mata.
Para ulama berbeda pendapat tentang memakai celak bagi orang yang sedang
berpuasa. Para ulama dari madzhab Hanafi dan Imam Asy-Syafi'i
memperbolehkannya. Menurut mereka, hal itu tidak membatalkan puasa, meskipun
ia mendapati rasanya di kelopak mata. Demikian pula dengan memakai obat tetes
mata, karena mata itu tidak tembus ke perut.
Inilah pendapat Atha', Al-Hasan, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Auza'i, dan Abu Tsaur.
Dan pendapat ini pula yang diriwayatkan dan Anas, Ibnu Umar, dan Thru Abu
Aufa dari golongan sahabat Radhiyallahu Anhum

7
2. Memakai minyak.
Menurut sebagian besar ulama, boleh hukumnya seorang yang sedang berpuasa
memakai minyak di rambut atau di tubuh. Hal itu tidak membatalkan puasanya,
walaupun ia merasakan pengaruhnya di kerongkongan. Para ulama dari madzhab
Maliki setuju pada pendapat ini. Namun menurut mereka, jika pengaruh atau
bekasnya sampai masuk ke kerongkongan hal itu dapat membatalkan puasa,
meskipun lewat pori-pori kulit. Apabila seseorang mengoleskan obat atau minyak
pada hidung atau telinga di malam hari, lalu baru sampai ke kerongkongan pada
siang harinya hal itu tidak membatalkan puasa

3. Suntik.
Syaikh Muhammad Bakhit, mufti Mesir, menjawab pertanyaan tentang hukum
suntik pada kulit atau pada urat yang dimaksudkan untuk keperluan pengobatan,
atau pemberian makanan, atau pembiusan, la mengatakan, "Berdasarkan pendapat
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad, suntik
pada kulit di bagian tubuh yang mana pun itu tidak membatalkan puasa, baik
untuk alasan pengobatan, atau pemberian makanan, atau pembiusan. Alasannya,
karena hal itu tidak sampai menembus ke perut. Kalau pun sampal menembus
paling-paling hanya terbatas pada pori-pori kulit saja.
Sama seperti suntik ialah memasukkan sesuatu lewat dubur atau anus Berdasarkan
kesepakatan para ulama hal itu juga tidak membatalkan puasa, kecuali menurut
pendapat Ibnu Taimiyah yang sangat kontroversial

4. Berendam di air pada musim kemarau.


Untuk menghilangkan rasa panas dan rasa haus, boleh hukumnya seseorang yang
sedang berpuasa menggugurkan air ke kepala dan sekujur tubuhnya, atau dengan
berendam di kolam atau di bak mandi. Menurut sebagian besar ulama, juga boleh
hukumnya berkumur atau beristintsag (menghisap air dengan hidung lalu
dikeluarkan lagi) dengan tujuan seperti tadi, asalkan tidak berlebih-lebihan.
Disebutkan dalam sebuah mwayat hadits shahih bahwa Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam biasa mengguyur kepalanya dengan air, baik karena alasan kepanasan
atau karena alasan kehausan, padahal beliau sedang berpuasa.

8
5. Menyuapi makanan untuk anak kecil dengan mulut.
Apabila karena terpaksa seseorang harus menyuapi anak kecil dengan
menggunakan mulut, hukumnya boleh tetapi harus berhati-hati jangan sampai
makanan itu masuk ke kerongkongannya.

6. Berbekam dan donor darah.


Berbekam ialah mengambil darah dari kepala. Sedangkan donor ialah mengambil
darah dari bagian tubuh yang mana saja. Keduanya boleh dilakukan bagi orang
yang sedang berpuasa, Disebutkan dalam suatu riwayat, sesungguhnya Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam berbekam saat beliau sedang ihram, dan beliau juga
berbekarn saat sedang puasa, Juga ada riwayat yang menyatakan, bahwa
sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan kemurahan bagi
orang yang berpuasa mencium dan berbekam.

7. Disebutkan Pengaruh jinabat dalam puasa.


dalamsebuah riwayat yang shahih, "Sesungguhnya Nabi Shalallahu Alaihi
waSallam pemah pagi-pagi masih dalam keadaan junub. "Contohnya,
sepertiseseorang yang junub pada malam hari, kemudian iaterlambat mandihingga
pagi hari. Ini sama sekali tidak mempengaruhi keabsahan puasa

8. Menelan ludah dan lain sebagainya bagi orang yang puasa.


Boleh hukumnya bagi orang yang sedang berpuasa menelan ludahnya sendiri,
Tetapi jika seseorang sengaja mengumpulkan ludah di mulut lalu ditelannya,
hukumnya makruh, meskipun berdasarkan kesepakatan para ulama hal itu tidak
sampai membatalkan puasanya. Kecuali kalau yang ditelannya adalah ludah orang
lain, maka hal itu bisa membatalkan puasanya. Dan berdasarkan kesepakatan para
ulama, ia wajib membayar puasanya. Bahkan menurut sebagian ulama ia juga
wajib membayar kafarat

Ayyub,Syaikh Hasan 2003 .”fikih ibadah” Al-kautsar (Peran kelompok muslim)


Jakarta Hal. 641

9
9. Seseorang sedang berkumur atau beristintsa lalu ada air yang masuk ke
tenggorokan tanpa sengaja.
hukumnya tidak apa-apa. Demikian pendapat para ulama dari madzhab Hanbali,
Al Auza'i, Ishak, dan Imam Asy-Syafi'i dalam salah satu versi pendapatnya.

10. Mencicipi makanan, dan memakan makanan yang ada di celah-celah gigi.
boleh hukumnya seorang wanita mencicipi masakan, dan juga boleh hukumnya
seseorang mencicipi makanan yang hendak dibelinya jika hal itu memang
dibutuhkan. Tetapi jika tidak dibutuhkan, maka mencicipi hukumnya makruh.
Dan juga tidak boleh menelan makanan yang dicicipi. Jika hal itu dilakukan bisa
membatalkan puasa

11. Hukum mencium, bersentuhan, dan memikirkan masalah seksual bagi orang
yang sedang berpuasa.
Orang yang berpuasa itu harus dapat mengendalikan nafsunya ketika mencium
istrinya atau menyentuh kulitnya. Pada dasarnya, mencium dan menyentuh kulit
itu hukumnya tidak apa-apa, bahkan bolehTetapi bagi orang yang nafsunya labil,
mencium dan menyentuh kulit istri itu hukumnya makruh. Demikian pendapat
para ulama dari madzhab Hanafi dan madzhab Hanbali. Sementara menurut para
ulama dari madzhab Maliki dan Asy-Syafi'i, mencium istri itu hukumnya
makruh. Dan jika bisa menimbulkan fitnah, hukumnya haram. Demikian pula
dengan menyentuh kulitnya.

Ayyub,Syaikh Hasan 2003 .”fikih ibadah” Al-kautsar (Peran kelompok muslim) Jakarta
Hal.643

10
Hal-hal yang disunahkan dan etika puasa

Orang yang berpuasa disunahkan melakukan hal-hal berikut.

1. Sahur, meskipun hanya sedikit, misalnya seteguk air, Sahur sunah


dilakukan pada akhir malam. Sahur dimaksudkan untuk mengu atkan fisik
ketika berpuasa. Sahur disunahkan berdasarkan hadisyang diriwayatkan
dalam kitab Ash-“Shahihain ‘Bersahurlah kalian, karena dalam sahur
terdapat berkah”

2. Menyegerakan berbuka ketika diyakini bahwa matahari telah tenggelam.


Berbuka disunahkan sebelum salat. Berbuka puasa disunahkan dengan
makanan basah, kurma, manisan, atau air. Makanan tersebut berjumlah
ganjil seperti tiga atau lebih.

3. Berdoa setelah berbuka dengan doa-doa yang ma'tsur. Misalnya doa


berikut:

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dengan rezeki-Mu aku berbuka,


kepada-Mu aku bertawakal, dan kepada-Mu aku beriman. Rasa haus
menjadihilang, keringat menjadi basah, dan pahala akan tetap, insya
Allah”

4. Memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa Hal ini
dapat dilakukan kendatipun dengan sebiji kurma, seteguk air, atau yang
lainnya. Sudah barang tentu, yang lebih sempurna adalah memberi
makanan yang mengenyangkan

11
Al-zuhayly,Wabah.2005. “Puasa Dan Itikaf”. Bandung : Remaja Rosdakarya
(Kajian Berbagai Mazhab) Hal.190

5. Mandi dari janabah, dari haid, atau dari nifas sebelum fajar. Hal ini
dimaksudkan agar seseorang berada dalam keadaan suci sejak permulaan
siang. Selain itu, hal ini dimaksudkan juga untuk menghindari perselisihan
dengan pendapat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa orang yang junub,
haid, nifas, yang tidak mandi sebelum fajar, puasanya tidak sah. Mandi
sebelum fajar dimaksudkan untuk menghindari masuknya air ke dalam
telinga, dubur, atau yang lainnya ketika mandi pada siang hari, yang jelas
membatalkan puasa. Atas dasar ini, menurut mazhab Syafi'i, seseorang
yang sedang berpuasa dimakruhkan masuk ke kamar mandi, tanpa
keperluan, karena bisa memungkinkan batal puasa Lagi pula, tindakan
seperti itu merupakan tindakan mencari kesenangan yang sudah barang
tentu bertentangan dengan hikmah puasa. Seandainya seorang yang junub,
haid, atau nifas tadi sama sekali tidak mandi, maka puasanya sah. Tetapi,
dia berdosa jika tidak mandi ketika hendak salat.

6. Menahan lidah dan anggota badan dari pembicaraan dan perbuatan yang
berlebih-lebihan yang tidak menimbulkan dosa Adapun menahan diri dan
hal-hal yang diharamkan, misalnya ghibah, mengadu domba, dan berdusta,
maka hal itu sangat ditekankan untuk dihindari dalam bulan Ramadan
Menahan din dari yang dilarang-Nya adalah wajib sepanjang zaman, dan
melakukannya adalah haram pada setiap kesempatan.

7. Meninggalkan syahwat yang dibolehkan, yang tidak membatalkan puasa.


Misalnya, mencari keserangan syahwat melalui pende ngaran, penglihatan,
perabaan, aau penciuman. Contohnya men cium wewangian, memegang,
dan melihatnya. Hal ini sunah ditinggalkan, karena di dalamnya terdapat
tindakan mencari kesenangan, yang sudah barang tentu bertentangan
dengan hikmah puasa. Hal-hal yang disebutkan di atas dimakruhkan,
sepertihalnya masuk ke kamar mandi

12
Al-zuhayly,Wabah.2005. “Puasa Dan Itikaf”. Bandung : Remaja Rosdakarya
(Kajian Berbagai Mazhab) Hal.195

Puasa nazar dan puasa kaffarat

1. Hukum puasa nazar

Barang siapa bernazar sehari atau lebih untuk mensyukuri Allah Swt. atau untuk
bertaqarrub kepada-Nya, atau jika sembuh dari sakit, atau jika diperkenankan
sesuatu maksudnya yang baik (yang bukan maksiat), maka ia wajib atasnya
menunaikannya.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari 'Aisyah r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda:

"Barangsiapa bernazar akan menta'ati Allah, maka hendaklah iamenta'ati-Nya


dan barangsiapa bernazar akan mendurhakai Allah, makajanganlah ia
mendurhakai-Nya. "

2. Cara menunaikan nazar puasa sejum'at atau sebulan

Apabila seorang bernazar dengan berpuasa sejum'at (seminggu) atau sebulan,


niscaya wajiblah ia berpuasa sejum'at dengan berturut turut, atau wajiblah ia
berpuasa sebulan berturut-turut. Jika ia tidak berpuasa atau membuka puasanya di
suatu hari dipertengahan jum'at atau bulan, wajiblah ia memulai dari awal
bulannya. Karena nama Jum'at atau bulan itu mengenai hari yang bersambung-
sambung, tidak bercerai-cerai.

3. Cara menunaikan puasa nazar dihari sembuh atau diharilepas dari penjara

Apabila seseorang sakit, bernazar lalu ia sembuh dari sakitnya. maka ia berpuasa
di hari sembuhnya, atau seseorang di dalamtahanan (penjara) bernazar akan
berpuasa di hari lepasnya, maka tiadalah wajib atasnya menunaikan puasa nazar
itu. Maka jika ia sembuh di malam hari atau jika ia terlepas di malam hari, maka
malam itu bukan tempatnya untuk berpuasa, dan kalau ia sembuh di siang hari
atau ia lepas di siang hari, maka ia tidak mewujudkan niat untuk berpuasa pada
malamnya sedangkan puasa yang tidak diniatkan pada malamnya tidak sah.

4. Puasa Kaffarat

Puasa kaffarat, ialah puasa yang wajib dikerjakannya untukmenutupi sesuatu


keteledoran yang telah kita lakukan, yaitu:

13
a. Karena merusakkan puasa dengan bersetubuh, yaitu puasa dua bulan berturut-
turut.

b. Karena membunuh orang dengan tidak sengaja, yaitu puasadua bulan


berturut-turut, jika tidak sanggup harus memerdekakanseorang budak.

c. Karena kita mengerjakan sesuatu yang haram dikerjakan dalam ihram, serta
tidak boleh menyembelih binatang hadyu.Apabila seseorang mengerjakan
sesuatu yang dilarang dalam ihram, yang selain dari jima', seperti mencukur
rambut karena ada gangguan di kepala, memakai kain berjahit, mengerat
kuku, memakai minyak wangi, maka harus berpuasa tiga hari. Jika tidak
sanggupmenyembelih binatang hadyu, atau memberi makan 60 orang miskin.
Bila seseorang yang sedang ihram memburu binatang buruan dan tidak
sanggup membeli binatang yang seimbang dengan binatang yang diburu
untuk disedekahkan, hendaklah ia berpuasa untuk setengah gantang makanan
satu hari.

d. Karena merusak sumpah, yaitu puasa tiga hari, jika tidak sanggup
memberikan makanan 10 orang miskin atau membeli pakaian atau
memerdekakan seorang budak.

e. Karena mendhiharkan istri, yaitu puasa dua bulan berturut turut, jika tidak
sanggup memerdekakan seorang budak atau memberikan makanan 50 orang
miskin.

14
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Teungku. 1196. “Pedoman
puasa” .Semarang : Pustaka Riski Putra Hal.163
D. Hikmah mengerjakan Puasa Sunnah
Dalam ibadah Puasa baik yang wajib maupun yang sunnah akan menghadirkan
energi yang begitu dahsyat yang akan membawa perubahan baik (konstruktif
pada pelakunya, di antaranya adalah:
1) Spiritualnya:
a. Ingin selalu dekat dengan Allah SWT dengan jalan melakukan
ketaatan dalam beribadah.
b. Selalu menjaga dirinya dari perbuatan sia-sia, apalagi dosa dan
maksiat sangat dijauhi.
c. Selalu merasa kurang terhadap ibadahnya yang dilakukannya sehingga
la selalu untuk mem perbaik baik kuantitas dan kualitas ibadahnya.
2) Pikirannya:
a. Jauh dari pandangan pikiran yang liar, kotor. Jauh dari buruk sangka
kepada hasil pemikiran orang lain.
b. Selalu belajar dan terus belajar untuk mengali rahasia Allah yang
tersurat maupun Buah-buah pikirannya selalu ditunggu oleh orang
banyak.
c. Mental selalu dalam kondisi tenang dalam mensikapi persoalan
hidupnya. Tidak gampang marah serta memiliki sikap lapang dada.
d. Selalu sabar menghadapi cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan
nikmat. Amanah terhadap barang yang dititipkannya.
e. Sami'na wa atha'na terhadap segala perintah dan larangan yang datang
dari Allah SWT danRasul-Nya.
f. Berjalan di muka bumi ini dengan tawadhu' jauh dari kesombongan.
g. Jiwanya adalah jiwa yang tenang dan selalu bergerak menuju jiwa
yang radhiyah, mardhiyah dan kamilah

15
h. Dia tidak pernah marah kepada orang yang mencaci makinya serta
tidak menjadi lupa diri karena orang menyanjungnya, karena yang ada
di pikirannya adalah pengabdian total ke pada Allah SWT, dan
sebagainya

3) Fisiknya
a. Fisiknya kelihatan bersih,Bening Bercahaya, danWangi
b. Kekar dan kuat
c. Tidak pernah jatuh sakit kecuali yang ringan-ringan (seperti, batuk,
flu, masuk angin).
d. Berwibawa dan berkharisma Sebagaimana firman Allah SWT

4) Perilakunya
a. Menunjukkan orang yang memiliki akhlaq yang mulia
b. Penuh wibawa, dan charisma
c. Gerak-geriknya menjadi tauladan orang-orang yang disekelilingnya.
d. Prilakunya memberikan motivasi manusia untuk hidup menjadi
manusia yang benar-benar bermanfaat bagi kehidupan dunia dan
akherat, dan sebagainya.

16
Winarno,2013. “Hidup Sehat Dengan Puasa”. Yogyakarta : Graha ilmu Hal. 82

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Secara etimologis (bahasa), puasa dalam Bahasa Arab artinya menahan,


mengekang, diam, berhenti, atau menahan diri dari sesuatu, baik dalam bentuk
perkataan maupun perbuatan. Sedangkan secara terminologi “menahan diri” dari
makan, minum, hubungan suami istri, dan berbicara yang kotor.Sedangkan puasa secara
Syar’i adalah “ menahan diri dari makan, minum, hubungansuami istri dan apa saja
yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar sampaiterbenamnya matahari, dengan
mengharapkanridha Allah SWT. Puasa dibagi menjadi 2, yaitu puasa wajib dan puasa
sunnah.

Puasa sunnah yang artinya menahan diri dari makan minum serta hal-hal yang
membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, bagi yang
melaksanakannya mendapat pahala dan bagi yang meninggalkannya tidak mendapat
dosa.

Puasa sunnah ada macam-macam beberapa diantaranya ada Puasa senin kamis,
Puasa bulan Syawal, Puasa Arafah dan Puasa Tarwiyah pada bulan Dzulhijjah, Puasa
Daud, Puasa Tasu’a dan Puasa Asyura pada bulan Muharram, Puasa Yaumul Bidh,
Puasa Nisfu Sya’ban dll.

17
Begitu banyak keuntamaan/hikmah mengerjakan puasa sunnah diantara dapat
membawa hal baik pada pelakunya entah itu spiritualnya, pemikirannya, fisiknya,
perilakunya sesuai yang telah dijelaskan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Abror, Khoirul. 2019. “Fiqh Ibadah”. Bandar lampung : CV Arjasa Pratama

Ayyub,Syaikh Hasan 2003 .”fikih ibadah”. Jakarta : Pustaka Al-kautsar

Winarno,2013. “Hidup Sehat Dengan Puasa”. Yogyakarta : Graha Ilmu

Al-zuhayly,Wabah.2005. “Puasa Dan Itikaf”. Bandung : Remaja Rosdakarya

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Teungku. 1196. “Pedoman puasa “. Semarang :


Pustaka Riski Putra

18

Anda mungkin juga menyukai