Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH ASWAJA

BUDAYA DAN AMALIYAH NAHDLATUL ULAMA (SHALAT DAN PUASA)

DISUSUN OLEH:
1. ROSEDAH RIANTARA BIANTI (1130222020)
2. JOKO WIRATMO (1130222029)
3. NURWATHONIYAH (1130222036)
4. FAHMY DHIO WARDHANA (1130222038)
5. DODIK EKO L (1130222030)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NADHLATUL ULAMA SURABAYA
2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-

Nya yang tidak terhingga kepada penulis dalam menyusun dan menyelesaikan

penyusunan makalah. Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi

salah satu tugas Aswaja pada Jurusan Keperawatan Fakultas Keperawatan dan

Kebidanan Universitas Nadhlatul Ulama Surabaya.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari banyak pihak maka

makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan seperti sekarang ini. Peneliti menyadari

bahwa makalah ini masih perlu untuk disempurnakan. Oleh karena itu, kami

mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini. Harapan kami, semoga

makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu khususnya ilmu

keperawatan.

Surabaya, Mei 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii

BAB 1 ............................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1

B. Tujuan ........................................................................................................................ 3

1. Tujuan Umum ....................................................................................................... 3

2. Tujuan Khusus ...................................................................................................... 3

C. Manfaat Penulisan ..................................................................................................... 3

1. Bagi Penulis .......................................................................................................... 3

2. Bagi Institusi Pendidikan ...................................................................................... 3

BAB 2 ............................................................................................................................. 5

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 5

A. Shalat ......................................................................................................................... 5

B. Puasa Wajib ............................................................................................................... 32

BAB 3 ............................................................................................................................. 44

PENUTUP ...................................................................................................................... 44

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 44

B. Saran ......................................................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 47

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Shalat merupakan kewajiban utama bagi seorang muslim. Kedudukan

shalat sebagai ibadah wajib terdapat dalam nash (Al-Qur’an dan Hadits).

Selain itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa shalat ialah kewajiban yang

pelaksanaannya dibagi kedalam beberapa waktu yang ditentukan.1Shalat

adalah ibadah yang tak bisa ditinggalkan. Dalam mengerjakan shalat lima

waktu, kaum muslimin sepakat bahwa shalat lima waktu harus dikerjakan

pada waktunya dan sesuai dengan pembagian waktu-waktunya.

Sedangkan arti shalat berjamaah adalah shalat yang dikerjakan secara

bersama-sama yang paling sedikitnya dilakukan dengan dua orang atau lebih

yaitu imam dan makmum secara bersama-sama. Dengan dilaksanakannya

shalat dhuha secara berjamaah hal ini merupakan suatu bentuk upaya untuk

dapat membiasakan melaksanakan shalat tepat waktudan shalat berjamaah

termasuk salah satu keistimewaan yang diberikan dan disyariatkan secara

khusus bagi umat islam.

Apabila sudah masuk waktunya shalat maka mereka yang sedang

melakukan aktifitas akan berhenti sejenak dan melaksanakan shalat

berjamaah. Sehingga dapat menimbulkan perubahan pola pikir maupun

perubahan perilaku mereka, dan juga dapat menjadi pendorong agar mereka

selalu hidup rukun dan saling tolong menolong, hormat menghormati,

dengan demikian akan membawa berkah bagi kita. Ketika dalam

1
melaksanakan shalat itu tanpa ada paksaan dari siapapun, dan terdorong oleh

kata hati kita sendiri dan disertai dengan rasa ikhlas, maka dengan shalat,

kita juga akan dihindarkan dari pikiran ataupun perbuatan yang tidak baik.

Shalat yang merupakan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan khusus

yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, akan menjaga diri

manusia dari segala bentuk penyimpangan yang dapat merusak

kesempurnaan shalat dan juga akan membuat hati dan fikiran seseorang

menjadi aman. Dalam meraih setiap keinginan dan cita-cita dalam hidup

hendaklah memadukan antara unsur usaha (ikhtiar) semaksimal mungkin,

dan juga disertai dengan doa kepada Allah.

Puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dan dilaksanakan

oleh manusia sebelum islam. Islam mengajarkan antara lain agar manusia

beriman kepada Allah SWT, kepada malaikat, kepada kitab, kepada rosul,

kepada hari akhirat, kepada qodo dan qodar. Islam juga mengajarkan lima

kewajiban pokok, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai

pernyataan kesediaan hati menerima islam sebagai agama, mendirikan

sholat, membayar zakat, mengerjakan puasa, dan menunaikan ibadah haji.

Saumu (puasa), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala sesuatu”,

seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak

bermanfaat dan sebagainya.

Sedangkan menurut istilah, puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang

membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai

terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat. Puasa wajib atau

puasa fardhu terdiri dari puasa fardhu ain atau puasa wajib yang harus

2
dilaksanakan untuk memenuhi panggilan Allah ta’ala yang disebut puasa

ramadhan. Sedangkan puasa wajib yang terdiri dalam suatu hal sebagai hak

Allah SWT atau disebut puasa kafarat. Selanjutnya puasa wajib untuk

memenuhi panggilan pribadi atas dirinya sendiri dan disebut puasa nadzar.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dilakukannya penulisan makalah ini yaitu mampu

menjelaskan budaya dan amaliyah Nahdlatul Ulama 2 (shalat dan puasa)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui konsep shalat (bilangan shalat tarawih, qunut shalat

shubuh, bedug, adzan 2 kali shalat jumat, khatib pegang tongkat,

bilal shalat jumat dan tarawih, shalat qabliyah dan ba’diyah jumat)

b. Mengetahui konsep puasa (rukyah dan hisab, puasa rajab, puasa

tarwiyah dan arofah, qadha puasa mayat)

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Meningkatkan pengetahuan berkaitan dengan makalah budaya dan

amaliyah Nahdlatul Ulama 2 (shalat dan puasa) serta menambah

wawasan sebagai acuan bagi penyusun selanjutnya

2. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan referensi institusi dalam memahami konsep dasar budaya

dan amaliyah Nahdlatul Ulama 2, sehingga dapat menambah

3
pengetahuan dan acuan dalam memahami ilmu pengetahuan yang

berhubungan dengan shalat dan puasa

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Budaya dan Amaliyah Nahdlatul Ulama Shalat

1. Bilangan Shalat Tarawih

a. Pengertian

Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’).

Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan

Ramadhan, dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap

selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.

Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti

jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah

selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu,

orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam

Ramadhan. Bahkan para salaf bertumpu pada tongkat, karena terlalu

lamanya berdiri. Dari situ, kemudian setiap empat raka’at, disebut

tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz.

Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya: “Bagaimana shalat Rasul

Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan?” Dia

menjawab, “Beliau tidak pemah menambah -di Ramadhan atau di

luarnya- lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat empat rakaat, maka

jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau

shalat 3 raka’at.” [HR Bukhari]. Kata ‫( ثم‬kemudian), adalah kata

5
penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jeda

waktu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat raka’at

dengan dua kali salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan

keterangan Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Adalah Rasulullah

melakukan shalat pada waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga

waktu fajar, sebanyak 11 raka’at, mengucapkan salam pada setiap

dua raka’at, dan melakukan witir dengan saturaka’at.” [HR Muslim].

Juga berdasarkan keterangan Ibn Umar Radhiyallahu anhuma,

bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalat

malam itu?” Beliau menjawab,

‫ص ْب َح فَأ َ ْوت ِِِ ْر ِب َوا ِحدَ ِة‬


ُّ ‫َم ْشنَى َم ْشنَى فَإِذَا ِخ ْفتَ ال‬

“Yaitu dua raka’at-dua raka’at, maka apabila kamu khawatir (masuk

waktu) shubuh, berwitirlah dengan satu raka’at. [HR Bukhari]

Dalam hadits Ibn Umar yang lain disebutkan:

ِ ‫َان َر ْكعَت‬
‫َان‬ ِ ‫صالَة الَّ ْي ِل َوالنَّ َه‬
ِ ‫ار َر ْكعَت‬ َ

“Shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at“. [HR Ibn Abi

Syaibah. Ash Shalah, 309; At Tamhid, 5/251; Al Hawadits, 140-143;

Fathul Bari, 4/250; Al Ijabat Al Bahiyyah,18; Al Muntaqa,4/49-51]

b. Bilangan

Mengenai masalah ini, diantara para ulama salaf terdapat

perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai

belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.

6
1) Sebelas rakaat (8 + 3 Witir), riwayat Malik dan Said bin

Manshur

2) Tiga belas rakaat (2 raka’atringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu

Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2), atau (8 + 5) menurut

riwayat Muslim

3) Sembilan belas rakaat (16 + 3)

4) Dua puluh satu rakaat (20 + 1), riwayat Abdurrazzaq.

5) Dua puluh tiga rakaat (20 + 3), riwayat Malik, Ibnu Nashr dan

Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i,

Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubara

6) Dua puluh sembilan rakaat (28 +1)

7) Tiga puluh sembilan rakaat (36 +3), Madzhab Maliki, atau (38 +

1)

8) Empat puluh satu rakaat (38 +3), riwayat Ibnu Nashr dari

persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya

penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni

2/167

9) Empatpuluh sembilan rakaat (40 +9); 40 tanpa witir adalah

riwayat dari Al Aswad Ibnu Yazid

10) Tiga puluh empat rakaat tanpa witir (di Basrah, Iraq)

11) Dua puluh empat rakaat tanpa witir (dari Said Ibnu Jubair)

12) Enam belas rakaat tanpa witir

7
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan dan

memimpin shalat tarawih, terdiri dari sebelas raka’at (8 +3).

Dalilnya sebagai berikut.

1) Hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma: ia ditanya oleh Abu

Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul lailnya Rasul pada

bulan Ramadhan, ia menjawab:

َ ‫ضانَ َولَ فِي َغي ِْر ِه َعلَى إِحْ دَى َع ْش َرة‬


َ ‫إنَّه َكانَ لَ يَ ِزيْد فِي َر َم‬

“Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan

Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at.

[HR Bukhari, Muslim]

Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan

shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”

2) Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan kami

pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam

berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan harapan beliau

shalat dengan kami. Maka kami terus berada di masjid hingga

pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi

malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat

bersama kami,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku

khawatir diwajibkan atas kalian. “[HR Thabrani, Ibnu Hibban

dan Ibnu Huzaimah, dihasankan oleh Al Albani. ShalatAt

Tarawih, 18; Fath Al Aziz 4/265]

8
3) Pengakuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang 8

raka’atdan 3 witir. Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah,

lalu berkata, ”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan

tadi malam (Ramadhan). Beliau bertanya, ”Apa itu, wahai

Ubay?” Ia menjawab, ”Para wanita di rumahku

berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an.

Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,

”Maka saya shalat dengan mereka 8 raka’at dan witir. Maka

hal itu menjadi sunnah yang diridhai. Beliau Shallallahu ‘alaihi

wa sallam tidak mengatakan apa-apa.” [HR Abu Ya’la,

Thabrani dan Ibn Nashr, dihasankan oleh Al Haitsami dan Al

Albani. Lihat Shalat At-Tarawih, 68].

Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah

shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada yang

shahih. [Fathul Bari, 4/254; Al Hawi. 1/413; Al Fatawa Al

Haditsiyah, 1.195: ShalatAt Tarawih, 19-21]. Jumhur ulama

mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan

metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani.

Dasar pertimbangan jumhur adalah:

1) Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.

2) Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.

3) Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama

salaf.

9
4) Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin,

maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah

menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.

2. Qunut Shalat Shubuh

b. Pengertian

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di Indonesia

mengetahui istilah qunut dalam masalah ibadah. Doa qunut yang

sudah di anggap sebagai kewajiban sepertinya selalu dilaksanakan

oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia. Karena mereka merasa

tanpa qunut, shalat shubuh dianggap tidak afdhal. Namun, ada juga

sebagian dari umat islam yang tidak sependapat mengenai adanya

doa qunut pada pelaksanaa shalat shubuh dan mengganggap hal itu

adalah perbuatan bid'ah. Hal ini di sebabkan karena banyaknya orang

awam yang tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di

kalangan empat imam mazhab maupun kalangan ulama.

Bahkan ada juga yang beranggapan bahwa doa qunut itu untuk

membedakan mana yang dari golongan ahli sunnah wal jamaah dan

mana yang bukan, khususnya pandangan orang yang memliki

fanatisme yang tinggi terhadap golongannya. Maka dari itu, pada

pembahasan kali ini pemakalah akan membahas tentang perbedaan

empat imam maazhab mengenai doa qunut pada shalat shubuh.

Qunut di dalam shalat shubuh memang merupakan bagian dari

masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama tidak

10
menerima dalil tentang qunut shalat shubuh, namun sebagian lainnya

tetap memandang bahwa hadits tentang qunut shalat shubuh itu ada

dan kuat. Perbedaan pendapat tentang masyru’iyah hukum qunut

pada shalat shubuh ini berangkat dari perbedaan pendapat tentang

dalil-dalil yang mendasarinya, serta karena perbedaan sudut pandang

dalam menarik kesimpulannya.

3. Bedug

Bedug dan kentongan merupakan dua alat instrumen yang digunakan

untuk memberi tahu awal masuk waktu shalat fardhu. Bedug dan

kentongan biasanya dipukul sebanyak dua kali sebelum adzan untuk

menandai waktu masuknya shalat. Sedangkan pada hari jumat, bedug dan

kentongan di pukul kurang lebih 30 menit sebagai penanda masuknya

shalat jumat. Seperti yang kita ketahui, banyak masjid-masjid yang tidak

memilih menggunakan bedug dan kentongan karena mereka memang

tidak digunakan pada zaman Rasulullah. Bahkan, bedug dan kentongan

ternyata juga sering digunakan oleh kaum Yahudi dan Nasrani meskipun

sekarang mereka telah meninggalkannya.

Mereka yang menolak menggunakan bedug dan kentongan

beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah sunnah nabi, dan nabi pun

tidak pernah mengajarkan hal semacam itu. Jadi mereka lebih memilih

untuk tidak menggunakannya karena alasan tersebut. Sedangkan untuk

kalangan nahdiyin, bedug dan kentongan merupakan budaya islam

nusantara yang telah diajarkan oleh para Walisongo dan para ulama

11
zaman dulu. Bedug yang masih kuat sejarahnya dalam lingkup islam

Walisongo adalah bedug Masjid Agung Demak dan Masjid Menara

Kudus yang sekarang telah diakui sebagai cagar budaya.

Konon, bedug merupakan alat instrumen yang berasal dari India dan

Cina, kemudian masuk ke tanah Jawa dan disambut dengan baik oleh raja

Jawa dan masyarakatnya. Alat tersebut awalnya digunakan untuk

mengetahui waktu sembahyang orang-orang non islam. Karena para

ulama mengetahui maslahat alat tersebut, akhirnya mereka menggunakan

bedug sebagai penanda waktu shalat juga.

4. Adzan 2 Kali Shalat Jumat

Mayoritas kaum muslimin di Indonesia melaksanakan ibadah shalat

Jumat dengan seruan azan dua kali. Praktek ini mengacu pada inisiatif

khalifah ketiga, Sayyidina Utsman ibn Affan, tanpa ada sanggahan dari

para sahabat lainnya. Sehingga disimpulkan telah terjadi ijmak sahabat.

Memang pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, adzan Jumat

dilaksanakan sekali saja, sebagaimana riwayat berikut ini:

Artinya: Diriwayatkan dari as-Saib bin Yazid anak saudara perempuan

Namir, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dahulu tidak

memiliki selain satu muadzin di dalam semua shalat, baik pada hari

12
Jumat maupun lainnya, yang bertugas adzan dan iqamah. Ia berkata:

Bilal dahulu adzan apabila Rasulullah duduk di atas mimbar pada hari

Jumat dan iqamah apabila beliau turun. Dan (dia juga melakukan seperti

itu) untuk Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhu sehingga (zaman)

Utsman. [HR Ahmad]

Kemudian riwayat bahwa Sayyidina Utsman menambah satu adzan lagi

adalah sebagai berikut:

Artinya: Diriwayatkan dari as-Saib bin Yazid, ia berkata: Adzan pada

hari Jumat awalnya dahulu ialah apabila imam telah duduk di atas

mimbar pada masa Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar RA. Namun ketika

Utsman RA (menjadi khalifah) dan orang-orang bertambah banyak,

beliau menambah adzan ketiga di az-Zaurak (suatu tempat di pasar

Madinah). [HR al-Bukhari]

Dari dua riwayat tersebut, disimpulkan bahwa dalam shalat Jumat

pada masa Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar dan Umar adalah adzan

sekali. Kemudian pada masa Utsman, karena umat Islam bertambah

banyak, dan tempat tinggalnya berjauhan, sehingga beliau khawatir ada

yang tidak mendengarkan adzan, maka dibutuhkan satu lagi adzan untuk

memberitahu masuknya waktu shalat Jumat yang akan dilaksanakan.

Mengacu pada riwayat kedua tersebut bahwa yang dimaksud adzan yang

13
ketiga adalah adzan yang dilantunkan sebelum khatib naik ke mimbar.

Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khatib naik ke mimbar

dan duduk, sebelum khatib berkhutbah dan adzan kedua adalah ikamah.

5. Khatib Pegang Tongkat

Kita kerap mendapati seorang khatib memegang tongkat ketika

menyampaikan khutbah. Jumhur (mayoritas) ulama fiqh mengatakan

bahwa sunnah hukumnya khatib memegang tongkat dengan tangan

kirinya pada saat membaca khutbah. Dijelaskan oleh Imam Syafi'i di

dalam kitab al-Umm:

Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita)

bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada

tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang

tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan

tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i

dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika

berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan".

(al-Umm, juz I, hal 272)

14
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri

shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau

berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi

Dawud hal. 824). As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa

hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang

atan semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus

Salam, juz II, hal 59)

Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri

menghadap jama' ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan

dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan

atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar.

Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu)

atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum

al-Din, juz I, hal 180). Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah

untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak

mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam, juz

II, hal 59). Jadi, seorang khatib disunnahkan memegang tongkat saat

berkhutbah. Tujuannya, selain mengikuti jejak Rasulullah SAW juga

agar khatib lebih konsentrasi (khusyu’) dalam membaca khuthbah.

15
6. Bilal Shalat Jumat dan Tarawih

a. Bilal Shalat Jumat

Istilah bilal mungkin bukan lagi perkara yang asing bagi

kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Bilal dimaknai sebagai

orang yang bertugas mengumandangkan azan sebelum sholat lima

waktu, termasuk juga dalam pelaksanaan sholat jumat. Melansir

buku Menapak Jalan Kebahagiaan: Kumpulan Khotbah Jumat

penggunaan sebutan bilal tersebut dimungkinkan dinisbahkan pada

Bilal bin Rabbah, seorang muazin atau orang yang

mengumandangkan azan pada masa Rasulullah SAW. Namun,

seiring berjalannya waktu, peran bilal tidak hanya

mengumandangkan azan. Bilal juga berperan mengantarkan khatib

sholat Jumat untuk naik mimbar atau muraqqi. Peran bilal tersebut

pada pelaksanaan sholat Jumat termasuk dalam perkara baru yang

dianggap baik atau bid'ah hasanah. Pengamalannya mencontoh

Rasulullah SAW pada saat haji wada. Saat itu, dikutip dari Syaikh

Muhammad Amin al Kurdi dalam Kitab Tanwir Qulub, Rasulullah

SAW meminta seseorang agar jamaah dapat menyimak khutbah

yang hendak disampaikannya. Adapun bacaan bilal sholat Jumat di

setiap daerah dimungkinkan ada perbedaan. Hal ini disebabkan dari

ketiadaan acuan baku mengenai hal itu. Berikut bacaan bilal sholat

Jumat secara umum adalah:

13) Bilal menghadap posisi dekat mimbar membawa tongkat

menghadap jamaah seraya membaca bacaan berikut:

16
14) Setelah khatib naik mimbar, bilal membaca lafaz Ma'asyiral

berikut:

‫ي للا‬
َ ‫ض‬ َ ‫ ر ِو‬،ِ‫ َوز ْم َرة َ ْالمؤْ ِمنِينَ َر ِح َمكم للا‬، َ‫َم َعا ِش َر ْالم ْس ِل ِمين‬
ِ ‫ي َع ْن أَ ِبى ه َري َْرة َ َر‬

‫اح ِبكَ يَ ْو َم ْالجم َع ِة‬


ِ ‫ص‬َ ‫سلَّ َم ِإذَا ق ْلتَ ِل‬
َ ‫صلَّى للا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫ قَا َل َرسول للا‬،َ‫َع ْنه أَنَّه قَال‬

×) ٢ ِ‫صتوا َوا ْس َمعوا َوأ َ ِطيعوا َر ِح َمكم للا‬


ِ ‫ َواْ ِإل َمام يَ ْخطب فَقَدْ لَغ َْوتَ (أ َ ْن‬،‫ت‬ ِ ‫أ َ ْن‬
ْ ‫ص‬

‫صتوا َوا ْس َمعوا َوأ َ ِطيعوا لَعَلَّك ْم ت ْر َحمون‬


ِ ‫أَ ْن‬

Bacaan latin: Ma'asyiral muslimin wazumrotal mu'miniina

rohimakumulloh, ruwiya 'an Abi Huroirota rodliyallohu 'anhu

annahu qool, qoola rosulullohi shollallohu 'alaihi wa sallam,

idza qulta lishohibika yaumal jum'ati anshit, wal imaamu

yakhtubu faqod laghout, (anshitu wasma'uu wa athi'uu

rohimakumulloh 2x). Anshitu wasma'uu wa athi'uu la'allakum

turhamuun.

17
15) Setelah khatib mengucapkan salam kepada jamaah dan duduk,

bilal mengumandangkan azan. Selesai azan, bilal terus duduk,

sedangkan khatib terus berdiri dan memulai khutbah

16) Selesai khutbah pertama, bilal membaca sholawat yang dibaca

di antara dua khutbah yaitu sebagai berikut:

َ ‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد اللَّ ٰـه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫س ِِّي ِدنَا‬ َ ‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد اللَّ ٰـه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬ َ ‫اللَّ ٰـه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬

ِ ‫اَللّٰه َّم َق ِّ ِو ا ِلس َْال َم ِمنَ الم ْس ِل ِمينَ َوالم ْس ِل َما‬. ‫سيِِّ ِدنَا م َح َّمد‬
‫ت‬ َ ‫لى آ ِل‬
ٰ ‫م َح َّمد َو َع‬

ِ ‫اختِ ْم لَنَا ِمنكَ بِالخ‬


‫َير َويَا َخي َْر‬ ْ ‫ان ال ِدِّيْنَ َو‬ ِ ‫َو ْالمؤْ ِمنِينَ َوالمؤْ ِمنَا‬
ِ َ‫ت َوأَيِِّدْه ْم َعلَى مع‬

َ‫اح ِمين‬ َّ ‫اص ِرينَ بِ َرحْ َمتِكَ يَا أَ ْر َح َم‬


ِ ‫الر‬ ِ َّ‫الن‬

Bacaan latin: Allahumma sholli 'alaa sayyidina muhammad.

allahumma sholli 'alaa sayyidina muhammad. allahumma sholli

'alaa sayyidina muhammadiw wa'alaa aali sayyidina

muhammad. allahumma qowwil islam. minal muslimiin wal

muslimaat. walmukminiina wal mukminaat. waayyidhum 'alaa

mu'aniddin. wakhtim lana minka bilkhoir. waya khoiron

naasiriina birohmatika yaa arhamarroohimiin.

17) Selesai bacaan sholawa tersebut, khatib kembali berdiri dan

memulai lagi khutbah keduanya.

18) Setelah khubah kedua selesai, bilal langsung mengumandangkan

iqamah

b. Bilal Shalat Tarawih

Tarawih merupakan salat sunah sesudah isya dan sebelum subuh

pada bulan Ramadhan. Tarawih dianjurkan Rasulullah SAW karena

18
memiliki banyak keutamaan. Sebelum tarawih, ada seorang bilal

yang menyerukan bacaan untuk memulai salat secara berjamaah.

Begitu pun ketika memasuki rakaat-rakaat lainnya selama tarawih.

Bacaan dari bilal tarawih biasanya selawat kepada Nabi Muhammad

SAW dan menyebutkan Khulafaur Rasyidin. Seperti Abu Bakar,

Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Itu

seperti dikutip dari buku Tuntunan Lengkap 99 Salat Sunah

Superkomplet tulisan Puspa Swara dan Ibnu Watiniyah. Saat bacaan

bilal tarawih diserukan, jamaah menjawabnya. Berikut ini bacaan

bilal lengkap untuk salat tarawih 20 rakaat yang ditutup 3 rakaat

witir. Bacaan bilal tarawih terdiri dari:

4) Sebelum Rakaat 1 dan 2

Bacaan bilal:

ِ ‫صلُّ ْوا سنَّةَ الت َّ َرا ِويْحِ َر ْك َعتَي ِْن َج‬


‫ام َعةَ َر ِح َمكم للا‬ َ

Bacaan latin: Shollu sunnatat-tarawihi rak'ataini jami'atan

rahimakumullah.

Artinya: Mari mendirikan salat sunnah tarawih dua rakaat

berjamaah. Semoga Allah merahmatimu.

Jawaban jamaah:

‫َر ِح َمكم للا‬

Bacaan latin: Rahimakumullah.

Artinya: Semoga Allah merahmatimu.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد‬

19
Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah keselamatan kepadanya.

5) Sebelum Rakaat 3 dan 4

Bacaan bilal:

‫فَض ًْال ِمنَ للاِ تَعَالَى َونِ ْع َم ْة‬

Bacaan latin: Fadhlan minallahi ta'ala wa ni'mah.

Artinya: Kemurahan dan kenikmatan dari Allah.

Jawaban jamaah:

‫َو َم ْغ ِف َرة ً َونِ ْع َم ْة‬

Bacaan latin: Wa maghfirutan wa ni'mah.

Artinya: Demikian juga ampunan dan nikmatnya.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫سيِِّ ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

20
Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

6) Sebelum Rakaat 5 dan 6

Bacaan bilal:

‫ي للا َع ْنه‬ َ ‫اَ ْل َخ ِل ْيفَة اْل ْولَى‬


ِّ ِ ‫س ِيِّدنَا اَب ْو َبك َْر‬
ِ ‫الص ِدِّيْق َر‬
َ ‫ض‬

Bacaan latin: Al-khalifatul aula sayyidina Abu Bakar Shiddiq

radhiyallahu 'anhu.

Artinya: Khalifah Pertama Amirulmu'minin Penghulu Kita, Abu

Bakar Shiddiq.

Jawaban jamaah:

‫ي للا َع ْنه‬
َ ‫ض‬
ِ ‫َر‬

Bacaan latin: Radhiyallahu 'anhu.

Artinya: Semoga Allah SWT meridhoinya.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَيْه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

7) Sebelum Rakaat 7 dan 8

Bacaan bilal:

21
‫فَض ًْال ِمنَ للاِ تَعَالَى َونِ ْع َم ْة‬

Bacaan latin: fadhlan minallahi ta'ala wa ni'mah.

Artinya: Kemurahan dan kenikmatan dari Allah.

Jawaban jamaah:

‫َو َم ْغ ِف َرة ً َونِ ْع َم ْة‬

Bacaan latin: wa maghfirutan wa ni'mah.

Artinya: Demikian juga ampunan dan nikmatnya.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫سيِِّ ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

8) Sebelum Rakaat 9 dan 10

Bacaan bilal:

َّ ‫سيِِّدنَا ع َمر ابْن ْالخ‬


ْ‫َطاب‬ َ ‫اَاَ ْل َخ ِل ْيفَة الثَّانِيَة‬

Bacaan latin: Al-khalifatu tsaniatu sayyidina Umar bin Khattab

Artinya: Khalifah kedua Amirulmu'minin Penghulu kita, Umar

bin Khatab.

Jawaban jamaah:

‫ي للا َع ْنه‬
َ ‫ض‬
ِ ‫َر‬

22
Bacaan latin: Radhiyallahu 'anhu.

Artinya: Semoga Allah SWT meridhoinya.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

9) Sebelum Rakaat 11 dan 12

Bacaan bilal:

‫فَض ًْال ِمنَ للاِ ت َ َعالَى َونِ ْع َم ْة‬

Bacaan latin: Fadhlan minallahi ta'ala wa ni'mah.

Artinya: Kemurahan dan kenikmatan dari Allah.

Jawaban jamaah:

‫َو َم ْغ ِف َرة ً َونِ ْع َم ْة‬

Bacaan latin: Wa maghfirutan wa ni'mah.

Artinya: Demikian juga ampunan dan nikmatnya.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

23
Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaih.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

10) Sebelum Rakaat 13 dan 14

Bacaan bilal:

‫ي للا َع ْنه‬
َ ‫ض‬
ِ ‫ان َر‬ َ ‫اَ ْل َخ ِل ْيفَة الثَّا ِلثَة‬
ْ َّ‫سيِِّدنَا عثْ َمان بْن َعف‬

Bacaan latin: Al-khalifatu-tsalatatu sayyidina 'Utsman bin Affan

radhiyallahu 'anhu.

Artinya: Khalifah ketiga Amirulmu'minin Penghulu kita, Usman

bin Affan.

Jawaban jamaah:

‫ي للا َع ْنه‬
َ ‫ض‬
ِ ‫َر‬

Bacaan latin: Radhiyallahu 'anhu.

Artinya: Semoga Allah SWT meridhoinya.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫سيِِّ ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

24
Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

11) Sebelum Rakaat 15 dan 16

Bacaan bilal:

‫فَض ًْال ِمنَ للاِ ت َ َعالَى َونِ ْع َم ْة‬

Bacaan latin: fadhlan minallahi ta'ala wa ni'mah.

Artinya: Kemurahan dan kenikmatan dari Allah.

Jawaban jamaah:

‫َو َم ْغ ِف َرة ً َونِ ْع َم ْة‬

Bacaan latin: Wa maghfirutan wa ni'mah.

Artinya: Demikian juga ampunan dan nikmatnya.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah selawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaih.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

12) Sebelum Rakaat 17 dan 18

Bacaan bilal:

‫ي للا َع ْنه‬
َ ‫ض‬ َ ‫ي‬
ِ ‫طالِبْ َر‬ ْ ‫س ِيِّدنَا َع ِل ْي ِب ْن اَ ِب‬ َّ ‫اَ ْل َخ ِل ْيفَة‬
َ ‫الرا ِب َعة‬

25
Bacaan latin: Al-khalifatur-rab'atu sayyidina Ali bin Abi Thaib

radhiyallahu 'anhu.

Artinya: Khaliffah Ke-4 Amirulmu'minin Penghulu Kita, Ali

Bin Abi Thalib.

Jawaban jamaah:

‫ي للا َع ْنه‬
َ ‫ض‬
ِ ‫َر‬

Arab latin: Radhiyallahu 'anhu.

Artinya: Semoga Allah SWT meridhoinya.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫سيِِّ ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

13) Sebelum Rakaat 19 dan 20

Bacaan bilal:

‫ا َ ِخر الت َّ َرا ِويْحِ ا َ َج َركم للا‬

Bacaan latin: Akhirut-tarawihi ajarokumullah.

Artinya: Inilah akhir shalat Tarawih, semoga Allah mengganjar

pahala kepadamu.

Jawaban jamaah:

26
َ‫اربَّ ْالعَالَ ِميْن‬
َ َ‫ا َ ِميْنَ ي‬

Bacaan latin: Aamin ya Rabbal 'alamin.

Artinya: Amiin, Ya Tuhanku Tuhan Semesta Alam.

Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

14) Sebelum Salat Witir 2 Rakaat

Bacaan bilal:

ِ ‫صلُّ ْوا سنَّةَ ْال ِوتْ ِر َر ْك َعتَي ِْن َج‬


‫ام َعةَ َر ِح َمكم للا‬ َ

Bacaan latin: Shollu sunnatal witri rak'ataini jami'ata

rahimakumullah.

Artinya: Mari mendirikan shalat sunnah witir dua rakaat

berjamaah.

Semoga Allah merahmatimu.

Jawaban jamaah:

‫َر ِح َمكم للا‬

Bacaan latin: Rahimakumullah.

Artinya: Semoga Allah merahmatimu.

27
Bacaan bilal:

َ ‫اَللَّه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َعلَى‬
‫س ِِّي ِدنَا م َح َّمد‬

Bacaan latin: Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad.

Artinya: Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada nabi kita

Muhammad.

Jawaban jamaah:

‫س ِلِّ ْم َعلَ ْي ِه‬ َ ‫اَللَّه َّم‬


َ ‫ص ِِّل َو‬

Bacaan latin: Allahumma shalli wasallim 'alaihi.

Artinya: Ya Allah limpahkanlah keselamatan kepadanya.

15) Sebelum Salat Witir 1 Rakaat

Bacaan bilal:

ِ ‫صلُّ ْوا سنَّةَ َر ْك َعةَ ْال ِوتْ ِر َج‬


‫ام َعةَ َر ِح َمكم للا‬ َ

Bacaan latin: Shollu sunnata rak'atal witri jami'ata

rahimakumullah.

Artinya: Mari mendirikan shalat sunnah witir satu rakaat

berjamaah.

Semoga Allah merahmatimu.

Jawaban jamaah:

‫َر ِح َمكم للا‬

Arab latin: Rahimakumullah.

Artinya: Semoga Allah merahmatimu.

28
7. Shalat Qabliyah dan Ba’diyah Jumat

Saat memasuki hari Jumat, ada sejumlah ibadah yang disarankan.

Salah satunya adalah shalat sunah qabliyah (sebelum) dan sesudah atau

ba’diyah Jumat. Ternyata, shalat ini menyisakan pwerselisihan di antara

sejumlah ulama. Para ulama sepakat bahwa shalat sunat yang di lakukan

setelah shalat Jumat adalah sunah dan termasuk rawatib ba'diyah Jumat.

Hal ini seperti diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Bukhari:

‫صلَّى أَ َحدك ْم‬


َ ‫سلَّ َم إِذَا‬
َ ‫صلَّى للا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫قَا َل َرس ْول للا‬: ‫ي للا َع ْنه قَا َل‬ ِ ‫َع ْن أَبِ ْي ه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬

َ ‫الج ْمعَةَ فَ ْلي‬


ً ‫ص ِِّل بَ ْعدَهَا أ َ ْربَعا‬

Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah

SAW bersabda: Jika salah seorang di antara kalian shalat Jumat

hendaklah shalat empat rakaat setelahnya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan shalat sunah sebelum shalat Jumat terdapat dua

kemungkinan. Pertama, shalat sunah mutlak, hukumnya sunah. Waktu

pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai khutbah. Kedua, shalat

sunah qabliyyah Jumat. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat

sunah qabliyah Jumat.

1. Shalat qabliyah Jumat dianjurkan untuk dilaksanakan (sunah).

Pendapat ini dikemukakan Imam Abu Hanifah, Syafiiyah (menurut

pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam

riwayat yang tidak masyhur.

2. Shalat qabliyah Jumat tidak disunahkan.

29
Hal ini menurut pendapat Imam Malik, sebagian Hanabilah dalam

riwayat yang masyhur.

Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya shalat sunah qabliyah

Jumat adalah hadits Rasulullah SAW:

‫ضة ِإلَّ َوبَيْنَ يَدَ ْي َها‬


َ ‫صالَة َم ْفر ْو‬ ُّ ‫ث َع ْب ِدللاِ ب ِْن‬
َ ‫الزبَي ِْر " َما ِم ْن‬ ِ ‫ص َّح َحه ابْن ِحبَّان ِم ْن َح ِد ْي‬
َ ‫َما‬

ِ ‫َر ْك َعت‬
‫َان‬

Artinya: Semua shalat fardhu itu pasti diikuti oleh shalat sunah qabliyah

dua rakaat. (HR Ibnu Hibban yang telah dianggap shahih dari

hadits Abdullah bin Zubair).

Hadits ini secara umum menerangkan adanya shalat sunah qabliyah tanpa

terkecuali shalat Jumat. Hadits Rasulullah SAW:

‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى للا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫ي َو َرس ْول للا‬ َ َ‫ي للا َع ْنه قَا َل َجا َء سلَ ْيكٌ الغ‬
ُّ ‫طفَا ِن‬ ِ ‫َو َع ْن أ َ ِبي ه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬

َ َ‫ قَا َل ف‬.َ‫ص َّليْتَ َر ْك َعتَي ِْن قَ ْب َل أ َ ْن ت َِج ْي َء؟ قا َ َل ل‬


‫ص ِِّل‬ َ َ ‫سلَّ َم أ‬
َ ‫صلَّى للا َعلَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫َي ْخطب فَقَا َل لَه النَّ ِب‬
َ ‫ي‬

‫ سنن ابن ماجه‬.‫َر ْك َعتَي ِْن َوتَ َج َّو ْز فِ ْي ِه َما‬

Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA berkata: Sulayk al-

Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan Rasulullah SAW sedang

berkhutbah. Lalu Nabi bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum

datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi bersabda: Shalatlah dua

rakaat dan ringankan saja (jangan membaca surat yang

panjang). (Sunan Ibn Majah: 1104).

Berdasar dalil-dalil tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam

kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab sebagai berikut:

30
‫َان‬ ِ ‫صالَة ٌ َوأَقَلُّ َها َر ْكعَت‬
ِ ‫َان قَ ْبلَ َها َو َر ْكعَت‬ َ ‫س ُّن قَ ْبلَ َها َو َب ْعدَهَا‬
َ ‫ ت‬.‫ع فِ ْي سنَّ ِة الج ْمعَ ِة بَ ْعدَهَا َوقَ ْبلَ َها‬
ٌ ‫فَ ْر‬

‫ َواأل َ ْك َمل أ َ ْر َب ٌع قَ ْبلَ َها َوأَ ْر َب ٌع َب ْعدَهَا‬.‫َب ْعدَهَا‬

Artinya: (cabang). Menerangkan tentang sunah shalat Jumat sebelumnya

dan sesudahnya. Disunahkan shalat sunah sebelum dan sesudah shalat

Jumat. Paling sedikit dua rakaat sebelum dan sesudah shalat Jumat.

Namun yang paling sempurna adalah shalat sunah empat rakaat

sebelum dan sesudah shalat Jumat. (Al-Majmu’, Juz 4: 9)

Adapun dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunat

qabliyah Jumat adalah sebagai berikut:

Hadits dari Saib Bin Yazid: Pada awalnya, adzan Jumat dilakukan pada

saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu Bakar

dan Umar. Tetapi setelah zaman Utsman dan manusia semakin banyak,

maka sahabat Utsman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan

iqamat). Menurut riwayat Imam Bukhari, menambah adzan menjadi dua

kali (tanpa memasukkan iqamat). (HR riwayat Jamaah kecuali Imam

Muslim).

Dengan hadits di atas, Ibnu al-Qoyyim berpendapat: Ketika Nabi keluar

dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan

adzan. Setelah adzan selesai, Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa

adanya pemisah antara adzan dan khutbah.

Lantas kapan Nabi SAW dan jamaah itu melaksanakan shalat sunat

qabliyah Jumat? Dari dua pendapat dan dalilnya di atas jelas bahwa

pendapat kedua adalah interpretasi dari tidak shalatnya Nabi SAW

sebelum naik ke mimbar untuk membaca khutbah. Sedangkan pendapat

31
pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas dan jelas).

Maka pendapat pertama yang mensunahkan shalat qabliyah Jumat tentu

lebih kuat dan lebih unggul (rajih).

Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furuiyah (perbedaan dalam

cabang hukum agama), maka tidak boleh menyudutkan di antara dua

pendapat di atas. Dalam kaidah fiqih mengatakan: ‘La yunkaru al-

mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujmaalaih’ (Seseorang boleh

mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan tidak

boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang

telah disepakati).

B. Puasa Wajib

1. Rukyah dan Hisab

Rukyat dalam kajian ilmu falak merupakan sebuah gandengan dari

kata hisab, sehingga ketika orang menyebut kata hisab rukyat maka

seketika akan terbersit yaitu ilmu falak. Kata rukyat sendiri secara bahasa

berasal dari bahasa Arab yaitu artinya melihat dan lebih spesifik lagi

yaitu melihat dengan mata kepala. Walaupun akhir-akhir kata rukyat

kemudian diartikan dalam dua hal yaitu rukyah bi lain (mata) dan rukyah

bil ‘ilm (ilmu). Ruyat yang dimaksud dalam kategori ini yaitu rukyah

awal bulan hijriyah/komariah atau yang dikenal dengan kegiatan rukyatul

hilal. Rukyat dilaksanakan pada setiap tanggal 29 bulan hijriyah pada

saat matahari tenggelam. Hal ini sesuai dengan sunnah yang

dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu merukyat hilal dengan

32
mata dan dilakukan disetiap awal bulan hijriyah, terutama di dua bulan

krusial yaitu Ramadhan dan Syawal. Sebab Rasulullah memerintahkan

untuk memastikan hilal terlihat terlebih dahulu sebelum dimulainya

puasa dan hari raya. Kegiatan ini Dalam istilah astronomi dikenal dengan

observasi.

Dari beberapa pengertian kata diatas maka dapat disimpulkan

bahwa rukyat secara istilah adalah kegiatan mengamati Hilal saat

Matahari terbenam menjelang awal bulan hijriyah baik itu dengan mata

telanjang atau dengan alat bantu teleskop. Sehingga rukyat dapat

dikatakan sebagai suatu kegiatan atau usaha untuk melihat Hilal di langit

(ufuk) sebelah barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal

bulan baru (khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan

Dzulhijjah) untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai.

Rukyat memang sedikit berbeda dengan hisab, jika hisab masuk

hampir keseluruh bidang kajian dalam ilmu falak maka rukyah lebih

identik pada pembahasan awal bulan komariyah saja. Sebab sebagaimana

perintah rasul dalam hadistnya yaitu “berupasalah kamu karena

melihatnya dan berbukalah (lebaran) kamu Karena melihatnya”. Hal ini

membuat kajian rukyah lebih spesifik pada penentuan awal bulan

komariah semata. Namun, jia kita meluaskan makna rukyah,

sesungguhnya semua kajian dalam ilmu falak pun menggunakan

rukyah sebagai pendukungnya baik itu arah kiblat, waktu shalat,

kalender maupun gerhana. Rukyat yang dimaksud dalam kajian luas ini

yaitu observasi, dimana semua kajian ilmu falak membutuhkan observasi

33
sebagai bentuk koreksi akhir dari hisabnya.

Hisab merupakan sebuah terminologi dasar dalam kajian ilmu

falak. Hisab sendiri merupakan landasan dasar dalam mempelajari ilmu

falak. Kata hisab di dalam KBBI diartikan sebagai perhitungan atau

perkiraan, bahkan diarti lain masih didalam KBBI kata hisab diartikan

sebagai peduli. Kata hisab sendiri aselinya berasal dari Bahasa Arab

artinya menghitung. Serta dijelaskan pula secara etimologi kata hisab

diserap dari bahasa Arab hasiba-yahsibu-hisaban-mahsab yang artinya

menghitung dimana mashdar-nya ialah hisabah yang artinya perhitungan.

Penjelasan kata hisab dalam kamus Al-Munawwir berarti hitung, di

dalam mufradat kamus tersebut bermakna ilmu hitung, sedangkan hisaby

ialah ahli hitung yang menunjukkan subyek atau orang. Kata hisab jika

disandingkan ke dalam bahasa Inggris maka akan sepadan dengan kata

arithmatic (ilmu hitung), Kata hisab jika disandingkan ke dalam bahasa

Inggris maka akan sepadan dengan kata arithmatic (ilmu hitung),

calculation (perhitungan), dan computation (perhitungan).

Berdasarkan pada pengertian menurut bahasa tersebut maka kita

dapat mengambil sebuah kesimpulan sederhana dari kata al-hisab

menurut istilah, yakni sebagai suatu disiplin ilmu yang dapat diartikan

dengan “ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk sebuah

perhitungan”. Sehingga kata hisab identik dengan rumus, angka dan

hasil perhitungan. Perhitungan atau hisab dalam ilmu falak mencakup

hampir semua mata kajian diantaranya:

a. Arah kiblat: kita menghitung sudut dan arah terdekat menghadap

34
kiblat dari daerah/lokasi kita berada

b. Waktu Sholat: kita menghitung ketinggain, sudut dan azimut dari

matahari untuk mengetahui waktu dari sholat 5 waktu, sebab Rasul

mengajarkan bahwa salah satu tanda mengetahui waktu sholat yaitu

dengan melihat matahari dan bayangan matahari.

c. Awal Bulan Qomariyah: kita menghitung bulan dan matahari

diujung bulan tepatnya tanggal 29 Hijriyah. Kegiatan hisab ini

bertujuan sebagai guidance pada saat pelaksanaan rukyatul hilal

d. Kalender Hijriyah: kita menghitung perjalanan waktu dengan

menggunakand ata peredaran bulan. Selain sebagai penanada waktu

kalender hijriyah juga digunakan sebagai patokan dalam

penyelenggaraan hari-hari besar islam sehingga betul-betul harus

dilakukan perhitungan yang baik.

e. Gerhana Bualn dan Matahari: kita menghitung peredaran Bumi,

Bulan dan Matahari terkait kaitannya dengan peritiwa tertutupnya

salah satu benda langit tersebut satu sama lain karena didalamnya

ada sunnah Rasulullah yaitu sholat sunnah gerhana, yaitu Khusuf

(Bulan) dan Kusuf (Matahari).

2. Puasa Rajab

Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya

itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if)

bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-

hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan

35
keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’

Al Fatawa, 25/290-291). Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat

bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena

ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal

ini pernah dicontohkan oleh ’Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab,

’Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu

beliau katakan,

‫اَل تُش ِّاب ُهوهُ بِّ ار ام ا‬


‫ضانا‬

”Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan

bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau

mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa

sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Adapun perintah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam untuk berpuasa

di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan

Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan

tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan

Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291). Imam Ahmad

mengatakan, Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu

atau dua hari.”

Imam Asy Syafi’i mengatakan, ”Aku tidak suka jika ada orang

yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana

puasa di bulan Ramadhan.”

36
Beliau berdalil dengan hadits ’Aisyah yaitu ’Aisyah tidak pernah

melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh

pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa

sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215).

Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi

tiga point berikut.

a. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti

bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya

sama seperti puasa Ramadhan.

b. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang

dikhususkan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagaimana

sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib yaitu

amalan puasa Ramadhan).

c. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan

pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al

Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al

Hawliyah, 235-236)

Kesimpulan: Tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab

kecuali jika berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan

haram, namun tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram

lainnya. Yang tercela sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan

Rajab sama halnya dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa

bulan Rajab lebih istimewa dari bulan lainnya. Juga tidak ada

37
pengkhususan berpuasa pada hari tertentu atau tanggal tertentu di bulan

Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian orang.

3. Puasa Tarwiyah dan Arofah

Hari tarwiyah yaitu tanggal 8 Dzulhijjah. Dalil yang menjadi

pegangan anjuran puasa tarwiyah, 8 Dzulhijjah:

)‫ وابن النجار عن ابن عباس‬، ‫صوم يوم التروية كفارة سنة وصوم يوم عرفة كفارة سنتين (أبو الشيخ‬

“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun

yang lalu. Sedangkan puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) akan mengampuni

dosa dua tahun.” Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu An Najjar

dari Ibnu ‘Abbas.

Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.[1] Asy

Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam

riwayatnya ada perowi yang pendusta. Syaikh Al Albani mengatakan

bahwa hadits ini dho’if (lemah). Jika hadits di atas adalah dho’if (lemah),

maka berarti tidak boleh diamalkan dengan sendirinya. Ibnu

Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh bersandar pada hadits-

hadits dho’if (lemah) yang bukanlah hadits shahih dan bukan pula hadits

hasan. Akan tetapi, Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya

membolehkan meriwayatkan hadits dho’if dalam fadhilah amal selama

tidak diketahui hadits tersebut shahih atau hadits tersebut bukan

diriwayatkan oleh perowi pendusta. Namun boleh mengamalkan isinya

jika diketahui ada dalil syar’i yang mendukungnya. Jika haditsnya bukan

diriwayatkan oleh perowi yang pendusta, boleh jadi pahala yang

38
disebutkan dalam hadits tersebut benar. Akan tetapi, para ulama katakan

bahwa tidak boleh menyatakan wajib atau sunnah pada suatu amalan

dengan dasar hadits dho’if. Jika ada yang mengatakan bolehnya,

maka dia telah menyelisihi ijma’ (kata sepakat para ulama).” (Al Majmu’

Al Fatawa, 1: 250-251)

Masih bisa berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah namun bukan

berdasarkan hadits yang penulis sebutkan di atas, namun karena

mengingat keutamaan beramal di awal Dzulhijjah dan puasa adalah

sebaik-baiknya amalan yang dikerjakan saat itu. Ditambah ada contoh

dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat untuk berpuasa

pada tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َّللاِّ اوَلا ْال ِّج اهادُ فِّى‬ ُ ‫ قاالُوا ايا ار‬.‫َّام ْال اع ْش ِّر‬
َّ ‫سو ال‬ ‫َّللاِّ ِّم ْن اه ِّذ ِّه األاي َِّّام اي ْع ِّنى أاي ا‬ َّ ‫اما ِّم ْن أاي ٍَّام ْال اع ام ُل ال‬
َّ ‫صا ِّل ُح ِّفي اها أ ا احبُّ ِّإلاى‬

‫َّللاِّ ِّإَلَّ ار ُج ٌل خ اار اج ِّبنا ْف ِّس ِّه او اما ِّل ِّه فالا ْم اي ْر ِّج ْع ِّم ْن ذالِّكا ِّب ا‬
ٍ‫ش ْىء‬ ‫َّللاِّ اقا ال اوَلا ْال ِّج اهاد ُ فِّى ا‬
َّ ‫س ِّبي ِّل‬ َّ ‫س ِّبي ِّل‬
‫ا‬

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal

sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan

Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan

Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya

namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At

Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu

‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh

Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai

syarat Bukhari-Muslim). Mengenai hadits ini, Ibnu

39
Qudamah rahimahullah berkata, “Sepuluh hari awal Dzulhijjah

seluruhnya adalah hari yang mulia dan dimuliakan, di dalamnya

dilipatgandakan (pahala) amalan dan disunnahkan bersungguh-sungguh

ibadah pada waktu tersebut.” (Al Mughni, 4: 443).

Yang menjadi dalil keutamaan puasa pada awal Dzulhijjah adalah

hadits dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

‫صو ُم تِّ ْس اع ذِّى‬ َّ ‫سو ُل‬


ُ ‫ يا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ ْ ‫ قاالا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ض أ ا ْز اواجِّ النَّبِّ ِّى‬
ُ ‫ت اكانا ار‬ ِّ ‫اع ْن با ْع‬

‫ش ْه ِّر او ْالخ ِّام ا‬


.‫يس‬ َّ ‫ش ْه ٍر أا َّو ال اثْناي ِّْن ِّمنا ال‬
‫ورا اء اوثاالاثاةا أاي ٍَّام ِّم ْن ُك ِّل ا‬
‫ش ا‬ُ ‫ْال ِّح َّج ِّة اويا ْو ام اعا‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan

hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga

hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani

mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kata Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah bahwa di antara sahabat

yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah

Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan

Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut.

Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.

Lebih-lebih puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah punya keutamaan

yang besar daripada puasa awal Dzulhijjah lainnya. Dari Abu Qotadah,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ورا اء أاحْ تاسِّب‬


‫ش ا‬ ِّ ‫سناةا الَّ ِّتى اب ْعداهُ او‬
ُ ‫ص ايا ُم اي ْو ِّم اعا‬ َّ ‫سناةا الَّ ِّتى قا ْبلاهُ اوال‬
َّ ‫َّللاِّ أ ا ْن يُك ِّاف ار ال‬ ‫ص ايا ُم اي ْو ِّم اع ارفاةا أاحْ تاسِّبُ ا‬
َّ ‫علاى‬ ِّ

ُ ‫سناةا الَّ ِّتى قا ْبلاه‬


َّ ‫َّللاِّ أ ا ْن يُك ِّاف ار ال‬
َّ ‫اعلاى‬

40
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun

akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa

setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

4. Qadha Puasa Mayat

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

ُ‫ام اع ْنهُ او ِّليُّه‬


‫ص ا‬ ِّ ‫ام ْن اماتا او اعلا ْي ِّه‬
‫صياا ٌم ا‬

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa,

maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya”. Yang dimaksud

“waliyyuhu” adalah ahli waris. Namun hukum membayar puasa di sini

bagi ahli waris tidak sampai wajib, hanya disunnahkan .Juga hadits Ibnu

‘Abbas, beliau berkata,

، ‫ش ْه ٍر‬
‫ص ْو ُم ا‬ ْ ‫َّللاِّ إِّ َّن أ ُ ِّمى امات‬
‫ او اعلا ْي اها ا‬، ‫ات‬ ُ ‫اجا اء ار ُج ٌل ِّإلاى النَّ ِّب ِّى – صلى هللا عليه وسلم – فاقاا ال ايا ار‬
َّ ‫سو ال‬

‫َّللاِّ أ ا اح ُّق أ ا ْن يُ ْق ا‬
» ‫ضى‬ ِّ ‫أافاأ ا ْق‬
َّ ُ‫ضي ِّه اع ْن اها قاا ال « نا اع ْم – قاا ال – فادا ْين‬

“Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah

meninggal dunia, dan dia memiliki utang puasa selama sebulan [dalam

riwayat lain dikatakan: puasa tersebut adalah puasa nadzar], apakah aku

harus mempuasakannya?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda, “Iya. Utang pada Allah lebih pantas engkau tunaikan”.

Hadits ‘Aisyah di atas membicarakan utang puasa secara umum

sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas membicarakan utang puasa nadzar. Jadi

keumuman pada hadits ‘Aisyah tidak dikhususkan dengan hadits Ibnu

‘Abbas karena di dalamnya tidak ada pertentangan. Sebagaimana dalam

41
ilmu ushul fiqh, takhsis (pengkhususan) itu ada jika terdapat saling

pertentangan antara dalil yang ada. Namun dalam kasus ini, tidak ada

pertentangan dalil. Ibnu Hajar mengatakan, “Hadits Ibnu ‘Abbas adalah

hadits yang berdiri sendiri (tidak berkaitan dengan hadits ‘Aisyah, -pen),

membicarakan khusus orang yang memiliki qodho’ puasa nadzar.

Adapun hadits ‘Aisyah adalah hadits yang bersifat umum.”

Boleh beberapa hari qodho’ puasa dibagi kepada beberapa ahli

waris. Kemudian mereka –boleh laki-laki ataupun perempuan-

mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka

membayar utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak

beberapa ahli waris melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang

dimiliki oleh orang yang telah meninggal dunia tadi.

Rincian Qodho’ Puasa bagi Orang yang Meninggal Dunia

Pertama: Jika seseorang tertimpa sakit yang tidak kunjung sembuh, maka

ia tidak ada kewajiban puasa dan tidak ada qodho’ puasa. Yang ia

lakukan hanyalah mengeluarkan fidyah dengan memberi makan kepada

orang miskin bagi setiap hari yang ia tinggalkan. Ia boleh jadi

melakukannya ketika ia hidup. Jika memang belum ditunaikan, ahli waris

yang nanti menunaikannya ketika ia telah meninggal dunia.

Kedua: Adapun jika seseorang tertimpa sakit yang diharapkan

sembuhnya, maka ia tidak ada kewajiban puasa di bulan Ramadhan

karena sakit yang ia derita, namun ia punya kewajiban untuk qodho’

puasa. Jika ternyata ia tidak mampu menunaikan qodho’ karena sakitnya

terus menerus hingga akhirnya meninggal dunia, maka ia tidak punya

42
kewajiban qodho’ puasa dan juga tidak ada kewajiban mengeluarkan

fidyah. Ahli warisnya pun tidak diperintahkan untuk membayar qodho’

puasanya dan juga tidak diperintahkan mengeluarkan fidyah.

Al ‘Azhim Abadi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa jika

seseorang tidak puasa karena alasan sakit dan safar, lalu ia tidak

meremehkan dalam penunaian qodho’ hingga ia mati, maka ia tidak ada

kewajiban qodho’ dan juga tidak ada kewajiban fidyah (memberikan

makan pada orang miskin).”

Ketiga: Adapun jika seseorang itu sakit dan penyakitnya bisa diharapkan

sembuh dan setelah sembuh ia mampu untuk menunaikan qodho’nya,

namun ia meremehkan sehingga qodho’ tersebut tidak ditunaikan sampai

ia meninggal dunia; maka orang semacam ini yang disunnahkan untuk

dibayar qodho’ puasanya selama beberapa hari oleh ahli warisnya. Jika

ahli waris tidak membayar qodho’nya, maka bisa digantikan dengan

fidyah (memberi makan kepada orang miskin) bagi setiap hari yang

ditinggalkan.

Dari penjelasan ini, maka maksud hadits, “Barangsiapa yang mati

dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya

yang nanti akan mempuasakannya” adalah barangsiapa yang tidak puasa

karena udzur (seperti haidh, safar atau sakit yang bisa diharapkan

sembuhnya), lantas ia pun mampu menunaikan qodho’ puasanya namun

ia tidak melakukannya, maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk

melunasi utang puasanya.

43
BAB 3

PENUTUP

A. Simpulan

Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’).

Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan

sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat,

para jama’ah duduk untuk istirahat. Tarawih adalah bentuk jama’ dari

tarwihah. Doa qunut yang sudah di anggap sebagai kewajiban sepertinya

selalu dilaksanakan oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia. Karena

mereka merasa tanpa qunut, shalat shubuh dianggap tidak afdhal. Namun, ada

juga sebagian dari umat islam yang tidak sependapat mengenai adanya doa

qunut pada pelaksanaa shalat shubuh dan mengganggap hal itu adalah

perbuatan bid'ah.

Bedug dan kentongan merupakan dua alat instrumen yang digunakan

untuk memberi tahu awal masuk waktu shalat fardhu. Bedug dan kentongan

biasanya dipukul sebanyak dua kali sebelum adzan untuk menandai waktu

masuknya shalat. Sedangkan pada hari jumat, bedug dan kentongan di pukul

kurang lebih 30 menit sebagai penanda masuknya shalat jumat. Istilah bilal

mungkin bukan lagi perkara yang asing bagi kalangan masyarakat muslim di

Indonesia. Bilal dimaknai sebagai orang yang bertugas mengumandangkan

azan sebelum sholat lima waktu, termasuk juga dalam pelaksanaan sholat

jumat.

44
Tarawih merupakan salat sunah sesudah isya dan sebelum subuh pada

bulan Ramadhan. Tarawih dianjurkan Rasulullah SAW karena memiliki

banyak keutamaan. Sebelum tarawih, ada seorang bilal yang menyerukan

bacaan untuk memulai salat secara berjamaah. Saat memasuki hari Jumat, ada

sejumlah ibadah yang disarankan. Salah satunya adalah shalat

sunah qabliyah (sebelum) dan sesudah atau ba’diyah Jumat. Ternyata, shalat

ini menyisakan pwerselisihan di antara sejumlah ulama. Para ulama sepakat

bahwa shalat sunat yang di lakukan setelah shalat Jumat adalah sunah dan

termasuk rawatib ba'diyah Jumat.

Rukyat dalam kajian ilmu falak merupakan sebuah gandengan dari kata

hisab, sehingga ketika orang menyebut kata hisab rukyat maka seketika akan

terbersit yaitu ilmu falak. Kata rukyat sendiri secara bahasa berasal dari

bahasa Arab yaitu artinya melihat dan lebih spesifik lagi yaitu melihat

dengan mata kepala. Hisab merupakan sebuah terminologi dasar dalam kajian

ilmu falak. Hisab sendiri merupakan landasan dasar dalam mempelajari ilmu

falak. Kata hisab di dalam KBBI diartikan sebagai perhitungan atau

perkiraan, bahkan diarti lain masih didalam KBBI kata hisab diartikan

sebagai peduli.

Tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab kecuali jika

berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan haram, namun

tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram lainnya. Yang tercela

sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan Rajab sama halnya

dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa bulan Rajab lebih istimewa

dari bulan lainnya. Juga tidak ada pengkhususan berpuasa pada hari tertentu

45
atau tanggal tertentu di bulan Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian

orang.

B. Saran

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak

kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon saran kepada seluruh pembaca

khususnya kepada dosen pengampu agar kami untuk kedepannya mampu

menyusun makalah yang lebih baik.

46
DAFTAR PUSTAKA

Ismail “Metode Penentuan Awal Waktu Shalat dalam Perspektif Ilmu Falak”

Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol.14, No. 2, (2015), h. 219

Muhammad Syadid, Manhaj Tarbiyah Metode Pembinaan A-Qur`an, (Jakarta:

Robbani Press, 2003), hlm. 238-239.

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,Fiqih Ibadah,

(Jakarta: Amzah, 2013), cet. 3, hlm. 238.

Musthafa Karim, Mukjizat Shalat Dhuha (Sukoharjo: Wacana Ilmiah Press,

2009), cet. I, hlm. 34-37.

Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 2009, hal; 1 2 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensido,

Bandung, 2014, hal; 220

https://islam.nu.or.id/jumat/anjuran-memegang-tongkat-saat-khutbah-uMavz

https://www.abusyuja.com/2020/08/hukum-kentongan-dan-beduk-dalam-

islam.html

https://jatim.nu.or.id/opini/bedug--dari-tambur-perang-hingga-polemik-dua-

ulama-S3dVO

https://jatim.nu.or.id/keislaman/berikut-dalil-mengumandangkan-dua-adzan-saat-

shalat-jumat-Sv7qu,

Sumber https://rumaysho.com/352-adakah-anjuran-puasa-di-bulan-rajab.html

Sumber https://rumaysho.com/3686-hukum-puasa-tarwiyah.html

47

Anda mungkin juga menyukai