Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

FIKIH IBADAH
Tentang

SHALAT WAJIB

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
NAZUA SALSHA SABILLA (2213030049)
MUTYA ALFASARY SIREGAR (2213030051)
AMIRA FITRI AZZAHRA (2213030118)
WINDY YOHAMA LATIFA (2213030127)

Dosen Pengampu:
Yusri Amir, M.Ag

PRODI HUKUM TATA NEGARA (A)


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL
PADANG
1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Shalat
Wajib” dengan tepat waktu.
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Bapak Yusri Amri, M.Ag., pada
mata kuliah Fikih Ibadah. Tugas yang diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang diketahui penulis. Penulis juga mengucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Penulis,

11 Maret 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang..................................................................................................
B. Rumusan Masalah ............................................................................................
C. Tujuan..............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
A. Pengertian dan Dasar Hukum Shalat Wajib.....................................................
B. Waktu Shalat Fardhu, Adzan, dan Iqamah.......................................................
C. Rukun Serta Syarat Wajib Serta Sah Shalat.....................................................
D. Hal-Hal yang Membatalkan Shalat.................................................................
E. Shalat Jamak dan Qashar................................................................................
BAB III PENUTUP......................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
DAFTAR KEGIATAN..................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sholat lima waktu merupakan salah satu kewajiban yang harus dikerjakan
oleh setiap orang islam dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi bagaimanapun.
Sholat juga merupakan tiang agama, barang siapa mengerjakannya berarti ia telah
menegakkan agamanya. Dan barang siapa meninggalkanya berarti ia telah
merobohkan agamanya. Sholat yang kita kerjakan haruslah sesuai dengan sholat
yang telah dituntunkan atau dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dasar hukum shalat wajib?
2. Kapan waktu shalat fardhu, azan, dan iqamah?
3. Apa saja rukun dan syarat wajib serta sah shalat?
4. Apa saja hal-hal yang membatalkan shalat?
5. Apa itu shalat jamak dan qashar?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan dasar hukum shalat wajib
2. Mengetahui waktu shalat fardhu, azan, dan iqamah
3. Mengetahui rukun dan syarat wajib serta sah shalat
4. Mengetahui hal-hal yang membatalkan shalat
5. Mengetahui shalat jamak dan qashar

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Shalat Wajib


Menurut bahasa, shalat berarti berdoa kebaikan. Menurut istilah fuqaha,
shalat berarti perkataan dan perbuatan yang di mulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Definisi ini mencakup semua jenis
shalat dan mengecualikan sujud tilawah, yaitu sujud ketika mendengar ayat
tertentu tanpa dimulai dengan takbir. Sujud ini tidak disebut shalat menurut
mazhab syafii dan hanafi.
Mazhab maliki dan hambali mendefinisikan shalat dengan ibadah berupa
pekerjaan yang memiliki takbir ihram, salam, dan sujud. Pekerjaan disini
mencakup perbuatan anggota tubuh seperti rukuk dan sujud, pekerjaan lisan,
seperti membaca ayat dan tasbih, dan pekerjaan hati seperti khusyu’. 1
Di dalam ibadah shalat terdapat beberapa macam hukum yang akan kami
uraikan pada catatan berikut ini menurut tiap madzhabnya. Menurut madzhab
Hanafi: dilihat dari segi hukumnya shalat itu terbagi menjadi empat, pertama:
fardhu ain, yaitu seperti shalat lima waktu. Kedua: fardhu kifayah, yaitu seperti
shalat jenazah. Ketiga: wajib, yaitu seperti shalat witir, atau shalat Ied, atau juga
mengqadha shalat sunnah yang dianggap tidak sah dalam pelaksanaarmya.
Keempat: shalat nafilah, baik itu yang disunnahkan ataupun dianjurkan.
Menurut madzhab Maliki: dilihat dari segi hukumnya shalat itu terbagi
menjadi dua klasifikasi, yaitu shalat yang terdiri dari rukuk, sujud, takbiratul
ihram, membaca ayat-ayat Al-Qur'ary salam, dan shalat yang hanya mencakup
beberapa hal itu di dalamnya. Untuk klasifikasi yang pertama ada tiga bagian,
pertama: shalat yang diwajibkan, yaitu shalat fardhu lima waktu. Kedua: shalat
yang disunnahkan dan nafilah. Ketiga: shalat yang sangat dianjurkan, yaitu dua
rakaat sebelum shalat subuh. Sedangkan klasifikasi yang kedua terdapat dua
bagiary pertama: shalat yang hanya dilakukan dengan sujud saja yaitu sujud
1
Muchtar, asmaji. Dialog Lintas Mazhab, jilid i.

2
tilawah. Kedua: shalat yang dilakukan dengan takbir dan salam saja tanpa rukuk
dan sujud, yaitu shalat jenazah.
Menurut madzhab Asy-Syafi'i: dilihat dari segi hukumnya shalat itu
terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu shalat yang terdapat rukuk dan sujudnya dan
shalat yang tidak terdapat rukuk dan sujud namun terdapat takbirnya, membaca
ayat-ayat Al-Qur'annya, dan juga salam. Untuk klasifikasi yang pertama ada dua
bagian, yaitu: shalat fardhu lima waktu dan shalat-shalat sunnah. Sedangkan untuk
klasifikasi yang kedua hanya ada satu saia, yaitu: shalat jenazah.
Menurut madzhab Hambali: dilihat dari segi hukumnya shalat itu terbagi
menjadi tiga klasifikasi, yang pertama adalah shalat yang di dalamnya terdapat
rukuk, sujud, takbiratul ihram, dan salam, yang mana klasifikasi ini ada dua
bagian yaitu shalat fardhu lima waktu dan shalat sunnah. Klasifikasi yang kedua:
shalat yang di dalamnya terdapat takbiratul ihram, membaca ayat-ayat Al-Qur'an,
dan salam, tanpa ada rukuk dan sujud, yaitu shalat jenazah. Daru klasifikasi yang
ketiga adalah shalat yang hanya terdapat sujudnya saja, yaitu sujud tilawah.

B. Waktu Shalat Fardhu, Azan, dan Iqamah


1. Waktu Shalat Fardhu
Masuknya waktu shalat menjadi salah satu syarat untuk pelaksanaan
shalat, Karena itu, tidak diwajibkan bagi mukallaf untuk melakukan shalat kecuali
jika sudah tiba waktunya untuk melaksanakan shalat tersebut. Lalu apabila waktu
shalat telah tiba maka para mukallaf sudah terbebani untuk melaksanakannya
dalam rentang waktu yang luas, artinya bahwa jika seseorang melakukannya di
awal waktu maka shalatnya dianggap sah dan ia sudah terbebas dari kewajiban
pelaksanaannya, sedangkan jika ia tidak melakukannya di awal waktu maka ia
tidak dianggap telah berbuat dosa, karena waktu pelaksanaannya masih terbentang
hingga waktunya tinggal sedikit lagi, dengan arti waktu yang cukup baginya untuk
melakukan thaharatu baik itu berwudhu atau mandi junub, dan cukup pula untuk
melanjutkannya dengan shalat setelah thaharah tersebut. Apabila ia dapat
memenuhi seluruh rakaat hingga salamnya itu masih di dalam waktu yang

3
dimaksud maka ia pun sudah dianggap telah melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan perintah syariat, dan ia sudah terbebas dari kewajiban pelaksanaannya
sebagaimana jika ia melakukannya di awal waktu atau di tengah-tengahnya.
Adapun jika ia baru melaksanakan shalatnya dari awal hingga akhir di luar
waktu shalat, maka shalatnya masih dianggap sah namun sekaligus ia juga
dianggap telah melakukan perbuatan dosa besar, karena ia tidak melakukan
shalatnya sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Dan jika ia melaksanakan sebagian rakaat shalatnya masih di dalam waktu
dan sebagiannya lagi di luar waktu, maka beberapa ulama berpendapat bahwa
orang itu juga dianggap telah melakukan perbuatan dosa, namun beberapa ulama
lainnya berpendapat bahwa ia tidak dianggap telah berbuat dosa.
Meski demikian, para ulama bersepakat, bahwa orang yang telah
menunaikan sebagian rakaat shalatnya di dalam waktu, maka shalat yang
dilakukannya masih dianggap ada'an (tepat waktu) dan bukan qadha'an (sudah
lewat waktunya). Dan, pelaksanaan shalat secara ada'an tidak membuat seseorang
terbebas dari kemungkinan perbuatan dosa menurut beberapa ulama. Pada catatan
berikut ini kami akan menjelaskan pendapat para ulama dari tiap madzhab
mengenai hal itu.
Menurut madzhab Maliki: apabila seseorang telah mendapatkan satu
rakaat dari shalatnya di dalam waktu pilihan, lalu waktu pilihan tersebut berakhir
hingga ia harus melanjutkan shalatnya di waktu darurat maka orang tersebut tidak
dianggap telah melakukan perbuatan dosa. Adapun jika ia belum mendapatkan
satu rakaat penuh dari shalatnya di dalam waktu pilihan, maka ia sudah dianggap
telah melakukan perbuatan dosa, baik sisa shalatnya itu dilakukan seluruhnya di
waktu darurat ataupun telah keluar dari waktu yang ditentukan. (Brier & lia dwi
jayanti, 2020)
Menurut madzhab Hanafi: apabila seseorang telah mendapatkan sedikit
saja dari shalatnya sebelum keluar waktu, meski hanya takbiratul ihram sekalipun,
maka shalatnya masih dianggap ada'an. Namun ma dzhab ini juga menambahkan,
bahwa jika seseorang tidak melaksanakan seluruh rakaat shalatnya di dalam

4
waktu, maka ia diangap telah melakukan perbuatan dosa, tetapi hanya dosa kecil
bukan dosa besar. (Brier & lia dwi jayanti, 2020)
Menurut madzhab Asy-Syafi'i: apabila seseorang tidak mendapatkan satu
rakaat penuh dari shalatnya di dalam waktu, maka shalatnya itu dianggap sebagai
qadha'an, sedangkan jika ia sudah mendapatkan satu rakaat penuh dan sisanya ia
lakukan saat waktunya sudah berakhir maka ia sudah dianggap telah melakukan
perbuatan dosa, namun perbuatan dosa tersebut lebih kecil dibandingkan dengan
shalat yang dilakukan sepenuhnya secara qadha'an.
Menurut madzhab Hambali: shalat wajib dianggap telah dilakukan secara
ada'an meskipun hanya takbiratul ihram saja yang masuk waktu, artinya jika
seseorang melakukan shalatnya di akhir waktu lalu ketika ia baru saja selesai dari
takbiratul ihram ternyata waktunya telah berakhir, maka shalatnya itu telah
dianggap sebagai ada'an, sama seperti pendapat madzhab Hanafi. Namun bedanya
dengan madzhab Hanafi, menurut madzhab Hambali orang tersebut tidak
dianggap telah melakukan perbuatan dosa, selama ia telah menyelesaikan
takbiratul ihramnya sebelum waktu shalatnya berakhir. (Bier & lia dwi jayanti,
2020)

2. Waktu Adzan dan Iqamah


Adzan menurut etimologi bahasa bermakna maklumat, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah, yang artinya,
"Dan satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya." (At-
Taubah:3),
Sedangkan menurut terminologi syariat Islam, adzan itu berarti
pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan kalimat yang telah
ditentukan. Adzan adalah panggilan dan pemberitahuan akan masuknya waktu
shalat dengan lafazh tertentu.
Iqamah adalah pemberitahuan tentang saatnya dilaksanakan shalat dengan
kalimat yang telah ditentukan. Iqamah itu sama seperti adzan, sedangkan
hukumnya pun sama menurut tiga madzhab selain madzhab Maliki. Menurut
madzhab Maliki, hukum iqamah itu tidak sama seperti hukum adzan, karena

5
hukumnya ada bermacam-macam, yaitu sunnah ain bagi satu orang pria yang
baligh; sunnah kifayah bagi jamaah pria yang baligh; dan mandub ain bagi anak
kecil dan wanita, kecuali jika mereka shalat bersama pria yang baligh maka tidak
dianjurkan bagi mereka untuk melafalkan iqamah, karena sudah terwakilkan
dengan adanya pria yang baligh tersebut.
Seluruh ulama bersepakat bahwa mengumandangkan adzan hukumnya
sunnah muakkad, terkecuali madzhab Hambali, karena mereka berpendapat
bahwa hukumnya adalah fardu kifayatr, yang artinya apabila seseorang telah
melakukannya maka kewajiban itu telah gugur.
Adzan mulai disyariatlkan pada tahun pertama Hijriyah Saat itu kaum
muslimin ingin mengetahui masuknya waktu shalat, kemudian mereka berunding.
Di malam harinya Abdullah Ibnu Zaid Radhiyallahu Anhu bermimpi dan melihat
ada seseorang yang membawa lonceng(3)ia berkata kepadanya, “Apakah engkau
hendak menjual lonceng ini?” Orang itu berkata, “Hendak engkau gunakan untuk
apa?” Abdullah berkata, “Akan kami gunakan untuk memanggil orang
melaksanakan shalat.” Orang itu berkata lagi, “Maukah engkau aku tunjukkan
dengan sesuatu yang lebih baik?” Abdullah menjawab, “Iya.“ Orang itu pun
mengajarkan Abdullah Lafazh adzan dan iqamah seperti yang ada sekarang
ini.”(4)Abdullah berkata, “Di pagi hari aku mendatangi Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam dan mengabarkan mimpiku kepadanya lalu beliau bersabda, “Itu
adalah mimpi yang benar insya Allah, maka temuilah Bilal dan ajarkanlah lafazh
itu kepadanya karena suaranya lebih merdu dari suaramu.

C. Rukun dan Syarat Wajib serta Sah Shalat


Mazhab Hanafi membagi rukun menjadi dua; rukun asli dan rukun
tambahan Rukun asli adalah rukun yang ketika tidak mampu dilakukan
menggugurkan semuanya, sedangkan rukun tambahan adalah rukun yang gugur
dalam sebagian keadaan meskipun mampu dilakukan, misalnya membaca ayat.
Menurut mazhab ini, membaca ayat termasuk rukun, tetapi makmum tidak
wajib melakukannya. Rukun asli yang disepakati dalam mazhab ini ada tiga, yaitu

6
berdiri, ruku`, dan sujud. Sedangkan rukun tambahan yang disepakati hanya satu,
yaitu membaca ayat.
Mazhab Maliki mengatakan, rukun shalat ada lima belas, yaitu 1) niat, 2)
takbir ihram, 3) berdiri dalam shalat fardhu, 4) membaca Surah Al-Fatihah, 5)
berdiri dalam membaca surah ini dalam shalat fardhu-, 6) ruku, 7) bangun dari
ruku, 8) sujud, 9) bangun dari sujud, 10) salam, 11) duduk dalam salam, 12)
thuma ninah, 13) i' tidal dalam ruku, 14) sujud dan bangun dari sujud, dan 15)
tertib dan niat mengikuti imam bagi makmum.
Menurut Mazhab Syafi'i, rukun shalat ada tiga belas; lima berupa ucapan,
dan delapan berupa perbuatan. Rukun yang berupa ucapan adalah 1) takbir ihram,
2) membaca Surah Al-Fatihah, 3) membaca tasyahud akhir, 4) membaca shalawat
Nabi # setelahnya, dan 5) salam pertama. Sedangkan rukun yang berupa perbuatan
adalah 1) niat, 2) berdiri dalam shalat fardhu bagi yang mampu, 3) ruku, 4) i tidal
dari ruku, 5) sujud pertama dan kedua, 6) duduk di antara dua sujud, 7) duduk
terakhir, dan 8) tertib. Thuma ninah hanya menjadi syarat dalam ruku, i' tidal,
sujud, dan duduk, ia bukan termasuk rukun, menurut pendapat yang kuat.
Mazhab Hanbali mengatakan, rukun shalat ada empat belas, yaitu 1)
berdiri dalam shalat fardhu, 2) takbir ihram, 3) membaca Surah Al-Fâtihah, 4)
ruku, 5) bangun dari ruku, i` tidal, 7) sujud, bangun dari sujud, 9) duduk di antara
dua sujud, 10) tasyahud akhir, 11) duduk untuk tasyahud akhir, 12) salam, 13)
thuma`ninah dalam semua rukun yang berupa perbuatan, 14) tertib dan dua salam.
Menurut madzhab Maliki: syarat shalat terbagi menjadi tiga klasifikasi,
yaitu syarat wajib saja, syarat sah saja, dan syarat gabungan antara syarat wajib
dan syarat sah. Untuk klasifikasi yang pertama, yakni syarat wajib saja, ada dua
syaratnya, yaitu:
1. Telah mencapai usia baligh.
2. Tidak dipaksa oleh orang lain untuk tidak melakukannya.
Untuk klasifikasi yangkedua, yakni syarat sah saja, adalima syaratnya,
yaitu:
1. Suci dari hadats.
2. Suci dari kotoran.

7
3. Beragama Islam.
4. Menghadap ke arah kiblat.
5. Dan, menutup aurat.
Sedangkan untuk klasifikasi yang ketiga, yakni gabungan syarat sah dan
wajib, ada enam syaratnya, yaitu:
1. Telah menerima dakwah Islam.
2. Berakal sehat.
3. Telah masuk waktu shalat.
4. Tidak faqid thahurah yakni seseorang yang tidak mendapatkan air untuk
berwudhu dan tidak pula mendapatkan debu yang suci untuk bertayamum.
5. Tidak dalam keadaan tidur, atau tidak dalam keadaan sadar.
6. Tidak dalam keadaan haid atau nifas.
Menurut madzhab Asy-Syaf i: syarat shalat terbagi menjadi dua
klasifikasi, yaitu syarat wajib dan syarat sah.
Untuk klasifikasi yang pertama ada enam syarat, yaitu:
1. Telah menerima dakwah Islam.
2. Beragama Islam.
3. Berakal sehat.
4. Telah mencapai usia baligh.
5. Tidak dalam keadaan haid atau nifas.
6. Ada panca indera yang masih berfungsi, meskipun hanya bisa mendengar
saja, atau hanya bisa melihat saja.
Sedangkan untuk klasifikasi yang kedua ada tujuh syarat yaitu:
1. Suci tubuhnya dari kedua hadats, hadats kecil dan besar.
2. Suci tubuhnya, pakaiannya, dan tempatnya, dari segala najis.
3. Menutup aurat.
4. Menghadap ke arah kiblat.
5. Mengetahui masuknya waktu shalat, meskipun hanya dengan mengira-
ngira saja
6. Mengetahui cara-cara melakukan shalat.
7. Tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan shalat.

8
Menurut madzhab Hanafi: syarat shalat terbagi menjadi dua klasifikasi
seperti halnya pendapat madzhab Asy-Syafi'i, yaitu syarat wajib dan syarat sah.
Untuk klasifikasi yang pertama, yakni syarat wajib, ada lima syaratnya,
yaitu:
1. Telah menerima dakwah Islam.
2. Beragama Islam.
3. Berakal sehat.
4. Telah mencapai usia baligh.
5. Tidak dalam keadaan haid atau nifas.
Sedangkan untuk klasifikasi yang kedua, yakni syarat sah, syaratnya ada
enam, yaitu:
1. Suci tubuhnya dari segala hadats dan najis.
2. Suci pakaiannya dari segala najis.
3. Suci tempatnya dari segala najis.
4. Menutup aurat.
5. Berniat.
6. Menghadap ke arah kiblat.
Menurut madzhab Hambali: syarat shalat tidak diklasifikasikan menjadi
syarat wajib dan syarat sah, berbeda dengan pendapat tiga madzhab lainnya,
madzhab ini mengelompokkan semua syarat menjadi syarat sahnya shalat, dan
seluruhnya ada sembilan syarat, yaitu:
1. Beragama Islam.
2. Berakal sehat.
3. Tamyiz (dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang
baik dengan yang buruk).
4. Suci dari hadats, sesuai kemampuan.
5. Menutup aurat.
6. Terhindar dari najis, baik pada tubuhnya, pakaiannya, dan juga tempatnya.
7. Bemiat.
8. Menghadap ke arah kiblat.
9. Telah masuk waktu.

9
D. Hal-Hal yang Membatalkan Shalat
Menurut madzhab Asy-Syafi'i: hal-hal yang dapat membatalkan shalat
adalah:
 Berhadats dengan segala macam bentuknya.
 Berbicara ketika sedang shalat.
 Menangis atau merintih.
 Banyak bergerak.
 Ragu-ragu dalam berniat atau pada salah satu syarat sahnya shalat atau
pada lafazh niatnya.
 Keluar dari rangkaian shalat sebelum menyelesaikannya.
 Ragu-ragu apakah hendak keluar dari shalat atau tidak.
 Terpenuhinya syarat yang diniatkan untuk keluar dari shalat.
 Mengalihkan niat suatu shalat untuk shalat lainnya, kecuali pada
keadaan tertentu.
 Tiba-tiba menjadi murtad atau menjadi gila tatkala sedang
melaksanakan shalat.
 Tersingkapnya aurat ketika sedang melaksanakan shalat padahal
mampu untuk menutupinya.
 Menemukan penutup untuk auratnya bagi seseorang yang terpaksa
melaksanakan (memulai) shalat dengan tidak menutup auratnya.
 Anggota tubuh atau pakaian orang yang sedang shalat terkena najis
yang tak tertolerir, meskipun najis tersebut masuk ke dalam mata.
 Berlama-lama saat i'tidal atau saat duduk di antara dua sujud, karena
waktu beri'tidal itu tidak boleh melebihi bacaan surat
 Jika seorang makmum mendahului gerakan imamnya lebih dari satu
rukuk atau juga terlambat dua rukun dari gerakan imam
 Mengucapkan salam sebelum waktunya.
 Mengulang takbiratul ihram.
 Tidak melakukan salah satu rukun shalat secara sengaja

10
 Berakhirnya masa rukhsah untuk khuffain saat sedang melakukan
shalat. Atau terlihatnya bagian dari kaki yang seharusnya selalu
tertutup oleh khuffain.
 Menjadi makmum pada imam yang tidak dibolehkan seperti pada
orang kafir atau semacamnya.
 Mengulang salah satu rukun secara sengaja.
 Menelan sesuatu hingga tenggorokan meskipun tidak bermaksud untuk
memakannya.
 Memunggung kiblat.
 Mendahulukan salah satu rukun shalat secara sengaja (misalnya
bersujud terlebih dulu sebelum i'tidal).
Menurut madzhab Maliki: hal-hal yang dapat membatalkan shalat
antara lain:
 Tidak melaksanakan salah satu rukun shalat secara sengaja.
 Tidak melaksanakan salah satu rukun shalat secara tidak sengaja,
namun baru teringat setelah mengucap salam.
 Tidak berniat.
 Menambah salah satu rukun secara sengaja. Misalnya menambah satu
rukuk atau satu sujud dari yang semestinya.
 Bertasyahud pada rakaat pertama atau ketiga secara sengaja.
 Terbahak-bahak secara sengaja atau tidak.
 Makan atau minum secara sengaja.
 Berbicara secara sengaja selain untuk memperbaiki shalat.
 Menyuruh diam secara sengaja.
 Meniup dengan mulut secara sengaja.
 Muntah secara sengaja, meski hanya sedikit.
 Mengucapkan salam ketika masih dalam keraguan apakah shalatnya
sudah selesai atau belum.
 Tiba-tiba batal wudhunya.
 Atau teringat bahwa wudhunya telah batal.

11
 Tersingkapnya aurat secara tidak sengaja.
 Terkena suatu najis, atau teringat telah terkena najis tatkala sedang
shalat.
 Mendahului imam bertakbiratul ihram.
 Banyak bergerak selain dari rangkaian shalat.
 Tiba-tiba harus menahan sesuatu ketika sedang melaksanakan shalat.
 Teringat belum melaksanakan shalat sebelumnya di dua waktu shalat
yang hampir sama waktunya, misalnya antara shalat zuhur dengan
ashar.
 Melakukan shalat lebih dari empat rakaat pada shalat-shalat yang
berjumlah empat rakaat atau tiga rakaat. Dan, melakukan shalat lebih
dari dua rakaat pada shalat-shalat yang berjumlah dua rakaat atau witir.
 Sujud sahwi bagi para masbuk yang tidak mendapatkan satu rakaatpun
bersama imam, baik itu sujud sahwi yang dilakukan sebelum salam
ataupun setelahnya.
 Melakukan sujud sahwi sebelum salam hanya dikarenakan
meninggalkan sunnah yang ringan, seperti bertakbir ketika hendak
rukuk atau bertasmi' ketika hendak i'tidal atau juga karena tidak
berkunut.
 Tidak mengerjakan tiga dari hal-hal yang disunnahkan dalam shalat
secara tidak sengaja, serta tidak melakukan sujud sahwi setelah itu.
Menurut madzhab Hambali: hal-hal yang dapat membatalkan shalat
antara lain:
 Banyak bergerak di luar rangkaian shalat tanpa ada kepentingan yang
mendesak.
 Terkena najis yang tak tertolerir dan tidak dapat disingkirkan secara
langsung.
 Membelakangi kiblat.
 Tiba-tiba berhadats yang membatalkan wudhunya.

12
 Sengaja menyingkapkan aurat. Lain halnya jika auratnya tersingkap
oleh angin dan langsung tertutup atau ditutup kembali.
 Bersandar seutuhnya dengan sengaja, yang mana jika dilepaskan
sandarannya maka ia akan terjatuh.
 Mengulang bertasyahud awal setelah berdiri dan membaca surat Al-
Fatihah pada rakaat selanjutnya (karena tasyahud awal sendiri
hukumnya sunnah).
 Menambah salah satu rukun shalat, seperti rukuk atau sujud.
 Mendahulukan satu rukun atas rukun lainnya secara sengaja.
 Mengucapkan salam secara sengaja sebelum shalatnya selesai.
 Kesalahan dalam I'rab bacaan Al-Qur'an hingga merubah maknanya.
 Membatalkan niat, contohnya dengan menghentikan shalat di tengah-
tengah pelaksanaannya.
 Ragu-ragu untuk membatalkan niat.
 Bertekad untuk membatalkan niat, meskipun setelah itu ia tidak jadi
membatalkannya.
 Ragu-ragu dalam niat shalat, hingga terbawa pada pelaksanaannya,
 Ragu-ragu dalam bertakbiratul ihram.
 Meminta hal-hal duniawi dalam doanya ketika sedang melaksanakan
shalat.
 Menyebutkan huruf "kaf khitab" untuk selain Allah dan Rasul-Nya di
dalam shalat.
 Terbahak-bahak.
 Berbicara.
 Melampaui posisi imam.
 Batalnya shalat imam.
 Mengucapkan salam sebelum imam dengan sengaja.
 Mengucapkan salam sebelum imam secara tidak sengaja dan tidak
mengulang salamnya setelah imam mengucapkan salam.
 Makan dan minum, kecuali dalam keadaan lupa dan hanya sedikit.

13
 Menelan gula atau makanan kecil lain yang memiliki rasa, kecuali
terlupa dan hanya sedikit.
 Berdehem tanpa kepentingan yang mendesak.
 Menghembuskan angin dari mulut lebih dari pelafalan dua huruf. –
 Menangis selain karena takut kepada Allah dan lebih dari pelafalan
dua huruf, kecuali ia tidak dapat menahannya.
 Meracau ketika melaksanakan shalat.
Menurut madzhab Hanafi: hal-hal yang dapat membatalkan shalat
antara lain:
 Berbicara dengan jelas.
 Berdoa untuk meminta hal-hal duniawi.
 Mengucap salam di tengah shalat
 Menjawab salam di tengah shalat
 Banyak bergerak.
 Berpaling dari hadapan kiblat.
 Memakan atau meminum sesuatu yang berasal dari luar mulutnya
meskipun hanya sedikit.
 Menggigit sesuatu dengan giginya atau menelan sesuatu yang
berukuran sebesar biji kacang.
 Berdehem tanpa alasan tertentu.
 Menghembuskan angin dari mulut.
 Merintih, yang biasanya disertai dengan ucapan: aduh atau
semacarnnya.
 Tersedu akibat menahan rasa sakit di tubuhnya atau karena ada
musibah yang menimpanya.
 Menjawab tahmid dari orang yang bersin, yaitu dengan jawaban:
"yarhamukumullah" .
 Menjawab atas kabar tentang seseorang yang menyimpang, biasanya
dengan ucapan: "laa ilaaha illnllah?" dengan bentuk pertanyaan.

14
 Menjawab atas suatu kabar buruk, biasanya dengan ucapan: "innlt
lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun."
 Teringat shalat wajib yang terlewatkan dan belum dikerjakan. Namun
shalat yang sedang dilaksanakannya itu hanya terbatalkan jika shalat
yang terlewatkan tidak lebih dari lima fardhu.
 Menjawab atas suatu kabar gembira, biasanya dengan ucapan: "
alhamdulillaah."
 Mengucapkan kalimat "subhaanallaah" atau "laa ilaaha illallah" ketika
terkejut akan terjadinya sesuatu.
 Melafalkan ayat Al-Qur'an dengan maksud sebagai jawaban.
 Apabila seseorang yang bersuci dengan cara bertayamum melihat
adanya air ketika ia sedang shalat, namun dengan syarat ia melihat air
itu sebelum duduk tasyahud dan membaca tasyahudnya.
 Begitu pula jika orang tersebut bersuci dengan cara berwuudhu, namun
ia menjadi makmum dari imam yang bersuci dengan cara ber
tayammum.
 Berakhirnya masa ruksah untuk kuffain saat sedang melakukan shalat,
asalkan sebelum duduk tasyahud dan selesai membaca tasyahudnya.
 Begitu juga jika seseorang melepaskan khuffainnya saat sedang
melaksanakan shalat, meskipun hanya dengan sedikit gerakan saja.
 Mempelajari ayat Al-Qur'an melalui pendengarannya bagi selain
makmum, baik dengan diikuti ataupun hanya diingat-ingat saja.
 Mampu melakukan rukuk dan sujud bagi orang yang melaksanakan
shalatnya dengan bahasa isyarat.
 Shalatnya dipimpin oleh imam yang tidak sah untuk dijadikan imam,
seperti perempuan atau buta huruf.
 Terbitnya matahari ketika sedang melaksanakan shalat subuh.
 Tergelincirnya matahari ke atas kepala ketika sedang melaksanakan
shalat ied.
 Masuknya waktu ashar tatkala sedang melaksanakan shalat Jum'at.

15
 Terlepasnya gips (pembalut luka yang dibasuh ketika berwudhu)
dengan sendirinya karena lukanya telah sembuh.
 Berlalunya kondisi keterpaksaan.
 Berhadats dengan sengaja.
 Jatuh pingsan.
 Mendadak tidak waras.
 Junub akibat memandang sesuatu atau melalui mimpi sesaat.
 Bersejajar (antara perempuan dengan pria).
 Tersingkapnya aurat dari orang yang sudah berhadats kalau ia terpaksa
harus bersuci, sebagaimana kaum perempuan yang menyingkap
lengannya untuk berwudhu.
 Membaca ayat Al-Qur’an dari orang yang sudah berhadats sedangkan
ia akan pergi berwudhu atau telah kembali dari berwudhu.
 Tetap tinggal di tempatnya setelah berhadast selama satu rukan shalat.
 Melewati tempat berwudhu yang lebih dekat dengannya dan memilih
tempat berwudhu yang dua saf lebih jauh dari tempat yang lebih dekat.
 Keluar dari masjid karena ia mengira telah berhadats.
 Meninggalkan tempat shalatnya karena ia mengira tidak memiliki
wudhu, atau karena masa khuffainnya telah habis, atau karena teringat
ada shalat yang belum dikerjakan, atau karena adanya najis.
 Seorang makmum memberitahukan bacaan ayat Al-Qur'an selain
kepada imamnya.
 Bertakbir dengan niat pindah ke shalat atau jamaah lain.
 Memanjangkan huruf hamzah (alif) ketika bertakbir
 Membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang belum dihafal benar, atau keliru
dalam i'rabnya.
 Tersingkapnya aurat atau terkena najis yang tidak dibolehkan dalam
shalat, selama satu rukun.
 Mendahului imam lebih dari satu rukun.

16
 Mengikuti imam bersujud sahwi bagi para masbuk yang tidak
mendapatkan satu rakaat pun bersama imam tersebut.
 Tidak mengulang tasyahud akhir setelah melakukan sujud biasa yang
tertinggal atau juga sujud tilawatu yang mana keduanya baru teringat
saat sudah duduk tasyahud.
 Tidak mengulang salah satu rukun yang dilakukan dengan tertidur.
 Terbahak-bahak di hadapan masbuk yang masih menjalankan sisa
shalatnya, meskipun tanpa sengaja.
 Mengucapkan salam pada dua rakaat pertama saat melaksanakan shalat
yang terdiri dari empat rakaat karena menyangka hanya dua rakaat
saja.
 Melampaui posisi imam walaupun hanya satu tapak kaki saja. Lain
halnya jika seorang makmum berdiri sejajar dengan imamnya, maka
shalatnya tetap dianggap sah.

E. Shalat Jamak dan Qashar


1. Shalat Jamak
Shalat jamak adalah menggabungkan dua shalat yang tertentu secara
takdim atau takhir. Shalat-shalat tertentu yang dapat digabungkan itu adalah shalat
zuhur dengan shalat ashar secara takdim di waktu zuhttr, yaitu dengan
melaksanakan shalat ashar bersama shalat zuhur sebelum tiba waktu ashar; shalat
zuhur dengan shalat ashar secara takhir di waktu ashar, yaitu dengan
melaksanakan shalat zuhur bersama shalat ashar ketika waktu zuhur telah
berakhir; shalat maghrib dengan shalat isya secara takdim di waktu maghrib, yaitu
dengan melaksanakan shalat isya bersama shalat maghrib sebelum tiba waktu
isya; shalat maghrib dengan shalat isya secara takhir di waktu isya, yaitu dengan
melaksanakan shalat maghrib bersama shalat isya ketika waktu maghrib telah
berakhir. 2

2
Muchtar, asmaji. Dialog Lintas Mazhab, jilid ii.

17
Hanya keempat waktu shalat itu saja yang dapat dijamakkan, sedangkan
waktu shalat subuh sama sekali tidak boleh dijamakkan dengan shalat apa pun.
Seorang mukallaf tidak diperbolehkan untuk mengerjakan shalat di luar waktunya,
baik sebelum atau sesudahnya, tanpa alasan yang diperkenankan, karena Allah
memerintahkan kita untuk selalu melaksanakan shalat tepat pada waktunya
(waktu-waktu tersebut telah dijelaskan pada pembahasan tentang waktu shalat.
Allah berfirman:

" Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman." (An-Nisaa: 103)

Hukum menjamak shalat itu diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu.


Lihatlah penjelasan dari tiap madzhab untuk sebab-sebab tersebut pada penjelasan
di bawah ini, sekaligus dengan syarat-syaratnya.

Menurut madzhab Maliki, di antara faktor yang dapat membuat shalat


boleh dijamak adalah: bepergian, sakit, hujan, jalan berlumpur disertai dengan
keadaan yang gelap di akhir bulan pelaksanaan ibadah haji di Arafah dan
Muzdalifah.

Faktor pertama: bepergian. Maksud dari bepergian di sini adalah bepergian


biasa, tidak perlu mencapai jarak yang setara dengan jarak shalat qashar.

Bagi musafir yang bepergian dengan maksud yang dihalalkan dia


diperbolehkan untuk menjamakkkan antara shalat zuhur dengan shalat ashar
secara takdim asalkan memenuhi dua syarat. Syarat pertama: matahari sudah
tergelincir (kira-kira pukul12.00) saat dia berhenti di tempat pemberhentian
musafir untuk beristirahat. Syarat kedua: dia berniat untuk berangkat lagi sebelum

18
masuknya waktu ashar, sedangkan pemberhentian selanjutnya dilakukan setelah
matahari terbenam (kira-kira pukul 18.00).

Apabila musafir berniat akan berhenti lagi sebelum matahari menguning


(kira-kira pukul16.00), maka hendaknya dia melakukan shalat zuhumya saat itu
dan mengakhirkan shalat asharnya ketika berhenti lagi, karena saat matahari
menguning masih termasuk waktu pilihan untuk shalat ashar, maka dia tidak perlu
menggabungkannya dengan shalat zuhur. Namun apabila dia memutuskan untuk
menggabungkan shalat asharnya dengan shalat zuhur, maka shalat asharnya tetap
sah meski dia dianggap telah melakukan perbuatan dosa, dan dianjurkan baginya
untuk mengulang shalat asharnya di pemberhentian selanjutnya.

Adapun jika dia berniat untuk melakukan pemberhentian selanjutnya saat


matahari hendak terbenam (kira-kira pukul17.45), maka setelah shalat zuhur dia
boleh memilih apakah mau melaksanakan shalat ashar secara takdim ataukah dia
mau melakukannya saat pemberhentian selanjutnya, karena kedua waktu tersebut
sama-sama termasuk waktu darurat untuk shalat ashar. Apabila dia memilih
memajukan shalat asharnya berarti dia melakukan shalat ashar di waktu darurat
yang didahulukan karena melakukan perjalanan sedangkan apabila dia memilih
menunda shalat asharnya berarti dia akan melakukan shalat ashar di waktu darurat
yang disyariatkan.3

Sedangkan jika ketika masuk waktu zuhur dia masih berada di tengah-
tengah perjalanannya dan dia berniat untuk melakukan pemberhentian saat
matahari akan menguning atau sebelum itu (kira-kira pukul 15.30), maka dia
boleh mengakhirkan shalat zuhurnya untuk dilakukan bersama shalat ashar di saat
pemberhentiannya. Namun jika dia berniat untuk melakukan pemberhentian saat
matahari sudah terbenam (kira-kira pukul 18.00), maka dia tidak boleh
mengakhirkan shalat zuhurnya untuk dilakukan bersama shalat ashar di waktu
tersebut, dan dia tidak boleh menunda shalat asharnya hingga waktu tersebut,
karena dengan melakukan kedua shalat itu pada waktu tersebut maka dia telah
bemiat untuk melakukan keduanya di luar waktu yang semestinya. Pilihan
3
Muchtar, asmaji. Dialog Lintas Mazhab, jilid ii.

19
terbaiknya saat itu adalah menjamak kedua shalat tersebut secara performa, yaitu
melakukan shalat zuhur di akhir waktu pilihan dan melakukan shalat ashar di awal
waktu pilihan (kira-kira pukul 15.00).

Hukum seperti kedua shalat itu juga berlaku untuk shalat maghrib dan
shalat isya, namun dengan sedikit catatan bahwa awal waktu shalat maghrib
adalah setelah terbenamnya matahari (kira-kira pukul L8.00), perbandingannya
sama seperti saat tergelincirnya matahari untuk shalat zuhur (kira-kira
pukul12.00). sedangkan sepertiga malam pertama (kira-kira pukul 20.00)
perbandingannya adalah menguningnya matahari setelah masuk waktu ashar
(kira-kira pukul16.00). Adapun untuk waktu menyingsingnya fajar (kira-kira
pukul 04.00) perbandingannya adalah saat matahari terbenam untuk shalat ashar
(kira-kira pukul18.00).

Apabila sudah masuk waktu maghrib saat dia melakukan pemberhentian


dan berniat untuk berangkat lagi sebelum masuknya waktu isya, sedangkan
pemberhentian selanjutnya dilakukan setelah fajar menyingsing, maka hendaknya
dia menggabungkan shalat isya bersama shalat maghrib secara takdim sebelum
dia melanjutkan perjalanannya. Namun jika dia berniat untuk melakukan
pemberhentian kembali saat sepertiga malam pertama, maka hendaknya dia hanya
melakukan shalat maghrib saja sebelum melanjutkan perjalanannya, dan untuk
shalat isyanya dia boleh memilih, apakah mau dilakukan bersama shalat maghrib
saat itu ataukah dia mau melakukannya di pemberhentian berikutnya. Adapun
seterusnya sama seperti shalat zuhur dan ashar dengan perbandingan waktu seperti
yang telah kami sebutkan di atas.

Shalat jamak bagi musafir hukumnya diperbolehkan, namun maksud dari


diperbolehkan di sini adalah dalam artian yang berlawanan dengan perbuatan
yang diutamakan, oleh karena itu sebaiknya tidak dilakukan apabila tidak
memberatkan. Adapun pembolehannya juga hanya bagi musafir yang melakukan
perjalanan melalui darat saja, sedangkan musafir yang melakukan perjalanan
melalui laut tidak diperbolehkan untuk melakukannya, sebab keringanan untuk

20
menggabungkan dua shalat hanya disyariatkan untuk perjalanan melalui darat
saja, tidak melalui yang lainnya.

Faktor kedua: sakit. Apabila seseorang sedang mengalami jatuh sakit dan
terasa berat baginya untuk melaksanakan shalat pada setiap waktunya, atau untuk
memperbaharui wudhunya pada setiap shalatnya, maka dia diperbolehkan untuk
menggabungkan shalat zuhurnya dengan shalat ashar dan shalat maghribnya
dengan shalat isya, namun dengan jamak secara performa saja, yakni melakukan
shalat zuhur di akhir waktu pilihan dan melakukan shalat ashar di awal waktu
pilihan (kira-kira pukul15.00),begitu iuga dengan shalat maghrib dan isya (kira-
kira pukul 19.00). Menjamak shalat seperti ini memang bukan bentuk jamak yang
sebenarnya, karena setiap shalatnya dilakukan sesuai dengan waktunya masing-
masing, namun bagi orang yang sedang sakit hal ini diperbolehkan sama sekali
tidak dimakruhkan bahkan dia mendapatkan keutamaan shalat di awal waktu pada
setiap shalatnya. Berbeda halnya dengan orang yang tidak sakit, meskipun
diperbolehkan untuk melakukan shalat seperti itu namun dia sudah kehilangan
keutamaan shalat di awal waktu.

Adapun bagi penderita sakit berkala, seperti pusing mendadak atau jatuh
pingsan, maka dia boleh menjamak shalatnya secara takdim. Misalnya ketika
melaksanakan shalat zuhur atau maghrib dia merasa khawatir akan mengalami
sakit pusing yang luar biasa hingga kesulitan untuk melakukan shalat ashar atau
isya dengan sempurna, maka dia boleh melakukan kedua shalat itu bersama shalat
sebelumnya. Namun jika dia telah melakukannya seperti itu lalu sakit yang
dikhawatirkan tidak terjadi, maka dia harus mengulang shalatnya sesuai dengan
waktu yang seharusnya.

Faktor ketiga dan keempat: hujan dan jalan berlumpur yang disertai
dengan keadaan yang gelap. Mereka cukup hanya datang di waktu maghrib, dan
melakukan dua shalat sekaligus dalam satu waktu. Namun shalat jamak ini
diperbolehkan dalam artian berlawanan dengan perbuatan yang diutamakan dan
hanya khusus untuk dilakukan di masjid saja, tidak boleh dilakukan di rumah.

21
Shalat jamak tidak boleh dilakukan perseorangan meskipun di dalam
masjid, kecuali jika orang yang melakukannya adalah imam rawatib, dia boleh
melakukannya seorang diri dengan niat menjadi imam. Adapun bagi orang yang
i'tikaf juga diperbolehkan untuk ikut berjamaah shalat jamak tersebut bersama
masyarakat yang datang dari luar masjid.

Apabila seandainya hujan berhenti setelah memulai shalat yang pertama,


maka shalat jamak masih diperbolehkan hingga selesai, namun jika hujan itu
berhenti sebelum memulai shalat, maka shalat jamak sudah tidak diperbolehkan
lagi.

Faktor kelima: pelaksanaan rukun haji di Arafah. Di sunnahkan bagi para


jamaah haji untuk menjamak shalat zuhurnya dengan shalat ashar secara takdim
ketika masih berada di Arab. Namun demikian, sunnah ini tidak hanya berlaku
bagi para jamaah haji saja, karena penduduk setempat dan juga masyarakat umum
lainnya yang melakukan perjalanan juga boleh melakukannya, untuk mendapatkan
nilai sunnahnya, meskipun jarak yang mereka tempuh tidak sampai jarak qashar

Faktor keenam: pelaksanaan rukun haji di Muzdalifah. Disunnahkan bagi


para jamaah haji setelah mereka berangkat dari Arafah untuk menunda shalat
maghribnya hingga sampai di Muzdalifah lalu menggabungkan shalat tersebut
dengan shalat isya secara takhir. Namun shalat jamak ini hanya disunnahkan bagi
mereka yang berwukuf bersama imamnya di Arafah, jika tidak maka sebaiknya
mereka melakukan kedua shalat tersebut sesuai dengan waktunya masing-masing.

Menurut madzhab Asy'Syafi'i, menjamak antara dua shalat secara takdim


atau takhir diperbolehkan bagi musafir yang menempuh perjalanan hingga
mencapai jarak qashar dengan syarat-syarat perjalanan seperti dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya. Sedangkan untuk alasan hujan shalat jamak hanya
diperbolehkan jika dilakukan secara takdim saja.

Ada enam syarat yang harus dipenuhi ketika hendak melakukan shalat
jamak takdim, yaitu:

22
Syarat pertama: Melaksanakan kedua shalat tersebut secara berurutan,
yakni dengan memulai dari shalat pemilik waktu. Misalnya seseorang ingin
menggabungkan shalat asharnya dengan shalat zuhur secara takdim, maka dia
harus melakukan shalat zuhur terlebih dahulu, karena shalat itulah pemilik
waktunya.

Syarat kedua: Meniatkan shalat jamak di shalat yang pertama. Misalnya


seseorang ingin menggabungkan shalat asharnya dengan shalat zuhur secara
takdim, maka dia harus berniat di dalam hatinya untuk melakukan shalat ashar
setelah selesai dari shalat zuhumya.

Syarat ketiga: Kedua shalat dilakukan secara berkesinambungan. Oleh


karena itu tidak boleh bagi orang yang melakukan shalat jamak untuk menjeda
antara keduanya dalam rentang waktu yang cukup lama. Jeda maksimal yang
ditolerir hanya setara dengan pelaksanaan shalat dua rakaat yang sangat ringan.

Syarat keempat: Perjalanan masih berlangsung hingga shalat yang kedua


sudah dimulai dengan takbiratul ihram. Apabila perjalanannya terhenti ketika
melakukannya, maka shalat jamaknya tetap sah, sedangkan jika perjalanan sudah
terhenti sebelum memulai shalat yang kedua dengan takbiratul ihram maka shalat
jamak sudah tidak boleh dilakukan lagi, karena alasan untuk melakukan shalat
jamaknya sudah berakhir.

Syarat kelima: Meyakini waktu shalat pertama masih cukup panjang


hingga dapat melaksanakan shalat kedua dengan menjamaknya.

Syarat keenam: Meyakini keabsahan shalat yang pertama. Kalau misalnya


shalat pertama adalah shalat jum'at, sedangkan di wilayahnya terdapat beberapa
masjid yang menyelenggarakan shalat jum'at tanpa diperlukan, dan dia merasa
ragu shalat Jum'at di masjid yang didatanginya melakukan takbiratul ihram lebih
awal dari masjid lainnya, maka dengan begitu dia tidak boleh menjamak shalat
asharnya secara takdim.

Menurut madzhab ini, hukum shalat jamak terkadang bisa juga menjadi
wajib, dan terkadang bisa juga menjadi sunnah. Contoh shalat jamak yang

23
diwajibkan adalah, apabila waktu shalat pertama sudah sangat tidak
memungkinkan bagi musafir, karena waktunya hanya cukup baginya untuk
berwudhu saja, maka ketika itu dia diwajibkan untuk menjamak kedua shalatnya
secara takhir. Sedangkan contoh shalat jamak yang disunnahkan adalah shalat
jamak yang dilakukan oleh jamaah haji di Arafah dan Muzdalifah, sebagaimana
telah dijelaskan di atas tadi. Disunnahkan pula ketika pelaksanaan shalat jamak
menjadi penyempurnaan shalat, misalnya melakukan shalat jamak dengan
berjamaah dibandingkan dengan shalat tanpa dijamak namun dilakukan seorang
diri.

Adapun untuk shalat jamak takhir ada dua syarat yang harus dipenuhi.
Syarat pertama: Berniat untuk menggabungkan shalat secara takhir ketika masih
berada di waktu shalat yang pertama dan waktunya masih cukup untuk
melaksanakan shalat dengan rakaat yang sempurna atau dengan rakaat qashar.

Syarat kedua: Perjalanan masih berlangsung hingga kedua shalat itu


selesai. Apabila musafir telah habis masa perjalanannya, maka shalat yang
diniatkan untuk dijamak takhir menjadi shalat qadha.

Menurut madzhab Hanafi, menjamak dua shalat dalam satu waktu tidak
boleh dilakukan, tidak bagi musafir dan tidak juga bagi orang yang bermukim,
kecuali pada dua kondisi.

1. Menjamak shalat zuhur dengan shalat ashar secara takdim bagi jamaah
haji. Sedangkan mereka yang melakukannya harus memenuhi empat
syarat. Syarat pertama: Harus dalam keadaan berihram. Syarat kedua:
Hanya dilakukan di Arafah. Syarat ketiga: Melakukan shalat jamaknya
bersama imam besar atau perwakilannya. Syarat keempat Shalat zuhurnya
harus diyakini keabsahannya, karena apabila ada sedikit cacat pada shalat
tersebut maka shalat tersebut harus diulang, dan dengan begitu shalat
asharnya tidak boleh lagi dijamak dengan shalat tersebut, melainkan harus
dilakukan ketika waktunya sudah masuk.

24
2. Menjamak shalat maghrib dengan shalat isya secara takhir bagi jamaah
haji. Sedangkan mereka yang melakukannya juga harus memenuhi dua
syarat. Syarat pertama: Harus dalam keadaan berihram. Syarat kedua:
Hanya dilakukan di Muzdalifah.

Menurut madzhab Hambali, shalat yang dijamak antara shalat zuhur


dengan shalat ashar dan shalat maghrib dengan shalat isya secara takdim atau
takhir hukumnya boleh dilakukan, namun lebih afdhal jika tidak dilakukan.
Terkecuali shalat jamak yang dilakukan antara shalat zuhur dengan shalat ashar
secara takdim di Arafat dan shalat jamak yang dilakukan antara shalat maghrib
dengan shalat isya secara takhir di Muzdalifatu karena kedua shalat jamak ini
hukumnya disunnahkah.

Ada empat syarat sah shalat jamak yang dilakukan secara takdim harus
dipenuhi oleh orang yang shalat, yaitu: Satu: Meniatkan shalat jamak ketika
takbiratul ihram di shalat yang pertama. Dua: Tidak menjeda antara kedua shalat
kecuali untuk iqamah dan berwudhu. Apabila seseorang yang shalat jamak
melakukan shalat sunnah di antara kedua shalat jamak tersebut maka shalat
jamaknya tidak sah. Tiga: Keberlangsungan alasan yang memperkenankan shalat
jamak ketika melakukan takbiratul ihram pada kedua shalat yang dijamak dan
ketika mengucapkan salam pada shalat yang pertama. Empat: Keberlangsungan
alasan tersebut hingga shalat yang kedua terselesaikan.

Sedangkan untuk shalat jamak yang dilakukan secara takhir, maka dia
harus memenuhi dua syarat. Satu: Berniat untuk melakukan shalat jamak takhir
sejak masih berada di waktu shalat yang pertama (kira-kira sejak pukul 12.00
hingga pukul 15.00). Apabila waktunya sudah sangat sempit untuk melakukannya,
maka shalat tersebut sudah tidak boleh lagi untuk dijamak dengan shalat
berikutnya secara takhir. Dua: Alasan yang memperbolehkan untuk melakukan
jamak takhir terus berlangsung sejak meniatkan diri untuk menjamak shalat di
waktu shalat yang pertama hingga masuknya waktu shalat yang kedua dan
pelaksanaannya.

25
2. Shalat Qashar

Menurut madzhab Asy-Syafi'i dan Hambali, diperbolehkan bagi musafir


untuk mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat (yakni zuhur, ashar, dan
isya) menjadi dua rakaat saja, sebagaimana musafir juga boleh melakukannya
dengan rakaat sempurna, empat rakaat. Sedangkan menurut madzhab Maliki dan
Hanafi, mengqashar shalat diperintahkan bagi musafir, bukan hanya
diperbolehkan. Namun kedua madzhab ini berbeda pendapat mengenai hukum
dari perintah tersebut. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa hukumnya wajib.
Tetapi sebagaimana diketahui bahwa hukum wajib menurut madzhab Hanafi lebih
rendah dari hukum fardu, apabila hukum tersebut dibandingkan dengan madzhab
lainnya maka hukum wajib menurut mereka bisa disamakan dengan sunnah
muakkad menurut madzhab lainnya. Dengan begitu maka dimakruhkan bagi
musafir untuk menyempurnakan shalat empat rakaat dalam jumlah penuh. Apabila
dia menyempurnakannya seperti itu maka shalatnya dapat dianggap sah selama
tidak meninggalkan duduk tasyahud awalnya, karena duduk tersebut hukumnya
fardhu pada kondisi seperti itu. Namun meskipun dianggap satu dia juga dianggap
telah melakukan perbuatan dosa karena meninggalkan kewajiban, yakni walaupun
dengan meninggalkannya dia tidak dimasukkan ke dalam neraka namun dia tidak
berhak untuk mendapatkan syafaat dari Nabi di Hari Kiamat nanti.

Itu adalah pendapat madzhab Hanafi, sementara madzhab Maliki


berpendapat bahwa mengqashar shalat bagi musafir hukumnya sunnah muakkad,
bahkan lebih ditekankan daripada hukum sunnah muakkad untuk shalat
berjamaah. Apabila seorang musafir tidak melakukan qashar tersebut, dia memang
tidak dianggap telah melakukan perbuatan dosa, namun dia juga tidak akan
mendapatkan pahala dari sunnah tersebut, dan berbeda dengan madzhab Hanafi,
karena menurut madzhab Maliki apabila musafir tersebut tidak melakukannya
maka dia tetap berhak untuk mendapatkan syafaat dari Nabi.

Menurut madzhab Hanafi, mengqashar shalat wajib hukumnya bagi


musafir, dan dimakruhkan bagi musafir untuk tidak melakukannya (yuk i tetap
menjalankan shalat empat rakaat), selain itu dengan tidak melakukannya dia juga

26
telah menunda ucapan salam yang wajib dari waktu sebenamya, karena ucapan
salam semestinya dilakukan oleh orang yang shalat setelah selesai dari duduk
tasyahud akhfu, dan duduk tasyahud akhir bagi mus#ir adalah di penghujung
rakaat yang kedua. Oleh karena itu, kalaupun memang mus#ir tetap menjalankan
empat rakaat, maka baginya duduk di rakaat kedua menjadi fardhu, dia tidak
boleh meninggalkannya, karena jika dia melakukan hal itu maka shalatnya
menjadi tidak sah lagi.

Menurut madzhab Maliki, mengqashar shalat bagi musafir hukumnya


sunnah muakkad, apabila tidak melakukannya maka dia tidak akan mendapatkan
pahala ibadah sunnahnya. Shalat qashar ini dapat dilakukan seorang diri apabila
musafir tidak mendapati musafir lainnya untuk dijadikan imam atau makmumnya/
dan dimakruhkan baginya untuk bermakmum kepada imam yang bermukim,
karena dengan begitu dia harus menyelesaikan rakaat shalatnya secara sempurna
hingga dia harus kehilangan nilai pahala ibadah sunnah muakkadnya.

Menurut madzhab Asy-Syafi'i, bagi musafir yang melakukan perjalanan


jauh diperbolehkan baginya untuk mengqashar shalat, sebagaimana diperbolehkan
pula baginya untuk tidak melakukannya, namun lebih afdhal jika mengqasharnya,
dengan syarat jarak yang ditempuh harus mencapai tiga marhalah (1 marhalah = 8
farsakh, dan 1 farsakh = +5,44 km), apabila tidak mencapai jarak tersebut maka
mengqashar shalat tidak lebih afdal, karena menurut madzhab ini batas minimum
untuk mengqashar shalat adalah dua marhalah, apabila jarak yang ditempuh hanya
batas minimum saja maka mengqashar shalat diperbolehkan sebagaimana
diperbolehkan pula untuk tidak mengqasharnya, sedangkan jika jarak
perjalanannya mencapai tiga marhalah atau lebih, maka mengqashar shalat
menjadi lebih afdhal daripada tidak mengqasharnya, asalkan musafir tersebut
bukanlah seorang pelaut. Pelaut yang dimaksud adalah orang yang menjalankan
kapal atau para asistennya, dan lebih sering disebut juga dengan nakhoda dan
awak kapalnya. Apabila mereka-mereka itu yang menjadi musafir, maka
mengerjakan shalat dengan rakaat yang sempurrra lebih afdhal bagi mereka,
meskipun jarak perjalanan yang ditempuh oleh mereka lebih dari tiga marhalah.

27
Menurut madzhab Hambali, mengqashar shalat bagi musafir itu
diperbolehkan dan lebih afdhal daripada tidak mengqasharnya. Oleh karena itu
bagi musafir yang menempuh perjalanan jauh boleh memilih salah satu antara
mengqashar shalat atau tidak, tanpa dimakruhkan sama sekali untuk memilih salah
satunya, meskipun lebih afdhal baginya untuk mengqasharnya. Namun ada
beberapa pengecualian untuk hukum ini, salah satunya adalah apabila musafir
tersebut seorang pelaut atau nakhoda, ketika dia membawa serta istri dan anak-
anaknya di dalam kapal tersebut, maka dia tidak boleh mengqashar shalatnya,
karena hukumnya sama seperti hukum orang yang bermukim. Insya Allah
pengecualian lainnya akan kami sampaikan sesaat lagi pada pembahasan tentang
syarat-syarat mengqashar shalat.

Mengqashar shalat memiliki ketetapan hukum melalui Al-Qur'an, hadits,


dan ijma'para ulama.

"Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar
shalat, jikakamu takut diserang orangkafir." (An-Nisaa': 101)

Ayat ini menunjukkan bahwa mengqashar shalat disyariatkan tatkala


dalam keadaan takut. Memang pada ayat ini tidak disebutkan syariat qashar shalat
ketika seseorang dalam keadaan aman, namun hal itu telah ditetapkan dalam
hadits Nabi dan ijma' para ulama. Salah satu hadits yang terkait dengan hal ini
adalah hadits yang diriwayatkan dari Ya'la bin Umayah, dia pernah berkata
kepada lJmar, "Mengapa kita harus mengqashar shalat sedangkan kita dalam
keadaan aman?" Umar menjawab, "Aku pernah menanyakan hal ini kepada Nabi
tB, dan beliau bersabda, 'Qashar itu merupakan salah satu anugerah dari Allah
kepada kalian, oleh karena itu terimalah anugerah itlt."'se (HR. Muslim).

Selain itu ijma' para ulama Islam dan seluruh kaum Muslimin juga telah
bersepakat bahwa shalat qashar ini disyariatkan bagi musafir dalam keadaan
genting ataupun dalam keadaan aman.4

4
Muchtar, asmaji. Dialog Lintas Mazhab, jilid ii.

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Allah akan memberikan keberuntungan kepada orang mukmin karena


mereka memiliki sifat-sifat diantaranya yaitu : 1) Orang-orang yang khusyu dalam
shalatnya. 2) Orang-orang yang menjauhkan diri dari perilaku yang tidak berguna
yang menyangkut perkataan dan perbuatan. 3) Orang-orang yang menunaikan
zakat, yaitu membersihkan dan mensucikan dirinya dari harta yang diwajibkan
memberikannya kepada orang fakir dan orang miskin sehingga mendapat ridha-
Nya. 4) Orang-orang yang memelihara farjinya (kemaluannya) dari perbuatan
haram, yaitu seperti berzina dalam keadaan apapun, kecuali hubungan suami-isteri
dan budak-budak mereka pada masa perbudakan masih diizinkan karena dalam
keadaan itu mereka tidak tercela. 5) Orang-orang yang memelihara amanat-
amanat dan janjinya, memelihara amanat-amanat dan janji disini yaitu orang-
orang yang apabila diserahi amanat, maka dia tidak berkhianat, tetapi
menyampaikan amanat itu kepada orang yang berhak menerimanya, dan apabila
berjanji maka dia memenuhi janji itu, dan tidak menghianatinya. 6) Orang-orang
yang memelihara shalatnya, yaitu mereka senantiasa melaksanakan shalat tepat

29
waktu serta memelihara dari syarat, adab dan rukun-rukunnya.
Hal ini menunjukkan keutamaan shalat, karena dengan memelihara shalatnya
seseorang akan mendapatkan kemenangan yang sesungguhnya.

B. Saran

Demikianlah pembahasan terkait Shalat Wajib. Pemakalah menyadari


banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karenanya, besar
harapan kami atas saran dan kritik yang membangun agar menjadikan makalah ini
lebih baik lagi dan sebagai motivasi buat pemakalah.

DAFTAR PUSTAKA

Syaih Abdurrahman Al- Juzairy. Fikih Empat Madzhab. jilid 1 dan 2

Brier, J., & lia dwi jayanti. (2020). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者


における 健康関連指標に関する共分散構造分析 Title. 21(1), 1–9.
http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203

Muchtar, asmaji. Dialog Lintas Mazhab, jilid ii

30
DAFTAR KEGIATAN

No NAMA / NIM KEIKUTSERTAAN TT KET


1 Nazua Salsha Sabilla Ikut Serta Mengetik dan
2213030049 membuat
kesimpulan
2 Mutya Alfasary Siregar Ikut Serta Mengetik dan
2213030051 membuat latar
belakang
3 Amira Fitri Azzahra Ikut Serta Mencari materi
2213030118
4 Windy Yohana Latifa Ikut Serta Mencari materi
2213030127

31

Anda mungkin juga menyukai