SHALAT
“ILMU FIQIH”
Dosen Pengampu :
Disusun oleh:
TULUNGAGUNG
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa tercurahkan kepada Allah SWT, atas
berkat dan limpahan rahmat-Nya sehingga makalah yang berjudul
”konsep baik dan buruk” ini dapat terselesaikan dengan baik meskipun
tidak tepat waktu.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan masalah..............................................................................1
C. Tujuan...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat...............................................................................2
B. Hukum Kewajiban Sholat dan Larangan Meninggalkannya.............3
C. Syarat-Syarat Sah Sholat...................................................................5
D. Rukun-Rukun Shalat
E. Macam Perkara Yang Ditinggal Dalam Shalat
F. Perkara Yang Membatalkan Shalat
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................6
B. Saran..................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat
Shalat menurut syara‘ adalah ucapan dan perbuatan yang ditertentukan,
yang dibuka dengan takbīrat-ul-iḥrām, dan ditutup dengan salam. Shalat
dinamakan demikian karena mencakupnya shalat terhadap (pengertian kata)
shalat secara bahasa yakni bermakna doa. Shalat yang difardhukan secara
individual berjumlah lima waktu setiap hari dan malam yang telah diketahui
dari agama secara pasti. Maka dihukumi kafir bagi orang yang menentangnya.
Shalat lima waktu ini tidak terkumpul selain pada Nabi kita Muḥammad
s.a.w.. Shalat lima waktu difardhukan pada malam Isra’ setelah 10 tahun
kenabian lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan Rajab. Shalat
Shubuh dari malam itu tidak diwajibkan sebab belum mengetahui tata
caranya. 2
B. Hukum Kewajiban Sholat dan Larangan Meninggalkannya
Kewajiban melaksanakan shalat maktubah yakni shalat lima waktu hanya
dibebankan kepada setiap orang muslim yang mukallaf yaitu seorang muslim
yang telah baligh, berakal, baik laki-laki maupun yang lainnya (dan orang
suci). Maka ritual ibadah shalat itu tidak diwajibkan bagi orang kafir asli, anak
kecil, orang gila, epilepsi, dan orang mabuk yang tidak ceroboh, karena tidak
ada tanggungan bagi mereka, dan juga tidak wajib seorang wanita yang haidh
dan nifas sebab tidak sah shalat dari mereka berdua. Tidak ada kewajiban
mengganti shalat yang ditinggalkan atas mereka berdua, namun shalat
hukumnya wajib bagi orang murtad dan orang yang ceroboh dalam hilangnya
akal sebab mabuk.
(Seorang muslim mukallaf yang suci dibunuh) dengan memenggal
kepalanya sebagai hukuman (ketika dia mengeluarkan waktu shalat) yang
telah diwajibkan secara sengaja (dari waktu yang dapat digunakan menjama‘)
shalat fardhu tersebut, jika ia merasa malas yang disertai dengan keyakinan
terhadap kewajibannya (kalau ia tidak bertaubat) setela disuruh. Jika
2
mengikuti pendapat yang menghukumi sunnah menyuruh orang yang
meninggalkan shalat untuk taubat, maka tidak wajib mengganti rugi bagi
orang yang membunuhnya sebelum ia taubat namun hukumnya berdosa. Dan
dibunuh dengan status kafir apabila ia meninggalkan shalat sebab menentang
kewajibannya, maka ia tidak boleh dimandikan dan dishalati.
Bersegera melaksanakan shalat yang ditinggalkan oleh orang yang telah
disebutkan hukumnya adalah wajib, jika shalat tersebut ditinggalkan dengan
tanpa udzur maka wajib baginya mengganti atau mengqadha’ shalat tersebut
segera. Guru kita Syaikh Ibnu Ḥajar – semoga Allah mengasihnya –
mengatakan: “Jelaslah bahwa baginya wajib menggunakan seluruh waktunya
mengganti shalat yang ditinggalkan selain waktu yang ia butuhkan untuk
digunakan dalam hal yang wajib, dan haram baginya melakukan kesunnahan.
Sunnah bersegera mengqadha’ shalat yang ditinggalkan sebab udzur seperti
tidur yang tidak ceroboh, begitu pula lupa.
Disunnahkan untuk mentartibkan shalat yang ditinggalkan, maka shalat
Shubuh dikerjakan terlebih dahulu sebelum Zhuhur dan begitu seterusnya.
Disunnahkan mendahulukan shalat qadha’ atas shalat yang hadir yang tidak
ditakutkan habisnya waktu, jika shalatnya ditinggalkan dengan sebab udzur,
walaupun orang tersebut takut kehilangan shalat berjama‘ah dari shalat yang
hadir menurut pendapat yang mu‘tamad. Jika shalat tersebut ditinggalkan
dengan tanpa udzur, maka wajib baginya untuk mendahulukan mengerjakan
shalat qadha’ dengan mengakhirkan shalat yang hadir. Sedangkan apabila ia
takut kehilangan waktu yang hadir dengan beradanya sebagian waktu hadir –
walaupun hanya sedikit – di luar waktunya maka wajib baginya mengawali
shalat yang hadir. Wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa ada
udzur atas shalat yang ditinggalkan dengan udzur walaupun menyebabkan
kehilangan tartib, sebab hukum tartib hanya sunnah sedang bersegera
hukumnya wajib. Disunnahkan untuk mengakhirkan shalat rawatib dari shalat
yang ditinggalkan dengan udzur dan wajib mengakhirkan atas shalat yang
ditinggalkan dengan tanpa udzur.
(Peringatan) Barang siapa meninggal dunia sedang ia masih memiliki
tanggungan shalat fardhu maka shalatnya tidak diganti dan tidak dibayar
3
fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya. Sebagian pendapat
mengatakan: Shalat tersebut dapat dikerjakan sebagai ganti shalat yang
ditinggalkan, baik orang tersebut berwasiat ataupun tidak. Imām al-‘Ubādī
menghikayatkan pendapat tersebut dari Imam Syafi‘i sebab adanya hadits
tentang hal tersebut dan Imām Subkī dengan pendapat tersebut melakukannya
sebagai ganti shalat yang ditinggal oleh sebagian kerabatnya.
Dan diperintahkan kepada anak kecil lelaki maupun perempuan (yang
telah tamyiz) yakni telah dapat makan, minum dan istinja’sendiri. Maksudnya
wajib bagi setiap dari kedua orang tua – walaupun ketingkat seatasnya – ,
kemudian orang diwasiati dan orang yang memiliki budak untuk
memerintahkannya (mengerjakan shalat) walaupun shalat tersebut adalah
shalat qadha’ dan dengan seluruh persyaratan shalat (ketika anak tersebut telah
mencapai umur setelah tujuh tahun) maksudnya setelah sempurna umur tujuh
tahun walaupun anak tersebut telah tamyiz sebelum umur tersebut. Dan
sebaiknya besertaan memerintah juga disertai dengan menakut-nakuti. Wajib
bagi orang-orang yang telah disebutkan di atas (untuk memukul anak tersebut)
dengan pukulan yang tidak menyakitkan ketika ia (meninggalkan shalat)
walaupun qadha’ atau meninggalkan satu syarat dari syarat-syarat shalat
(setelah sempurna mencapai umur sepuluh tahun) karena hadits yang shaḥīḥ:
“Perintahkanlah anak kecil untuk melaksanakan shalat ketika berumur tujuh
tahun dan ketika berumur sepuluh tahun, maka pukullah anak tersebut saat
meninggalkannya”. (Seperti halnya kewajiban memerintahkan puasa bagi
anak yang telah mampu melaksanakannya) maka anak tersebut diperintahkan
untuk melaksanakannya ketika berumur tujuh tahun dan dipukul saat
meninggalkannya ketika berumur 10 tahun – seperti halnya shalat – .
Hikmah dari hal tersebut adalah melatih untuk melakukan ibadah agar
anak terbiasa hingga tidak meninggalkannya. Imām al-Adzra‘ī pernah
membahas permasalahan budak kecil yang mampu mengucapkan kalimat
syahadat bahwa anak tersebut sunnah untuk diperintahkan untuk mengerjakan
shalat dan puasa dengan motivasi tanpa pemukulan supaya anak tersebut
terbiasa melakukan kebaikan setelah baligh, walaupun secara qiyas hukum
sunnah tersebut ditolak.
4
Wajib pula bagi seorang yang telah disebutkan untuk mencegah seorang
anak dari melakukan perkara yang diharamkan, mengajarkan kewajiban-
kewajiban dan sejenisnya yakni dari setiap syari‘at yang telah jelas walaupun
itu sunnah seperti bersiwak. Hukum wajib memerintahkan anak tersebut
adalah dengan melakukan syari‘at itu. Kewajiban yang telah lewat kepada
orang-orang yang telah disebut tidak berakhir kecuali anak itu telah baligh
dalam keadaan pandai. Sedangkan upah mengajarkan anak seperti
mengajarkan al-Qur’ān dan etika itu dibebankan kepada harta sang anak, lalu
ayahnya, lalu ibunya.
(Peringatan). Imām as-Sam‘ānī menyampaikan permasalahan seorang istri
yang masih kecil yang masih memiliki kedua orang tua bahwa kewajiban yang
telah lewat dibebankan kepada kedua orang tuanya, kemudian suaminya.
Dampak hukum dari itu adalah kewajiban memukul istri tersebut. Imām
Jamāl-ul-Islām al-Bazarī menjelaskan kewajiban memukul sang istri walaupun
istri tersebut telah dewasa. Guru kita mengatakan: Hal itu jelas, namun jika
tidak ditakutkan terjadinya nusyuz, sedangkan Imām Zarkasyī memutlakkan
hukum sunnah.
Awal hal yang wajib sampai pada kewajiban memerintahkan shalat seperti
yang telah disampaikan oleh para ulama’ (kepada para ayah), kemudian
kepada orang-orang yang telah disebutkan (adalah mengajarkan anak-anak)
yang telah tamyiz (bahwa Nabi kita, Nabi Muḥammad s.a.w. diutus di kota
Makkah), dilahirkan di kota tersebut, (dimakamkan di kota Madinah) dan
wafat di kota Madinah pula.
C. Syarat-Syarat Sah Shalat
Syarat adalah suatu hal yang menjadikan sahnya shalat, namun bukan
bagian dari shalat . Syarat-syarat shalat lebih didahulukan daripada rukun-
rukunnya sebab syarat lebih utama didahulukan karena syarat adalah hal yang
wajib didahulukan atas shalat dan wajib harus selalu ada dalam shalat. Syarat-
syarat sah shalat ada lima yaitu,
a. Bersuci
Suci dari hadats dan janabah. Bersuci secara bahasa adalah bersih
dan lepas dari kotoran. Sedang secara syara‘ adalah menghilangkan
5
penghalang yang berupa hadats atau najis. Bersuci dari hadats yaitu
dengan cara berwudhu’. Lafazh wudhu’ dengan membaca dhammah
wāw-nya bermakna menggunakan air pada anggota-anggota tertentu
yang diawali dengan sebuah niat. Dan dengan terbaca fatḥah wāw-nya
bermakna sesuatu yang digunakan untuk berwudhu’. Awal
diwajibkannya berwudhu’ adalah bersamaan dengan kewajiban shalat
lima waktu pada malam Isrā’-nya Nabi s.a.w.
b. Sucinya badan dan tempat.
Suci sebagian dari badan adalah bagian dalam mulut, hidung, dan
kedua mata, (sucinya pakaian) dan selainnya, yakni dari setiap hal
yang dibawa walaupun tidak ikut bergerak dengan gerakannya. (Dan
tempat) shalatnya (dari najis) yang tidak dapat diampuni. Maka tidak
sah shalat besertaan dengan najis tersebut atau tidak mengerti dapat
membatalkannya najis terhadap shalat. Hal itu sebab firman Allah
ta‘ālā: Dan sucikanlah pakaianmu, dan hadits Nabi yang diriwayatkan
Imam Bukhar-Muslim. Tidak masalah sejajarnya najis terhadap
badannya, namun hukumnya makruh seperti menghadap najis atau
benda yang terkena najis. Melurusi terhadap atap yang najis hukumnya
juga makruh jika atap tersebut dekat dengannya, sekira orang tersebut
dianggap melurusinya secara umumnya.
c. Menutup aurat
Menutup bagian badan yaitu mulai pusat hingga lutut bagi laki-
laki, sekalipun kanak-kanak, dan sekalipun mukatab atau ummu walad,
meskipun menyepi di tempat gelap. Berdasarkan sebuah hadis sahih:
“Allah tidak akan menerima salat orang balig, kecuali dengan
memakai tutup kepala (bagi seorang wanita).”
Wajib menutup bagian dari pusat dan lutut, agar nyata, bahwa aurat
telah tertutup. Dan menutup seluruh badan, selain muka dan kedua
tapak tangan sampai pergelangan, bagi wanita merdeka sekalipun
kanak-kanak. Penutupnya adalah sesuatu yang tidak bisa
menampakkan warna kulit dalam percakapan. Demikianlah, batasan
yang telah diberikan oleh Ahmad bin Musa bin ‘Ujail. Boleh menutup
6
aurat dengan suatu pakaian yang menampakkan bentuk badan, tetapi
hal ini khilaful aula. Kewajiban menutup, adalah dari bagian atas dan
samping, bukan dari bawah.
7
masuknya, maka salatnya tidak sah. Sekalipun ternyata dilakukan
dalam waktunya. Sebab, penilaian suatu ibadah adalah perkiraan si
mukalaf dan kenyataannya. Sedangkan penilaian suatu akad, adalah
keadaan akad itu sendiri.
Waktu salat Isyak, adalah mulai teja merah lenyap. Dalam hal ini,
Guru kami berpendapat, Sebaiknya, sunah mengakhirkan salat Isyak,
sampai teja kuning dan putih lenyap, atas dasar menghindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, sampai fajar shadiq
terbit.
Waktu salat Subuh, adalah mulai terbit fajar shadiq (bukan fajar
kadzib) sampai matahari terbit sebagian busurnya. Salat Asar itulah
yang dinamakan salat “Wustha”, sebagaimana yang dinyatakan dalam
hadis sahih.
Salat Asar, adalah salat yang paling utama, lalu secara berurutan di
bawahnya, yaitu Subuh, Isyak, Zhuhur lalu Magrib. Hal ini seperti
yang dijelaskan oleh Guru kami dari beberapa dalil. Hanya saja, para
ulama melebihkan jamaah salat Subuh dan Isyak, sebab di sini lebih
terasa berat untuk melakukannya.
8
Imam Ar-Rafi’i berkata: Salat Subuh, adalah salat Nabi Adam a.s.,
Salat Zhuhur, adalah salat Nabi Dawud a.s.: Salat Asar, adalah salat
Nabi Sulaiman a.s.: salat Magrib, adalah salat Nabi Ya’quba.s.: dan
salat Isyak, adalah salat Nabi Yunus a.s.
Jika mulainya pada waktu di mana sudah tidak dapat memuat salat
atau salat Jumat, maka baginya tidak boleh memanjangkan bacaannya.
Tidak disunahkan meringkas rukun-rukun salat saja, hanya karena
meletakkan rakaat-rakaat salat di dalam waktunya.
e. Menghadap Kiblat
Boleh tidak menghadap kiblat dalam dua keadaan yaitu ketika
sangat takut dan shalat sunnah di atas kendaraan dalam perjalanan
f. Mengetahui kefardhuan shalat
Termasuk syarat sah salat juga adalah mengetahui kefarduan salat.
Karena itu, jika seseorang tidak mengetahui keberadaan kefarduan
salat pada umumnya atau kefarduan salat yang sedang dikerjakan,
9
maka salatnya tidak sah. Hal ini seperti yang termaktub dalam kitab
Al-Majmu’ dan Ar-Raudhah (milik Imam Nawawi).
Dapat juga membedakan mana yang fardu dan yang sunah salat.
Jika orang yang buta terhadap hukum Islam ataupun alim -atas
beberapa tinjauan mempunyai iktikad semua perbuatan salat adalah
fardu, maka salatnya sah: Atau beriktikad, bahwa semua perbuatan
salat adalah sunah, maka salatnya tidak sah. Juga harus mengetahui
cara salat, seperti yang akan dijelaskan nanti. Insya Allah3
D. Rukun-Rukun Shalat
Rukun-rukun (fardhu) shalat ada 18 (delapan belas). Niat, berdiri apabila
kuasa, takbirotul ihram, membaca al-fatihah dengan basmalah-nya, ruku’,
tumakninah dalam ruku’, bangun dari ruku’, i’tidal (berdiri setelah ruku’),
tuma’ninah saat i’tidal, sujud, dan tuma’ninah saat sujud, duduk di antara dua
sujud dan tuma’ninah, duduk terakhir, dan tasyahud (tahiyat) saat duduk
terakhir, membaca shalawat pada Nabi saat tahiyat akhir, salam pertama, niat
keluar dari shalat, tertib sesusai urutan rukun di atas .
E. Perkara Yang Membatalkan Shalat
Perkara yang membatalkan shalat ada 11 (sebelas) :
1.
10
(a) Mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram
(b) Mengangkat tangan saat ruku’
(c) Mengangkat tangan saat bangun dari ruku’
(d) Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
(e) Tawajjuh
(f) Membaca audzubillah
(g) Mengeraskan suara dan memelankan suara sesuai tempatnya
(h) Membaca amin
(i) Membaca surat setelah membaca Al-Fatihah
(j) Membaca takbir saat naik atau turun
(k) Mengakatan sami’a-Allahu liman hamidah robbana walakal hamdu dan
tasbih saat ruku’ dan sujud
(l) Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha saat duduk; membuka tangan
kiri sedang tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk yang
menunjuk saat tahiyat
(m)Duduk iftirasy pada setiap duduk.
(n) Duduk tawarruk pada duduk yang akhir
(o) Salam yang kedua.
11
k. Murtad4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat lima waktu hukumnya wajib bagi setiap individu muslim. Shalat
5 waktu adalah zhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh. Wajibnya shalat 5
mengharuskan muslim untuk mengetahui dan mengikuti syarat dan
rukunnya. Karena, walaupun sudah shalat tapi tidak memenuhi syarat dan
rukunnya maka shalatnya tidak sah dan pelakunya dianggap berdosa
karena dianggap belum melaksanakan shalat. Selain syarat dan rukun,
terdapat juga sunnah-nya shalat agar solat kita lebih baik dan lebih banyak
pahalanya.
B. Saran
Kami dari penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak kesalahan dalam penulisan maupun dalam
perkataan. Kami akan berusaha melakukan yang terbaik untuk makalah
4
Ahmad Bin Husain Al-Ashfahany Asy-Syafi’I, Matn Taqrib Dan Terjemahnya
12
kami yang berikutnya. Dan kami juga membutuhkan dukungan yang
membangun agar kami bisa terus mengukir semangat, mengoreksi, dan
memperbaikinya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.
13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hindi, Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Mabari
Al-Malibari ,Terjemah Fathul Mu’in
14