Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

FIQH 1

Diajukan guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqh 1

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( 2-3 )

Dosen Pengampu : Firdaus Fauzi, M.Pd.l.

Disusun Oleh : Kelompok 3:

Dwi Novi Ramadhani ( 22.02.0068 )

Surya Lesmana ( 22.02.0076 )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “UISU” PEMATANGSIANTAR

TA. 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di akhirat kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa
sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
dengan judul “SHALAT” yang dibimbing oleh bapak Firdaus Fauzi, M.Pd.l.

Akhirnya, penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan kami
berharap makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya, dengan segala kerendahan hati, saran dan
kritik yang sangat penulis harapkan dari pembaca guna meningkatkan pembuatan makalah pada
tugas yang lain pada waktu mendatang.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pematangsiantar, Maret 2023

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG...................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................
C. TUJUAN MASALAH...................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SHALAT.............................................................................
B. HUKUM SHALAT MENURUT EMPAT MADZHAB ....................................
C. SYARAT SAH SHALAT...............................................................................
D. SYARAT WAJIB SHALAT..........................................................................
E. RUKUN SHALAT MENURUT MADZHAB HANAFI......................................
1. WAKTU-WAKTU YANG HARAM MENGERJAKAN SHALAT ...........
2. SUNNAH- SUNNAH SHALAT.........................................................

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN..............................................................................................
B. SARAN..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Shalat merupakan ibadah yang sangat penting dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain.
Shalat adalah amalan hamba yang pertama-tama dihisab dan merupakan kunci untuk diterima atau
ditolaknya amalan-amalan lainnya. Shalat juga merupakan sesuatu yang terakhir lenyap dari agama
artinya jika ia hilang, maka hilang pulalah agama secara keseluruhannya.

Dalam agama Islam ibadah shalat itu sangat penting sehingga dalam keadaan bagaimanapun juga
seseorang baik waktu mukim musafir waktu damai maupun perang kewajiban shalat harus
dilaksanakan. Karena shalat merupakan tiang agama Islam, maka seorang mukallaf yang
meninggalkan shalat dengan menyangkal dan menentang secara sengaja adalah murtad dan kafir.

Orang yang meninggalkan shalat karena faktor malas ataupun kesibukan lain maka ulama berbeda
pendapat mengenai hal ini imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa mereka itu fasik yang
dapat dijatuhi hukuman darah atau penjara sedangkan Ahmad ibn. Hanbal berpendapat bahwa
mereka itu kafir mariq (keluar dari agama Islam) yang dihukum dengan hukuman mati. Sekalipun
berbeda pendapat mengenai hal ini, yang jelas shalat tidak boleh ditinggalkan oleh setiap muslim
kapanpun, di manapun, atau dalam keadaan apapun kecuali bagi wanita yang haid dan nifas.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Pengertian Shalat
2. Apa saja syarat sah Shalat
3. Bagaimana pandangan tentang hakikat manusia

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian Shalat
2. Untuk mengetahui sifat hakikat manusia
3. Untuk mengetahui apa saja pandangan tentang hakikat manusia
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SHALAT

Shalat adalah ibadah yang terdiri dengan perkataan dan perbuatan khusus yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam. Dalam shalat terdapat syarat wajibnya, syarat sahnya, rukun-
rukunnya, sunnah-sunnahnya, makruh-makruhnya, dan hal-hal yang membuat shalat tidak
sah.Shalat menurut bahasa dapat digunakan untuk beberapa arti, di antaranya doa dan rahmah.

B. HUKUM SHALAT MENURUT EMPAT MADZHAB

Menurut madzhab Hanafi: Dilihat dari segi hukumnya shalat itu terbagi menjadi empat, pertama:
fardhu ‘ain, yaitu seperti sholat lima waktu. Kedua: fardhu kifayah, yaitu seperti shalat jenazah.
Ketiga: wajib, yaitu seperti shalat witir, atau shalat led, atau juga mengqadha shalat sunnah yang
dianggap tidak sah dalam pelaksanaannya. Keempat: shalat nafilah, baik itu yang disunnahkan
ataupun dianjurkan.

Menurut madzhab Maliki: dilihat dari segi hukumnya shalat itu terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu
shalat yang terdiri dari rukuk, sujud, takbiratul ihram, membaca ayat-ayat Al Qur’an, salam, dan
shalat yang hanya mencakup beberapa hal itu di dalamnya. Untuk klasifikasi yang pertama ada tiga
bagian, pertama: shalat yang diwajibkan, yaitu shalat fardhu lima waktu. Kedua: shalat yang
disunnahkan dan nafilah. Ketiga: shalat yang sangat dianjurkan, yaitu dua rakaat sebelum shalat
subuh. Sedangkan klasifikasi yang kedua terdapat dua bagian, pertama: shalat yang dilakukan
dengan sujud saja, yaitu sujud tilawah. Kedua: shalat yang dilakukan dengan takbir dan salam saja
tanpa rukuk dan sujud, yaitu shalat jenazah.

Menurut Madzhab Asy-Syafi’i: dilihat dari segi hukumnya shalat itu terbagi menjadi dua klasifikasi,
yaitu shalat yang terdapat rukuk dan sujudnya, dan shalat yang tidak terdapat rukuk dan sujud
namun terdapat takbirnya, membaca ayat-ayat Al Qur’an, dan juga salam. Untuk klasifikasi yang
pertama ada dua bagian, yaitu: shalat fardhu lima waktu dan shalatshalat sunnah. Sedangkan untuk
klasifikasi yang kedua hanya ada satu saja, yaitu: shalat jenazah.

Menurut madzhab Hambali: dilihat dari segi hukumnya shalat itu terbagi menjadi tiga klasifikasi,
yang pertama adalah shalat yanhg di dalamnya terdapat rukuk, sujud, takbiratul ihram, dan salam,
yang mana Klasifikasi ini ada dua bagian yaitu shalat fardhu lima waktu dan shalat sunnah. Klasifikasi
yang kedua: shalat yang didalamnya terdapat takbiratul ihram, membaca ayat-ayat Al Qur’an, dan
salam, tanpa ada rukuk dan sujud, yaitu shalat jenazah. Dan, klasifikasi yang ketiga adalah shalat
yang hanya terdapat sujudnya saja, yaitu sujud tilawah.1

1
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Empat Madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka) hal. 188
C. SYARAT SAH SHALAT

Dalam agama Islam ibadah shalat itu sangat penting sehingga dalam keadaan bagaimanapun
juga seseorang baik waktu mukim musafir waktu damai maupun perang kewajiban salat harus
dilaksanakan. Karena salat merupakan tiang agama Islam, maka seorang mukallaf yang
meninggalkan salat dengan menyangkal dan menentang secara sengaja adalah murtad dan kafir. Hal
ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

“Perjanjian antara kita dan mereka ialah salat. Barang siapa yang meninggalkan shalat ia telah
menjadi kafir.”( HR.Musnad Ahmad no.21859 Kitab Baqi Musnad al-Anshar).

Kemudian Harus dari Jabir r.a. :

“Rasulullah SAW bersabda, ‘Batas antara seseorang dengan kekafiran itu adalah meninggalkan
shalat.” (HR. Musnad Ahmad No. 14451 Kitab Baqi Musnad al-Mukassirin).

Sebelum menunaikan shalat, terlebih dahulu seseorang harus memenuhi syarat-syarat sahnya di
bawah ini yaitu:

1) Suci dari hadas besar dan kecil.

2) Suci badan, pakaian dan tempat dari najis

3) Menutup aurat.
Aurat ditutup dengan suatu alat yang menghalangi terlihatnya warna kulit. Batas aurat
yang wajib ditutupi bagi laki-laki adalah pusat, lutut, dan diantar keduanya, sedangkan
aurat wanita seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.

4) Mengetahui masuknya waktu shalat.


Mengetahui masuknya waktu shalat cukup dengan kuat dugaan dalam hati bahwa waktu
shalat sudah masuk. Oleh sebab itu, bagi orang yang yakin atau kuat sangkaan itu, dapat
diperolehnya melalui pemberitahuan dari orang yang dipercaya seperti adzan dari
mu’azzin atau ijtihad seseorang yang mendatangkan keyakinan dalam hatinya seperti
matahari telah tergelincir ke arah barat dari langit. Penentuan masuknya awal shalat
sekarang ini sudah semakin mudah yang ditandai dengan tersedianya jadwal waktu
shalat
sepanjang masa dan kesediaan jam tangan atau dinding sebagai aplikasinya.

5) Menghadap kiblat.
Apabila seorang yang akan melaksanakan shalat, wajib menghadap kiblat yaitu
mengarahkan wajah dan tubuh ke Ka’bah di Masjid Al-Haram. 2

2
Louis Maʼluf, Al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 43
Dalam hal menghadap Ka'bah ini, bagi orang yang dapat melihat Ka'bah secara langsung wajib
menghadapnya. Bagi orang yang tidak melihatnya, wajib menghadap saja ke arahnya. Ketika
menghadap kiblat ini hukumnya wajib, tetapi dalam keadaan tertentu boleh tidak menghadapnya,
yaitu:

1. Bagi orang yang dipaksa, sangat takut (bahaya), maka dapat melakukan shalat sambil
berjalan atau berkendaraan.
2. Salat sunah bagi orang yang berkendaraan. Orang yang dalam perjalanan di atas
kendaraan jika ia shalat sunnah di atas kendaraannya boleh menurut arah tujuan
perjalanannya walaupun tidak menghadap kiblat ketika takbirah al- ihram.

Pada sisi lain, jika seseorang akan melaksanakan shalat, tetapi ia tidak dapat mengetahui arah
kiblat karena sangat gelap, maka ia wajib bertanya kepada orang yang mengetahui kiblat. Jika tidak
ada, ia berijtihad dan mengerjakan shalat menurut ijtihadnya. Walaupun kemudian, ternyata
arahnya salah, shalat tersebut sah dan tidak wajib mengulangnya kembali. Namun jika kekeliruan itu
diketahui ketika shalat sedang berlangsung, maka ia berpaling ke arah kiblat yang sebenarnya tanpa
memutus shalatnya.

D. SYARAT WAJIB SHALAT

Shalat tidak wajib kecuali bagi orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Islam. Shalat tidak wajib bagi orang kafir,meskipun mereka akan disiksa dengan siksa yang pedih
karena meninggalkannya.

2. Berakal. Shalat tidak wajib bagi orang gila atau orang pingsan,jika gila dan pingsannya terjadi terus
menerus sampai melewati waktu shalat. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa jika seorang gila atau
pingsan pada seluruh waktu shalat tertentu, maka gugurlah kewajiban shalat yang waktunya
terlewatkan tersebut. Sementara menurut ulama hanafiyah tidak gugur kewajiban shalatnya kecuali
jika gila atau pingsannya telah melewati enam waktu shalat,maka gugurlah kewajiban shalat dan
tidak pula berkewajiban meng-qadha shalat tersebut.

3. Baligh, Shalat juga tidak wajib bagi bayi sebelum dia baligh. Hanya saja orang tuanya harus
memerintahkannya untuk melakukan shalat ketika telah berumur 6 tahun dan sudah Mumayiz. Bila
usia anak tersebut telah mencapai 10 tahun maka orangtuannya harus memukulnya jika dia
meninggalkan shalat .Hal itu dilakukan untuk mengajari dan membiasakannya agar kelak ketika
dewasa ia tidak meninggalkan shalat.

4. Sampai ajakan shalat kepadanya. Artinya, telah sampai kepadanya perintah Nabi untuk
mengerjakan shalat.

5. Tidak sedang haid dan nifas, Wanita yang sedang haid dan nifas tidak wajib shalat, baik shalat
pada waktunya atau meng-Qadhanya. Berbeda dengan puasa, maka dia wajib menggantikan
puasanya.

6. Pancaindranya normal sejak lahir. Orang yang tidak normal pancaindranya seperti orang buta dan
tuli sekaligus, maka tidak wajib shalat baginya.3

3
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat empat madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2008) hlm.190
E.RUKUN RUKUN SHALAT MENURUT MADZHAB HANAFI

Para ulama telah membahas permasalahan shalat dalam sebuah tema yang berjudul “Sifat-sifat dan
tatacara shalat”. Tema tersebut memuat pembahasan rukun, syarat, dan sunnah-sunnah shalat baik
sunnah yang bersifat ab’adh yaitu sunnah-sunnah yang bisa digantikan dengan sujud syahwi,
maupun sunnah yang bersifat hai’at, yaitu sunnahsunnah yang tidak dapat digantikan dengan sujud
syahwi. Adapun yang dimaksud dengan tata cara shalat adalah bentuk sholat itu sendiri. 54

Rukun itu sama seperti syarat yang harus dipenuhi. Hanya saja kalau syarat dilaksanakan sebelum
shalat dan berlanjut hingga selesainya shalat seperti bersuci, menutup aurat, dan lain-lain. Adapun
rukun dilaksanakan dalam shalat itu sendiri seperti rukuk, sujud, dan lain-lain. Rukun dalam shalat
tidak boleh ditinggalkan baik karena sengaja, lupa, maupun memang tidak tahu.Karena rukun itu
seperti pondasi dalam rumah. Artinya, rumah tidak akan berdiri tanpa pondasi.

Para Ulama berbeda Pendapat mengenai Pembagian dan Jumlah Sifat-sifatnya

Ulama hanafiyah berkata “Fardhu-fardhu shalat ada 6, yaitu berdiri sambil membaca takbiratul
ihram, berdiri, membaca ayat Al Quran, rukuk, sujud, dan duduk tasyahud akhir” pendapat ini
dituturkan oleh Imam Qaduri dari pendapat Muhammad hanya saja pendapat yag mu’tamad
menurut mereka adalah takbiratul ihram itu termasuk syarat, bukan rukun sebagaimana juga

Niat. Ini adalah pendapat Abu Hanafi dan Abu Yusuf, namun pendapat ini tidak sejalan dengan
pendapat mayoritas ulama fiqh.

1.WAKTU-WAKTU YANG HARAM MENGERJAKAN SHALAT

Haram hukumnya mengerjakan sahalt pada 3 waktu yaitu: Ketika matahari terbit sampai sedikit
terangkat, baik shalat fardhusunnuah, ada’an (shalat untuk waktu shalat saat itu) atau qadha.

Ulama syafi’iyah dan malikiyah dalam masalah ini mengeculaikan shalat subuh dan ashar. Jika
seseorang mengerjakan shalat subuh dan tinggal satu raka’at kemudian masuk waktu tepat matahari
terbit, maka dia boleh meneruskan shalat itu sampai selesai. Begitu pula dengan shalat ashar, jika
seseorang mengerjakan shalat ashar dan tinggal satu raka’at lagi kemudian tiba waktu persis
matahari terbenamnya matahari maka diameneruskan shalatnya sampai selesai. Sedangkan
menurut ulama Hanafiyah bila seorang shalat dan ditengahtengah shalat matahari terbit, maka batal
shalatnya. Jika yang dikerjakan adalah shalat ashar dan tinggal satu raka’at kemudian tiba saat
matahari terbenam maka boleh meneruskan shalat dan shalatnya sah menurut mayoritas Ulama. 4

57 2. Shalat Istiwa’, yaitu ketika matahari tepat berada diatas kepala pada tengah hari sampai
tergelincir sedikit. Hal itu berdasarkan hadits ‘Uqbah yang telah kami jelaskan sebelumnya. Ulama
malikiyah dan syafi’iyah mengecualikan pada hari Jum’at dan ketika shalat di masjidil haram,
Makkah. Pendapat ini juga disepakati oleh ulaa Hanabilah dalam hal bolehnya mengerjakan shalat
tahiyattul masjid pada hari Jum’at.
4
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat empat madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2008) hlm.190
3. Ketika matahari berwarna kekuningan hendak terbenam sampai benarbenar tenggelam, yaitu
sekira seseorang mampu melihat ke arah terbenamnya matahari. Dalil tentang hal ini adalah hadits
dari ‘Uqbah yang telah lalu. Dikecualikan dari larangan tersebut adalah shalat ashar yang ketika
belum selesai melakukannya lalu masuk waktu larangan tersebut, sebagai mana telah kami jelaskan
sebelumnnya. Ulama Syafi’iyah juga mengecualikan shalat yang dilakukan di Masjidil Haram di
Makkah dalam setiap waktu hal itu karena menjalakan hadits dari Jubai bin Muth’im terdahulu.

2.SUNNAH- SUNNAH SHALAT

Dalam shalat ada beberapa sunnah yang menurut pendapat sebagian ulama termasuk wajib. Wajib
adalah sesuatu yang derajatnya berada di atas sunnah tetapi bukan rukun atau fardhu yang harus
dikerjakan. Akan tetapi jika terlupakan, maka harus diganti dengan sujud sahwi (sujud karena lupa).
Orang yang shalat sebaiknya harus tetap mengerjakan sunnah-sunnah shalat agar tidak kehilangan
pahala dari mengerjakannya. Sunnah-sunnah shalat tersebut adalah:

1. Merangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ruku’, dan i’tidal dari ruku’.

2. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan mengikat pergelangan tangan dengan ibu
jari dan kelingking serta meletakkannya di bawah pusar. 3. Tawajjuh atau membaca do’a
Istiftaah. Ulama syafi’iyah berkata bahwa banyak pilihan bacaan dalam memuji Allah, dan
dalam hal ini mereka memilih do’a tawajjuh.

3. Lasti’adzah (membaca a’uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim) pada rakaat pertama. Allah
berfirman:

‫فإذا قرأت القرآن فاستعذ باهلل من الشيطن الرجيم‬

“Maka apabaila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur’an maka mohonlah perlindungan
kepada Allah dari setan yang terkutuk. 58

Ta’miin (membaca Amiin). Disunnahkan bagi orang yang shalat, baik sebagai imam maupun
makmum untuk membaca ta’miin setelah membaca surat alfatihah dan membacanya dikeraskan
untuk shalat yang bacaannya keras dan diucapkan secara sirri dalam shalat yang bacaan shalatnya
sirri.

QS. An-Nahl ayat 98 5

55 Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab Jilid 2, (Jogjakarta: Hikam Putra 2008), hlm.195 56
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab Jilid 2, (Jogjakarta: Hikam Putra 2008), hlm.195 57 Abdul
Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab Jilid 2, (Jogjakarta: Hikam Putra 2008), hlm.195
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai