“HADIST AHKAM”
Disusun Oleh
Kelompok 9
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia–Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini, yang
Alhamdulillah dapat selesai dengan judul “HADIST – HADIST TENTANG SHALAT”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan.
Dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada
pihak yang sudah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun makalah ini, dan
juga kepada dosen pembimbing yang sudah banyak membantu dan menuntun penulis selama
pembuatan makalah ini. Tidak lupa juga kepada teman – teman yang selalu menemani,
membantu dan mensuport selama pembuatan makalah ini . Maka makalah ini dapat
terselesaikan tidak lepas dari kerja sama dan semuanya.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita.Aamiin…
Kelompok 9
ii
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Shalat adalah ibadah yang tidak bisa ditinggalkan, dalam keadaan apapun dan tidak ada
istilah dispensasi. Shalat merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim dan merupakan
perintah langsung dari Allah SWT yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW ketika
melaksanakan misi suci yaitu Isra‟ Mi‟raj, yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 12
sesudah kenabian. Dalam peristiwa tersebut, Allah SWT mewajibkan kepada manusia
khususnya umat Muhammad untuk melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam.
Shalat secara bahasa adalah doa. Dan secara syara‟, sebagaimana yang disampaikan oleh
Imam Rafi‟i, adalah ucapan dan pekerjaan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan
salam dengan syaratsyarat tertentu.1
Shalat juga merupakan amalan yang pertama kali dihisab di hari akhir. Jika shalat seorang
hamba itu baik, maka baik pula amal perbuatan lainnya, dan demikian pula sebaliknya.
Perintah melaksanakan shalat juga termasuk ke dalam rukun Islam, yaitu rukun Islam yang
kedua dan memiliki dasar hukum yang kuat. Maka untuk mengoptimalisasi pelaksanaannya
harus ditopang dengan berbagai perangkat, baik berupa syarat maupun rukun shalat.
Salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu.Sebab ibadah yang dilaksanakan
tidak sesuai dengan waktunya, maka hukumnya tidak sah. Adapun yang dimaksud dengan
waktu-waktu shalat di sini adalah sebagaimana yang biasa diketahui oleh masyarakat, yaitu
waktu-waktu shalat lima waktu, yakni waktu shalat Zuhur, waktu shalat Ashar, waktu shalat
Maghrib, waktu shalat Isya, waktu shalat Subuh dan waktu-waktu shalat lainnya seperti
waktu terbit Matahari, imsak dan duha.2
1
Syamsuddin, Fathul Qorib: Penterjemah Muhamad Hamim HR dan Nailul Huda, (Kediri: Lirboyo Press,
2017), cetakan ke I. h. 370
2
Yusuf Somawinata, Ilmu Falak, (Tangerang: Sintesis Ilmu Indonesia Group, 2013). h. 3
1
Dari banyak Hadis dikatakan bahwa waktu Shalat Zuhur dimulai sejak matahari
tergelincir ke arah Barat sampai panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan
panjangnya, Shalat Ashar dimulai sejak habis waktu Zuhur sampai matahari terbenam, Shalat
Maghrib dimulai sejak habis waktu Ashar sampai hilang awan merah, Shalat Isya dimulai
sejak habis waktu Maghrib sampai sepertiga malam atau setengah malam atau sampai terbit
fajar shadiq, Shalat Subuh dimulai sejak terbit fajar shadiq sampai terbit matahari.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Saleh al Fauzan, Fiqh Sehari-hari, Alih Bhs.Abdul Hayyie al Kattani dkk (Depok: Gema Insani, 2009), hlm.58.
3
dapat ditandingi oleh ibadah manapun juga. Karena shalat merupakan tiang agama
bagi umat Islam. Ia merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali
dengan itu.
Ini ditegaskan dalam Hadis Rasulullah saw :
الصال ة عام ادل ين من امقها فقد اقا م ادل ين و من هد هما فقد هد م ادل ين
“Shalat sebagai tiang agama, artinya seseorang yang mendirikan shalat telah
menjadi pondasi agama, sebaliknya seseorang yang meninggalkan shalat berarti
meruntuhkan dasar bangunan agama. Hal ini sekaligus memberikan pengertian
pada umat Islam bahwa yang menegakkan dan meruntuhkan agama itu bukan umat
yang lain akan tetapi tergantung pada umat Islam itu sendiri”.4
Takhrij Haditsnya :
As-syaikh berkata : “aku tidak mendapati matan hadits yang seperti ini.
Hadits ini masyhur dikalangan manusia dengan bentuk seperti ini, biasanya sering
disampaikan oleh para pemberi nasehat. Aku hanya menemukan awal lafadz hadits
ini, yaitu “Shalat adalah tiang agama”. Lafadz seperti ini dikeluarkan oleh Imam
Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” dengan sanad lemah dari Ikrimah dari Umar secara
Marfu’.
Selain sebagai tiang agama, masalah shalat merupakan ibadah yang pertama
kali di hisab kelak dihari kiamat. Oleh sebab itu jangan pernah sekalipun kita
menyepelekan perilah masalah shalat ini. Shalat juga merupakan Ibadah yang
waktunya dibatasi, ada awal dan akhirnya.
Shalat itu wajib bagi atas orang yang beragama Islam, yang berakal lagi balig,
berdasarkan hadits Aisyah r.a :
عن اانءم حىت يستيقظ وعن اصيب حىت حيتمل وعن اجملنون حىت: رفع القمل عن ثال ث
يعقل
Artinya :
Bahwa Nabi Saw telah bersabda : “Diangkatkan Kalam” dari tiga golongan dari
orang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia bermimpi, dan dari orang
gila sampai ia sadarkan diri” (H.R Ahmad dan Ash habus Sunan serta Hakim yang
4
Sayyid Sābiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: al Fatḥu li al I’lām al ‘Arābī, ), hlm. 63
4
mengatakan sah dengan syarat Bukhari dan Muslim dan dinyatakan oleh Tirmidzi)
Dari paparan diatas jelas diketahui bahwa betapa pentingnya ibadah shalat
bagi kita yang beragama Islam. Sebab wajibnya shalat tersebut maka tidak ada celah
bagi kita untuk menghindarinya. Walau faktanya dizaman sekarang sudah banyak
sekali orang-orang yang melalaikan perintah shalat ini. Tak jarang kita jumpai
orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya, dengan studynya meninggalkan
shalat dengan mudahnya tanpa rasa khawatir sedikitpun.
Dalam kaitannya dengan ibadah shalat ada tiga golongan umat Islam
dinegara Indonesia ini:
1. Golongan yang shalat
2. Golongan yang tidak shalat
3. Golongan yang terkadang-kadang shalat, terkadang-kadang tidak.
5
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Salat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm.25.
5
Shalat merupakan ibadah yang dibatasi awal dan akhir waktunya. Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak sah suatu shalat yang dikerjakan sebelum dan
sesudah waktunya. Maka apabila ada seorang muslim yang mengerjakan shalat
maghrib sebelum datang waktunya atau dalam waktu salat Isya’ maka tidaklah
diterima shalatnya.
Orang muslim yang tertidur atau lupa untuk mengerjakan shalat di dalam
waktunya, wajib bagi mereka mengerjakan shalat itu ketika mereka terbangun dari
tidur atau ketika mereka mengingatnya.
مجع رسو ل هلال عليه وسمل بني الظهر والعرص واملغرب والعشاء ابملدينة ىف غري خوف
وال مطر قيل البن
عباس مل فعل ذكل قال يك ال حيرج امته
“Rasulullah SAW menjama antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib
dengan Isya’ dimadinah tanpa sebab takut dan hujan, ketika ditanyakan hal itu
kepada Ibnu Abbas Ra beliau Saw menjawab, Agar tidak memberatkan
ummatnya.”
2.2 Waktu Shalat Perspektif Syar‘i Imam 4 Madzhab
Pada dasarnya, banyak hadits yang memperjelas waktu shalat yang telah disebutkan
dalam Al-Quran, namun penulis di sini hanya memngambil dua hadits yang menurut penulis
jelas penggambarannya mengenai waktu shalat. Sebagaimana hadits riwayat Jabir bin
Abdulla r.a. telah memberi gambaran kelima waktu shalat secara lebih jelas dengan posisi-
posisi matahari yang menjadi patokan waktu. Matahari tidak hanya berfungsi menghangatkan
biosfer bumi dengan cahayanya, namun dengan bayangbayang benda atau tongkat istiwa
matahari dapat berperan untuk mengatur ritme kewajiban dzikir manusia kepada Tuhannya.
Dari kelima waktu shalat menggunakan matahari sebagai patokan dalam perhitungannya.
Dalam penentuan waktu shalat, posisi matahari dalam koordinat horizon sangat diperlukan,
terutama ketinggian atau jarak zenith.
1. Shalat Zhuhur
6
(kemudian Nabi shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir)
(…kemudian Nabi shalat Zhuhur dikala bayang-bayang suatu benda sama dengan aslinya…).
(…waktu Zhuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama dengan
tingginya yaitu selama belum datang waktu ‘Ashar...)
Para ahli fiqh memulai dengan shalat Zhuhur, karena ia merupakan shalat pertama
yang diperintahkan. Kemudian setelah itu shalat ‘Ashar, kemudian Magrib, lalu Isya’,
kemudian shalat Shubuh secara tartib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada
malam isra’ setelah 9 tahun dari di utusnya Rasulullah. Hal demikian berdasarkan firman
Allah surat Al-Isra’ ayat 78.
Pada hadits pertama yang diriwayatkan oleh Jabir, disebutkan bahwa Jibril datang
menyuruh Nabi shalat Zhuhur pada hari pertama setelah tergelincir matahari, dan datang lagi
diwaktu ‘Ashar saat bayangan benda sama dengan benda tersebut. Pada hari kedua, Jibril
datang menyuruh shalat Zhuhur pada waktu bayangan benda sama dengan benda itu sendiri,
tepat pada waktu melakukan shalat ‘Ashar pada hari pertama.
Sedangkan pada hadits kedua dijelaskan bahwa waktu Zhuhur ialah bila matahari
sudah tergelincir; atau oleh ulama lain diartikan condong ke Barat; hingga bayang-bayang
seseorang sama dengan tingginya atau saat bayang-bayang suatu benda sama panjangnya
dengan benda tersebut. Kata “ka-na” diathafkan terhadap kata “za-lat”, yang maksudnya
waktu Zhuhur itu tetap berlangsung hingga terjadi bayangan orang sama dengan tinggi
badannya, selama belum masuk waktu ‘Ashar. Inilah batasan bagi permulaan dan akhir waktu
Zhuhur.
Dalam hal ini, para ulama sependapat bahwa penentuan awal waktu Zhuhur, adalah
pada saat tergelincirnya matahari. Sementara dalam menentukan akhir waktu Zhuhur, ada
7
beberapa pendapat yaitu sampai panjang bayang-bayang sebuah benda sama dengan panjang
bendanya (menurut Imam Mâlik, Syâfi‘i, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam
Abu Hanifah ketika bayang-bayang benda sama dengan dua kali bendanya.
2. Shalat ‘Ashar
(…kemudian Nabi shalat ‘Ashar ketika bayag-bayang suatu benda sama dengan aslinya)
(…kemudian Nabi shalat ‘Ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari aslinya…)
Meskipun secara garis besar dapat dikatakan bahwa awal waktu ‘Ashar adalah sejak
bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi hal ini masih menimbulkan beberapa
penafsiran. Dalam hadits riwayat Jabir bin Abdullah r.a Nabi SAW diajak shalat ‘Ashar oleh
malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada ke-
esokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya.
Menurut Imam Mâlik akhir waktu Zhuhur adalah waktu musyatarok (waktu untuk dua
shalat), Imam Syâfi‘i, Abu Tsaur dan Daud berpendapat akhir waktu Zhuhur adalah masuk
waktu ‘Ashar; yaitu ketika panjang bayang-bayang suatu benda melebihi panjang benda
sebenarnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa awal waktu ‘Ashar ketika bayang-
bayang sesuatu sama dengan dua kali bendanya.
Dan dalam penetapan akhir waktu shalat ‘Ashar juga ada perbedaan antara hadits
Imam atu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam hadits Imamatu Jibril
sesungguhnya akhir waktu ‘Ashar itu adalah ketika benda itu sama dengan dua kali bayang-
bayangnya (pendapat Imam Syâfi‘i) dalam hadits Abdillah sebelum menguningnya matahari
8
(pendapat Imam Ahmad bin Hambal), dan dalam haditst Abu Hurairah akhir waktu ‘Ashar
sebelum terbenamnya matahari kira-kira satu raka’at (pendapat Ahli Dzahir).
Kedua waktu masuknya waktu ‘Ashar ini dimungkinkan karena fenomena seperti itu
tidak dapat digeneralisasi akibat bergantung pada musim atau posisi tahunan matahari. Pada
musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu Zhuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi
karena bayangan selalu lebih panjang dari pada tongkatnya.
3. Shalat Magrib
(kemudian datang lagi kepada-Nya diwaktu Magrib dalam waktu yang sama tidak bergeser
dari waktu yang sudah)
Dari kedua hadits, ada kesepakatan bahwa awal waktu Magrib adalah ketika matahari
terbenam. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang akhir waktu shalat Magrib. Imam
Hanafi, Hambali, dan Syâfi‘i, berpendapat bahwa waktu Magrib adalah antara tenggelamnya
matahari sampai tenggelamnya mega atau sampai hilangnya cahaya merah di arah barat.
9
Sedangkan Imam Mâliki berpendapat, sesungguhnya waktu Magrib sempit, ia hanya
khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai di perkirakan dapat melaksanakan shalat
Magrib itu, yang termasuk di dalamnya, cukup untuk bersuci dan adzan dan tidak boleh
mengakhirkanya (mengundurnya) dari waktu ini, ini hanya pendapat Mâliki saja.
4. Shalat Isya’
... فقبل قم فصله فصلى العشبء جبءه العشبء ح ذهب نصف الليل اوقبل ثلث الليل...
(…kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya’ dikala telah lewat separuh malam atau ia
berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya’…)
Permulaan waktu Isya’ dari keterangan hadits tersebut dapat diketahui bahwa pada
saat hilangnya mega merah dan berlangsung hingga tengah malam. Namun, dari kedua hadits
tersebut, hadits kedua menyebutkan bahwa batas waktu Isya’ hingga tengah malam.
Sedangkan pada hadits pertama, disebutkan bahwa Jibril baru datang ;dihari kedua; ketika
telah lewat separuh malam atau sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya’. Dari situ, ada
tiga pendapat untuk batas waktu Isya’, yang pertama sampai sepertiga malam (menurut
Syâfi‘i dan Abu Hanifah), kedua sampai separoh malam (menurut Imam Mâlik), dan terakhir
sampai terbit fajar (menurut Imam Dawd).
Imam Syâfi‘i dan mayoritas ulama berpendapat bahwa awal waktu Isya’ ialah ketika
hilangnya mega merah, sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa awal waktu Isya’ ialah
ketika munculnya mega hitam atau disaat langit benar-benar telah gelap. Di Indonesia, para
ulama sepakat bahwa waktu Isya’ ditandai dengan mulai memudarnya mega merah (asy-
Syafaq al-Ahmar) di bagian langit sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam.
Peristiwa ini dalam falaq ‘ilmiy dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomicaltwilight).
10
5. Shalat Shubuh
البحر....
(…lalu Nabi shalat Fajar dikala fajar menyingsing atau ia berkata diwaktu fajar bersinar…)
الفجر....
(…kemudian ia datang lagi kepada-Nya dikala telah bercahaya benar dan ia berkata:
bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Fajar…)
تطلعالشمس....
(…dan waktu Shubuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum terbit...)
Kedua hadits telah jelas menyebutkan bahwa waktu Shubuh adalah waktu mulai
terbitnya fajar shadiq dan berlangsung hingga terbitnya matahari. Para ahli fiqh sepakat
dengan pendapat tersebut, meskipun ada beberapa ahli fiqh Syâfi‘iyah yang menyimpulkan
bahwa batas akhir waktu Shubuh adalah sampai tampaknya sinar matahari.
Fajar shadiq dapat dipahami sebagai dawn astronomical twilight (fajar astronomi),
yaitu ketika langit tidak lagi gelap dimana atmosfer bumi mampu membiaskan cahaya
matahari dari bawah ufuk. Cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari
pada saat matahari berada sekitar 18° di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108° derajat).
Pendapat lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi matahari 20°
derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari adalah 110° (90° + 20°).32 Di Indonesia pada
umumnya, Shubuh dimulai pada saat kedudukan matahari 20° derajat di bawah ufuk hakiki
(true horizon). Hal ini bisa dilihat misalnya pendapat ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu
Sadoeddin Djambek disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai mujaddid al-hisab
11
(pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa waktu Shubuh dimulai
dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari.
Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar didefinisikan dengan posisi matahari
sebesar 20° dibawah ufuk sebelah timur. Sementara itu batas akhir waktu Shubuh adalah
waktu syuruq (terbit), yaitu -1°.
BAB III
PENUTUP
12
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian makalah di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Dasar hukum penentuan awal waktu Shalat terdiri dari 2 macam dalil. Pertama dalil
naqly yang mencakup ayatayat Al-Quran dan hadits Nabi. Kedua dalil aqly yang
terdiri dari kaidah fiqhiyyah dan perkembangan ilmu astronomi secara umum,
khususnya ilmu falak.
2. Dalam memahami beberapa hadits Nabi yang berkaitan dengan waktu Shalat, ulama
mempunyai pendapat masingmasing. Akan tetapi perbedaan mencolok terjadi pada
penetuan awal waktu Shalat ‘Ashar dan Isya’ menurut imam Syâfi‘i dan hanafi yang
telah dijelaskan dalam makalah diatas dimana Imam Syâfi‘i berpendapat bahwa alawa
waktu ‘Ashar ialah disaat panjang bayangan benda adalah satu kali panjang benda
tersebut ditambah dengan bayangan waktu Zhuhur sedangakan Imam hanafi
berpendapat bahwa awal waktu ‘Ashar adalah disaat panjang suatu benda ialah dua
kali panjang benda tersebut. Selain itu uga pada penentuan awal waktu Isya’, diamana
Imam Syâfi‘i berpendapat bahwa awal waktu Isya’ ialah di saat hilangnya mega
merah di langit sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa awal waktu Isya’ dimulai
ketika munculnya mega hitam.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsuddin, Fathul Qorib: Penterjemah Muhamad Hamim HR dan Nailul Huda, (Kediri:
Lirboyo Press, 2017), cetakan ke I.
13
Yusuf Somawinata, Ilmu Falak, (Tangerang: Sintesis Ilmu Indonesia Group, 2013).
Saleh al Fauzan, Fiqh Sehari-hari, Alih Bhs.Abdul Hayyie al Kattani dkk (Depok: Gema
Insani, 2009).
14