Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

FIQIH IBADAH
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Ibadah
Dosen Pengampu : Drs. KH. Nanang Naisabur, M,H

Disusun Oleh
Kelompok 2 :
Dilla Nurfadilah Atsari (2021.01.046)
Dini Hanafiah (2021.01.073)
Muhammad Wildan Jawwad (2021.01.052)
Santi Andriani (2021.01.053)
Wahyu Dwi Ramadhan (2021.01.044)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL – FALAH
CICALENGKA – BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang maha suci dan
mencintai kesucian serta kebersihan yang rohman dan yang rohim kepada
seluruh makhluknya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah
kepada nabi agung Muhammad SAW. Yang telah membawa ajaran islam
bagi umatnya menuju keselamatan yang menjungjung tinggi kesucian,
kebersihan, dan keindahan.
Sebagai muslim, tentu kita ingin tergolong kepada golongan orang yang
disebutkan Allah SWT. Sebagai orang yang beriman, yaitu mereka yang
khusyu dalam shalatnya (Qs. Almu’minun 23:2). Sholat yang khusyu tidak
mungkin diperoleh kecuali dengan niat yang sungguh-sungguh, proses
pengalaman yang terus menerus, pengetahuan yang memadai tentang
hukum-hukum syariah shalat dan juga pemahaman tentang gerakan shalat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik. Dan ucapan
terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Drs. KH. Nanang
Naisabur, M,H selaku dosen pembimbing mata kuliah Fiqih ibadah yang
telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada kami.
       Harapan penyusun, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-
rekan mahasiswa pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Penyusun menyadari bahwa di dalam menyusun makalah ini, tentunya
masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, segala saran
dan kritik dari pembaca sangat kami nantikan untuk penyempurnaan
makalah ini.

Bandung, 17 Maret 2022


Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................1
DAFTAR ISI...............................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN....................................................................3
A. Latar Belakang...................................................................3
B. Rumusan Masalah..............................................................3
C. Tujuan................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN......................................................................5
A. Pengertian Sholat................................................................5
B. Dasar Hukum & Tujuan Shalat...........................................5
C. Waktu-waktu Shalat............................................................8
D. Syarat Sah Shalat.................................................................15
E. Makna Fardhu & Rukun-Rukun Shalat...............................25
F. Macam-macam Shalat.........................................................26
G. Sunnah-sunnah Shalat.........................................................
H. Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat....................................
BAB III PENUTUP................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................
B. Saran....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sering kali kita sebagai orang islam tidak mengetahui kewajiban kita
sebagai makhluk yang paling sempurna yaitu sholat, atau terkadang tau
tentang kewajiban tapi tidak mengerti terhadap apa yang dilakukan. Selain
itu juga bagi kaum fanatis yang tidak menghargai tentang arti khilafiyah,
dan menganggap yang berbeda itu salah. Oleh karena itu mari kita kaji
bersama tentang arti shalat, dan cara mengerjakan nya sera beberapa unsur
didalamnya. Dalam pembahasan kali ini juga dipaparkan shalat dan macam
nya.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang
sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam
perjalanan. Shalat merupakan rukun islam kedua setelah syahadat. Islam
didirikan atas lima sendi (Tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga
barang siapa mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama islam, dan
barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama islam.
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali,
berjumlah 17 raka’at. Shalat tersebut merupakan shalat wajib yang harus
dilaksanakan tanpa terkcuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat
maupun sedang sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat-shalat sunnah
untuk membatasi bahasan kami hanya membahas tentang shalat dan
permasalahan nya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Shalat?
2. Apa yang menjadi dasar hukum & tujuan shalat?
3. Kapan saja waktu-waktu Shalat?
4. Apa saja Syarat Sah Shalat?
5. Apa saja Rukun-rukun Shalat?
6. Apa saja Sunnah-sunnah Shalat?
7. Apa saja hal – hal yang membatalkan Shalat?
C. Tujuan

3
Tujuan penulisan makalh ini agar kami selaku penyusun mengetahui
bagaimana segala hal tentang shalat baik pengertian, dasar hukum dll.
Kemudian agar menambah wawasan para pembaca serta menjadi
referensi bagi penulis-penulis berikutnya.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SHALAT
Pengertian shalat menurut bahasa yaitu, berasal dari kata ‫ ال ُّدعَا ُء‬artinya
berdo’a (memohon), pujian. Sedangkan shalat menurut syara’ sebagaimana
pendapat Imam Rafi’i, yaitu:

‫ َأ ْق َوا ٌل َو َأفْ َعا ٌل ُم ْفتَ َت َح ٌة اِب لتَّ ْك ِبرْي ِ ُمخْ َت َت َم ٌة اِب لت َّ ْس ِلمْي ِ بِرَش َ اِئطَ َمخْ ُص ْو َص ٍة‬:‫كام قال الرافعي‬
Artinya: “Ucapan-ucapan yang dimulai dengan takbirotul dan ditutup
dengan salam.”
Adapun shalat Menurut ‘ulama Fuqoha’ ialah ibadah yang terdiri dari
perbuatan atau gerakan dan perkataan atau ucapan tertentu, yang dimulai
dengan takbirotul dan ditutup dengan salam.
Sedangkan menurut ‘ulama Tasawwuf’ shalat ialah menghadapkan
qalbu kepada Allah SWT hingga menimbulkan rasa takut kepada-Nya serta
kesempurnaan, kekuasaannya, atau menghadap kepada Allah dengan qalbu
bersikap khusyu’ (konsentrasi penuh) dihadapan-Nya, disertai dengan
penghayatan penuh tatkala berdzikir, berdo’a, dan memuji-Nya.
B. DASAR HUKUM & TUJUAN SHALAT
Allah SWT berfirman tentang shalat dalam al-Qur’an surah Taha ayat
14 yang sebagaimana berikut:

‫نَّىِن ٓ َأاَن ٱهَّلل ُ ٓاَل لَ ٰـ َه ٓاَّل َأاَن ۠ فَٱ ْع ُبدْ ىِن َوَأ ِق ِم ٱ َّلصلَ ٰو َة ذِل ِ ْك ِر ٓى ۝‬
‫ِإ ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat aku” (Qs. Taha
20:14)
Pada akhir ayat ini Allah menekankan supaya shalat didirikan, tentunya
shalat yang sesuai dengan perintah-Nya, lengkap dengan rukun-rukun dan
syarat-syaratnya, untuk mengingat Allah dan berdoa memohon kepada-Nya
dengan penuh ikhlas. Shalat disebut di sini secara khusus, untuk
menunjukkan keutamaan ibadah shalat itu dibanding dengan ibadah-ibadah

5
wajib yang lain, seperti puasa, zakat, haji dan lain-lain, dan keutamaan
sunnah shalat dibanding sunnah ibadah yang lainnya, seperti dijelaskan
dalam Kitab Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja karya Syekh Nawawi
Banten.

‫َو فُ ُر ْوضُ ُه َأفْضَ ٌل ِم َن الْ َف َراِئ ِض َو ن َ ْفهُل ُ َأفْضَ ٌل ِم َن النَّ َوا ِف ِل‬
Artinya: “. . . dan kefardhuan (shalat) lebih utama daripada kefardhuan yang
lain, dan kesunnahan (shalat) lebih utama dibanding kesunnahan yang lain.”
Berdasarkan penjelasan diatas keutamaan shalat sangatlah penting,
bahkan lebih utama dibanding keutamaan dalam beribadah yang lainnya.
Selain itu perkara yang pertama kali akan dihisab pada ummat muslimin
dari perkara ibadah di hari kiamat adalah shalat. Siapa yang mendirikan
shalat, maka bagus amalnya. Siapa yang tidak bagus shalatnya, maka
amalnya pasti rusak. Allah SWT sangat penyayang pada hambanya, di mana
Allah SWT menyempurnakan amalan wajib yang ia lakukan dengan amalan
sunnah sebagai penutup kekurangannya. Pada umumnya amalan wajib akan
disempurnakan dengan amalan sunnah sampai bertambahlah kebaikan
hingga mengalahkan kejelekan sampai masuk surga dengan rahmat Allah
Azza wa Jalla. Maka hendaklah setiap orang bisa memperbanyak dan
menjaga amalan sunnah, bukan hanya mementingkan yang wajib saja. Ada
sebuah Hadits yang terdapat dalam kitab riyadus shalihin yang menjelaskan
Rasulullah SAW telah bersabda sebagai berikut:

‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َّن َأ َّو َل َما‬


ُ ‫هللا َص َّل‬ ِ ‫ قَا َل َر ُس ْو ُل‬:‫هللا َع ْن ُه قَا َل‬ ُ َ ‫َو َع ْن َأيِب ْ ه َُر ْي َر َة َريِض‬
‫ِإ‬
‫ َو ْن‬،‫ فَ ْن َصلَ َح ْت فَ َقدْ َأفْلَ َح َو َأجْن َ َح‬،ُ‫حُي َ َاس ُب ِب ِه الْ َع ْبدُ ي َ ْو َم الْ ِق َيا َم ِة ِم ْن مَع َ هِل ِ َصاَل تُه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ ُان ُْظ ُر ْوا‬:‫ فَ ِن انْ َت َق َص ِم ْن فَ ِريْضَ ِت ِه َش ْيًأ قَا َل َّالر ُّب َع َّز َو َج َّل‬، َ ‫َاب َو َخرِس‬ َ ‫فَ َسدَ ْت فَ َقدْ خ‬
‫ِإ‬
،‫ه َْل ِل َع ْب ِد ْي ِم ْن ت ََط ُّوعٍ فَ ُيمَك َّ َل هِب َا َما انْ َت َق َص ِم َن الْ َف ِريْضَ ِة مُث َّ تَ ُك ْو ُن َساِئ ُر َأمْع َ اهِل ِ عَىَل ه ََذا‬
)‫(رواه الرتمذي‬
Artinya: “Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama

6
kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka,
jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika
shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari
shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku
memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari
shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR.
Tirmidzi)
Dan juga shalat itu merupakan fardlu ‘ain bagi setiap umat muslimin,
dan merupakan fondasi dalam Islam yang kedua, bagi setiap orang yang
telah mengikrarkan 2 kalimat syahadat maka kewajibannya setelah itu
adalah shalat, Rasulullah SAW telah bersabda:

‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ بُيِن َ ا ْساَل ُم‬


ُ ‫هللا َصىَّل‬ ُ َ ‫َو َع ِن ا ْب ِن مُع َ َر َريِض‬
ِ ‫ قَا َل َر ُس ْو ُل‬:‫هللا َع ْن ُه قَا َل‬
‫ِإْل‬
‫ َو يْ َتا ِء‬،‫الصاَل ِة‬
َّ ‫ َو قَا ِم‬،‫هللا‬ ُ ‫ َشهَا َد ُة َأ ْن اَل هَل َ اَّل‬:‫عَىَل مَخ ْ ٍس‬
ِ ‫هللا َو َأ َّن ُم َح َّمدً ا َر ُس ْو ُل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ ِإ‬
)‫ َو َح ّ ِج الْ َبيْ ِت َو َص ْو ِم َر َمضَ َان (متفق عليه‬،‫َّالزاَك ِة‬
Artinya: “Dan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Islam dibangun atas lima pekara. (1)
Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah,
(2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah
haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. (HR Bukhari dan Muslim)
Dihukumi kafir bagi seorang muslim yang menentang shalat, karena ia
telah masuk kedalam Riddah. Riddah adalah memutuskan Islam.
Sebagaimana penjelasan Syeikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Harariyy
rahimahullah, dalam kitab Mukhtashar al-Harariyy al-Kafil bi ‘Ilm ad-Din
adl-Dharuriyy:

‫ِم ِب ُك ْف ٍر قَ ْويِل ٍ ّ َأ ْو ِف ْعيِل ٍ ّ َأ ْو ِا ْع ِت َقا ِد ٍ ّي‬ ‫قَ ْط ُع ا ْساَل‬


‫ِإْل‬
Artinya: “Memutuskan Islam dengan kufur perkataan, kufur perbuatan, atau
kufur keyakinan”
Menurut penjelasan diatas riddah itu terbagi kepada tiga macam; riddah
(keluar dari Islam) karena perbuatan, karena perkataan dan karena

7
keyakinan. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila
terjadi pada seorang muslim, maka dengan sendirinya mengeluarkan
seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak
mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan atau
orang yang dalam keadaan marah. Rasulullah SAW telah bersabda:

‫َّن الْ َع ْبدَ ل َ َي َتلَك َّ ُم اِب ْللَك ِ َم ِة اَل يَ َرى هِب َا بَْأ ًسا هَي ْ ِو ْي هِب َا يِف النَّ ِار َس ْب ِعنْي َ َخ ِريْ ًفا (رواه‬
‫ِإ‬
)‫الرتمذي‬
Artinya: “Sungguh seorang hamba jika mengucapkan perkataan (yang
merupakan kekufuran) yang tidak dianggapnya berbahaya padahal sebab
perkataan itulah ia terjerumus ke (dasar) neraka (yang jarak tempuhnya)
tujuh puluh tahun (yang tidak dihuni kecuali oleh orang-orang kafir).” (HR.
Tirmidzi)
C. SYARAT SAH SHALAT
Fiqih shalat merupakan salah satu ilmu fiqih yang sangat perlu
diketahui seorang muslim. Dengan mempelajari fiqih shalat kita jadi tahu
hukum hukum shalat, syarat syarat shalat, dan hal-hal lain terkait dengan
kewajiban shalat. Adapun syarat sah shalat itu ada 8 menurut kitab
Safinatun Najah Fii Maa Yajibu ‘Alal ‘Abdi Li Maulah karya syeikh Salim
Bin Sumair Al Hadhrami, yaitu:
1. Suci dari hadats besar maupun kecil.
2. Suci dari najis di pakaian, badan, dan tempat.
3. Menutup aurat.
4. Shalat menghadap kiblat.
5. Telah masuk waktu shalat.
6. Mengetahui bahwa hukum shalat fardhu itu wajib.
7. Tidak meyakini salah satu fardhu tertentu sebagai sunnah.
8. Menjauhi perkara-perkara yang membatalkan shalat.
Adapun berdasarkan fiqh 4 madzhab penjelasan mengenai syarat sah
shalat terdapat perbedaan diantara imam madzhab,yaitu madzhab Maliki,

8
madzhab Syafi’I, madzhab Hanafi, dan madzhab Hambali. Yang akan kami
bahas sebagai berikut.

Al Malikiyyah
Madzhab Maliki Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat shalat terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu syarat wajib saja, syarat sah saja dan syarat wajib
yang sekaligus sebagai syarat sah.
Bagian Pertama (syarat wajib saja)
Bagian pertama menurut imam Malik yang berupa syarat wajib saja ada
dua, yaitu :
1. Baligh;
Jadi tidak wajib shalat atas anak kecil, akan tetapi anak tersebut
diperintah untuk mengerjakan shalat ketika (telah memasuki) umur tujuh
tahun dan dipukul (yang tidak menimbulkan cidera - pent) ketika
berumur sepuluh tahun supaya ia terbiasa mengerjakan shalat.
Sesungguhnya ketentuan-ketentuan syara' walaupun semuanya
didasarkan untuk mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan
(maſsadah) dan bagi orang-orang yang berakal tentu tidak akan
mendapatkan kesulitan untuk melakukan ketentuan tersebut setelah ia
mendapatkan beban, akan tetapi adatkebiasaan mempunyai hukum
sendiri. Dan manusia sudah mak. lum bahwa faedah dari mengerjakan
shalat baik dari segi materiil maupun moral spiritual sudah cukup
sebagai dorongan baginya untuk mengerjakannya. Akan tetapi dengan
tidak terbiasa mengerjakan shalat, ia akan tetap duduk meninggalkan
shalat.
2. Tidak dipaksaa untuk meninggalkan shalat;
Sebagaimana ketika ada seorang zhalim yang memerintahkan untuk
meninggalkan shalat dan apabila ia tidak mau, maka orang zhalim
tersebut akan memenjarakan atau memukulnya, atau membunuhnya,
atau mengikat tangannya atau menepuk mukanya di hadapan orang

9
banyak apabila yang demikian ini akan mengurangi martabatnya.
Dengan demikian orang yang meninggalkan shalat karena dipaksa tidak
ada dosa atasnya, bahkan shalat itu tidak wajib atasnya selama ia dalam
keadaan di paksa. Karena orang yang dipaksa tidak lagi mendapat beban
(taklif), sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:

‫رفع عن أميت اخلطاء والنيسان وما ارشفواعليه‬


Artinya : "Dihilangkan dari umatku kesalahan (karena tidak sengaja), lupa
dan apa yang dipaksakan kepada mereka.”
Menurut mereka, yang tidak wajib atas orang yang dipaksa adalah
perbualan shalat yang secara lahir saja. Sedangkan selain dari yang lahir dan
ia mampu bersuci, maka wajib mengerjakan apa yang ia mampu, seperti
niat, lakbiratul ihram, membaca dan isyarah. Ia adalah seperti orang sakit
yang lemah yang hanya wajib mengerjakan apa yang ia mampu dan gugur
baginya apa yang ia tidak mampu.
Bagian Kedua
Adapun bagian kedua dari pembagian syarat sah shalat adalah syarat
sah saja, yaitu ada 5 macam, yaitu:
1. Suci dari hadats.
2. Suci dari kotor.
3. Islam.
4. Menghadap kiblat.
5. Menutup aurat.
Bagian Ketiga
Sedangkan bagian yang ketiga adalah syarat wajib yang sekaligus
sebagai syarat sah ada 6 yaitu:
1. Telah sampai kepadanya dakwah Nabi Muhammad saw. Apabila
belum datang kepadanya dakwah Nabi, maka tidak wajib shalat
atasnya dan tidak sah shalatnya apabila ia tetap mengerjakannya.
2. Berakal.
3. Memasuki waktu shalat.

10
4. Tidak kehilangan dua perabot bersuci (wudhu dan tayammum pent)
yaitu tidak mendapatkan air untuk wudhu dan tidak mens dapatkan
sesuatu yang dapat digunakan tayammum,
5. Tidak dalam keadaan tidur dan tidak dalam keadaan lupa.
6. Tidak dalam keadaan haid dan tidak dalam keadaan nifas.
menambahkan

Dari sini dapat diketahui bahwa golongan imam Malik menambahkan


"Islam" pada syarat sah shalat dan tidak menjadikannya sebagai syarat
wajib. Sehingga menurut mereka orang-orang kafir tetap wajib mengerjakan
shalat, walaupun shalat tersebut tidak sah karena tidak memenuhi salah satu
syarat sahnya yaitu Islam. Ini berbeda dengan golongan yang lain yang
menjadikan ''Islam sebagai syarat wajib Golongan Malik juga menganggap
''suci” sebagai dua syarat, yaitu suci dari hadats dan suci dari kotor. Mereka
juga menambahkan Tidak dipaksa meninggalkan shalat" sebagai syarat
wajib.
Asy Syafi'iyyah
Menurut madzhab Syafi'i mereka membagi syarat-syarat shalat menjadi
dua macam, yaitu syarat wajib dan syarat sah.
Syarat Wajib
Menurut asy-Syafi’iyyah pembagian syarat-syarat shalat yang pertama
adalah syarat wajib yang berjumlah 6 yaitu:
1. Sampai kepadanya dakwah Nabi Muhammad saw.
2. Islam.
Orang kafir menurut golongan Syafi'i tidak wajib shalat. Akan
tetapi ia disiksa karena tidak melakukan shalat sebagai tambahan
dari siksa kufurnya. Sedangkan orang yang keluar dari Islam
(murtad), ia tetap berkewajiban shalat karena melihat dari asalnya ia
adalah orang Islam.
3. Berakal.
4. Baligh.
5. Suci dari haid dan nifas.

11
6. Sehat indranya, walaupun hanya pendengaran atau penglihatan saja.
Syarat Sah
Adapun syarat-syarat sahnya menurut madzhab Syafi’i terdapat 7
macam, yaitu sebagai berikut:
1. Suci badan dari hadats besar dan hadats kecil.
2. Suci badan, pakaian dan tempat dari najis.
3. Menutup aurat.
4. Menghadap kiblat.
5. Mengetahui bahwa waktu shalat telah datang, walaupun hanya
dengan dugaan.
Bagi orang yang melihat harus memperhatikan dan menjaga tertib ini.
Sedangkan bagi orang buta boleh bertaklid. Meninggalkan sesuatu yang
dapat membatalkan shalat. Dalam hal ini golongan Syafi'iyyah melebihi
golongan Malikiyyah mengenai syarat sah shalat pada tiga hal, yaitu:
1. Mengetahui tata cara shalat, yaitu semisal tidak meyakini yang
fardhu dalam shalat sebagai sunnah apabila ia orang bodoh, dan
dapat membedakan antara yang fardhu dan yang sunnah.
2. Meninggalkan perkara yang membatalkan shalat, yaitu dengan tidak
melakukan sesuatu yang dapat menafikan (membatalkan) shalat
sampai shalat itu sempurna.
3. Mengetahui bahwa waktu shalat telah datang pada shalat yang telah
ditentukan waktunya (muaqqatah).
Golongan Syafi'iyyah juga menambahkan ’Islam” dalam syarat wajib,
akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang kafir yang sebelumnya tidak
beragama Islam tidak wajib shalat atasnya. Artinya di dunia ini orang kafir
tersebut tidak dituntut, walaupun di akhirat ia disiksa karena tidak
mengerjakan shalat sebagai tambahan dari siksa kufurnya. Mereka juga
berpendapat apabila orang kafir itu mengerjacan shalat, maka batal
shalatnya. Dengan demikian "Islam" adalah juga sebagai syarat sah shalat
(disamping sebagai syarat wajib).
Al Hanafiyyah

12
Madzhab Hanafi Mereka membagi syarat-syarat shalat menjadi 2
bagian, yaitu syarat wajib dan syarat sah, sebagaimana golongan Syafi'i.
Syarat Wajib
Penjelasan tentang Syarat wajib menurut golongan Hanafi ada 5, yaitu
sebagai berikut:
1. Telah sampai dakwah Nabi Muhammad saw. kepadanya.
2. Islam.
3. Berakal.
4. Baligh
5. Suci dari haid dan nifas.
Banyak dari golongan Hanafi yang tidak menyebutkan "telah
sampainya dakwah Nabi" sebagai salah satu syarat wajib, sebab telah cukup
dengan menyebut "Islam". Dalam syarat wajib, golongan Hanafi
menambahkan "Islam" sebagaimana golongan Syafi'i. Hanya saja golongan
Hanafi berpendapat bahwa orang kafir tidak disiksa secara mutlak sebagai
siksa tambahan dari kekufurannya. Dan jelas bahwa siksa orang kafir
sebagai tambahan dari dosa kufurnya adalah masalah teori dan bukan
masalah praktik (amali). Karena siksa kufur adalah siksa yang paling berat
sehingga siksa-siksa yang lain adalah berada di bawahnya atau paling tidak
sama nilainya dengan siksa kufur tersebut.
Syarat Sah
Adapun mengenai syarat-syarat sah menurut golongan Hanafi
berjumlah 6, yaitu:
1. Suci badan dari hadats dan najis.
2. Suci pakaian dari najis.
3. Suci tempat dari najis.
4. Menutup aurat
5. Niat.
6. Menghadap kiblat.
Golongan Hanafi juga menambahkan "Niat" sebagai syarat sah,
sehingga tidak sah shalat apabila dikerjakan tanpa niat, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW:

13
‫إمنا األعامل ابلنيات‬
Artinya:''Sesungguhnya amal itu disertai niat.”
Dan dengan niat itulah ibadah dapat dibedakan dengan adat atau
sekedar kebiasaan, dan juga dengan niat dapat dibedakan ibadah yang satu
dari yang lain, sesuai dengan pendapat golongan Hambali yang menyebut
niat sebagai syarat dan golongan Syafi'i yang menyebutnya sebagai rukun
sebagaimana pendapat yang masyhur dari golongan Malik sebagaimana
diterangkan pada ‘Rukun-rukun shalat”.
Pada bagian yang lalu yaitu tentang pembahasan masalah niat telah
diketahui tentang perbedaan antara syarat dan rukun. Dan bahwasanya
sesuatu itu tidak sah tanpa syarat dan rukun tersebut. Dengan demikian
menurut pendapat empat madzhab, tidak sah shalat tanpa niat.
Adapun mengenai niat itu sebagai syarat yang berada di luar shalat atau
sebagai rukun yang berada di dalam shalat sebagai juz atau birgiannya
adalah merupakan masalah yang khusus bagi para penuntut ilmu yang ingin
mengetahui secara mendalam tentang seluk beluk sesuatu Golongan
Hanafiyyah tidak menyebutkan bahwa "masuk waktu shalat'' sebagai syarat
wajib dan tidak pula menyebutnya sebagai syarat sah. Yang demikian itu
karena mereka berpendapat bahwa "masuk waktu" adalah sebagai syarat
melaksanakan shalat bukan syarat shalat itu sendiri, sebagaimana telah
diterangkan pada bab tayammum. Dan pada bagiannya nanti akan
diterangkan pembahasan tentang ''masuk waktu shalat".
Al Hanabilah
Mereka yang Madzhab Hambali tidak membagi syarat shalat kecuali
syarat wajib syarat sah, sebagaimana pendapat golongan lain. Bahkan
menurut mereka syarat-syarat itu ada 9, yaitu:
1. Islam, dan
2. Berakal.
3. Tamyiz (dapat membedakan).
4. Suci dari hadats apabila mampu,

14
5. Menutup aurat.
6. Menjauhi najis baik dari badan, pakaian maupun tempat.
7. Niat.
8. Menghadap kiblat.
9. Memasuki waktu.
Mereka berpendapat bahwa semua ini adalah sebagai syarat sah.
Selain syarat sah bagi shalat fardhu yang telah disebutkan, adapula
syarat sahnya shalat jum’at yang berjumlah 6 sebagaimana berikut, syarat
sah shalat Jum’at ada enam, yaitu:
1. Khutbah dan shalat dilaksanakan pada waktu Dzuhur.
2. Kegiatan Jum’at tersebut dilakukan dalam batas desa.
3. Dilaksanakan secara berjamaah.
4. Jamaah Jum’at minimal berjumlah 40 orang laki-laki merdeka,
baligh dan penduduk asli daerah tersebut.
5. Tidak didahului dan tidak bersamaan dengan shalat jumat lainnya
yang ada di daerahnya ,kecuali bila mesjid tidak tertampung boleh
lebih.
6. Harus didahului oleh dua khutbah.

Dalam mendirikan shalat, wajib hukumnya untuk menghadap kiblat,


dan adapun yang dimaksud dengan kiblat, yaitu Ka’bah. Adapun
menghadap kiblat itu dengan yakin apabila kita melihat langsung Ka’bah
dari dekat, dan dengan sangkaan atau dzonnan apabila kita berada jauh dari
Ka’bah tersebut, menurut madzhab Imam Syafi’i.

‫َع ْن َها‬ ‫ِا ْس ِت ْق َب ُال َع ْيهِن َا ي َ ِق ْينًا َم َع الْ ُق ْر ِب َو َظنًّا َم َع الْ ُب ْع ِد‬
Artinya: “Menghadap dengan yakin terhadap ‘ain-Nya (Ka’bah) ketika
dekat, dan dengan dugaan apabila jauh dari-Nya (Ka’bah).”
Permasalahan Kiblat Shalat
Shalat
D. WAKTU-WAKTU SHALAT

15
Telah diketahui pada pembahasan “Syarat-syarat shalat” bahwa masuk
waktu adalah sebagai salah satu syarat shalat. Sehingga tidak wajib shalat
atas mukallaf apabila belum masuk waktunya walaupun kita ketahu bahwa
golongan Hanafi tidak menjadikan masuk waktu sebagai syarat wajib dan
tidak pula memasukkannya sebagai syarat sah. Karena mereka berpendapat
bahwa masuk waktu tersebut sebagai syarat untuk mengerjakan shalat,
artinya bahwa shalat tersebut tidak sah untuk dikerjakan kecuali apabila
telah masuk waktunya.
Shalat lima waktu difardhukan pada malam Isra’ setelah 10 tahun kenabian
lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan Rajab.
1. Dzuhur: waktunya apabila matahari telah tergelincir (kearah barat)
hingga bayangan segala sesuatu menjadi sama panjang dengan
bendanya, selain bayangan istiwa’.
2. ‘Ashar: waktunya dari setelah habis waktu dzuhur hingga
terbenamnya matahari.
3. Maghrib: waktunya dari terbenamnya matahari hingga hilangnya
mega merah.
4. Isya: waktunya dari setelah waktu maghrib hingga terbit fajar shadiq.
5. Shubuh: waktunya dari setelah waktu ‘Isya hingga matahari terbit.
Adapun dalam mengetahui datangnya waktu shalat ini, terdapat 3
tingkatan, yaitu:
1. Mengetahui dengan dirinya sendiri atau diberi tahu oleh orang yang
dapat dipercaya yang mengetahui datangnya waktu shalat dengan
jam yang pasti, atau dengan mendengar muadzin yang mengetahui
datangnya waktu shalat, seperti muadzin pada masjid yang memiliki
jam, atau lain sebagainya.
2. Mengetahui dengan ijtihad, yaitu berdaya upaya untuk mengetahui
datangnya waktu shalat dengan cara dan sarana yang dibenarkan
untuk mencapai tujuan.
3. Mengetahui karena mengikuti orang yang melakukan penelitian atau
berijtihad.

16
Apabila seseorang mengerjakan seluruh shalatnya di luar waktu, maka
sah shalatnya. Akan tetapi ia berdosa besar karena mengakhirkan shalat
sehingga keluar dari waktunya. Apabila seseorang mengerjakan sebagian
shalat pada waktunya dan sebagian yang lain di luar waktunya, maka
sebagian Imam berpendapat bahwa orang tersebut berdosa, dan menurut
sebagian yang lain tidak berdosa.
Hanya saja mereka sepakat bahwa orang yang mendapatkan sebagian
shalat pada waktunya, maka shalat tersebut adalah "adaa" dan bukan
"qadhaa”. Sedangkan adaa' menurut sebagian Imam tidak menghilangkan
dosa. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hal tersebut dan kami sajikan
pula penjelasan mengenai batas waktu shalat lima kali sesuai dengan
pendapat para Madzhab. Pertama adalah waktu zhuhur sebagaimana telah
kita ketahui. Dan waktu zhuhur ini dimulai langsung setelah tergelincirnya
matahari.
Al Malikiyyah
Madzhab Maliki mereka berpendapat; Apabila seseorang mendapatkan
satu raka’at shalat pada waktu ikhtiary kemudian waktu tersebut habis dan
disempurnakan pada waktu dharury, maka ia tidak berdosa. Sedangkan
apabila pada waktu ikhtiary belum menyempurnakan satu rakaat, maka ia
berdosa, baik seluruh shalat itu dikerjakan pada waktu dharury dan bagian
yang lain dikerjakan di luar waktunyaa. Sebentar lagi akan sa ketahui bahwa
golongan Malik membagi waktu shalat menjadi waktu ikhtiary dan waktu
dharury.
Al Hanafiyyah
Madzhab Hanafi mereka berpendapat; Apabila seseorang mendapatkan
sebagian dari shalat, walaupun hanya takbiratul ihram sebelum habis waktu,
maka shalainya adalah adaa'. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa
apabila tidak mendapatkan seluruh shalat sebelum habis waktu, maka ia
berdosa. Hanya saja dalam keadaan ini ia berdosa kecil bukan berdosa
besar. Golongan Hanafiyyah sebagaimana akan kita ketahui, mereka tidak
membagi waktu menjadi dharury dan ikhtiary seperti pendapat golongan
Malikiyyah.

17
Asy Syafi'iyyah
Madzhab Syafi'i mereka berpendapat bahwa apabila tidak mendapatkan
satu rakaat secara sempurna pada waktunya, maka shalatnya terhitung
qadhaa', bukan adaa'. Apabila seseorang mendapatkan satu rakaat kemudian
habis waktunya, maka ia berdosa. Akan tetapi dosanya lebih kecil dari pada
dosa orang yang mengerjakan shalat secara qadhaa'.
Keharusan mengerjakan seluruh shalat pada waktunya yang telah
ditentukan Golongan Syafi'iyyah sepakat dengan golongan Hanafi mengenai
tukan, dan mereka juga sepakat tidak membagi waktu menjadi dharury dan
ikhtiary. Golongan Syafi'iyyah sepakat dengan golongan Malikiyyah, bahwa
shalat tidak dikatakan adaa' apabila tidak mendapatkan satu rakaat secara
sempurna pada waktu ikhtiary.
Al Hanabilah
Madzhab Hambali mereka berpendapat bahwa: shalat maktubah itu
adaa' apabila sudah mendapatkan takbiratul ihram. Apabila seseorang
berdiri untuk mengerjakan shalat pada akhir waktu, kemudian ia melakukan
takbiratul ihram, dan sesudah takbiratul ihram selesai, habis waktunya,
maka shalatnya terhitung adaa' sebagaimana pendapat golongan Hanafi. Dan
orang tersebut tidak berdosa apabila telah mendapatkan takbiratul ihram
sebelum habis waktunya.
Mereka sepakat dengan golongan Hanafiyyah, bahwa orang yang telah
mendapatkan takbiratul ihram pada waktunya, maka berarti ia telah
mendapatkan seluruh waktu dan shalatnyapun terhitung adaa'. Akan telapi
mereka udak mengatakan bahwa orang tersebut berdosa, sebab ia telah
mengerjakan shalat secara adaa', tidak secara qadhaa'. Dengan demikian kita
mengetahui apa yang diperselisihkan dan apa yang disepakati oleh mereka
tentang masalah ini secara jelas dan benar.
Waktu-waktu shalat dapat diketahui dengan lima perkara:
1. Dengan hitungan falakiyah yang dapat dipertanggungjawabkan dan
dengan berdasarkan perhitungan yang benar. Ini sekarang sudah
banyak terdapat di beberapa kota dan desa. Dan cara ini menjadi
pegangan untuk mengetahui waktu-waktu syara'.

18
2. Tergelincimya matahari dan bayangan yang timbul sesudahnya.
Dengan waktu Ashar ini dapat diketahui dengan datangnya waktu
Zhuhur.
3. Terbenamnya matahari. Dan ini dapat untuk mengetahui waktu
Maghrib.
4. Terbenamnya mega berwarna merah atau berwarna putih menurut
penglihatan mata. Dengan ini dapat diketahui datangnya waktu Isya'.
5. Warna putih yang muncul di ufuq (timur - pent). Dan ini dapat untuk
mengetahui waktu Shubuh.
Waktu-waktu ini telah ditunjukkan oleh hadits shahih yang
diriwayatkan oleh At Turmudzi dan An Nasai yang bersumber dari Jabir bin
Abdillah, ia berkata:

‫ فقال میامد فضل‬، ‫جاء جربيل إىل اليب صىل هللا عليه وسمل چي زالت الشمس‬
‫الهجني مايل الشئ مث مكث ك إداگاب يف الرجل ىك‬
، ‫ مق فصل الرب‬: ‫ فقال قيام املمر مه مك حىت إذا غاب الشجاء ؛ قال‬. ‫ما جاء احلرض‬
‫ فقام‬، ‫ فقال مق مقل الواكء‬، ‫ حىت إذا غاب الشقق جاء‬، ‫فقام صالهاحني ايب ال سواء‬
‫ فقال متام فصل الشيخ و‬، ‫فضها جاء يف حني تنطع الفريف اللهج‬
Artinya: "'Telah datang Jibril kepada Nabi Muhammad saw. pada waktu
1ergelincir matahari, lalu ia berkata : ''Hai Muhammad ! Berdirilah dan
kerjakanlah shalat Zhuhur ketika matahari telah condong”. Kemudian Nabi
diam, sehingga ketika bayangan seorang lelaki panjangnya sama dengan
tinggi badannya, Jibril datang lagi kepada beliau karena waktu Ashar dan
berkata : "Hai Muhammad ! Berdirilah dan kerjakanlah shalat Ashar”,
Kemudian Nabi diam, sehingga ketika matahari terbenam,Jibril datang dan
berkata : "Berdirilah dan kerjakanlah shalat Maghrib”. Lalu Nabi berdiri dan
mengerjakan shalat Maghrib kerika matahari terbenam dengan sempurna.
Kemudian Nabi diam, sehingga ketika mega telah hilang, Jibril datang dan
berkata : "Berdirilah dan kerjakanlah shalat Isya”. Lalu Nabi berdiri dan
mengerjakan shalat Isya'. Kemudian Jibril datang lagi ketika terbit fajar di

19
waktu Shubuh dan berkata : "Hai Muhammad ! Berdirilah dan kerjakanlah
shalat Shubuh”.

Hadits ini telah memberi penjelasan kepada kita mengenai awal waktu
untuk tiap-tiap shalat. Hadits ini juga mempunyai kelanjutan yang
menerangkan tentang akhir waktu. Makna dari kelanjutan hadits tersebut
adalah bahwa Jibril AS datang kepada Nabi Muhammad SAW pada hari
berikutnya dan memerintahkan supaya mengerjakan shalat zhuhur ketika
bayangan sepadan dengan benda yang berbayangan. Dan memerintahkan
supaya mengerjakan shalat ashar ketika bayangan mencapai dua kali dari
benda yang berbayangan, memerintahkan shalat maghrib pada waktunya
yang awal, memerintahkan shalat isya' ketika telah hilang sepertiga malam
yang pertama dan memerintahkan shalat shubuh ketika telah benar-benar
terang. Kemudian Jibril berkata kepada Nabi bahwa di antara kedua ini
adalah waktu seluruhnya.
Hadits ini dan beberapa hadits yang semisalnya menjelaskan kepada
kita waktu-waktu shalat dengan tanda-tanda alam yang menjadi dasar
perhitungan falaki dan jam-jam yang tepat berdasarkan bayangan matahari,
dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah pendapat beberapa Imam mengenai batas-batas
waktu shalat secara terperinci disamping kita ketahui sebagian dari mereka
ada yang membagi menjadi waktu dharury dan waktu ikhtiary dan sebagian
yang lain tidak membagi demikian.
Al Malikiyyah
Madzhab Maliki mereka membagi waktu menjadi waktu ikhtiary yaitu
waktu yang bagi mukallaf boleh memilih bagian mana dari waktu tersebut ia
akan mengerjakan shalat, dan waktu dharury yaitu waktu yang berada
sesudah waktu ikhtiary. Waktu ini dinamakan dharury sebab hanya khusus
bagi mereka yang dalam keadaan dharurat, seperti lupa, haid, pingsan, gila
dan lain sebagainya. Orang yang dalam keadaan darurat ini tidak berdosa
apabila mengerjakan shalat pada waktu dharury. Adapun orang-orang yang
tidak demikian keadaannya, maka tidak boleh mengerjakan shalat pada

20
waktu dharury tersebut kecuali apabila telah mendapatkan satu rakaat pada
waktu ikhtiary. Dan pada bagiannya nanti akan kita ketahui tentang waktu-
waktu dharury.
Al Hanabilah
Madzhab Hambali mereka membagi waktu Ashar menjadi dharury dan
ikhtiary. Waktu ikhtiary selesai ketika bayangan mencapai dua kali panjang
benda. Sedangkan waktu dharury adalah sesudah waktu ikhtiary sampai
pada terbenam matahari. Mereka berpendapat haram hukumnya
mengerjakan shalat ashar pada waktu dharury ini, walaupun shalat tersebut
tergolong adaa'. Semisal ashar menurut mereka adalah isya' sebagaimana
yang akan datang.
Asy Syafi'iyyah
Madzhab Syafi'i mereka berpendapat bahwa waktu shalat terbagi menjadi 8
bagian, yaitu:
1. Waktu Utama/Fadhilah
Yaitu dari awal waktu sampai kira-kira cukup untuk mengerjakan
sebab-sebab shalat, sesuatu yang dituntut dalam shalat dan mengerjakan
shalat itu sendiri walaupun secara sempurna. Diperkirakan waktu utama
tersebut selama tiga perempat jam (empat puluh lima menit) menurut
perhitungan jam falakiyah. Disebut waktu utama karena mengerjakan
shalat pada waktu tersebut lebih utama dari pada mengerjakan shalat
pada waktu sesudahnya. Bagian pertama ini terdapat pada semua waktu
shalat yang lima kali.
2. Waktu Ikhtiary
Yaitu dari awal waktu sampai tersisa waktu kirakira cukup untuk
mengerjakan shalat. Shalat pada waktu ini lebih utama dari pada waktu
sesudahnya dan lebih rendah dari pada sebelumnya. Disebut waktu
ikhtiary sebab seseorang masih dapat memilih untuk mengerjakan shalat
pada waktu sesudahnya. Waktu ikhtiary pada shalat zhuhur selesai
sampai tersisa waktu yang hanya cukup untuk shalat, pada shalat ashar
sampai terjadinya bayangan dua kali dari benda, pada shalat maghrib
sampai dengan selesainya wakktu fadhilah (utama), pada shalat isya’

21
sampai dengan selesainya sepertiga malam yang pertama, dan pada
shalat shubuh sampai dengan remang.
3. Waktu Jawaz (boleh) yang tidak makruh
Yaitu bersamaan waktu ikhtiary, sehingga hukumnyapun sama dengan
hukum waktu ikhtiary, hanya saja untuk waktu ashar berlangsung sampai
pada berwarna kuning, pada waktu isya' berlangsung sampai fajar kadzib,
dan untuk waktu shubuh (fajar) sampai pada berwarna merah.
4. Waktu Haram
Yaitu akhir waktu sekiranya tidak cukup untuk mengerjakan seluruh
shalat, sebagaimana keterangan yang telah lalu.
5. Waktu Dharuri
Yaitu akhir waktu bagi orang yang telah lepas penghalang
daripadanya, seperti haid, nifas, gila dan lain sebagainya, dan masih
tersisa waktu yang hanya cukup untuk takbiratul ihram. Dalam keadaan
seperti shalat tetap wajib dan menjadi tanggungannya serta dituntut
qadha' sesudah waktu itu. Apabila penghalang lepas atau hilang pada
akhir waktu dan sisa waktu tersebut diperkirakan hanya cukup untuk
takbiratul ihram, maka wajib qadha' shalat dan shalat sebelumnya
apabila dua shalat tersebut dapat dijamak, seperti zhuhur dan ashar, atau
maghrib dan isya’. Dengan syarat hilangnya penghalang itu berlangsung
sampai pada waktu yang kedua dan cukup untuk bersuci. Shalat untuk
waktu itu, bersuci dan shalat untuk waktu sebelumnya. Misalnya haid
hilang pada akhir waktu ashar, maka wajib shalat zhuhur dan ashar pada
waktu maghrib apabila masa terhentinya penghalang tersebut cukup
untuk mengerjakan shalat zhuhur dan ashar serta bersuci untuk
keduanya dan shalat maghrib serta bersuci untuknya.
6. Waktu Idrak (susulan)
yaitu waktu yang terbatas antara awal waktu dan datangnya
penghalang, seperti ketika seorang wanita haid setelah sesaat dari waktu
yang cukup untuk mengerjakan shalat dan bersucinya. Shalat tersebut
tetap wajib atas wanita itu ketika tidak ada penghalang padanya,
sehingga wajib qadha atasnya.

22
7. Waktu Udzur
Yaitu waktu untuk shalat jamak antara Zhuhur dan Ashar atau
Maghrib dan Isya', baik jamak taqdim maupun jamak takkhir ketika
dalam bepergian misalnya.
8. Waktu Jawaz (boleh) namun makruh
Waktu ini tidak terdapat pada zhuhur. Sedangkan pada waktu ashar,
waktu ini dimulai dari ketika matahari berwarna kuning sampai pada
tersisanya waktu yang cukup untuk mengerjakan seluruh shalat. Waktu
jawaz ini pada maghrib dimulai dari lewatnya tiga perempat jam (empat
puluh lima menit) menurut perhitungan jam falakiyah sampai pada
tersisanya waktu yang cukup untuk mengerjakan seluruh shalat, pada
waktu isya' dimulai dari fajar kadzib sampai pada tersisanya waktu yang
cukup untuk mengerjakan shalat, dan pada shalat shubuh dimulai dari
adanya warna merah sampai pada tersisanya waktu yang cukup untuk
mengerjakan shalat.
Dalam beberapa hal ada yang tidak disunnahkan mengerjakan shalat
pada waktu utama (fadhilah). Di antaranya adalah shalat zhuhur pada saat
yang sangat panas. Dalam keadaan seperti ini hukumnya mandub
mengakhirkan shalat tersebut dari waktu utama sehingga terdapat bayangan
pada pagar-pagar yang memungkinkan bagi seseorang melewatinya untuk
pergi mendapatkan jamaah atau hanya untuk pergi ke masjid walaupun
sendirian, apabila masjid itu jauh dan tidak dapat sampai ke sana pada
waktu fadhilah (utama) kecuali dengan sangat berat yang dapat
menghilangkan rasa khusyu' atau paling tidak rasa khusyu' tersebut menjadi
tidak sempurna.
Hal lain yang karenanya tidak disunnahkan mengerjakan shalat pada
waktu fadhilah (utama) adalah menunggu jamaah atau menunggu wudhu
bagi orang yang tidak mendapatkan air pada awal waktu. Dengan demikian
mandub baginya mengakhirkan shalat. Dan bahkan pada suatu saat wajib
mengeluarkan shalat dari waktunya, yaitu ketika khawatir kehilangan haji
atau membusuknya mayit sehingga keluar aimya atau menyelamatkan orang
yang tenggelam.

23
Permasalahan Waktu Shalat
Pada zaman sekarang ini, kita terkadang hanya terpaku dengan waktu
shalat yang telah ditetapkan/dijadwalkan tanpa memastikan dan melihat
langsung berdasarkan keterangan diatas ini. Sebagai contohnya, pada saat
waktu shalat kita hanya melihat jam, kemudian disesuaikan dengan waktu
yang telah tercantum pada jadwal, hal ini dapat menjadi permasalahan
apabila jam tersebut berbeda atau tidak tepat, atau bahkan jadwal yang
tercantum di daerah kita tidak pas dengan waktu shalat berdasarkan
keterangan yang telah disebutkan. Maka umumnya di daerah kita ini setelah
adzan dikumandangkan ada yang menunggu jeda dengan melantunkan
shalawat di masjid.
Berdasarkan penelitian langsung yang kami lakukan di pesantren, yaitu
saat waktu dikumandangkannya adzan dzuhur, ternyata belum pas dengan
tergelincirnya bayangan istiwa’ yaitu bayangan yang muncul ketika
matahari berada di tengah langit, atau bayangan suatu benda yang paling
sedikit ketika matahari pas berada di tengah, Maka dihitung masuk waktu
dzuhur hingga bayangan tersebut telah tergelincir (ke arah barat). Perbedaan
waktu yang kami lihat langsung dengan waktu telah dikumandangkannya
adzan sekitar ± 3 menit.
Dengan melakukan penelitian langsung, kita dapat mengetahui
beberapa permasalahan yang terjadi disaat ini, maka hendaknya kita lebih
berhati-hati dalam melihat waktu masuk nya shalat, tidak hanya terpaku
dengan jam dan jadwal yang sudah ada, apalagi dalam menghadapi bulan
suci Ramdahan yang akan datang ini, kita harus lebih memperhatikan waktu
masuknya shalat, terutama dalam waktu maghrib. Disarankan supaya
menunggu masuknya waktu maghrib dengan tepat atau dapat dilebihkan
beberapa menit dari jadwal yang kita punya, atau bahkan kita bisa
menunggu hingga selesai dikumandangkannya adzan terlebih dahulu saat
hendak berbuka puasa, sebagai bentuk kehati-hatian kita dalam menjalankan
ibadah puasa yang kita lakukan.

24
E. MACAM-MACAM SHALAT
Sholat yang dikenal dalam agama Islam, yakni sholat fardhu atau sholat
yang wajib dikerjakan dan tidak boleh ditinggalkan, lalu sholat sunnah yang
tidak wajib dikerjakan namun akan mendapat pahala dan berkah bagi yang
mengerjakannya.
Shalat Fardlu
Sholat fardhu adalah sholat yang wajib dikerjakan oleh umat Islam di
seluruh dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak sedang
berhalangan. Adapun shalat yang wajib telah disebutkan dalam pembahasan
waktu-waktu shalat diatas. Adapun shalat jum’at bagi laki-laki yang
merdeka, muqim, baligh, dan tidak memiliki udzur hukumnya merupakan
fardlu ‘ain.
Dan hukum shalat berjama’ah dalam shalat lima waktu itu bagi kaum
laki-laki yang merdeka, muqim, balighh dan tidak memiliki udzur adalah
fardhu kifayah. Sedangkan pelaksanaan shalat jum’at wajib dilakukan
dengan berjama’ah, karena tidak sah dilakukan secara sendirian.
Shalat Sunnah
Selain sholat yang wajib dikerjakan, ada pula sholat yang hukumnya
sunnah, yakni sholat yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan
apabila ditinggalkan, tidak apa-apa. Bagi yang ingin mendapat pahala
berlebih, maka rutinlah mengerjakan beberapa sholat sunnah yang diajarkan
Nabi Muhammad SAW berikut ini:
1. Shalat sunnah Tahajjud
2. Shalat sunnah Dhuha
3. Shalat sunnah Witir
4. Shalat sunnah Rawatib
5. Shalat sunnah Wudlu
6. Shalat sunnah Tahiyyatul Masjid
7. Shalat sunnah Idul Adha dan Idul Fitri
8. Shalat sunnah Istisqo
9. Shalat sunnah Gerhana
10. Shalat sunnah Tasbih

25
11. Shalat sunnah Hajat, dan masih banyak shalat sunnah yang lainnya.
F. MAKNA FARDHU & RUKUN-RUKUN SHALAT
Secara global dikatakan bahwa fardhu dan rukun disepakati satu makna,
yaitu bagian dari ibadah yang dituntut oleh syari' yang mana ibadah itu tidak
terwujud tanpa bagian tersebut. Jadi makna fardhu shalat adalah bagian-
bagian shalat yang tidak akan terwujud dan ditemukan shalat tanpa bagian-
bagian tersebut. Apabila bagian tersebut tidak ada maka tidak akan
dikatakan sebagai shalat. Sebagai contoh, apabila dikatakan bahwa
takbiratul ihram adalah fardhu atau rukun shalat, maka maknanya adalah
bahwa apabila seseorang mengerjakan shalat tanpa melakukan takbiratul
ihram tidak disebut orang yang mengerjakan shalat.
Adapun rukun-rukun dalam shalat berjumlah 17 menurut Syeikh Salim
Bin Sumair Al Hadhrami didalam kitabnya Safinatun Najah Fii Maa Yajibu
‘Alal ‘Abdi Li Maulah, yaitu sebagai berikut:
1. Niat
2. Membaca takbiratul ihram
3. Berdiri bagi yang mampu
4. Membaca surat al-Fatihah
5. Ruku’
6. Tuma’ninah saat ruku’ (berhenti sebentar)
7. Bangun dari ruku’ dan I’tidal
8. Tuma’ninah saat I’tidal (berhenti sebentar)
9. Sujud dua kali dalam masing-masing raka’at
10. Tuma’ninah saat sujud (berhenti sebentar)
11. Duduk antara dua sujur
12. Tuma’ninah saat duduk (berhenti sebentar)
13. Duduk tasyahud akhir
14. Membaca tahiyyat dalam tasyahud akhir
15. Membaca shalawat atas nabi Muhammad SAW
16. Membaca salam
17. Tertib

26
Telah kita ketahui bahwa yang dimaksud fardhu disini adalah juz-juz
shalat, yang apabila salah satu saja tidak ada, maka tidak terwujud shalat
secara keseluruhan. Berikut ini penjelasan fardhu sesuai dengan pendapat
empat madzhab.
Al Hanafiyyah
Madzhab Hanafi membagi rukun menjadi dua macam yaitu rukun asli
dan rukun tambahan. Rukun asli adalah rukun yang dapat gugur secara
sempurna ketika tidak mampu mengerjakannya, artinya mukallaf tidak
dituntut mengerjakan sesuatu sebagai gantinya. Demikian yang menjadi
maksud pendapat mereka bahwa rukun asli adalah yang dapat gugur ketika
mukallaf tidak mampu mengerjakannya tanpa ada pengganti. Sedangkan
rukun tambahan adalah rukun yang dapat gugur pada keadaan tertentu
walaupun seseorang mampu mengerjakannya. Yang demikian ini seperti
membaca al-Fatihah. Bacaan al-Fatihah menurut Madzhab Hanafi adalah
salah satu rukun shalat, dan bacaan ini gugur ketika seseorang menjadi
ma'mun, karena syari' melarangnya.
Jadi rukun-rukun shalat yang disepakati menurut mereka ada empat,
baik yang asli maupun yang tambahan. Yang asli adalah : berdiri, ruku' dan
sujud dan yang tambahan adalah hanya membaca. Rukun-rukun yang empat
ini adalah hakekat shalat sehingga apabila salah satunya ditinggal padahal
dalam keadaan mampu, maka tidak disebut mengerjakan shalat dan
orangnya bukan orang yang shalat. Adapun duduk yang akhir sekadar
tasyahhud adalah fardhu menurut ijma' mereka, akan tetapi mereka berbeda
dalam hal apakah untuk itu sebagai rukun asli atau rukun tambahan.
Menurut me roda vang unggul adalah sebagai nurun tambahan, sebab
hakekat watat akan tetap terwujud walaupun tanpa duduk yang akhir
sekadar tasyahud tersebut. Karena apabila orang bersumpah hendak akan
shalat, maka ia menerjangnya apabila ia bangun dari suru walaupun tidak
duduk. Disini jelas bahwa hakekat shalat itu Relah nyata, walau tanpa
duduk. Adapun keluar dari shalat dengan melakukan sesuatu yang dapat
meniadakan shalat seperti salam, ucapan atau sebagainya yang dapat
membatalkan shalat maka sebagian mereka menggolongkan keluar'' tersebut

27
sebagai salah satu fardhu shalat. Akan tetapi menurut pendapat yang shahih
"keluar tersebut bukan fardhu melainkan sebagai wajib. Dari uraian tersebut
dapat diperoleh hasil bahwa sesuatu yang menjadi ketergantungan sahnya
shalat diantaranya adalah berupa juz dan beberapa juz shalat yaitu empat
macam yang telah disebutkan di tambah duduk yang akhir sekedar
tasyahhud. Maka duduk akhir ini adalah sebagai rukun tambahan menurut
pendapat yang rajih.
Diantaranya lagi ada yang berada di dalam shalat akan tetapi bukan
bagian shalat, seperti meletakkan bacaan pada waktu berdiri, dan ini
dinamakan syarat terhadap kelangsungan shalat. Dan diantaranya lagi ada
yang berada di luar shalat yang disebut syarat sah shalat.
Al Malikiyyah
Adapun fardhu/rukun-rukun shalat menurut madzhab Maliki itu
berjumlah 15, yaitu:
1. Niat.
2. Takbiratul Ihram.
3. Berdiri untuk takbir pada shalat fardhu, bukan pada shalat sunnah
karena shalat sunnah ini boleh dilakukan dengan duduk walaupun
mampu untuk berdiri.
4. Berdiri untuk membaca al-Fatihah.pada shalat fardhu
5. Ruku'.
6. Bangkit dari ruku'.
7. Sujud.
8. Bangkit dari sujud.
9. Salam
10. Thuma'ninah.
11. Duduk sekadar salam.
12. I'tidal dari masing-masing ruku', sujud dan bangkit dari keduanya.
13. Tartib pelaksanaannya.
14. Niat mengikuti, bagi yang menjadi makmum.
Dari sini dapat diketahui bahwa madzhab Malik dan Hanafi sepakat
dalam empat fardhu, yaitu: Berdiri bagi yang mampu, Ruku' dan Sujud.

28
Sedangkan membaca menurut madzhab Hanafi yang difardhukan adalah
bacaannya itu bukan khusus membacaa al-Fatihah. Madzhab Malik
berpendapat bahwa yang fardhu adalah membaca al-Fatihah. Jadi apabila
orang tidak membaca al-Fatihah dengan sengaja maka orang tersebut tidak
dikatakan orang yang shalat. Madzhab Maliki dalam hal ini sesuai dengan
madzhab Syafi'i dan madzhab Hambali. Sebagaimana dijelaskan pada kedua
madzhab mereka.
Asy Syafi'iyyah
Menurut madzhab Syafi'i fardhu shalat ada 13 perkara, 5 diantaranya
adalah fardhu yang berbentuk ucapan dan yang 8 fardhu berbentuk
perbuatan.
Fardhu yang berbentuk ucapan berjumlah 5 yaitu sebagai berikut:
1. Takbiratul Ihram.
2. Membaca al-Fatihah
3. Tasyahhud Akhir
4. Membaca shalawat atas Nabi setelah tasyahhud akhir.
5. Salam yang pertama.
Fardhu yang berbentuk perbuatan berjumlah 8 yaitu sebagai berikut:
1. Niat.
2. Berdiri pada shalat fardhu bagi yang mampu.
3. Ruku'.
4. l'tidal (tegak kembali) setelah ruku'
5. Sujud awal dan sujud kedua.
6. Duduk diantara dua sujud.
7. Duduk yang akhir.
8. Tartib.
Sedangkan Thuma'ninah adalah syarat untuk mewujudkan ruku', i'tidal,
sujud dan duduk. Thuma'ninah ini harus ada pada keempat sikap tersebut
walaupun tidak termasuk rukun tambahan menurut pendapat yang Rajih.
Al Hanabilah

29
Adapun Madzhab Hambali berkata bahwa: fardhu/rukun-rukun shalat
itu ada 14 yaitu:
1. Berdiri pada shalat fardhu.
2. Takbiratul Ihram.
3. Membaca Fatihah
4. Ruku'.
5. Bangkit dari ruku'.
6. I'tidal.
7. Sujud.
8. Bangkit dari sujud.
9. Duduk diantara dua sujud.
10. Tasyahhud akhir.
11. Duduk tasyahhud akhir dan dua salam.
12. Thuma'ninah pada tiap-tiap rukun yang berbentuk perbuatan.
G. SUNNAH-SUNNAH SHALAT
Sunnah dalam shalat ada 2 macam, sunnah ab’ad dan sunnah hay’at
H. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT
Hal-hal yang dapat membatalkan shalat menurut syeikh Salim Bin
Sumair Al Hadhrami dalam kitab Safinatun Najah Fii Maa Yajibu ‘Alal
‘Abdi Li Maulah, terjadi karena 14 perkara, yaitu:
1. hadats,
2. terkena najis kecuali langsung dibuang tanpa dibiarkan,
3. tersingkap aurat kecuali langsung ditutup,
4. berbicara dua atau satu huruf yang bisa dipahami dengan sengaja,
5. melakukan pembatal puasa dengan sengaja,
6. makan banyak meski lupa,
7. gerakan tiga kali yang berturut-turut meskipun lupa,
8. melompat yang keras,
9. memukul keras,
10. menambah rukun fi’li dengan sengaja,
11. mendahului imam dalam dua rukun dan ketinggalan imam dua rukun
tanpa uzur,

30
12. niat memutus shalat,
13. sengaja memutus shalat dengan sesuatu, dan
14. ragu-ragu dalam membatalkan shalat.
Adapun Berikut ini hal-hal yang membatalkan shalat secara umum pada
tiap-tiap madzhab. Kemudian setelah itu akan kami uraikan secara terinci
hal-hal yang membatalkan shalat yang telah disepakati dan yang
diperselisihkan.
Asy Syafi'iyyah
Menurut madzhab Syafi'i mereka berkata: Hal-hal yang membatalkan
shalat adalah sebagai berikut.
1. Hadats dengan segala macamnya; baik yang mewajibkan wudhu atau
mandi.
2. Berbicara di dalam shalat.
3. Menangis dan merintih.
4. Pekerjaan banyak yang tidak termasuk jenis gerak shalat atau
termasuk jenis geraknya. Menggerakkan tangan dengan mengangkat
menurunkan atau menggerakkannya ke arah kanan kemudian ke arah
kiri atau sebaliknya sampai tiga kali yakni sekira pergi dan
pulangnya (gerak tangan itu) karena berlanjut dianggap sekali.
Adapun jika terpisah, maka pergi dan pulangnya masing-masing
dianggap satu kali. Berbeda dengan pergi dan pulangnya kaki;
masing-masing dihitung satu kali gerak meskipun gerak itu
berlanjut.
5. Ragu dalam niat atau dalam syarat-syarat sah shalat atau ragu dalam
cara melakukan niat, misalnya seseorang ragu apakah ia niat shalat
Zhuhur atau Ashar. Keraguan ini membatalkan shalat jika hal itu
berjalan pada suatu waktu yang cukup digunakan untuk melakukan
satu rukun shalat. Jika tidak, shalatnya tidak sah. Niat keluar dari
shalat sebelum shalat itu selesai.
6. Mondar-mandir dalam membatalkan atau melanjutkan shalat.
7. Menggantungkan pembatalan shalat dengan sesuatu meskipun
menurut kebiasaan hal itu mustahil, misalnya ia berkata dalam hati :

31
Jika si Zaid datang, akan kubatalkan shalatku. Adapun jika ia
gantungkan pembatalan shalat itu dengan sesuatu yang mustahil akli
seperti berkumpulnya dua hal yang bertentangan (bertolak belakang
tidak membatalkan shalat).
8. Memindahkan niat shalat ke shalat yang lain, kecuali shalat fardhu;
ia boleh mengalihkan shalat itu ke shalat nafl, jika ia shalat sendirian
kemudian ia melihat jaama'ah dan ia ingin mengikutinya. Murtad
atau gila dalam shalat.
9. Auratnya terbuka dalam shalat sedang ia mampu menutupnya
sebagaimana uraian yang telah lalu.
10. Bagi orang yang melakukan shalat dengan telanjang, menemukan
sesuatu yang dapat dipakai menutup aurat sesuai uraian yang telah
lalu.
11. Bertemu dengan najis yang tidak ma'fu, baik di badan atau pakaian
yang dipakainya, meskipun najis itu berada di dalam kedua matanya
dan di tengah-tengah shalat. Shalat tersebut batal hukumnya jika
najis itu tidak segera dibuang tanpa ada unsur "membawa” najis itu
atau benda yang bertemu dengan najis tersebut.
12. Memanjangkan i'tidal (bangun dari ruku') atau memanjangkan duduk
di antara kedua sujud. Yang pertama dapat terjadi dengan melakukan
i'tidal melebihi dzikir yang berlaku sekadar bacaan al-Fatihah.
Sedang yang kedua dapat terjadi dengan melakukannya melebihi
do'a yang berlaku sekadar bacaan tasyahud akhir yang wajib. Hal
tersebut di atas termasuk pengecualian jika dilakukan dalam shalat
tasbih; tidak membahayakan secara mutlak.
13. Mendahului imam atau ketinggalan dua rukun fi’il. Disyaratkan
bahwa masing-masing itu dilakukan tanpa adanya uzur.
14. Membaca salam dengan sengaja sebelum waktunya.
15. Mengulang-ulang bacaan takbiratul ihram dengan niat memulai
shalat di setiap kali takbiratul ihram.
16. Meninggalkan salah satu rukun shalat dengan sengaja meskipun
rukun qauli.

32
17. Habisnya jangka waktu mengusap sepatu di tengah-tengah shalat
atau sebagian kaki/kaos kaki yang harus ditutup menjadi tampak.
18. Berjama'ah dengan seorang imam yang tidak boleh dijadikan imam
karena kuſur atau yang lain.
19. Mengulang rukun fi'il dengan sengaja.
20. Masuknya sesuatu yang membatalkan puasa ke dalam perut orang
yang shalat meskipun tidak dimakan.
21. Bergeser dari arah kiblat dengan dadanya.
22. Mendahulukan rukun fi'il atas yang lain dengan sengaja.
Al Malikiyyah
Menurut madzhab Maliki, mereka menganggap hal-hal yang dapat
membatalkan shalat adalah sebagai berikut:
1. Meninggalkan salah satu rukun shalat dengan sengaja. -
Meninggalkan rukun shalat karena lupa dan orang bersangkutan
tidak ingat sampai salam dengan keyakinan bahwa shalatnya telah
sempurna jika kasus itu sudah berselang lama menurut ukuran uruf.
Adapun jika ia telah salam dengan keyakinan sempurna kemudian
beberapa saat berikutnya ia ingat adanya kekurangan itu, maka satu
rakaat yang kurang itu dianggap tidak ada kemudian ia melakukan
satu rakaat sebagai gantinya dan shalatnya dianggap shah. Adapun
jika ia tidak salam dengan keyakinan sempurna; misalnya ia tidak
melakukan salam sama sekali atau salam karena salah, maka jika
rukun yang ditinggal itu dari rakaat yang terakhir, ia cukup lakukan
rukun itu kemudian melanjutkan shalatnya. Dan jika rukun yang
ditinggal itu tidak pada rakaat terakhir, maka ia langsung melakukan
rukun yang ditinggal jika ia belum selesai melakukan ruku’ rakaat
berikutnya untuk rakaat yang kurang; jika ia telah selesai melakukan
ruku' rakaat berikutnya, maka rakaat yang kurang dianggap hilang
dan ia tidak usah melakukan rukun yang ditinggal. ('aqdu al ruku'
dapat terlaksana dengan mengangkat kepala, melakukan i'tidal
dengan thuma'ninah kecuali dalam hal meninggalkan ruku'; dalam

33
hal ini pelaksanaan rakaat berikutnya cukup dengan
membungkukkan badan melaksanakan ruku').
2. Membuang atau membatalkan niat.
3. Menambah rukun fi’li dengan sengaja seperti ruku' atau sujud.
Menambah tasyahud setelah rakaat pertama atau ke tiga dengan
sengaja jika hal itu dilakukan dengan duduk.
4. Tertawa terbahak-bahak dengan sengaja atau lupa.
5. Makan atau minum dengan sengaja.
6. Meniup dengan mulut secara sengaja.
7. Berbicara tidak untuk perbaikan shalat dengan sengaja. Jika hal itu
dilaksanakan untuk perbaikan shalat, maka berbicara banyak tetap
membatalkan shalat tidak sedikit sesuai uraian yang telah lalu.
8. Bersiul dengan sengaja.
9. Muntah dengan sengaja, meskipun sedikit.
10. Mengucapkan salam dalam keadaan ragu tentang kesempurnaan
shalat
11. Munculnya sesuatu yang membatalkan wudhu atau ingat datangnya
sesuatu yang membatalkan wudhu.
12. Terbukanya aurat berat secara keseluruhan atau sebagian saja.
13. Jatuhnya najis pada orang yang shalat atau mengerti adanya najis
pada dirinya di tengah-tengah shalat sesuai aturan yang telah lalu.
14. Mengingatkan kepada selain imamnya.
15. Melakukan pekerjaan banyak yang tidak termasuk jenis pekerjaan
shalat.
16. Munculnya sesuatu yang mengganggu kesempurnaan shalat seperti
menahan kencing yang dapat mengganggu ketenangan shalat.
17. Ingat shalat pertama dari dua shalat yang waktunya dijadikan satu
belum dilaksanakan seperti shalat Zhuhur, Ashar sedang ia dalam
melaksanakan shalat ke dua. Maka jika seseorang melakukan shalat
ke dua. Maka jika seseorang melakukan shalat Ashar kemudian ia
ingat bahwa ia belum melakukan shalat Zhuhur, maka shalatnya

34
batal. Ada yang berpendapat bahwa shalatnya tidak batal tetapi
berlaku hukum mengqodho shalat yang tertinggal.
18. Menambah empat rakaat dengan pasti karena lupa dalam shalat yang
empat rakaat, meskipun orang yang shalat itu musafir atau
menambah atas shalat yang tiga rakaat atau menambah dua rakaat
pada shalat yang dua rakaat atau shalat witir.
19. Menanabah rakaat semisal shalat sunnat yang telah ditentukan
rakaatnya seperti shalat 'Ied.
20. Sujud yang dilakukan makmum masbuk yang tidak menemukan satu
rakaat bersama imam.
21. Sujud karena mengikuti imam yang dilakukan sebelum ia berdiri
untuk meneruskan/melanjutkan shalatnya, baik sujud itu dilakukan
sebelum atau setelah salam. Adapun jika ia mendapatkan satu rakaat
bersama imamnyaa, maka ia boleh melakukan sujud dengan dasar
karena mengikuti imamnya, tetapi jika sujud itu dilakukan sebelum
salam ia boleh mengikutinya sebelum berdiri meneruskan
kekurangannya dan jika sujud itu dilakukan setelah salam ia
(makmum) wajib mengundur pelaksanaan sujudnya sehingga ia
selesai melakukan kekurangan raka'at shalatnya, bahkan jika ia
melakukannya sebelum ia menyelesaikan kekurangan rakaat
shalatnya, shalatnya menjadi batal.
22. Sujud sahwi karena meninggalkan hal yang sunat lagi ringan dan
dilakukan sebelum salam misalnya karena meninggalkan satu kali
takbir intiqal atau membaca basmalah, atau karena meninggalkan
sesuatu yang mustahab seperti membaca do'a qunut.
23. Meninggalkan tiga hal yang disunatkan dalam shalat karena lupa dan
ia tidak melakukan sujud sahwi karenanya sampai salam dan telah
berselang cukup lama menurut ukuran urf (kebiasaan).
Al Hanabilah
Menurut madzhab Hambali, pandangan mereka hal-hal yang
membatalkan shalat adalah sebagai berikut:

35
1. Melakukan perbuatan banyak yang tidak termasuk jenis perbuatan
shalat tanpa darurat.
2. Datangnya najis yang tidak dima'fu dan tidak dihilangkan seketika.
3. Membelakangi kiblat.
4. Datangnya sesuatu yang membatalkan wudhu.
5. Mendahulukan sebagian rukun atas yang lain dengan sengaja.
6. Sengaja membuka aurat, berbeda jika aurat itu terbuka oleh angin
kemudian ditutupnya seketika.
7. Bersandar dengan kuat tanpa uzur yakni sekira jika benda yang
disandari itu diambil ia akan jatuh.
8. Kembali membaca tasyahud awal setelah ia melakukan/membaca al-
fatihah jika ia mengerti dan ingat hukum kembali tersebut.
9. Menambah rukun fi'li dengan sengaja, seperti ruku'.
10. Membaca salam sebelum shalatnya sempurna.
11. Membuat kesalahan dalam bacaan yang merubah arti sedang ia
mampu memperbaikinya, seperti membaca dhammah huruf
''ta"ndalam kalimat ”an’amta” ( T )
12. Merusak niat misalnya niat memutus shalat.
13. Ragu-ragu atau bingung dalam membatalkan shalat.
14. Ber'azam membatalkan shalat, meskipun ia tidak membatalkan
shalatnya secara sungguhan.
15. Ragu dalam niat misalnya ia mengerjakan sesuatu dengan ragu
seperti melakukan ruku' dengan ragu.
16. Ragu dalam takbiratul ihram.
17. Berdo'a mendapatkan kenikmatan dunia, misalnya berdo'a
mendapatkan wanita yang cantik seperti do'a itu dengan
menggunakan “kaf”' untuk khithab yang ditujukan kepada selain
Allah atau Rasulullah Muhammad saw.
18. Tertawa secara mutlak.
19. Berbicara secara mutlak.
20. Makmum mendahului imamnya.

36
21. Batalnya shalat imam kecuali jika imam itu melakukan shalat dengan
hadats yang ia lupa akan hadatsnya itu dan yang semisal dengannya
22. Salamnya makmum sebelum imam dengan sengaja.
23. Salamnya makmum karena lupa jika ia tidak mengulanginya setelah
salamnya imam.
24. Makan dan minum kecuali sedikit bagi orang yang lupa dan orang
yang bodoh. Shalat sunat (nafl) tidak batal karena minum sedikit
dengan sengaja.
25. Menelan sisa gula atau yang lain yang ada pada mulut kecuali jika
hanya sedikit bagi orang yang lupa atau orang yang tidak mengerti
hukumnya.
26. Berdehem-dehem tanpa adanya kebutuhan.
27. Meniup yang mengeluarkan dua huruf.
28. Menangis yang tidak karena takut kepada Allah jika sampai
mengeluarkan dua huruf kecuali jika terpaksa.
Demikian juga shalat seseorang tidak menjadi batal, jika:
1. Ia terpaksa batuk, bersin atau menguak meskipun ada dua huruf yang
nampak dipermukaan
2. Ucapan/perkataan orang tidur yang tidak duduk dan tidak berdiri.
Adapun perkataan orang tidur yang hanya sedikit jika tidur itu juga
hanya sebentar dan dalam keadaan duduk atau berdiri, tidak
membatalkan shalat.

Al Hanafiyyah
Menurut madzhab Hanafi pendapat mereka tentang hal-hal yang
membatalkan shalat adalah sebagai berikut:
1. Berbicara dengan jelas dalam hal yang telah lalu jika jelas hurufnya
dan dapat didengar, baik ia mengatakannya dengan sengaja, lupa,
karena salah atau bodoh.
2. Berdo'a dengan ungkapan yang menyerupai pembicaraan dengan
manusia misalnya: Ya Allah berilah aku pakaian, bayarlah hutangku,
berilah aku seorang wanita A.

37
3. Mengucapkan salam meskipun tidak mengatakan 'ALAIKUM AS-
SALAM" dengan niat menghormat meskipun ia lupa.
4. Menjawab salam dengan lisan meskipun dengan lupa karena hal itu
termasuk berbicara dengan manusia. Atau menjawab salam dengan
berjabat tangan.
5. Melakukan perbuatan yang banyak.
6. Menggeser dada dari arah kiblat.
7. Makan atau minum sesuatu dari luar mulutnya meskipun sedikit.
Makan sesuatu (sisa) yang berada di antara giginya meskipun hanya
sedikit seperti biji sawi.
8. Berdehem-dehem tanpa adanya udzur karena hal tersebut
mengandung huruf.
9. Membentak seperti juga meniup debu.
10. Mengaduh alau merintih misalnya dengan ucapannya "ah".
11. Mengeluh atau meratap misalnya dengan ucapannya "aduh”.
12. Memperkeras suara tangisnya karena sakit yang dideritanya atau
karena musibah misalnya kehilangan kekasih atau harta benda.
13. Mendo'akan orang yang bersin dengan ungkapan “semoga kamu
diberi rahmat Allah”.
14. Menjawab pertanyaan tentang yang membandingi Allah dengan
ucapannya: Tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah).
15. Membaca do'a ‫“ اانلللہ واان الي¼¼¼¼ه راجع¼¼¼¼ون‬sungguh kami adalah

kepunyaan Allah dan kami pun akan kembali kepada-Nya” ketika


mendengar berita buruk.
16. Ingat shalat yang ditinggalkan padahal cara menggodhonya harus
urut sedang waktu masih cukup banyak. Shalat ini batal hukumnya
jika setelah itu ia tidak melakukan shalat yang lima waktu itu sedang
ja dalam keadaan ingat pada shalat yang ditinggalkan. Jika ia
melakukan shalat lima waaktu, maka shalat tersebut boleh
hukumnya sebagaimana penjelasan yang akan diuraikan pada bab :
'mengqadha'shalat yang ditinggal".

38
17. Mengucapkan do'a “alhamdulillah” ketika mendengar berita yang
menyenangkan.
18. Membaca : at the atau ‫ الله‬ketika keheranan terhadap sesuatu.
19. Membaca sebagian Al Qur'an dengan maksud untuk menjawab

sesuatu misalnya ‫ايخذ الكتاب بقوة‬ yang ditujukan kepada seseorang

yang pinjam buku atau yang lain.


20. Membaca Célté Csi yang ditujukan kepada orang yangmenanyakan
sesuatu yang harus dibawanya.
21. Membaca ‫ تكل ح¼¼دود اليل فالهتا‬yang ditujukan kepada orang yang

minta ijin mengambil sesuatu. Dan jika orang yang shalat ini tidak
bermaksud menjawab tetapi bermaksud memberi tahu bahwa ia
masih dalam keadaan shalat, shalatnya tidak menjadi batal.
22. Melihat air bagi orang yang shalat dengan tayammum yang mampu
menggunakannya dan sebelum ia duduk sekadar membaca tasyahud.
Demikian juga orang yang melakukan shalat dengan wudhu tetapi ia
berjama'ah dengan seorang imam yang bertayammum. Karena shalat
fardhunya menjadi batal dan dalam keadaan ini shalatnya berubah
menjadi nafl (sunat).
23. Sempurna atau habisnya waktu mengusap sepatu sebelum duduk
sekadar membaca tasyahud. Demikian juga melepas sepatu
meskipun dengan sedikit perbuatan.
24. Belajar satu ayat dari orang bodoh jika ia tidak berjama'ah dengan
imam yang ahli membaca Al Qur'an, baik ia belajar dengan cara
langsung lisan ke lisan atau dengan mengingat-ingat jika hal tersebut
dilaksanakan sebelum duduk sekadar membaca tasyahud. Jika
setelah duduk sekadar membaca dari lisan tidak membatalkan shalat
apabila orang yang shalat itu mampu untuk memberi isyarat atas
ruku' dan sujud. Maka sisa dari shalat itu menjadi kuat maka tidak
shah mendirikan shalat atas sesuatu yang lemah.

39
25. Penggantian kedudukan imam bagi orang yang tidak layak menjadi
imam seperti orang yang umiy (bacaan Al Qur'annya tidak baik) atau
orang yang mempunyai udzur,
26. Terbitnya matahari sedang ia masih melakukan shalat Fajar
(Shubuh). Dalam hal ini cukup baginya melihat lingkaran matahari.
27. Condongnya matahari ke arah barat dalam shalat ’ied.
28. Masuknya waktu shalat nya salah satu syarat shah shalat Jum'at itu
yakni waktu.
29. Terlepasnya perban karena luka telah sembuh.
30. Ashar untuk shalat Jum'at, karena hilang
31. Hilangnya udzur bagi orang yang mempunyai udzur lantaran adanya
sesuatu yang membatalkan selain sebab udzurnya atau hilangnya
udzur karena waktu yang ditentukan telah habis.
32. Mengeluarkan hadats dengan sengaja. Adapun hadats yang tidak
dapat dihentikan itu.
33. Tidak membatalkan dengan syarat-syarat yang akan dijelaskan,
Ayan, pingsan dan gila.
34. Janabah karena melihat atau mimpi mengeluarkan mani bagi orang
yang tidur dengan menetapkan pantatnya.
35. Lurus dengan imam.
36. Termasuk membatalkan shalat, tampaknya aurat bagi orang yang
telah berhadats terlebih dahulu, sehingga ia terpaksa melakukan
thaharah (bersuci terlebih dahulu) misalnya seorang perempuan
membuka lengan bajunya untuk kepentingan wudhu.
37. Bacaan orang yang telah didahului hadats, sedang ia melakukan
wudhu atau telah kembali dari wudhu itu.
38. Diam sekadar melakukan rukun setelah kedahuluan hadats dalam
waktu berjaga dan tanpa adanya udzur. Maka jika ia berdiam
lantaran berdesak-desakan atau untuk menahan keluarnya darah dari
hidungnya, shalatnya tidak batal jika ia melewati air yang dekat
untuk menuju air yang agak jauh melebihi dua shaf (barisan).

40
39. Keluarnya seorang yang shalat dari masjid karena menduga adanya
hadats, lantaran terdapat sesuatu yang menafikan tanpa adanya
udzur. Adapun jika ia tidak keluar dari masjid, maka shalatnya tidak
batal.
40. Keluarnya seseorang dari tempat shalatnya karena mempunyai
dugaan bahwa ia belum wudhu atau bahwa jangka waktu mengusap
nya telah habis, atau ia mempunyai kewajiban mengqadha shalat
yang ditinggalkan atau pada dirinya terdapat najis, meskipun ia udak
keluar dari masjid.
41. Makmum mengingatkan kepada selain imamnya untuk memberi
pelajaran tanpa darurat. Adapun mengingatkan imamnya hukumnya
boleh. Dan seandainya imam membaca bacaan yang wajib, maka
orang yang shalat dapat mengingatkan orang lain. Mengikuti
perintah orang lain dalam shalat.
42. Membaca takbir dengan niat pindah ke shalat lain selain shalatnya
sendiri, misalnya seorang yang melakukan shalat sendirian niat
berjama'ah dengan orang lain atau sebaliknya. Shalat dihukumi batal
dengan salah satu yang telah tersebut di atas manakala hal itu
dilakukan sebelum duduk akhir sekadar membaca tasyahud; jika
shalatnya tidak batal. sebaliknya, menurut pendapat yang terpilih
43. Memperpanjang bacaan hamzah dalam takbir
44. Membaca bagian Al Qur'an yang tidak dia hafal atau dituntun orang
lain dalam membaca.
45. Melakukan suatu rukun atau telah berlalu suatu waktu yang cukup
untuk melakukan satu rukun dalam keadaan aurat terbuka, atau
bertemu najis yang dapat menghalangi shahnya shalat.
46. Seorang makmum mendahului imamnya satu rukun yang sama
sekali antara keduanya tidak pernah bersekutu dengan imam.
47. Keikutsertaan seorang makmum masbuk kepada imamnya dalam
melaksanakan sujud sahwi manakala memisahkan diri dari imam itu
lebih kuat baginya; misalnya ia telah berdiri setelah atau sebelum
imam mengucapkan salam dan setelah ia duduk dan sekadar bacaan

41
tasyahud dan telah mengikat rakaatnya dengan melakukan sujud
kemudian imam tersebut ingat bahwa ia belum melakukan sujud
sahwi dan segera melakukannya dan makmum itupun mengikutinya.
Tidak mengulangi duduk akhir setelah melakukan sujud sunnat atau
setelah melakukan sujud tilawah yang diingatnya setelah duduk.

42
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Shalat merupakan inti (kunci) dari segala ibadah juga merupakan tiang
agama, dengannya agama bisa tegak dengannya pula agama bisa runtuh.
shalat mempunyai 2 unsur, yaitu dzohiriyah dan bathiniyah. Unsur
dzohiriyah adalah yang menyangkut perilaku berdasar pada gerakan
sholat itu sendiri, sedangkan unsur yang bersifat bathiniyyah merupakan
adalah sifatnya tersembunyi dalam hati, karena hanya Allah lah yang
dapat menilainya.
Shalat banyak macamnya, ada shalat sunnah, ada juga shalat fardlu,
yang telah ditentukan waktunya.
Khilafiyyah umat muslimin tentang shalat adalah hal yang biasa karena
rujukan dan pengkajiannya semuanya bersumber dari al – Qur’an dan
Hadits, hendaknya perbedaan tersebut menjadi hikmah keberagaman
umat Islam.
B. Saran
Dalam pengumpulan materi diatas tentunya kami banyak mengalami
kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu hendaknya pembaca
memberikan tanggapan dan tambahan terhadap makalah kami. Sebelum
dan sesudahnya kami haturkan banyak terimakasih.

43
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Safinatun Najah Fii Maa Yajibu ‘Alal ‘Abdi Li Maulah, karya Syeikh
Salim Bin Sumair Al Hadhrami.
Kitab Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, karya Syekh Nawawi Banten.
Kitab Riyadus Shalihin, karya Syeikh Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
an-Nawawi.
Kitab Mukhtashar al-Harariyy al-Kafil bi ‘Ilm ad-Din adl-Dharuriyy, karya
Syeikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Harariyy.
Yunus, Abu. 1997. Cara shalat yang khusu. Jakarta: Rineka Cipta
Abadin, Zainal. 1951. Kunci Ibadah. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang
https://rumaysho.com/31524-safinatun-naja-pembatal-shalat.html
https://rumaysho.com/16963-shalat-itu-yang-pertama-kali-akan-
dihisab.html?msclkid=81cdb3e6a79111ecb4fa0e8f11bffdd9

44

Anda mungkin juga menyukai