Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FIQIH

“SHALAT BERJAMA’AH”

Dosen Pengampu : Weny Lovia Anggriani.S.Sy.,M.E

Disusun Oleh:

 DIAN ERLANGGA (230202048)


 NABILA HABIBI BATUBARA (230202075)
 ANNISA ZHAPIRA MUTMAINA (230202003)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SYEKH H.A. HALIM HASAN AL-ISHLAHIYAH
BINJAI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Ta‟ala yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya serta yang telah memberikan kekuatan, ketabahan dan
ilmu yang bermanfaat kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktik Ibadah dengan judul materi “Shalat
Berjamaah”.
Kami berharap, semoga makalah ini dapat membantu, menambah
pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca dan menjadi sumbangan pemikiran
kepada pembaca.
Demikian makalah ini kami susun, dan kami sadar bahwa makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami
meminta agar sekiranya pembaca dapat memberikan masukan dan sarannya demi
kebaikan kami dalam penulisan makalah kedepannya.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Binjai. Oktober 2023


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Makalah ........................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A. Pengertian Shalat Berjama’ah ...................................................................... 3
B. Dasar Hukum Shalat Berjama’ah ................................................................. 5
C. Ketentuan Shalat Berjama’ah ....................................................................... 7
D. Urutan Shalat Berjama’ah .......................................................................... 10
E. Gugurnya Kewajiban Shalat Berjama’ah ................................................... 10
F. Manfaat Shalat Berjama’ah ........................................................................ 11
G. Keutamaan Shalat Berjama’ah ............................................................... 12
BAB II ................................................................................................................... 14
PENUTUP ............................................................................................................. 14
A. Kesimpulan ................................................................................................ 14
B. Saran ........................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mempunyai aturan dan ajaran-ajaran yang
lengkap dan sempurna. Kelengkapan dan kesempurnaan ajaran-ajarannya
dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek kehidupan yang
menjadi perhatian Islam tidak hanya aspek kehidupan yang berhubungan
langsung dengan Allah Subhanahu wa Ta‟ala sebagai Dzat Pencipta dan satu
satunya Dzat yang wajib disembah (habl min Allah); akan tetapi aspek
kehidupan itu juga meliputi hubungan sesama manusia (habl min al-nas)
maupun hubungan dengan makhluk lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan
hewan (habl min al-„alam).
Dalam hubungan secara langsung dengan Allah, Islam telah memberikan
tata cara khusus yang harus dilakukan oleh umat Islam. Tata cara yang
mengatur hubungan langsung dengan Allah secara khusus adalah shalat.
Sebagai ibadah madhah, shalat merupakan satu-satunya ibadah langsung yang
dapat menjembatani hubungan batin manusia dengan Allah, yaitu hubungan
makhluk dengan penciptanya. Dan bahkan karena urgensinya, sampai-sampai
Rasulullah Shallallahu ‟Alaihi wa Sallam dalam menerima titah shalat ini
harus di isra‟ mi‟rajkan, Rasulullah secara langsung bertemu dengan Allah,
beliau diperintah oleh Allah untuk mendirikan shalat.
Shalat berjamaah dikatakan syiar Islam yang sangat agung, dan
diwajibkan secara khusus bagi laki-laki Muslim yang terkena kewajiban
melaksanakan shalat. Dengan adanya kewajiban shalat berjamaah ini, ajaran
Islam terlihat lebih hidup dan eksis, kerukunan umat Islam lebih mudah
tercipta dan tampak indah, bisa saling ta‟awun dalam kebaikan dan
ketakwaan. Sehingga tepatlah, jika syariat memberikan banyak pahala bagi
mereka yang menghidupkan syiar ini, di samping memberikan ancaman berat
bagi yang meninggalkannya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian shalat berjama’ah?
2. Apa dasar hukum shalat berjama’ah?
3. Bagaimana ketentuan shalat berjama’ah?
4. Bagaimana urutan shalat berjama’ah?
5. Apa saja yang membuat gugurnya kewajiban shalat berjama’ah?
6. Apa manfaat shalat berjama’ah?
7. Apa keutamaan shalat berjama’ah?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian shalat berjama’ah
2. Untuk mengetahui dasar hukum shalat berjama’ah
3. Untuk mengetahui ketentuan shalat berjama’ah
4. Untuk mengetahui urutan shalat berjama’ah
5. Untuk mengetahui gugurnya kewajiban shalat berjama’ah
6. Untuk mengetahui manfaat shalat berjama’ah
7. Untuk mengetahui keutamaan shalat berjama’ah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat Berjama’ah


Dalam bahasa Arab, perkataan “shalat” digunakan untuk beberapa arti; di
antaranya digunakan untuk arti “do‟a”, digunakan untuk arti “rahmad” dan
untuk arti “mohon ampunan”.1 Dalam istilah fiqih, shalat adalah salah satu
macam atau bentuk ibadah yang diwujudkan dengan melakukan perbuatan-
perbuatan tertentu disertai dengan ucapan-ucapan tertentu dan dengan syarat-
syarat tertentu pula. Digunakannya istilah “shalat”, tidak jauh berbeda dari arti
yang digunakan oleh bahasa di atas, karena di dalamnya mengandung do‟a-
do‟a, baik yang berupa permohonan rahmad, ampunan dan lain sebagainya.
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah membaca syahadat, yaitu
kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah.
Secara definitif, ada dua macam pengertian shalat, pertama dilihat dari
sudut lahiriah dan kedua dari sudut batiniyah. Dari sudut lahiriyah
dikemukakan oleh ahli fiqih, shalat adalah ibadah yang terdiri dari perbuatan
(gerakan) dan perkataan (ucapan tertentu) yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam. Dari sudut batiniyah shalat adalah menghadapkan hati
kepada Allah SWT yang mendatangkan takut kepada-Nya dan menumbuhkan
di dalam hati rasa keagungan dan kebesaran-Nya.
Namun ada pendapat yang menggabungkan kedua definisi tersebut,
sehingga dapat dinyatakan bahwa shalat ialah suatu ibadah yang dilakukan
dengan anggota lahir dan batin dalam bentuk gerakan dan ucapan tertentu
yang sesuai dengan arti shalat yaitu melahirkan niat (keinginan) dan keperluan
seorang muslim kepada Allah Tuhan yang disembah, dengan perbuatan
(gerakan) dan perkataan yang keduanya dilakukan secara bersamaan.2
Pengertian shalat juga dijelaskan dalam firman Allah surat atTaubah 103
sebagai berikut:
1
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2005), 264.
2
Imam Musbikin, Rahasia Shalat Khusyu‟, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), 246.

3
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo`alah untuk
mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. at-
Taubah: 103)3

Pendapat lain, ada yang mengatakan bahwa dinamakan shalat karena


merupakan “shilah” (penghubung) antara hamba dengan Tuhannya.4 Seperti
halnya kita mengenal istilah silaturahim, yang mana merupakan jalinan
ukhuwah atau persaudaraan, baik antar sesama manusia maupun mereka yang
seakidah dalam naungan agama Islam.
Secara etimologi kata jama‟ah diambil dari kata al-ijtima‟ yang berarti
kumpulan atau al-jam‟u yang berarti nama untuk sekumpulan orang. al-jam‟u
adalah bentuk masdar. Sedangkan al-jama‟ah, al-jami‟ sama seperti al-jam‟u.
Dalam Kamus Al-Munawir pengertian jamaah adalah kelompok, kumpulan,
sekawan.
Secara terminology shalat berjamaah adalah: Apabila dua orang shalat
bersama-sama dan salah seorang di antara mereka mengikuti yang lain,
keduanya dinamakan shalat berjamaah. Orang yang diikuti (yang d hadapan)
dinamakan imam, dan yang mengikuti di belakang dinamakan makmum.
Selain soal ibadah, dalam sholat berjama’ah terdapat pula di dalamnya
silaturahmi dan bila perlu bermuzakarah, berdiskusi, serta tentang keperluan
bersama sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw terutama pada sholat
subuh.5

3
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: PT Toha Putra, 1995), 279.
4
Riznanto & Rahmawati. Keajaiban Shalat. Jakarta: Salsabila, 2009. hal. 24
5
Imam Hambali, Khusyuk Sholat Kesalahan-Kesalahan Dalam Sholat Dan Bagaimana
Memperbaikinya, alih bahasa oleh Sudarmadji, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2004), Cet. Ke-1, h. 123

4
Rasulullah saw. senantiasa melaksanakan shalat fardhu dengan
berjama’ah. Perintah untuk berjama’ah itu terdapat pada ayat dan beberapa
hadist berikut:6
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka,
maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu.” (An-
Nisa’: 102)
Ayat ini jelas memerintahkan beliau agar tetap melaksanakan shalat
dengan berjama’ah di dalam keadaan berkecamuknya perang dan ini memberi
petunjuk bahwa tuntutan pelaksanaan jama’ah pada keadaan aman tentu lebih
keras adanya7
.
B. Dasar Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat disyariatkan pelaksanaannya secara jamaah. Dengan berjamaah
shalat makmum akan terhubung dengan shalat imamnya.8 Legalitas shalat
jamaah ditetapkan dalam al-Qur‟an dan al-Hadits. Allah SWT berfirman:

“Dan apabila engkau (Muhammad) berada ditengah-tengah mereka


(sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka,
maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan
menyandang senjata mereka.” (Q.S. an-Nisa‟/4: 102).9
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila berada dalam jamaah yang
sama-sama beriman dan ingin mendirikan shalat bersama mereka, maka

6
Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1987), h.89
7
Ibid...
8
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah (Thaharah,
Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji), Penerjemah: Kamran As’at Irsyady, dkk, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), 145.
9
Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), jil. II, hlm.
252.

5
bagilah mereka menjadi dua golongan, kemudian hendaklah segolongan dari
mereka shalat bersamamu dan segolongan yang lain berdiri menghadapi
musuh sambil menjaga orang-orang yang sedang shalat.10
Hal ini menunjukkan betapa shalat fardhu adalah ibadah yang sangat
besar dan penting, sehingga dalam keadaan apapun pelaksanaannya dianjurkan
secara berjamaah. Selesai shalat hendaklah banyak berdzikir kepada Allah
dalam segala keadaan termasuk dalam keadaan berjihad di jalan Allah. Jihad
akan lebih mudah apabila dilaksanakan dengan bersama-sama atau berjamaah
seperti halnya dalam pelaksanaan shalat berjamaah.Adapun dasar hukum
shalat berjamaah dalam sunnah Rasulullah SAW adalah berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA, sesungguhnya Rasulullah
SAW bersabda:

“Telah menceritakan kepada kita Abdullah bin Yusuf, ia berkata: telah


mengabarkan kepada kita Malik dari Nafi‟ dari Abdullah bin Umar
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Shalat berjamaah itu lebih utama
daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR.Bukhari).11
Hadits di atas menjelaskan betapa pentingnya shalat berjamaah, karena
Allah akan memberikan kebaikan atau pahala sebanyak dua puluh tujuh
derajat.
Jadi sudah sepantasnya seluruh umat Islam mengamalkan hal tersebut.
Berdasarkan ayat Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW bahwa sholat
berjamaah di masjid itu disyariatkan dan lebih utama dilaksanakan daripada
sholat sendiri di rumah.

10
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi Juz V, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: PT
Karya Toha Putra, 1993), hlm. 232.
11
Ibnu Jauzi, Shahih Bukhori, (Kairo: Darul Hadits, 2008), hlm. 302.

6
Hukum shalat berjamaah menurut sebagian ulama‟ yaitu fardu „ain
(wajib „ain), sebagian berpendapat bahwa shalat berjamaah itu fardu kifayah,
dan sebagian lagi berpendapat sunat muakkad (sunat istimewa). Pendapat
terakhir inilah yang paling layak, kecuali bagi shalat jum‟at.12 Jadi shalat
berjamaah hukumnya adalah sunat muakkad karena sesuai dengan pendapat
yang seadil-adilnya dan lebih dekat kepada yang benar. Bagi laki-laki shalat
lima waktu berjamaah di masjid lebih baik dari pada shalat berjamaah di
rumah, kecuali shalat sunah maka di rumah lebih baik. Sedangkan bagi
perempuan shalat di rumah lebih baik karena hal itu lebih aman bagi mereka.

C. Ketentuan Shalat Berjama’ah


Sekurang-kurangnya shalat berjama’ah dilakukan oleh dua orang,
seorang imam dan seorang makmum. Dalam pelaksanaannya perlu
diperhatikan berbagai ketentuan antara lain:
1. Perempuan tidak boleh menjadi Imam bagi laki-laki, tetapi dibenarkan
mengimami perempuan lainnya. Ini berdasarkan hadits:

Artinya: “Ingat, janganlah seorang perempuan mengimami laki-laki.”


(HR. Ibn Majah)
Selain itu, ada ketentuan umum bahwa perempuan semestinya dipimpin
oleh laki-laki. Dan alasan lain yang dikemukakan ialah bahwa perempuan
itu adalah aurat sedangkan kedudukannya sebagai imam merupakan
fitnah.
2. Sebaiknya yang menjadi imam bagi suatu jama’ah ialah orang yang
paling faqih di antara mereka. Rasul saw. Bersabda:13

12
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hlm. 107.
13
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah (Thaharah,
Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji), Penerjemah: Kamran As’at Irsyady, dkk, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), hlm 91

7
Artinya: “(Yang paling baik) yang menjadi imam bagi suatu kaum ialah
yang terbaik membaca al-Kitab. Bila dalam membaca al-Kitab mereka
sama, maka yang paling mengetahui Sunnah; jika dalam hal mengetahui
Sunnah mereka sama maka yang lebih dahulu hijrah, jika masa hijrahnya
sama juga maka yang lebih dahulu Islamnya. Janganlah seseorang
mengimami orang lain di tempat kekuasaannya, dan jangan pula ia
duduk pada kedudukan kehormatan di rumah seseorang kecuali dengan
izinnya.” (Muttafaq ‘Alaih)14
Abu Hanifah dan Ahmad memahami hadits ini menurut zahirnya
sehingga mereka mengatakan bahwa yang paling berhak menjadi imam
ialah yang paling baik bacaannya. Akan tetapi, Imam Syafi’i dan lainnya
memahami bahwa yang dimaksudkan ialah yang paling faqih, sebab
dalam kedudukan sebagai imam, pengetahuan tentang hukum-hukum
(fiqh) shalat lebih diperlukan daripada sekedar bacaan. Lagi pula, berbeda
dengan zaman sekarang, pada masa Rasul saw.15 Untuk sahnya
berjama’ah, disyaratkan terpenuhinya hal-hal sebagai berikut:
1) Niat mengikut imam.
2) Posisi makmum tidak lebih ke depan daripada imam. Dalam hal ini,
sebaiknya diperhatikan agar posisi berdirinya makmum adalah
sebagai berikut:
a. Bila makmum hanya seorang laki-laki, walaupun belum
dewasa, ia berdiri disebelah kanan dan sedikit mundur dari
imam.

14
Ibid., 92
15
Ibid.,

8
b. Bila setelah itu datang lagi seorang laki-laki lainnya, ia berdiri
disebelah kiri kemudian si imam maju atau kedua makmum
tersebut mundur.
c. Bila makmum itu laki-laki, dua orang atau lebih, mereka bersaf
di belakang imam. Demikian juga apabila makmum itu seorang
laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki.
d. Jika makmumnya perempuan, walaupun seorang, ia berdiri di
belakang imam.
e. Jika makmum terdiri atas jama’ah laki-laki dewasa dan anak-
anak, maka laki-laki dewasa bersaf di belakang imam kemudian
disambung oleh anak-anak laki-laki.
Jika bersama mereka terdapat juga perempuan maka perempuan
itu, seorang atau banyak, bersaf di belakang anak-anak16
3. Makmum dan imam berada pada satu tempat.
Jika keduanya shalat di dalam masjid, maka makmum sah walaupun ia
jauh dari imamnya, asalkan ia dapat mengetahui shalat imam melalui
suara atau dengan melihat gerakannya, dan posisi makmum tidak lebih ke
depan daripada imam. Apabila terdapat bangunan atau dinding yang
memisahkan keduanya, maka disyaratkan adanya pintu yang dapat
menghubungkan tempat mereka. Shalat juga sah jika imam berada di
dalam masjid sedangkan makmum di luar, tetapi jaraknya tidak lebih 300
hasta, dari sisi masjid itu dan tidak terdapat bangunan atau dinding yang
menghalangi. Jika keduanya berada tidak dimasjid, maka jarak antara
makmum dengan imam tidak boleh lebih dari 300 hasta, dan tidak boleh
ada dinding yang menghalangi.
4. Tata laksana shalat makmum serupa dengan shalat imam.
Dengan demikian orang yang shalat zuhur misalnya tidak sah mengikut
orang yang shalat jenazah, atau shalat kusuf.

16
Ibid., h. 92-94

9
5. Makmum harus menyesuaikan diri dalam melakukan (atau tidak
melakukan) sunnah shalat yang perbedaan pada pelaksanaannya
dipandang buruk, seperti tasyahhud awal, sujud tilawah dan qunut.
6. Makmum harus mengikuti imam dalam melakukan perbuatan-perbuatan
shalat; tidak lebih dahulu takbirat al-ihram, tidak mendahului imam dan
tidak pula ketinggalan darinya dalam melakukan dua rukun fi’li17
.
D. Urutan Shalat Berjama’ah
1) Imam memperhatikan dan membimbing kerapihan dan lurus rapatnya saf/
barisan makmum sebelum shalat dimulai. Pengaturan saf/ barisan
makmum hendaknya lurus dan rapat, dengan urutan saf sebagai berikut:
2) Saf laki-laki dewasa di barisan paling depan.
3) Saf anak laki-laki di belakang laki-laki dewasa.
4) Saf anak perempuan di belakang anak laki-laki.
5) Saf wanita dewasa di barisan paling belakang.
6) Sesudah saf teratur dan rapi, imam memulai shalat dengan niat dan
bertakbiratul ikhram
7) Makmum mengikuti segala gerakan shalat imam, tanpa mendahului
segala gerakan dan bacaan imam.18

E. Gugurnya Kewajiban Shalat Berjama’ah


Allah menyuruh kita untuk melakssiswaan shalat berjamaah, akan tetapi
terdapat beberapa hal yang membolehkan kita untuk tidak ikut sholat
berjamaah, antara lain:
a) Hujan lumpur dan angin kencang pada malam yang gelap.
b) Tersedianya makanan dan nafsu seseorang yang sangat
menginginkannya.
c) Menahan buang air besar dan kecil.

17
Ibid., h. 94-95
18
Syekh Nuruddin Muhammad Jaelani, (1933), “Kitab Sabilal Muhtadin”, Beirut: Dar-alFikr, jilid
II.

10
d) Takut dan sakit.19 Sakit disini bukan sekedar sakit biasa, tapi sakit yang
berat. Misalnya lumpuh, orang yang sudah tua renta dan buta, karena
agama Islam bukan agama yang memberatkan umatnya. Sedangkan
takut disini adalah kekhawatiran terkena mudharat pada badan, harta
atau kehormatan, misalnya kekhawatiran terhadap orang dhalim.20
Bila salah satu dari beberapa poin terjadi pada seseorang, maka orang
tersebut boleh tidak mengikuti shalat berjamaah, karena kesemua poin tersebut
memang dapat dimaklumi dan tidak direncsiswaan dan di sengaja oleh orang
itu.

F. Manfaat Shalat Berjama’ah


Shalat jamaah memiliki faedah-faedah (manfaatmanfaat) yang banyak
dan kebaikan-kebaikan yang agung, antara lain:
1) Allah SWT mensyariatkan kepada umat agar berkumpul pada waktu-
waktu tertentu untuk shalat berjamaah, Hal itu dimaksudkan agar dapat
saling menyambung silaturahmi diantara mereka, berbuat kebajikan,
saling mengasihi dan memperhatikan.
2) Menanamkan rasa saling mengasihi, yaitu saling mencintai antara yang
satu dengan yang lain sehingga saling mengerti dan memahami keadaan
yang lain. Seperti menjenguk yang sakit, mengantar jenazah, membantu
yang kesusahan dan kesulitan.
3) Saling mengenal, karena apabila manusia shalat bersama-sama maka
terjadi saling kenal diantara mereka.
4) Kaum muslimin merasakan persamaan dan hancurnya perbedaan-
perbedaan sosial. Karena mereka berkumpul di masjid, orang yang paling
kaya berdampingan dengan orang yang paling fakir, atasan berdampingan
dengan bawahan, yang muda berdampingan dengan yang tua, demikian

19
Abdurraziq, Mahir Manshur, Mukjizat Shalat Berjama‟ah, terj. Abdul Majid Alimin,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007. hlm. 29
20
Wahbah Al-Zuhaily, Fiqih Shalat: Kajian Berbagai Madzhab (Bandung: Pustaka Media Utama,
2004), 551.

11
seterusnya. Maka manusia merasa mereka adalah sama sehingga dengan
itu terjadi keakraban.
5) Menghindari kesalahan arah kiblat, karena belum tentu semua orang
muslim mengetahui arah kiblat secara tepat, terkadang ada juga yang lupa
jika berada di tempat yang masih asing. Sehingga dengan melakukan
shalat secara berjamaah di masjid dapat mengurangi dan menghindari
kesalahan arah kiblat.
6) Membiasakan manusia untuk berdisiplin, karena jika ia telah terbiasa
mengikuti imam secara detail, tidak mendahului dan tidak tertinggal
banyak, dan tidak membarenginya tapi mengikutinya maka ia akan
terbiasa disiplin.21

G. Keutamaan Shalat Berjama’ah


Keutamaan dalam shalat berjamaah antara lain:
1) Pahalanya dua puluh tujuh kali lipat dari pada shalat sendirian. Rasulullah
SAW bersabda:

“Telah menceritakan kepada kita Abdullah bin Yusuf, ia berkata: telah


mengabarkan kepada kita Malik dari Nafi‟ dari Abdullah bin Umar
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Shalat berjamaah itu lebih
utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR.
Bukhari).22
2) Mendapat perlindungan dan naungan dari Allah pada hari kiamat kelak.
3) Mendapat pahala seperti haji dan umrah bagi yang mengerjakan shalat
subuh berjamaah kemudian ia duduk berdzikir kepada Allah sampai

21
Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Lebih Berkah Dengan..., hlm. 53.
22
Ibnu Jauzi, Shahih Bukhori, hlm. 302.

12
matahari terbit. Sebagaimana telah dikatakan oleh Abdul Wahab Asy-
Sya‟roni dalam kitabnya Alminahu Assaniya, yaitu:
23

“Wahai Ali: tetaplah kamu shalat berjamaah sesungguhnya shalat


berjamaah disisi Allah bagaikan keberangkatanmu menunaikan ibadah
haji dan umrah, tidak ada orang yang senang shalat berjamaah kecuali
orang yang mu‟min yang benarbenar telah dicintai Allah, dan tidak ada
orang yang benci shalat berjamaah melainkan orang munafiq yang
benar-benar dibenci Allah.”
4) Membebaskan diri seseorang dari siksa neraka dan kemunafikan.24
Seorang yang ikhlas melaksanakan shalat berjamaah maka Allah akan
menyelamatkannya dari neraka dan di dunia dijauhkan dari mengerjakan
perbuatan orang munafik dan ia diberi taufik untuk mengerjakan
perbuatan orang-orang yang ikhlas.

23
Abdul Wahab Asy-Sya‟roni, Alminahu Assaniyah, (Semarang: PT Karya Toha Putra, t.t.), hlm.5
24
Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Lebih Berkah Dengan Sholat Berjamaah, terj. Muhammad
bin Ibrahim, (Solo: Qaula, 2008), hlm. 73.

13
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
Shalat berjamaah yaitu shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih,
dimana salah satunya menjadi imam dan yang lain menjadi makmum dengan
memenuhi semua ketentuan shalat berjamaah. Jumhur ulama mengatakan
hukum shalat berjamaah adalah fardu ‘ain.
Ada beberapa aturan atau ketentuan didalam shalat berjamaah, yaitu :
1. Makmum dalam shalat berjamaah
2. Imam dalam shalat berjamaah
3. Shaf didalam shalat berjemaah
Keutamaan dalam shalat berjamaah antara lain:
1. Pahalanya dua puluh tujuh kali lipat dari pada shalat sendirian
2. Mendapat perlindungan dan naungan dari Allah pada hari kiamat kelak
3. Mendapat pahala seperti haji dan umrah
4. Membebaskan diri seseorang dari siksa neraka dan kemunafikan

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan makalah diatas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak.

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhaily, Wahbah. 2004. Fiqih Shalat: Kajian Berbagai Madzhab. Bandung:


Pustaka Media Utama
Asy-Sya‟roni, Abdul Wahab. Alminahu Assaniyah. Semarang: PT Karya Toha
Putra, t.t
A. Karim Syeikh. Tatacara Pelaksanaan Shalat Berjama’ahberdasarkan Hadis
Nabi. Al-Mu‘ashirah Vol. 15, No. 2, Juli 2018
Abdurraziq, Mahir Manshur, 2007. Mukjizat Shalat Berjama‟ah. terj. Abdul
Majid Alimin. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Ibadah (Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji), Penerjemah: Kamran
As’at Irsyady, dkk. Jakarta: Bumi Aksara
Ahmad Mustafa Al-Maragi, 1993. Tafsir Al-Maragi Juz V, terj. Bahrun Abu
Bakar. Semarang: PT Karya Toha Putra
Ahsin W. Al-Hafidz, 2005. Kamus Ilmu Al-Qur‟an. Jakarta: Amzah
Depag RI, 1995. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: PT Toha Putra
Ibnu Jauzi, 2008. Shahih Bukhori. Kairo: Darul Hadits
Imam Hambali, 2004. Khusyuk Sholat Kesalahan-Kesalahan Dalam Sholat Dan
Bagaimana Memperbaikinya, alih bahasa oleh Sudarmadji. Jakarta: Lintas
Pustaka, Cet. Ke-1
Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),
jil. II
Lahmuddin Nasution. 1987. Fiqh 1. Jakarta: Logos
Muhammad Ilyas. Hadis tentang Keutamaan Shalat Berjamaah. Jurnal Riset
Agama Volume 1, Nomor 2 (Agustus 2021): 247-258 DOI:
10.15575/jra.v1i2.14526.
Muhammad Jaelani, Syekh Nuruddin. 1933. “Kitab Sabilal Muhtadin”, Beirut:
Dar-alFikr, jilid II
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo
Riznanto & Rahmawati. 2009. Keajaiban Shalat. Jakarta: Salsabila
Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, 2008. Lebih Berkah Dengan Sholat
Berjamaah. terj. Muhammad bin Ibrahim. Solo: Qaula

15

Anda mungkin juga menyukai