“SISTEMATIKA FIQH”
Untuk memenuhi tugas mata kuliah : Ushul Fiqh
Oleh kelompok 3 :
2020
i
KATA PENGANTAR
Penyusun mengucap puji dan syukur kepada Tuhan yang maha esa karena atas berkat dan
karunia-nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sitematika Fiqh “ untuk
memenuhi tugas makalah ushul fiqh dengan baik.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Badrus Sholihin,S.S.M,A selaku
dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh yang telah membantu dan membimbing penyusun
dalam proses pembuatan makalah ini dan juga kepada teman-teman mahasiswa yang telah
berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan menyusun
pada khususnya. Semoga pepatah yang mengucapkan bahwa “tiada gading yang yang tak retak”
demikian pula dengan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan untuk
itu penyusun mengharapkan saran dan kritikdari pembaca terutama dosen pembimbing mata
kuliah Ushul Fiqh yang bersifat membangun demi perbaikan ke arah kesempurnaan.
Jember,Oktober 2020
ii
DAFTAR ISI
Daftar isi…………………………………………………………….……………..ii
Bab I PENDAHULUAN………………………………………….……………….1
A. Latar belakang……………………………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………….……...1
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………….……….1
Bab II PEMBAHASAN…………………………………………………………...2
A. Pengertian ibadah ……………………………………………………………..…………..2
D. Pengertian jinayah………………………………………………………………...……….9
B. Saran……………………………………………………………………….…………….16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..…..17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap tulisan ataupun penulisan karya tulis terdapat susunan atau sistematika yang
membuat tulisan terlihat menarik dan mudah dipahami oleh setiap orang yang membaca
tulisan tersebut. Namun jika tulisan tersebut tidak tersusun secara sistematik maka orang
yang membaca akan susah dalam memahami tulisan atupun suatu karya tulis tersebut.
Pada masa sebelum tabi’in belum ada pembukuan terhadap permasalahan agama, tidak
ada yang menulis buku pada masa itu. Namun dengan berkembangnya zaman, umatpun
semakin jauh dengan masa Rasul dan wilayah Islampun meluas, maka mulailah terlihat
banyak permasalahan agama yang memerlukan penyelesaian dari para mujtahid.
Maka ada sebagian ulama pada masa itu yang berinisiatif untuk menulis buku tentang
permasalahan agama, namun tidak disusun secara sistematika, hanya permasalahan yang
timbul pada masa itu saja. Pembukuan secara sistematis baru dilakukan pada masa tabi’
tabi’in. maka di dalam makalah ini, pemakalah akan membahas mengenai sistematika
yang digunakan ulama dalam penulisan buku Fiqh dan Ushul Fiqh.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibadah
Secara kata fiqh ibadah dapat diartikan al-ilm yang artinya ilmu, dan al-fahm yang artinya
pemahaman, jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam
Menurut istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang hokum-hukum perbuatan syar’I
yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf yang dikeluarkan dalil-dalilnya yang terperinci.
Mukallaf adalah orang yang dibebani dengan kewajiban. Seorang di anggap mukallaf setidaknya
ada dua ukuran pertama aqil ( berakal ) dan yang kedua adalah balig sudah sampai pada ukuran
biologis . Untuk laki-laki sudah pernah ikhtilam ( mimpi basah ) dan untuk perempuan
mengalami haid
• Ta’at
• Tunduk
• Pengabdian
Jadi ibadah itu merupakan sebuah ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang islam yang halal dilaksanakan dengan
niat ibadah . Sedangkan ibadah dalam arti husus adalah perbuatan yang dilaksakan dengan tata
cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Ibadah dalam artian husus ini meliputi Tharah,
Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Kurban
Dari dua pengertian tersebut jika ditarik kesimpulan maka fiqih ibadah adalah ilmu yang
menerangkan tentang dasar dan hokum syar’I hususnya dalam ibadah khas yang semuanya itu
ditunjukan sebagai rasa bentuk ketundukan dan harapan untuk mencapai ridho Allah
Sebagai mana yang telah dijelaskan bahwa semua kehidupan hamba allah yg dilaksanakan
dengan mengharap keridhoan allah itu bernilai ibadah.
2
Ibadah dibagi menjadi 2 yaitu
1. Ibadah mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang di perintah dan larangannya sudah jelas secara dohir.
ibadah ini ditetapkan oleh dalil² yg kuat
Ibadah goiru mahdhah adalah ibadah yang cara pelaksanaannya dapat direkayasa oleh manusia
.
B. Ibadah khusus ialah ibadah yang cara melaksanakannya ditentukan syara' . Ibadah ibi bersifat
khusus dan mutlak. Contohnya bersuci untuk melaksanakan sokat dilakukan menggunakan air (
wudhu )
A. Ibadah hakiki : ibadah yang sepenunya dilaksanakan semata mata karena allah SWT . Hal itu
bermaksud hanya sebagai bentuk ketundukan , pengabdian , penghambaan kepada allah
3
B. Ibadah sifat : ibadah yang oerbuatannya memiliki nilai ibadah. Semua urusan sosial atau yang
bernilai duniawi dan mengandung unsur ukhrawi dalam pelaksanaannya memiliki hukum mubah
dan tidak mutlak harus dilaksanakan
Contoh : berdoa,solat,puasa,haji
2. Ibadah yang tidak langsung atau berhubungan dengan manusia ( hablum minannas ) seperti
zakat , menuntut ilmu , infaq,dan lain lain
B. Ahwal as-Syakhsiyah
a. Pengertian ahwal As-syakhsiyah
Dalam literatur hukum Islam (fiqh), seperti pernah disinggung dalam bagian pendahuluan
buku ini, hukum keluarga biasa dikenal dengan sebutan al-ahwal as-syakhshiyyah.
Ahwal adalah jamak (plural) dari kata tunggal (singular) al-hal, artinya hal, urusan atau keadaan.
Sedangkan as-syakhshiyyah berasal dari kata assyakhshu jamaknya asykhash atau syukhush—
yang berarti orang atau manusia (al-insan). As-syakhshiyyah, berarti kepribadian atau identitas
diri-pribadi [jati diri](Munawwir, Al-Munawwir 749-750).
Secara Harfiah, al-ahwal as-syakhshiyyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan soal
pribadi. Istilah Qanun al-ahwal as-syakhshiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum
(undang-undang) pribadi; dan dalam bahasa Inggris ahwal syakhshiyyah biasa disalin
dengan personal statute (Amin summa, 2004: 17).
Al-ahwal as-syakhshiyah ini tampak identik atau sekurang-kurangnya bersesuaian benar dengan
hukum tentang orang dalam lapangan hukum perdata sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH-Perd.) tepatnya dalam Buku Kesatu Tentang Orang.
Ziba Mir - Hosseini, Marriage on Trial A Study of Islamic Family Law Iran and Marocco
Compared, 1993... Selain sebutan al-ahwal as-syakhshiyah, hukum keluarga dalam literatur fiqih
(hukum Islam) juga umum disebut dengan istilah huququl-usrah atau huquq al-'a'ilah (hak-hak
keluarga), ahkamul-usrah (hukum-hukum keluarga) dan qanun al-usrah (undang-undang
keluarga).
Dalam buku-buku berbahasa Inggris yang membahas tentang hukum Islam, hukum keluarga
4
biasa diterjemahkan dengan istilah family law; sementara ahkam al-usrah/al-ahwal as-
syakhshiyyah umum diterjemahkan dengan Islamic family law atau muslim family law.
Berlainan dengan hukum Barat yang lebih menekankan hukumnya kepada perorangan
(individu) dengan sebutan personal law, di kebanyakan negara-negara Islam, kata Tahir
Mahmood, berlaku (hukum keluarga) yang meliputi satu atau lebih dari yang berikut ini:
1. law of personal status (qanun al-ahwal as-syakhshiyyah);
2. Family law (qanun al-usrah,);
3. Laws of family rights (huquq al-'a'ilah), martimony (zawaj, izdiwaj), inheritance {mirats,
mawarits), wills (washiyyah, washaya) and endowments (waqf, awqaf).
Hukum keluarga Islam pada dasamya meliputi empat rumpun subsistem hukum yakni:
(1) perkawinan (munakahat) (2) pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadhanah) (3) kewarisan
dan wasiat (al-mawaarits wal-washaya) (4) perwalian dan pengampuan/pengawasan {al-
walayah wal-hajr).(Amin summa, 2004: 23) .
Jika hukum keluarga memiliki kedudukan atau fungsi mengatur hubungan timbal balik (internal)
antara sesama anggota keluarga dalam sebuah keluarga tertentu, fungsi hukum keluarga Islam
dalam keluarga muslim adalah sebagai pengganti mekanisme (hubungan) timbal balik antara
sesama anggota keluarga dalam sebuah keluarga muslim.
Tujuan dari pensyariatan hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim secara ringkas ialah untuk
mewujudkan kehidupan keluarga muslim yang sakinah, yakni keluarga muslim yang bahagia
sejahtera.
C. Muamalah
A. JUAL BELI
1. Pengertian jual beli
Menurut bahasa, jual beli berasal dari bahasa arab al-bai`u. ( )البيعyang berarti menukar.
Sedangkan menurut istilah syara` jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang
dengan uang antara si pembeli dengan si penjual dengan cara tertentu.
Dasar hukum jual beli adalah firman Allah (QS. al-Baqarah : 275)
( وحرم الربو البيع هللا واحل275)
Artinya : Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
(QS. alBaqarah 2 : 275)
3). Jual beli lelang yaitu jual beli dihadapan orang banyak (dengan tawaran yang atas mengatasi)
yang dipimpin oleh pejabat lelang
4). Jual beli barter.
B. HUTANG PIUTANG
1. Pengertian utang piutang
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian ia akan
mengembalikan barang tersebut dengan jumlah yang sama.
C. RIBA
1. Pengertian riba
Riba menurut bahasa bermakna bertambah atau berlebih. Sedangkan menurut
pengertian dalam ilmu fikih, riba adalah akad atau transaksi penukaran dua barang
yang tidak diketahui atau tidak sesuai perimbangan takarannya menurut aturan syara`
atau pengembalian yang berlebih oleh orang yang berutang kepada orang yang
berpiutang dari suatu barang atau uang yang diutang dalam tenggang waktu
tertentu.
B. Macam-macam riba
a). Riba fadli
Riba fadli adalah penukaran dua barang atau harta yang sejenis, di mana nilai salah satu barang
tidak sama dengan barang lainnya.
b). Riba nasiah
Riba nasiah adalah penukaran dua barang atau harta, baik sejenis atau berbeda dengan syarat
pengembaliannya lebih dari jumlah yang diambil karena adanya penangguhan waktu tertentu.
c). Riba qardi
Riba qardi adalah meminjam atau mengutang dengan syarat memberikan keuntungan kepada
yang meminjamkan (berpiutang).
d) Riba yad
Riba yad adalah berpisahnya dua orang dari tempat akad (transaksi) sebelum terjadi serah terima
barang antar keduanya, misalnya penjualan kacang dan ketela yang masih dalam tanah.
C. Hukum riba
7
Artinya : Bahwasanya jual beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.
D. MUDHARABAH
1. Pengertian Mudharabah
3. Rukun Mudharabah
4. Jenis-jenis Mudharabah
a. Mudharabah mutlak
Mudharabah mutlak adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha
tanpa memberikan batasan, seperti berkata, “saya serahkan uang ini untuk
diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi diantara kita, masing-masing setengah
atau sepertiga dan lain-lain”.
b. Mudharabah Muqayyad (terikat)
Adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan
batasan, seperti persyaratan bahwa pengusaha harus berdagang di daerah Bandung
atau harus berdagang sepatu atau membeli barang dari orang tertentu dan lain-lain.
E. MUSYARAKAH
8
1. Pengertian Musyarakah
Musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Jenis-Jenis Musyarakah
a. Musyarakah kepemilikan
Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini kepemilikan
dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang
dihasilkan aset tersebut.
b. Musyarakah akad
Musyarakah akad tercipta dengan cara adanya kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju
bahwa setiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah, merekapun sepakat berbagi
keuntungan dan kerugian.
1. Pengertian Ariyah
Menurut etimologi ariyah adalah ( ) العاريةdiambil dari kata ( ) عارyang berarti ( ) التعاورyang
sama artinya dengan saling menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
Menurut terminologi ulama fikih berbeda pendapat dalam mendefenisikannya, antara lain :
Menurut Syarkasyi dan ulama Malikiyah :
تمليك المنفعة بعير عوض.
9
Artinya : Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti.
Jadi pinjam meminjam adalah meminjamkan (memberikan) sesuatu kepada yang membutuhkan
dengan mengambil manfaatnya dari sesuatu yang halal tanpa mengurangi atau merusak barangnya.
Berangkat dari ayat 2 surah al-Maidah di atas, para ulama fikih menetapkan
bahwa hukum pinjam meminjam adalah sunnah, bahkan pada suatu saat bisa menjadi
wajib, yakni apabila pemberian pinjaman itu sangat dibutuhkan oleh si peminjam,
karena tidak ada cara lain yang halal, selain dengan meminjam, tentunya apabila
pihak yang akan meminjamkan ada kemampuan untuk memberi pinjaman.
D. Jinayah
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian
atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata janayajni yang
berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal.
• Pembunuhan
10
Pembunuhan adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa seseorang,
apa pun bentuknya, apabila suatu tindakan tersebut dapat menghilangkan nyawa, maka ia
dikatakan membunuh.
Pembunuhan terbagi tiga: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang mirip dengan sengaja,
dan ketiga pembunuhan karena keliru.
Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seseorang yang secara sengaja (dan
terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah). Adapun untuk
pembunuhan yang disengaja dan terencana, maka pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif,
yaitu menuntut hukum qishash, atau memaafkan dengan mendapat imbalan diat.
Adapun yang dimaksud syibhul ’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah
seseorang bermaksud tidak memukulnya, yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak
membunuhnya, namun ternyata oknum yang jadi korban meninggal dunia. Kejadiannya bisa juga
seperti ini, ketika seseorang memukul orang lain tidak dengan benda yang mematikan dan tidak
pula mengenai organ tubuh yang vital dan sensitif seperti otak, jantung, dan lain-lain, dan orang
tersebut meninggal dunia. Hal seperti itulah yang dikatakan sebagai pembunuhan yang seperti
disengaja
Dalam hal ini tiada wajib qisas (balas bunuh) bagi si pembunuh, tetapi diwajibkan ke atas
keluarga pembunuh untuk membayar diyat mughallazah (denda yang berat) dengan secara
beransur-ansur selama tiga tahun kepada keluarga korban.
Sedangkan yang dimaksud pembunuh yang tidak disengaja ialah seseorang yang melakukan
perbuatan menghilangkan nyawa seseorang tanpa disengaja. Ketika seseorang melakukan hal
yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya
nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
11
Bagi si pembunuh tidak dikenakan qisas (balas bunuh) tetapi dia dikenakan diyat
mukhafafah (denda yang ringan). Diyat itu dibayar oleh adik-beradik pembunuh dan bayarannya
boleh ditangguhkan selama tiga tahun.
• Pencurian
Pencurian adalah mengambil sesuatu milik orang lain secara diam-diam dan rahasia dari
tempat penyimpannya yang terjaga dan rapi dengan maksud untuk dimiliki. Pengambilan harta
milik orang lain secara terang-terangan tidak termasuk pencurian
tetapi Muharobah (perampokan) yang hukumannya lebih berat dari pencurian. Dan pengambilan
harta orang lain tanpa bermaksud memiliki itupun tidak termasuk pencurian
tetapi Ghosab (memanfaatkan milik orang lain tanpa izin).
Pelaku pencurian diancam hukuman potong tangan dan akan diazab di akherat apabila mati
sebelum bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para penjahat, karena dengan
hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan pelajaran kepada orang lain yang akan
melakukan pencurian karena beratnya sanksi hukum sebagai tindakan defensif (pencegahan).
Hukuman potong tangan dijatuhkan kepada pencuri oleh hakim setelah terbukti bersalah, baik
melalui pengakuan, saksi dan alat bukti serta barang yang dicurinya bernilai ekonomis, bisa
dikonsumsi dan mencapai nishab, yaitu lebih kurang 93 gram emas.
• Perzinahan
Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, baik
dilakukan secara sukarela maupun paksaan. Sanksi hukum bagi yang melakukan perzinahan
adalah dirajam (dilempari dengan batu sampai mati) bagi pezina mukhshan; yaitu perzinahan
yang dilakukan oleh orang yang telah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan
yang sah. Atau dicambuk 100 kali bagi pezina ghoer mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan
oleh orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah.
Sanksi hukum tersebut baru dapat dijatuhkan apabila sudah terbukti melakukan perzinahan baik
dengan pengakuan, 4 orang saksi atau alat bukti.
Perzinahan diharamkan oleh Islam karena: 1) Menghancurkan garis keturunan dan putusnya hak
waris. 2) Mengakibatkan kehamilan sehingga anak yang terlahir tersia-sia dari pemeliharaan,
12
pengurusan dan pembinaan pendidikannya. 3) Merupakan salah satu bentuk dari perilaku
binatang yang akan menghancurkan kemanusiaan. 4) Menimbulkan penyakit yang berbahaya
dan menular.
• Qadzaf
Qadzaf adalah menuduh orang lain melakukan perzinahan. Sanksi hukumnya adalah
dicambuk 80 kali. Sanksi ini bisa dijatuhkan apabila tuduhan itu dialamatkan kepada orang
Islam, baligh, berakal, dan orang yang senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa besar
terutama dosa yang dituduhkan. Namun ia akan terbebas dari sanksi tersebut apabila dapat
mengemukakan 4 orang saksi dan atau bukti yang jelas. Suami yang menuduh isterinya berzina
juga dapat terbebas dari sanksi tersebut apabila dapat mengemukakan saksi dan bukti atau
meli’an isterinya yang berakibat putusnya hubungan perkawinan sampai hari kiamat.
• Muharobah
Muharobah adalah aksi bersenjata dari seseorang atau sekelompok orang untuk
menciptakan kekacauan, menumpahkan darah, merampas harta, merusak harta benda, ladang
pertanian dan peternakan serta menentang aturan perundang-undangan. Latar belakang aksi ini
bisa bermotif ekonomi yang berbentuk perampokan, penodongan baik di dalam maupun diluar
rumah atau bermotif politik yang berbentuk perlawanan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan melakukan gerakan yang mengacaukan ketentraman dan ketertiban umum.
1. Dipotong tangan dan kakinya secara bersilang apabila ia atau mereka hanya mengambil
atau merusak harta benda.
2. Dibunuh atau disalib apabila dalam aksinya itu ia membunuh orang.
3. Dipenjara atau dibuang dari tempat tinggalnya apabila dalam aksinya hanya melakukan
kekacauan saja tanpa mengambil atau merusak harta-benda dan tanpa membunuh.
B. Hukum Qisas
Sebagai mana telah dijelaskan bahwa kemakmuran dunia ini erat kaitannya dengan
keberadaan manusia. Dunia semakin terasa sunyi, sepi apabila hanya sedikit manusia yang
13
menempati, dunia akan terhenti kegiatannya bila tiada menusia. Oleh karena itu, Allah
mensyari’atkan hukuman bagi yang mencoba berbuat sesuatu yang membahayakan kehidupan
manusia dan jiwanya. Hukuman itu bisa berupa hukuman qisas, yaitu kesamaan akibat yang
ditimpahkan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan
terhadap korban. Dia dibunuh kalau membunuh, dipukul kalau memukul. Hukuman ini
dimaksudkan untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah mnusia dengan menerapkan
hukuman setimpal dengan perbuatannya.
Sebab menurut syar’i seorang pembunuh apabila tidak dikenai hukuman setimpal, akan
menyebabkan tersulutnya api dendam dalam jiwa keluarga yang terbunuh. Selanjutnya akan
terjadi balas dendam beruntun yang dapat menambah banyak permusuhan lagi. Hal ini harus
dihentikan dengan penerapan hukum qisas, inilah hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan
hukum qisas yang telah ditegaskan dalam nash Al-Qur’an.
C. Hudud
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara
dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan). Adapun menurut syar’i, hudud
adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari
terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama.
Sebenarnya Allah SWT telah menetapkan hukuman di akhirat bagi pelaku dosa dan kejahatan,
namun hal itu tidak membuat jera mansia untuk berbuat sesuatu yang membahayakan
masyarakat secara umum (Public Interest) dalam kehidupan dunia ini. Di samping itu ada
14
sebagian orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang membuat arang lain teraniaya
(mazlum), kemudian tidak berani menuntut haknya. Ini berarti menyia-nyiakan banyak hak
akibatnya akan merusak kehidupan ini.
Untuk inilah Allah SWT. menetapkan hukuman had yang tujuannya untuk melindungi
keselamatan dan kesejahteraan umat manusia ditiap waktu, tempat, sehingga kejahatan bisa
terhenti. Dan perbuatan yang merusak tidak mungkin memperbaikinya kecuali harus dengan
menerapkan sanksi hukuman, baik qisas maupun had.
Perlu diketahui bahwa yang berhak menetapkan dan melaksanakan hukuman adalah pihak
penguasa (Imam) atau orang yang ditunjuk diberi wewenang untuk itu. Hal ini dimaksudkan agar
tidak banyak menimbulkan fitnah yang panjang akibatnya.
D. Ta’zir
Ta’zir yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “mendera dengan pukulan” diartikan
oleh para pakar hukum pidana Islam dengan “bentuk hukuman yang tidak disebutkan kadar
ketentuan hukumnya oleh syara’ dan menjadi kekuasaan waliyal amri atau hakim”. Maksud dari
hukuman ta’zir sebagai pemberi aib dan celaan yang menjadi bagian dari sanksi hukum yang
bersifat mendidik. Bentuk dan ukurannya bisa bermacam-macam seperti penjara, deraan dengan
pukulan cemeti dan sejenisnya, yang tidak tercantum dalam hukum qisas maupun had.
Ta’zir ini pada zaman dulu digunakan para majikan untuk menghukum hamba sahayanya,
dengan maksud mendidik dan memperbaiki kelakuannya, sedang penyebabnya bisa bermacam-
macam dan bisa terjadi setiap saat dalam kehidupan sehari-hari.
E. Siyasah
Istilah Fiqh Siyasah merupakan tarqib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua
kata, yakni fiqh dan siayasah. Secara etimologis, Fiqh merupakan bentuk mashdar(gerund) dari
tashrifan kata fiqha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akurat
sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu.
15
Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih popular di definisikan sebagai berikut: Ilmu
tentang hokum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang
rinci.
➢ Sementara mengenai asal kata siyasah terdapat dua pendapat.
Pertama, sebagaimana di anut AL-Maqrizy menyatakan, siyasah berasal dari bahasa mongol,
yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah di awalnya sehingga di
baca siyasah. Pendapat tersebut di dasarkan kepada sebuah kitab undang-undang milik jengish
khan yang berjudul ilyasa yang berisi panduan pengelolaan Negara dengan berbagai bentuk
hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu.
Kedua, sebagaimana di anut Ibn Taghri Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga bahasa,
yakni bahasa Persia,turki dan mongol.
Ketiga, semisal dianut Ibnu manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa arab, yakni
bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatun, [3] yang semula berarti mengatur,
memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan dengan makna yang disebut terakhir
ini, seseorang yang profesinya sebagai pemelihara kuda.
Sedangkan secara terminologis banyak definisi siyasah yang di kemukakan oleh para yuridis
islam.
Menurut Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah adalah sebagai berikut:
“Siyasah berarti suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemaslahatan
dan lebih jauh dari kerusakan , kendati pun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga
tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya”
Dalam redaksi yang berbeda Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan siyasah sebagai berikut:
“siyasah berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta
pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka.
Sebagaimana dijelaskan di atas dapat di tarik kesimpulan, fiqh siyasah adalah ilmu tata
Negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk beluk pengaturan kepentingan
ummat manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa penetapan hokum,
peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran
islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghadirkannya dari berbagai
kemudaratan yang mungkin timbul dalam kejidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang dijalaninya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukn ruang lingkup kajian fiqh siyasah.diantaranya
ada yang menetapkan lima bidang. Namun ada pula yang menetapkan kepada empat atau tiga
bidang pembahasan.
Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan
bidang.
Berdasaran perbedaan pendapat di atas, pembagian fiqh siyasah dapat di sederhanakan menjadi
tiga bagian pokok.
➢ Pertama politik perundang-undangan(al-siyasah al-dusturiyah). Bagian ini meliputi
pengkajian tentang penetapan hukum (tasyri’iyah) oleh lembaga legislatif, peradilan
16
(qadha’iyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (idariyah) oleh
birokrasi atauaksekutif.
➢ Kedua, politik luar negeri (al-siyasah al-kharijiah). Bagian ini mencakup hubungan
keperdataan antara warga muslim dengan warga negara non-muslim (al-siyasah al-duali
al-‘am) atau disebut juga dengan hubungan internasional.
➢ Ketiga, politik keuangan dan moneter (al-siyasah al-maliyah). Permasalahan yang
termasuk dalam siyasah maliyah ini adalah negara, perdagangan internasional,
kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh lahir karena tuntutan
kondisi umat Islam yang sepeninggal Rasulullah dan generasi pertama Islam menghadapi
beragam persoalan menyangkut ajaran Islam. Untuk mendalami satu disiplin ilmu, lebih dulu
perlu diketahui apa yang menjadi objek pembahasannya dan sisi mana saja dari objek bahasan
tersebut yang akan dikaji,. Demikian halnya untuk mempelajari fiqh dan ushul fiqh perlu
diketahui objek pembahsannya, untuk itulah ulama menyusun buku fiqh dan ushul fiqh secara
sistematis agar orang lebih mudah dalam memahaminya dan tertarik untuk menbacanya.
17
B. Saran
Tentunya penyusun menyadari bahwa apa yang ada dalam makalah ini masih sangatlah jauh
dari kata sempurna, oleh sebab itu penyusun berharap kepada para pembaca dan penyimak
makalah ini untuk bersedia memberikan kritik ataupun saran yang sifatnya konstruktif untuk
kemudian bisa lebih memperbaiki lagi dalam penysunan makalah serupa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensip, (Jakarta:Zikrul Hakim,2004), h. 8.
Hamid Sarong, dkk, Fiqh, (Banda Aceh: PSW IAIN Ar-Raniry, 2009), h. 18-21.
Satria Effendi, ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 11-12.
18
19