Anda di halaman 1dari 14

Intizar

Vol. 27 No. 2 (2021)


DOI: https://doi.org/10.19109/intizar.v27i2.10104
Copyright © 2021 Moh. Isom Mudin, M Dhiaul Fikri, Munar Moh Shobiri, Rohma Akhirul M

Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Studi Analisis Kritis Penafsiran


Amina Wadud tentang Ayat Kepemimpinan

Moh. Isom Mudin1, Muhammad Dhiaul Fikri2, Munar Moh Shobirin3,


Rohmah Akhirul Mukharom4
1,2,3,4
Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Indonesia

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang munculnya upaya penerapan
hermeneutika sebagai pendekatan penafsiran al-Qur’an yaitu yang dikembangkan oleh Hans-Georg
Gadamer dengan istilah Wirkungsgeschichte. Teori ini berhasil memikat Amina Wadud Muhsin
untuk mengadopsi demi mencapai kepentingan dan tujuan tertentunya. Metode penelitian yang
digunakan adalah kepustakaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hermeneutika Hans-Georg
Gadamer jelas bermasalah dan tidak mungkin diaplikasikan dalam penafsiran Islam karena ia
bersumber dari tradisi ahli kitab dalam memahami kitab suci mereka. Jika hermeneutika dipaksakan
untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, maka sama saja ingin menjadikannya sebagai alat untuk
mengkritisi ayat-ayat dalam al-Qur’an.

Kata Kunci: Hermeneutika, Wirkungsgeschichte, Penafsiran al-Qur’an, Amina Wadud

Abstract: This study aims to examine the emergence of efforts to apply hermeneutics as an approach
to interpreting the Qur'an, which was developed by Hans-Georg Gadamer with the term
Wirkungsgeschichte. This theory succeeded in luring Amina Wadud Muhsin to adopt it in order to
achieve certain interests and goals. The research method used is literature. This study concludes that
Hans-Georg Gadamer's hermeneutics is clearly problematic and impossible to apply in the
interpretation of Islam because it comes from the tradition of the scribes in understanding their holy
book. If hermeneutics is forced to interpret the verses of the Qur'an, then it is the same as wanting to
use it as a tool to criticize the verses in the Qur'an.

Keywords: Hermeneutics, Wirkungsgeschichte, Interpretation of the Qur'an, Amina Wadud

Pendahuluan terdapat beberapa alasan utama, mengapa diskursus


tersebut perlu untuk ditelaah kembali secara serius;
Hermeneutika modern perlu dikaji ulang pertama, sebagai sebuah metode filosofis,
dikarenakan sampai saat ini, hermeneutika universalitas hermeneutika masih menjadi
digunakan sebagai pendekatan Islamic studies. Hal perdebatan dialektis oleh para pengusungnya
tersebut tidak terlepas dari kegelisahan yang (Gadamer, 1975). Kedua, ia lahir dari iklim kultural
berlaku dalam kalangan umat Islam. Ia merupakan ilmiah Barat modern (scientific environment) yang
sebuah tradisi khas keilmuan yang lahir dari rahim kritis terhadap keyakinan metafisis. Ketiga, dalam
ideologi Barat, dan terikat dengan nilai-nilai sejarahnya, ia merupakan sebuah metode
tertentu dari peradaban mereka. Setidaknya


Corresponding Author: Munar Moh Shobirin (munarafi@mhs.unida.gontor.ac.id). Universitas Darussalam Gontor
Ponorogo, Indonesia

p-ISSN 1412-1697; e-ISSN 2477-3816


http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar 113
Moh. Isom Mudin et al

interpretasi yang diadopsi para teolog Kristen tertarik untuk menggunakan metode hermeneutis
sebagai Tafsir Bible secara bebas (Zarkasyi, 2004). Gadamer, untuk ia pergunakan sebagai salah satu
pendekatan tafsir kontemporer, khususnya ayat-
Ketika memasuki abad ke-20, hermeneutika
ayat yang bias terhadap gander. Sebagai seorang
mengalami pergeseran yang sangat signifikan yaitu
aktivis feminis, ia memang kerap melontarkan
dari ranah teologis ke ranah filsafat (Audi, 1999).
pemikiran-pemikiran kritisnya terhadap
Pergeseran tersebut, ditandai dengan masifnya cara
pemahaman keagamaan yang tampak diskriminatif
pandang sekular-liberal yang turut andil mewarnai
terhadap perempuan (Irsyadunnas, 2017). Dalam
dan berkontribusi atas pemaknaan model baru
salah satu karyanya ‘Qur’an and Women’ ia
dalam diskursus hermeneutika modern (Faiz,
menyatakan kritiknya terhadap penafsiran ulama,
2015). Kegelisahan tersebut seharusnya perlu
bahwa penafsiran yang dilakukan cendrung
disadari oleh para sarjana Muslim agar bersikap arif
dilakukan dengan pengalaman oleh laki-laki, tanpa
dan lebih teliti jika hendak ingin menggunakan
mengikutsertakan pengalaman perempuan,
pendekatan hermeneutis, menggantikan salah satu
hasilnya terkesan diskriminatif dan menunjukkan
metode keilmuan Islam, yaitu penafsiran al-
Qur’an. superioritas laki-laki atas perempuan.
Sebagai contoh, dalam penafsiran makna
Salah satu metode hermeneutika yang sering
mendapat perhatiannya ialah hermeneutika filosofis ‘qawwam’ dalam surat an-Nisa: 43. Menurut
Amina Wadud makna ‘qawwam’ tidak harus
yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer,
ditafsirkan sebagai ‘pemimpin’ dengan berbagai
dalam magnum opus-nya ‘Wahrheit und Method’.
macam alasan dilatarbelakangi oleh ketimpangan
Dari karyanya tersebut, ia kemudian dikenal
gander dalam penafsiran al-Qur’an tersebut, hal
sebagai bapak filsuf hermeneutika modern dunia
tersebut menjadi dorongan penuh bagi dirinya
(B. Hardiman, 2015). Dalam salah satu bagian buku
untuk melakukan reinterpretasi makna baru
tersebut, ia menawarkan sebuah teori untuk
terhadap penafsiran makna ‘qawwam’, dengan
mencapai sebuah kesepahaman atau pemahaman
meminjam langkah corak hermeneutik Gadamer
terhadap teks (baik suci maupun non-suci) yang
sebagai pendekatannya (Wadud, 1999). Meski ia
dikenal dengan ‘afective history’ atau dalam istilah
yang sering digunakan ‘Wirkungsgeschichte’ tidak mengatakan secara tegas di dalam karyanya
terpengaruh oleh Gadamer, melainkan oleh Fazlur
(Gadamer, 1975). Teori tersebut menjelaskan, tiap
Rahman. Namun, usaha Fazlur Rahman sejatinya
pemahaman terhadap teks tidak ada yang obyektif,
karena penafsir dipengaruhi oleh unsur budaya merupakan anjuran dari Gadamer karenanya
pemikiran Gadamer sedikit banyak turut mewarnai
sekitar yang mengitarinya (Gadamer, 1975). Jika
teori itu diterapkan dalam penafsiran al-Qur’an, corak pemikiran metodik yang dikembangkan
Fazlur Rahman (Sibawahi, 2007).
maka akan berimplikasi pada relativisme tafsir.
Karena penafsir terpengaruh oleh situasi tertentu Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan
dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. secara kritis, metode hermeneutika yang
dikembangkan oleh Gadamer yang digunakan
Keberhasilan metode hermeneutik modern
sebagai basis interpretasi teks dan aplikasinya
dalam menginterpretasi bible, tampaknya berhasil
terhadap penafsiran al-Qur’an. Dalam aplikasinya
memikat salah satu tokoh pemerhati feminis
tersebut, penelitian ini akan merujuk pada satu
Muslim kontemporer, yaitu Amina Wadud. Ia

114 Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021)


Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Studi Analisis Kritis Penafsiran Amina Wadud

kasus model penafsiran Amina Wadud Muhsin, beserta karakteristiknya. Dan kemudian
khususnya di dalam ayat kepemimpinan laki-laki. menganalisis serta memberikan kritik terhadap
pengaplikasian teori tersebut—sebagaimana yang
Kajian tentang hermeneutika Garamader
dilakukan oleh Amina Wadud dalam penafsiran
telah diteliti oleh beberapa penelitian di antaranya
ayat al-Qur’an, khususnya dalam ayat
Kaprisma (2011) mengulas secara kritis estetika
kepemimpinan laki-laki.
modern dan teori pemahaman historis dan
perspektif Heideggerian, sehingga ditemukan Hasil dan Pembahasan
bahwa penafsir yang menggunakan teori ini
melakukan pemahaman teks yang hadir dengan Secara etimologis, ‘hermeneutik’ atau
mengkaitkan lingkup historis cakrawala teks ‘hermeneutika’ meruapakan serapan dari kata
tersebut. Sehingga proses penafsiran tidak Inggris hermeneutics (F. B. Hardiman, 2012). Ia
memproduksi makna tetapi makna yang memiliki asal kata dari Yunani hermeneuin, artinya
melampaui teks. Sehingga ditemukan makna utuh. ‘menafsirkan’. Secata harfiah hermeneia dapat
Selanjutnya oleh Sofyan (2014) menemukan diartikan dengan ‘penafsiran’. Kata tersebut, sering
bahwa menurut Gamader membaca dan memahami dihubungkaitkan dengan mitos Yunani kuno, yaitu
sebuah teks pada dasarnya adalah melakukan dewa ‘Hermes’ yang merupakan utusan (Zeus)
dialog dan membangun sintesis antara dunia dan Tuhan untuk menterjemahkan dan mengantarkan
teks, dunia pengarang dan pembaca dan pesan-pesan dari para dewa, yang kemudian ia
direlevansikan dengan empat teori dalam lingkaran transmisikan ke dalam bentuk pemahaman bahasa
hermeneutika gamader yang bukan menjadi hal akal fikiran manusia (Palmer, 1977). Tujuan
baru dalam tafsir. Sehingga hermeneutika adalah utamanya ialah, agar manusia dapat mengerti dan
teori penafsiran. Karena tetap berbeda pada sisi memahami pesan Tuhan serta menyatu dengan-
teologisnya. Selain diteliti sebagai tafsir Nya (Preus, 2007). Dari sinilah makna awal
hermeneutika juga diteliti dalam kajian hokum oleh hermeneutika lahir, yaitu sebagai penafsiran
Kushidayati (2014) hermeneutika merupakan alat mitologi Yunani yang dilakukan oleh Hermes.
analisis dalam ilmu sosial yang dapat digunakan Memasuki abad ke-20, ruang lingkup
dalam studi tentang hukum termasuk hukum Islam. hermeneutika menjadi semakin luas. Friedrich
Menurut Gamader, hukum mampu dipahami Schleiermacher, berhasil memperluas wilayah
dengan hermeneutika sebagai teks tidak lepas dari hermeneutika dari yang sebelumnya di abad
cakrawala yang melingkupinya. Sedangkan pertengahan hanya sebatas alat interpretasi teks
penelitian ini akan menunjukkan betapa rancunya suci, mulai diperluas memasuki wilayah-wilayah
hermeneutika Gadamer dengan mengusung satu non-religius. Upaya itu dikenal dengan istilah
kasus yaitu penafsiran Amina Wadud dalam ayat Universal Hermeneutic (Palmer, 1977). Pada
kepemimpinan. konteks ini, kedudukan teks disamaratakan
kedudukannya, tidak ada yang dikultuskan
Metode kedudukannya; baik itu teks suci, maupun teks
Kajian ini merupakan penelitian penelitian karangan manusia (Arif, 2008). Selanjutnya,
kualitatif (Sugiyono, 2012) dan dengan metode pemikiran yang dikembangkan oleh
deskriptif analisis kritis. Penelitian ini akan Schleiermacher, membuka pintu bagi para pemikir
mendeskripsikan corak hermeneutika Gadamer hermeneutis dikemudiannya; seperti Wilhelm
Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021) 115
Moh. Isom Mudin et al

Dilthey yang memfokuskan gagasannya pada Protestan di abad pertengahan, yang pada akhirnya
‘historisitas teks’ serta urgensinya akan sebuah behasil dikuasai oleh Protestan Liberal.
‘kesadaran sejarah’ (Arif, 2008). Selain itu, Martin
Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Hermeneutika Hans-Georg Gadamer:
Habermas, dan Paul Ricour juga turut Pandangan Umum Hermeneutika Gadamer
mengembangkan corak tersendiri yang dikenali Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota
sebagai hermeneutik modern (Bachtiar, 2017). Marburg Jerman, 11 Feb 1900. Kebesarannya
Perkembangan hermeneutika yang bermula sebagai seorang filusuf tidak terlepas dari didikan
dari klasik hingga modern. Dalam kemunculannya, gurunya yaitu Martin Heidegger (B. Hardiman,
ia mengalami tiga periodik sejarah. Permulaan 2015). Dalam magnum opus-nya, Truth and
hermeneutika berangkat dari tradisi keagamaan atas Method yang semula ditulis dalam bahasa Jerman
mitologi Yunani. Penafsiran-penafsiran mitologi Wahrheit und Method, telah memberikan pengaruh
tersebut sangat subyektif, karena ditentukan oleh cukup besar bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial
kondisi keagamaan yang berlaku. Dan metode yang (social sciences). Dari konstribusi besarnya
sering digunakan saat itu ialah metode kiasan tersebut, ia kemduian dikelompokkan pada pemikir
(allegorical method). Dan dalam penafsiran hermeneutik modern (Rahardjo, 2007).
tersebut umumnya sangat menolak penafsiran Dalam hermeneutika filosofisnya, Gadamer
secara literer, bahkan meninggalkannya (Wan memiliki pandangan yang berbeda dengan para
Daud, 2004) pendahulunya. Jika Schleiermacher memusatkan
Selanjutnya, hermeneutika bergeser menjadi hermeneutikanya sebagai sebuah seni memahami
sebuah tradisi yang digunakan oleh teolog Yahudi- keasingan teks-teks kuno yang bertujuan untuk
Kristen untuk menafsirkan Bible secara kritis. Hal menghindari kesalahpahaman terhadap teks
itu tidak luput dari problem Bible yang problematis, tersebut, dengan cara memahami interpretasi
baik dari segi penulisan Bible, permasalahan pengarang jauh lebih baik daripada dirinya (Nayed,
pembukuannya, hingga kontradiksi antara satu ayat 1994). Artinya, di sini ada upaya rekonstruksi
dengan ayat lainnya yang saling bertentangan. makna teks masa silam agar tercapai sebuah
Sehingga, para sarjana tersebut perlu meminjam pemahaman murni. Maka berbeda halnya dengan
model penafsiran mitologi Yunani tersebut. Dan Gadamer, untuk memahami teks bukanlah dengan
memasuki abad modern, ia kembali bergeser merekonstruksi makna teks masa silam, akan tetapi
menjadi bagian dari metode filsafat yang dengan upaya peleburan antara teks masa lalu
menempatkan objek penafsiran sebagai sesuatu dengan horizon masa kini dari pembaca sehingga
yang tidak sakral. Hal itu juga tidak luput dari memunculkan makna baru dari teks silam agar
perdebatan panjang antara Katolik dan Protestan relevan untuk konteks kekinian. Istilah tersebut
serta lahirnya pengaruh ideologi Barat dikenalkan oleh Gadamer dengan sebutan
(Sekularisme) pasca abad pertengahan, yang ingin Horizontverschmelzung .(Gamader, n.d.).
lepas dari pengaruh otoritas Gereja di abad Selanjutnya, Gadamer juga mengomentari
pertengahan. Artinya, metode hermeneutika Wilhelm Dilthey. Dilthey melakukan pendekatan
memiliki pengaruh hingga memunculkan dengan metode mazhab sejarahnya dalam
perdebatan besar antara Kristen Katolik dan memahami teks lampau. Menurutnya, terlepas dari
unsur-unsur apapun itu, jika pembaca mendalami
116 Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021)
Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Studi Analisis Kritis Penafsiran Amina Wadud

peristiwa sejarah teks di masa lampau, maka ia akan sebuah teori pra-struktur memahami yang ditilik
menghasilkan sebuah pemahaman yang obyektif. dari Heidegger. Ia sepakat dengan pra-struktur
Pandangan tersebut berbeda dengan Gadamer. memahami yang dikembangkan oleh gurunya
Gadamer mengkritik pendekatan sejarah yang tersebut. Cara interpretasi dengan konteks sebuah
dilakukan mazhab Dilthey, sejatinya peneliti atau proyeksi yang ditawarkan Heidegger diantaranya,
penafsir sejarah teks tidak berada keluar dari Pertama: ‘Vorsicht’ yang berarti, ‘kewaspadaan’
pengaruh sejarah melainkan ia berada dalam situasi atau bisa juga dimaknai ‘melihat lebih dahulu’.
sejarah itu sendiri. Maksudnya jika melihat sebuah makna teks,
Artinya pembaca itu berada dalam keadaan yang harus dilakukan adalah tidak kembali pada
menyejarah. Istilah ini dikenalkan oleh Gadamer makna masa lalu teks tersebut akan tetapi kita
dengan teorinya Wirkungsgeschichte (Gadamer, bersandar pada makna yang telah kita milliki
1975). Dengan demikian Gadamer tidak sendiri untuk masa depan. Kedua, ‘Vorhabe’ yang
menjadikan hermeneutika sebagai sebuah seni artinya ‘rencana’ atau bisa juga dimaknai ‘memiliki
ataupun sebagai metode. Dalam kata pengantar lebih dahulu’. Maksudnya, sebagai penafsir kita
bukunya ‘Truth and Method’ ia mengatakan, “I did telah memiliki terlebih dahulu pemahaman umum
not intend to produce a manual for guding baik ide-ide, konsep-konsep, dan sebagainya, yang
understanding in the manner of the earlier akan membantu sebagai proyeksi masa depan (B.
hermeneutics. I did not wish to elaborate a system Hardiman, 2015).
of rules to describe, let alone direct, the methodical Ketiga: ‘Vorgriff’ yang artinya, ‘antisipasi’
procedure of the human sciences.” (Gadamer, atau bias juga dimaknai ‘menangkap lebih dahulu’.
1975). Maksudnya, seorang penafsir menangkap makna
Jelas di sini, Gadamer tidak sedang lebih dahulu atau telah mengetahui pesan teks yang
memformulasikan corak hermenutikanya sebatas akan ia sampaikan agar relevan bagi dirinya dan
seni interpretasi subyektif, melainkan sebuah cara untuk zamannya. Dengan seperti itu, interpretasi
pandang seseorang yang diperoleh melalui bukanlah mencari objektivitas, melainkan
akumulasi pengalamannya dari realitas (Gadamer, melahirkan menyingkap makna bagi masa depan
1975). Di sini, mengikut sertakan seluruh Seorang yang mencoba memahami sebuah teks
pengalaman seorang pembaca akan eksistensinya selalu didahului dengan sebuah pra-pemahaman
sebagai makhluk, inilah yang membedakan corak dari pembaca itu sendiri. sehingga si pembaca
hermenutika Gadamer dengan para pendahulunya, tersebut dituntut untuk tidak memahami makna teks
dan karenannya tergolong dengan ‘hermeneutika dari masa silamnya, akan tetapi dengan pra-
filosofis’. pemahaman yang telah dimiliki, ia gunakan sebagai
upaya produksi makna baru dari teks masa lalu,
Teori Hermeneutika Gadamer agar relevan bagi dirinya dan untuk masa depannya
Gadamer menawarkan beberapa teori di (Gadamer, 1975).
dalam bukunya ‘Wahrheit und Methode’, yang Sebagai contoh, ketika mendapati sebuah
mengangkat ia sebagai seorang filsuf hermeneutika surat dari masa lampau, setidaknya seorang
modern. Di antaranya, Pertama Prasangka pembaca tersebut tidak menerima secara utuh
(Vorurteil). Gadamer terlebih dahulu menjelaskan makna dari isi surat tersebut, akan tetapi,

Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021) 117


Moh. Isom Mudin et al

semampunya untuk menyesuaikan makna surat prasangka dapat sampai pada nilai kebenaran, jika
tersebut dengan sebuah proyeksi awalnya atau pra- prasangka tersebut legitimasi. Legitimasi dalam hal
pemahamannya, agar lebih bermanfaat dengan ini ialah prasangka yang memiliki otoritas
kekinian (Gadamer, 1975). Jika memahami teks (Gadamer, 1975). Artinya, penafsir atau pembaca
selalu melibatkan makna yang telah ada dari yang memiliki otoritas, baik itu wawasan yang luas,
sebelumnya, maka pemahaman tersebut tidaklah kompetensi yang mumpuni dan pengalaman yang
obyektif, karena makna teks itu, juga merupakan mendalam di bidangnya, hal itu dapat membantu
hasil dari pra-pemahaman si pembuat teks di masa untuk memahami teks. Dengan demikian anggapan
lalunya. Obyektifitas hanya akan didapat dengan pencerahan yang menyatakan prasangka tidak
mengakui akan adanya proyeksi pra-pemahaman dapat dijadikan upaya pemahaman ditolak oleh
makna yang berkerja sebelum muncul sebuah Gadamer. Karena prasangka merupakan komponen
interpretasi, karenanya upaya pra-pemahaman atau untuk sampai pada pemahaman. Prasangka tersebut
proyeksi tidaklah mungkin dipisahkan dari gerakan ialah prasangka yang bersifat legitimasi. Kedua,
pemahaman atau penafsiran (B. Hardiman, 2015). pengaruh sejarah.
Pra-struktur memahami di atas digunakan Menurut Gadamer, pemahaman hakikatnya
Gadamer untuk rehabilitasi konsep prasangka. adalah sebuah hubungan sejarah efektif.
Prasangka dalam bahasa Jerman ia disebut Karenanya, untuk mencapai sebuah pemahaman
‘Vorurteil’ atau bisa juga dimaknai sebagai baik pada karya teks tertentu ataupun fenomena
‘pemberian penilaian atau pertimbangan sebelum sejarah, seorang pembaca atau penafsir sejatinya
menginterpretasikan sebuah teks’. Memasuki masa harus sadar bahwa terdapat pengaruh sejarah yang
pencerahan abad ke-18, prasangka mulai selalu ada mengitarinya. Gadamer (1975)
didiskreditkan menjadi sesuatu yang tidak berdasar mengatakan,“…. in the apparent immediacy with
dan harus dihindarkan. Masa pencerahan sangat which it approaches a work of art or a traditionary
mencurigai adanya elemen prasangka yang text, there is also another kind of inquiry in play,
disusupkan dalam sebuah karya ilmu pengetahuan. albeit unrecognized and unregulated. If we are
Ilmu pengetahuan yang obyektif seharusnya bias trying to understand a historical phenomenon from
melepasakan diri dari sebuah prasangka (Gadamer, historical distance….., we are already affected by
1975). Artinya bagi pencerahan prasangka adalah history.”
sesuatu yang negatif dan mengganggu obyektivitas. Arti bebasnya, dalam mendekati sebuah
Akan tetapi, Gadamer tidak sepakat dengan karya atau teks tradisional, sejatinya terdapat unsur
pendapat pencerahan. Menurutnya, kecenderungan lain yang ikut mempengaruhi, (baik itu
pencerahan untuk membersihkan segala ilmu kepentingan, tradisi, politik dan lainnya) meskipun
pengetahuan dari prasangka, itu pun sebuah
tidak disadari oleh pembaca teks tersebut. Dan jika
prasangka pencerahan yang melawan prasangka mencoba memahami fenomena sejarah dari sebuah
(Gadamer, 1975). Artinya, prasangka tidak dapat jarak sejarah, maka kita selalu tunduk pada
dipisahkan dalam pemahaman, karenanya ia pengaruh-pengaruh sejarah efektif. Dengan begitu,
merupakan komponen yang memungkinkan pembaca harus menyadari adanya keterpengaruhan
pemahaman (B. Hardiman, 2015). Jelas bahwa situasi sejarah yang mempengaruhi dalam
prasangka tidak mengantarkan pada kebenaran. penelitiannya meskipun sangat sulit untuk diketahui
Dalam hal ini Gadamer menyakatan bahwa (Gamader, n.d.). Dengan demikian, sejarah itu

118 Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021)


Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Studi Analisis Kritis Penafsiran Amina Wadud

harus disadari oleh pembaca teks, dan bentuk mengitari teks masa lampau itu ditulis, tapi juga
kesadaran itu adalah dengan ‘kesadaran sejarah harus mampu melakukan tahapan akhir dari
pengaruh’. Karenanya tidak ada hasil penelitian langkah hermeneutikanya, yaitu ‘penerapan’ atau
yang obyektif terlepas dari pengaruh sejarah, ia ‘aplikasi’. Menurut Gadamer terdapat tiga unsur
akan selalu ada dalam pemahaman pembaca yang harus selalu berkaitan dalam struktur
terhadap teks (Gadamer, 1975). memahami, yaitu; pemahaman, penafsiran, dan
penerapan (Gadamer, 1975). Pada tahap ini, setelah
Ketiga, penggabungan horizon
memahami kandungan horizon-horizon teks
(horizontverschmelzung). Unsur penting lainnya
lampau, si penafsir dapat melakukan
dalam teori Gadamer ialah peleburan horizon-
kontekstualisasi teks. Proses ini terjadi karena
horizon. Dalam teori inilah kedua teori di atas
adanya peleburan horizon-horizon antar kedua teks;
bekerja. Menurut Gadamer (1975) terdapat dua
baik horizon teks lampau maupun horizon kekinian
horizon yang harus dilebur menjadi satu yaitu
(B. Hardiman, 2015). Tegasnya, sebagai langkah
horizon teks dari situasi masa lalu dan horizon
pembaca atau penafsir masa kini. Berkaitan dengan akhir corak hermeneutika Gadamer, proses
‘penerapan’ atau ‘aplikasi’ bukanlah hal yang
hal itu Gadamer mengatakan, “Rather,
terpisah dari metode pemahaman, ia merupakan
understanding is always the fusion of these
horiozons supposedly existing by themselves.” satu-kesatuan dari sebuah pemahaman yang ada
dalam coral hermeneutika.
Dengan peleburan tersebut diharapkan, teks
masa lalu dan yang hadir belakangan, dapat terus Implikasi Penerapan Hermeneutika Gadamer
menerus dikembangkan menuju proses yang lebih jika digunakan sebagai pendekatan Penafsiran
bernilai untuk ke depannya. Di samping itu, al-Qur’an
peleburan dua horizon tersebut juga mengatasi Perlu disadari secara kolektif, jika teori di
ketegangan yang berlaku antar kedua teks (yang atas diterapkan sebagai langkah pendekatan
lampau dan hadir kekinian) (Gadamer, 1975). penafsiran al-Qur’an, maka akan menimbulkan
Karenanya, peleburan keduanya sangat diperlukan beberapa konsekuensi logis di dalamnya;
agar penafsiran terhadap teks selalu berkembang
dan bernilai dan tidak stag. Kesadaran akan dimensi Pertama, relativisme (Taliaferro, 2010)
historis yang mengitari teks yang lampau tersebut, tafsir al-Qur’an. Jika dikaitkan dalam penafsiran al-
merupakan langkah awal yang harus dipahami, Qur’an, maka paham tidak ada yang benar-benar
sebelum hendak melakukan reinterpretasi teks obyektif dalam penafsiran para ulama kita
tersebut. Dengan begitu si penafisti dapat berdialog terdahulu. Pada pemahaman ini, penafsiran mereka
dengan prasangka-prasangka yang dimiliki si harus terbuka untuk direvisi mengikuti konteks
penulis di masa lampau. Dan setelah itu, si penafsir kekinian. Bila metode ini diterapkan implikasinya
teks dapat mereproduksi makna teks masa lalu ialah, tidak akan ada hukum-hukum dan ajaran
tersebut secara kreatif agar sesuai dengan tradisi yang tetap dan disepakati dalam Islam. Semuanya
kekiniannya (B. Hardiman, 2015). berubah seiring dengan selera penafsir, zaman, dan
lingkungan (Shalahuddin, 2007). Dasar-dasar
Keempat, penerapan atau aplikasi agama yang telah tetap (qathi’) dan permanen
Anwendung, Aplication. Bagi Gadamer, penafsir (tsawabit) akan terkikis. Dan tentunya hal tersebut
tidak hanya dituntut untuk memahami horizon yang

Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021) 119


Moh. Isom Mudin et al

bertentangan dengan konsep ijma’ mengenai saja yang memiliki kemampuan intelektual
berbagai hal pokok dalam agama (Bachtiar, 2017). pribadinya. Padahal dalam ajaran Islam, penafsitan
al-Qur’an bukanlah perkara mudah yang terbuka
Selain itu, pernyataan relativisme tersebut
untuk siapapun, atau golongan manapun. Ada
sejatinya tidak bisa dipertanggung jawabkan,
ketetapan-ketetapan yang rigid yang harus dikuasai
karena justru akan menjadi boomerang bagi dirinya
seorang penafsir. Ketetapan tersebut ditungkan
sendiri dan menghancurkan pendapatnya sendiri
dalam bentuk syarat atau langkah dan adab yang
(Arif, 2008). Padahal Gadamer sendiri mengakui
harus dipahami dan dimiliki si penafsir.
kebenaran yang otoritatif, Gadamer (2010)
mengatakan, “pengakuan terhadap otoritas selalu Dalam hal ini al-Imam as-Suyuti (2003)
dikaitkan dengan ide bahwa otoritas tersebut menjelaskan, bahwasannya para ulama sepakat jika
irasional dan arbiter, tetapi pada prisipnya ia bisa ingin menafsirkan al-Qur’an hendaknya bermula
dipandang sebagai sebuah kebenaran.” Jika itu dari menafsirkan suatu ayat dengan ayat yang
benar adanya, maka sebagai umat Islam kita berhak lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an. Jika tidak
mengakui otoritas para Ulama terdahulu sebagai ditemukan, maka berlanjut menafsirkan ayat al-
orang yang ahli dan pakar dalam ilmu tafsir seperti Qur’an dengan as-Sunnah, karena ia merupakan
Ibnu Katsir, al-Imam al-Qurthubi, al-Imam al- keterangan bagi al-Qur’an. Kemudian, jika tidak
Thabari, dan lainnya, dibandingkan Mohammad ditemukan di as-Sunnah, maka menafsirkan al-
Arkoun, Abu Zayd, Amina Wadud, Asghar Ali Qur’an dengan dengan keterangan para mufassirin
Engineer yang belum terbukti kepakarannya dalam dari kalangan sahabat, tabi’in dan para ulama salaf.
ilmu Tafsir. Selanjutnya, dengan pandangan Adapun adab-adab mufassir, yaitu berpegang teguh
relativisme tersebut, kebenaran yang final dalam dengan akidah yang haq, ikhlas tanpa ada maksud
ajaran-ajaran Islam akan terhapus. dan tujuan tertentu dan hanya mengharap rida Allah
semata, memiliki ketakwaan yang tinggi,
Ia juga dapat merusak struktur pondasi tradisi
mengamalkan apa yang tertera dalam al-Qur’an,
keilmuan Islam yang telah kokoh diakui selama
menjauhi perkataan dan hal-hal yang tercela,
ratusan tahun lamanya. Selain itu, Islam juga akan
mudawamah berzikir kepada Allah Swt. (Husein,
dipahami sebagai agama sejarah, sebab kealpaan
pemahaman yang tsabit, tergantikan mengikuti 2004).
kemajuan zaman. Dengan demikian relativisme Ketiga, reproduksi makna penafsiran para
tafsir akan melunturkan sendi-sendi ajaran Islam ulama dengan metodologi baru. Metode tafsir
yang telah baku dan final. dengan meminjak langkah hermeneutik modern era
Kedua, curiga dan kritis atas otoritas ke-20 ini, jika diterapkan sebagai pendekatan untuk
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, maka pada
penafsiran ulama. Curiga karena keterpengaruhan
hakikatnya justru akan menciderai beberapa ajaran
para penafsir dengan latar belakang sosial yang
pokok yang sifatnya tsabit dalam tradisi Islam.
mengitarinya, baik itu politik, ekonomi, dan
Artinya, penfasiran tersebut jauh dari kemaslahatan
lainnya. Karena itu, penafsiran selalu subyektif dan
yang haqiqi. Ini disebabkan, langkah tersebut
karenanya harus selalu terbuka untuk kritik.
merupakan pemikiran spekulasi filosofis yang
Gagasan tersebut sejatinya sama akan upaya anti-
bersifat outsider, yang pada hakikatnya syarat akan
otoritas. Secara tidak langsung penafsiran al-Qur’an
kepentingan segolongan kelompok minoritas
akan terbuka ruang luas untuk ditafsirkan oleh siapa
(Lestari, 2014). Selain itu, sumber metodologi yang

120 Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021)


Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Studi Analisis Kritis Penafsiran Amina Wadud

diambil juga merupakan produk Barat yang bersifar dari latar belakang pengaruh sejarah yang
irreligius. Muhammad Asad, mengatakan, “… so mewarnai penafsirannya, ia mengatakan,
characteristic of modern Western Civilization, is as “..... of course, a certain entry as a living
unacceptable to Christianity as it is to Islam or any being into a foreign culture, the possibility of
other religion, because it is irreligious in its very seeing the world throught its eyes, is a
seesnce” (Husaini, 2005). Dengan demikian necessary part of the process of
metode tersebut tidak menghasilkan sesuatu yang understanding it; but if were the only aspect
positif. Bahkan ia cendrung mendukung of this understanding, it would merely be
penyebaran ideologi Barat (Husaini, 2010). Selain duplication and would not entail anything
itu, hasil yang mereka peroleh juga merupakan new or enriching. Creative understanding
reduksi ulang agar sesuai dengan tujuan tertentu. does not renounce its self, its own place in
time, its own culture, and it forgets
Keempat, penafsiran al-Qur’an berbasiskan nothing...”(Wadud, 1999).
opini akal semata. Dalam memahami teks masa
Arti bebasnya, pemahaman yang kreatif tidak
lalu, menurut Gadamer penafsir dituntut untuk
akan pernah terlepas dari, tradisi tempat di mana ia
memperhatikan horizon historis teks tersebut, dan
berada dalam suatu waktu, dan kebudayaan yang
selanjutnya direduksi dengan prasangka awal yang
mengelilinginya. Dengan demikian, menurut
dimiliki oleh penafsir agar sesuai dengan kondisi
Amina Wadud, setiap pemahaman para mufassir
baru di mana penafsir itu berada (kontekstualisasi).
terhadap teks, termasuk al-Qur’an sangat
Teori tersebut sangat bias dengan penafsiran
dipengaruhi tradisi ataupun budaya sekitarnya
subyektif berdasarkan opini. Dalam tradisi Islam,
(Wadud, 1999). Dapat disimpulkan, penafsiran
upaya untuk menafsirkan al-Qur’an, tidaklah
para ulama klasik dengan menggunakan metode
terbuka secara luas bagi siapa pun, dan ia bukanlah
konvensional tersebut tidak ada yang objektif ia
perkara remeh. Bahkan bagi Nabi sendiri pun telah
mengatakan “No method of Qur’anic exegesis is
memberikan peringatan dalam hadisnya; “siapa
fully objective” (Wadud, 1999). Karenanya, teks al-
saja yang mengatakan sesuatu mengenai al-Qur’an
Qur’an dapat direinterpretasi terus menerus
tanpa landasan ilmu atau dengan opininya sendiri,
mengikuti konteks perkembangan zaman yang ada.
maka ia telah memesan tempat duduknya di
neraka.” (Muslim, 2014). Kedua, Amina Wadud menegaskan untuk
mencapai pada sebuah kesepahaman teks masa
Susupan Hermeneutika Gadamer terhadap lalu, maka peran pengalaman perempuan dalam
Argumen-Argumen Amina Wadud prasangka terhadap teks harus diikutkan.
Hermeneutika Gadamer tampak ditemukan Karenanya, ayat-ayat yang berkaitan dengan tema
pada tulisan Amina Wadud dalam bukunya Qur’an perempuan, sebaiknya mengikut sertakan
and Women. Pertama, jika Gadamer penglaman perempuan di dalamnya agar tidak
mengungkapkan bahwa tidak adak penafsiran yang terjadi prasangka yang bias (Wadud, 1999). Inilah
tidak dipengaruhi oleh situasi sejarah, ia akan selalu tujuan yang ingin dilakuakn Amina Wadud, untuk
berada dalam sejarah (Wirkungsgeschichte) meninjau kembali penafsiran al-Qur’an yang
(Gadamer, 1975) maka hal serupa juga memperhatikan permasalahan modern termasuk isu
diungkapkan oleh Amina Wadud. Ia menyatakan tentang perempuan (Wadud, 1999), ia mengatakan:
para penafsir klasik tidak dapat melepaskan dirinya
Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021) 121
Moh. Isom Mudin et al

“I propose to make a ‘reading’ of the Qur’an Aplikasi Hermeneutika terhadap ayat


from within the famale experience and Kepemimpinan
without the stereotypes which have been the
framework for many of the male Adapun aplikasi yang ditempuh oleh
interpretation.” Amina Wadud dalam melakukan reproduksi ayat
al-Qur’an adalah sebagai berikut, Pertama, aspek
Ketiga, perlunya peleburan horizon teks historis ayat kepemimpinan memahami aspek
dan horizon penafsir teks. Amina Wadud sosio-historis ayat. Artinya, memahami konteks
menjelaskan jika tujuan utama yang ingin dicapai ayat berdasarkan kondisi sosial budaya yang
ialah, berusaha membuat interpretasi al-Qur’an melingkupi masyarakat Arab waktu turunnya ayat
menjadi bermakna dalam kehidupan kaum wanita al-Qur’an. Sebagai contoh, Allah Swt. berfirman:
di era modern. ia menulis
“Para lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita,
“my objection in undertaking this reserch oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
was to make a ‘reading’ of the qur’an that mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita),
would be meaningful to women living in the dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
modern era.”(Wadud, 1999) sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
Artinya, ia hendak melakukan reinterpretasi yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
atau mereview al-Qur’an agar dapat relevan dengan memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
kehidupan perempuan saat ini. Maka hal tersebut karena Allah telah memelihara (mereka).”
dilakukan dengan cara meleburkan dua horizon Jika dianalisis secara konteks historis ayat,
(penafsir: perempuan) dan (teks masa lalu). maka kepemimpinan laki-laki (dalam keluarga)
Horizon teks (berupa studi mengenai analisis aspek pada ayat di atas tidaklah normatif. Arti kata
bahasa teks) dan horizon penafsir (berupa latar normatif dalam Kamus besar Bahasa Indonesia
belakang historisnya (baik mikro, berkenaan asbab adalah; berpegang teguh pada norma; menurut
an-nuzul, maupun makro, yakni berkenaan kondisi norma atau kaidah yang berlaku. Contoh
bangsa arab saat al-Qur’an diturunkan) penggunaan kata; seorang ahli hukum yang baik
(Syamsuddin, 2011). pasti normatif (Bahasa, 2008) melainkan sosialis.
Keempat, dalam aplikasinya, Amina Ayat yang turun di Madinah tersebut, memiliki latar
Wadud menegaskan perlunya reproduksi atau belakang historis ayat, yang memang
reinterpretasi teks al-Qur’an dalam konteks menginformasikan realitas sosial masyarakat Arab
kekinian. Hal tersebut serupa dengan alasan yang yang patriarki dan bias terhadap perempuan. Saat
dikemukakan oleh Gadamer (2010) bahwa dalam itu, perempuan masih dipandang sebelah mata
teori aplikasinya pemahaman terhadap teks tidak (sebatas alat reproduksi) (Wadud, 1999). Gerak
boleh berhenti hanya sebatas dengan makan literal langkah mereka juga dibatasi hanya boleh berada di
teks yang dihasilkan berdasarkan pemahaman dalam rumah, dan laki-lakilah yang menghidupinya
sejarah kemunculan teks tersebut, akan tetapi (Engineer, 2009). Kemudian, perempuan juga tidak
diharuskan untuk melanjutkan kepada pemahaman diharapkan dan diwajibkan mencari nafkah dan
yang lebih bermakna untuk masa sekarang. memelihara keluarga. Kaum laki-lakilah yang
menjadi penentu dalam segala hal termasuk
nafkah/infak.

122 Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021)


Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Studi Analisis Kritis Penafsiran Amina Wadud

Karena mereka diberi kelebihan yang telah ulama. Pendekatan tafsir tersebut tidaklah lahir dari
Allah jelaskan dalam ayat tersebut dengan kata tradisi tafsir Islam, melainkan dari tradisi Barat
‘Faddala’ (Syamsuddin, 2011). ‘Faddala’ yang dikembangkan oleh para orientalis yang
(kelebihan yang Allah berikan pada laki-laki), memang anti Islam. Dalam hal ini Carl W. Ernest
menurut Wadud kelebihan tersebut adalah dan Richard C. Martin (2010) menyatakan,
kelebihan materi. Allah telah memberikan bagian “Historically Speakig, what we today call Islamic
laki-laki atas perempuan 2:1 dalam warisan. Jika Studies emerged from Orientalism, the erudite
kelebihan yang dimaksud ialah materi, maka hal study of texts and ideas that became a highly
tersebut tidaklah absolut (Wadud, 1999). Oleh developed field in the nineteenth and twentieth
karena itu, ayat tersebut tidaklah normatif, centuries in Europe and the United States.”
melainkan sosialis, ia hanya menggambarkan Sedangkan dalam tradisi penafsiran para
realitas sosial masyarakat Arab yang patriarki
ulama Islam terdapat istilah penafsiran berbasis
terhadap perempuan. Jika konteks sosial itu analisis asbab an-nuzul ayat yang telah disepakati
berubah, maka doktrin ayat tersebut juga akan ikut selama berabad-abad. Dan darinya lahir sebuah
berubah (Subhan, 1999).
kesepakatan bahwa ‘al-‘Ibratu bi ‘Umum al-Lafdz
Memasuki konteks modern dengan struktur La bi Khusus as-Sabab’ (Al-Suyuthi, 2003).
sosial yang berbeda. Penafsiran mengenai ayat Keumuman lafaz ayat yang memiliki asbab an-
‘kepemimpinan’ di atas perlu diubah. Agar ayat nuzul dalam al-Qur’an, yang diturunkan saat
tersebut tidak stagnan, dan relevan untuk saat ini kejadian tertentu dan untuk golongan tertentu,
dan masa yang akan datang. Sang penafsir harus sejatinya berlaku untuk golongan tersebut dan juga
mampu meleburkan horizon kondisi teks lampau untuk golongan-golongan lain dan seterusnya.
dengan horizon prasangka penafsir pada konteks Artinya, jika ayat tersebut berupa perintah atau
kekiniannya, dan kemudian melakukan reproduksi larangan, maka keduanya tidak hanya berlaku
makna teks, agar makna ayat tersebut dapat berguna untuk saat itu saja, akan tetapi ia akan terus menerus
dengan semangat modern. Karena, jika melihat berlanjut walau keadaan zaman terus berubah (Al-
konteks kekinian, dengan strukur sosial masyarakat Suyuthi, 2003).
modern saat ini, dimana tidak sedikit wanita yang Selain itu, karena bersumber dari tradisi
berkiprah di ranah publik dan bersanding dengan Barat, pendekatan Islam secara historis
laki-laki dalam bekerja. Maka wanita pasti telah berimplikasi pada anti otoritas agama. Dalam hal
sejajar atau bisa lebih superior terhadap laki-laki, ini, pendekatan tersebut sangat menekankan pada
dan dapat memainkan peran yang dominan aspek relativisme pemahaman keagamaan.
memimpin pada ranah keluarganya sebagaimana Pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya
yang diperankan oleh laki-laki (Wadud, 1999). adalah relatif dan terkait sosial budaya tertentu
Dengan demikian reproduksi makna mengenai ‘ar- (Husaini, 2009). Jika hal ini diterapkan, tidak ada
rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’i’ menjadi urgen ajaran Islam yang bersifat tetap atau final, dan
bagi para penafsir saat ini. akhirnya akan berujung pada pemusnahan ajaran
Namun, perlu diketahui, analisis sosio- Islam. Dalam hal ini Maryam Jameela (1994)
historis teks yang diterapkan Amina Wadud dalam bukunya mengatakan, “The imitation of
sejatinya berlawanan dengan tradisi tafsir para Western ways of life based on their materialistic,

Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021) 123


Moh. Isom Mudin et al

pragmatic, and secular philosophies can only lead keluar dalam kandungan tafsir menurut ijtihad para
to the abandobment of Islam.” mufassir terdahulu (Shalahuddin, 2012). Dalam hal
ini al-Imam al-Suyuthi menegaskan, jika terdapat
Kedua, aspek bahasa makna “Qawwam”
segolongan kelompok berpegang teguh terhadap
Amina Wadud merelatifkan penafsiran mufassir
madzhab bathil yang menafsirkan hanya
konvensional. Mereka cenderung mendiskriminasi
berdasarkan opininya semata, dan tanpa
golongan perempuan dengan mengartikan
mengikutsertakan pendapat atau penafsiran para
‘qawwam’ sebagai ‘pemimpin’. Dalam hal ini
sahabat dan tabi’in di dalamnya, maka penafsiran
sebagai contoh, Ibnu Katsir menjelaskan kata ‘ar-
tersebut batal dan tidak dibenarkan (Al-Suyuthi,
rijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’i’ ia mengatakan:
2003). Dengan demikian, Amina Wadud secara
“Lelaki adalah pemimpin, pembesar dan hakim
jelas menerapkan metode yang salah dalam
bagi perempuan serta pendidik baginya apabila dia
penafsirannya. Ia terpengaruh dengan metode yang
menyimpang, karena lelaki lebih utama daripada
bersumber dari Barat yang sebelumnya digunakan
perempuan.”
untuk mengkritisi Bible (hermeneutika). Selain itu,
Lelaki lebih baik daripada dia...” Amina dalam penafsiran yang ia lakukan cendrung
Wadud, menyatakan bahwa laki-laki layak berdasarkan opini semata tanpa melihat ijtihad
dikatakan sebagai ‘qawwam’ atas perempuan penafsiran para ulama.
dalam rumah tangga jika mempu memenuhi dua
Kesalahan berikutnya, selain penafsiran yang
syarat, pertama: jika laki-laki mampu memberikan
berdasarkan opini, Amina Wadud juga sejatinya
kelebihan materi yang mereka miliki. Kedua: Jika
terpengaruh dengan konsep yang dilahirkan Barat,
laki-laki mampu mencukupi perempuan dengan
yaitu kesetaraan. Sebagaimana yang telah
harta bendanya (Wadud, 1999). Artinya jika laki-
dijelaskan di muka, karena menggunakan
laki tersebut mampu menafkahi perempuan maka ia
pendekatan kesetaraan, maka ia sangat merelatifkan
layak dikatakan sebagai ‘qawwam’ dalam keluarga.
makna ‘qowwam’ sebagai ‘pemimpin’ dalam
Jadi, ‘qawwam’ lebih tepat jika diartikan sebagai
keluarga. Sehingga berupaya menafsirkan ulang
‘pemberi nafkah’. Sebaliknya, jika syarat tersebut
agar kedudukan perempuan bisa setara dengan laki-
tidak terpenuhi, maka laki-laki tidak berhak
‘qawwam’ atas perempuan (Wadud, 1999). Dengan laki untuk dewasa ini. Ide terebut bukanlah hal baru,
konsep kesetaraan sejatinya bermula dari ideologi
demikian, kepemimpinan laki-laki terhadap
Marxisme Barat. Bagi kelompok Marxis, istitusi
perempuan tidaklah absolut melainkan relatif.
keluarga dianggap penyebab utama munculnya
Akan tetapi, kaidah analisis secara bahasa segala ketimpangan sosial, terutama antara suami
yang diterapkan Amina Wadud di atas cendrung dan istri. Oleh karenanya muncul upaya untuk
berdasarkan opini subyektifnya. Hal tersebut mewujudkan kesetaraan gender dengan
tentunya keluar dari ketetapan ajaran Islam yang memberikan kebebasan bagi perempuan yang
disepakati para ulama. Tradisi penafsiran bi al- tertindas (Zubaidi, 2013). Dengan demikian
Ijtihad atau bi al-Ra’yi (ijtihad, pendapat) memang penafsiran Amina Wadud sejatinya bertujuan ingin
benar adanya dalam ajaran Islam. Namun tidak menyamai konsep ideologi Barat (kesetaraan) dan
berarti seseorang dapat mengartikan semaunya kemudian dipaksakan agar relevan dengan sumber
sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. ajaran Islam yaitu al-Qur’an. Padahal penafsiran
Penafsiran tersebut diperbolehkan selama tidak yang dipaksakan untuk basis tujuan sebagaian

124 Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021)


Hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Studi Analisis Kritis Penafsiran Amina Wadud

golongan tertentu sangat ditolak dalam tradisi Islam Qur’an. Daar al-Kitaab al-‘Arabiyyah.
(Al-Suyuthi, 2003). Arif, S. (2008). Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran. Gema Insani Press.
Audi, R. (1999). The Cambridge Dictionary of
Kesimpulan Philosophy, (Second). Cambridge University
Hermeneutika Hans Goerge Gadamer jelas Press.
Bachtiar, T. A. (2017). Pertarungan Pemikiran
bermasalah, Hermeneutika modern yang berasal Islam di Indonesia kritik-kritik terhadap islam
dari German tersebut tidak pernah digagas untuk liberal dari HM. Rasjidi sampai INSIST.
kajian Islam. Asal mulanya ia merupakan produk Pustaka Al-Kautsar.
teologi Kristen Protestan yang ingin lepas dari Bahasa, T. R. K. P. (2008). Kamus Bahasa
Indonesia. Pusat Bahasa.
otoritas Gereja. Schleiermacher menerapkannya Emst, C. W. (2010). Rethinking Islamic Studies.
dalam kajian kritis Bible, lalu dilanjutkan oleh Universitiy of South Carolina Press.
Heidegger dan Gadamer dalam kajian sastra dan Engineer, A. A. (2009). Islam dan Teologi
naskah-naskah kuno. Dengan demikian Pembebasan terj: Agung Prihantoro. Pustaka
Pelajar.
hermeneutika modern tidaklah cocok jika Faiz, F. (2015). Hermeneutika Al-Qur’an tema-
digunakan untuk menggantikan ilmu tafsir dalam tema Kontroversial,. Kalimedia.
tradisi Islam karena ia bersumber dari tradisi ahlul Gadamer, H.-G. (1975). Truth and Method.
kitab dalam memahami kitab suci mereka. Jika Continum.
Gamader, H. G. (n.d.). Truth and Method Terj: Joel
hermeneutika dipaksakan untuk menafsirkan ayat- Weinsheimer and Donald G. Marshall.
ayat al-Qur’an, maka sama saja ingin Continum.
menjadikannya sebagai alat untuk mengkritisi ayat- Gamader, H. G. (2010). Kebenaran dan Metode
ayat dalam al-Qur’an. pengantar filsafat hermeneutika. Kanisius.
Hardiman, B. (2015). Seni Memahami
Ini pun disebabkan oleh Nilai relativisme Hermeneutik dari Schleiermacher sampai
Barat tidak akan terelakkan, peran ulama dalam Derrida (Second). Kanisius.
Hardiman, F. B. (2012). Melampaui positivisme
menafsirkan al-Qur’an mulai dikritisi, dan dan modernitas. Kanisius.
subyektifitas tafsir yang berasaskan tujuan tertentu Husaini, A. (2005). Wajah peradaban Barat: dari
sangat terlihat didalamnya. Selain itu, karena hegemoni Kristen ke dominasi sekular-liberal.
bersumber dari outsider Islam, hermeneutika akan Gema Insani.
Husaini, A. (2009). Kajian Islam Historis dan
selalu mengkritisi penafsiran al-Qur’an, layaknya Aplikaisnya dalam Studi Gender. Islamia,
kristen Barat menggunakan hermeneutika sebagai 05(01).
alat untuk mengkritisi Bible mereka. Hal tersebut Husaini, A. (2010). Jawaban Ilmiah Bentengi al-
dikarenakan berbagai macam problemtika dalam Qur’an. Islamia.
Husein, ‘Imad Ali ‘Abdu Sami.’ (2004). al-Taisir fi
Bible. Teori hermeneutika beangkat dari persoalan Ushul wa al-Tijahat al-Tafsir. Dar-al-Amyan.
teks Bible dan teks-teks sastra yang dikarang oleh Irsyadunnas. (2017). Hermeneutika Femnisme
manusia yang diwarnai aspek-aspek sosial-budaya. dalam pemikiran tokoh Islam Kontemporer.
Hal tersebut tidaklah kita temukan dalam al-Qur’an. Calpulis.
Jameela, M. (1994). Islam versus The West. Abul
Jika diterapkan sama saja menurunkan derajat al- Qasim Publishing house.
Qur’an dari firman tuhan menjadi kalam manusia. Kaprisma, H. (2011). Cakrawala Historis
pemahaman: wacana hermeneutika hans
Daftar Pustaka georg gadamer. Literasi, 01(02).
Kushidayati, L. (2014). Hermeneutika Gadamer
Al-Suyuthi, J. al-D. (2003). al-Itqan Fi ‘Ulum al-
Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021) 125
Moh. Isom Mudin et al

dalam Kajian Hukum. YUDISIA, 05(04).


Lestari, L. (2014). Abraham Geiger dalam Kajian
al-Qur’an. Suhuf, 07(01).
Muslim, A. al-H. (2014). al-Jami’ as-Shahih al-
Musamma Shahih Muslim. Dar al-Afaq al-
Jadidah.
Nayed, A. A. (1994). Interpretation as the
Engagement of Operational Artifacts :
Operational Hermeneutics.
Palmer, R. E. (1977). Hermeneutics: Interpretation
Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, (4th ed.).
Northwestern University Press,.
Preus, A. (2007). Historical Dictionary of ancient
Greek Philosophy,. Scarecrow Press.
Rahardjo, M. (2007). Hermeneutika Gadamerian
Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus
Dur. UIN Malang Press.
Shalahuddin, H. (2007). Al-Qur’an Dihujat. Al-
Qalam.
Shalahuddin, H. (2012). No TitleKredibilitas Ilmu
Tafsir dalam Menegakkan Konsep Wahyu al-
Qur’an. Islamia, 04(01).
Sibawahi. (2007). Hermeneutika al-Qur’an Fazlur
Rahman. JALASUTRA.
Sofyan. (2014). Hermeneutika Gamader dan
Relevansinya dengan tafsir. Farabi, 11(02).
Subhan, Z. (1999). Tafsir Kebencian Studi Bias
Gender dalam Tafsir Qur’an. LKiS.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R & D. Alfabeta.
Syamsuddin, S. (2011). Upaya Integrasi
Hermeneutika Kajian al-Qur’an dan Hadist
(Teori dan Aplikasi). UIN Sunan Kalijaga.
Taliaferro, C. (2010). A Dictionary of Philosophy of
Religion. The Tower Building.
Wadud, A. (1999). Qur’an and Women Rereading
the Sacred Text From a Woman’s Perpective,.
Oxford University Press.
Wan Daud, W. M. N. (2004). Tafsir dan Ta’wil
sebagai Metode Ilmiah. Islamia, 01(01).
Zarkasyi, H. F. (2004). Menguak Nilai dibalik
Hermeneutika. Islamia, 01(01).
Zubaidi, S. (2013). Kritik Epistemologi dan Model
Pembacaan Kontemporer. LESFI.

126 Intizar – Vol. 27 No. 2 (2021)

Anda mungkin juga menyukai