Anda di halaman 1dari 16

hermenetik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendekatan dalam studi Islam adalah upaya untuk memahami, dan
menjelaskan Islam sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki. Pendekatan dalam
studi Islam bertujuan untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan oleh agama Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits.
Model pendekatan dalam studi Islam terus berkembang hingga saat ini.
Perkembangan model pendekatan dalam studi Islam tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan zaman. Perkembangan zaman menyebabkan munculnya fenomena
dan permasalahan yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat. Masyarakat membutuhkan pendekatan dalam studi Islam yang jelas dan
menyeluruh. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai model pendekatan dalam
studi Islam.
Salah satu model pendekatan dalam studi Islam yang digunakan oleh para
cendekiawan muslim saat ini adalah pendekatan hermeneutika. Pendekatan
hermeneutika merupakan pendekatan yang diadopsi dari Barat. Dalam hal ini,
hermeneutika sebagai metode pembacaan teks telah dikenal luas dalam berbagai
bidang keilmuan Islam tradisional, terutama dalam tradisi Fiqh dan tafsir al-
qur’an. Oleh karena itu, hermeneutika dalam kajian Islam juga perlu dipelajari
untuk menambah khazanah keilmuan dan dapat memberikan pengetahuan baru
terhadap bagaimana memahami teks serta penafsiran terhadap teks yang akan
diteliti.
Sebagaimana yang diketahui, bahwa al-Qur’an mampu menjawab berbagai
persoalan yang terjadi di masyarakat. Agar al-Qur’an dapat diterima di semua
kalangan dan sesuai dengan perkembangan zaman, maka perlu dilakukan
penafsiran terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal inilah yang melatarbelakangi
dilakukannya hermeneutika terhadap teks-teks keislaman, yakni al-Qur’an dan as-
Sunnah.
Akhir-akhir ini hermeneutika menjadi perbincangan yang kian menarik
perhatian banyak ilmuan dan ulama, khususnya di Indonesia. Tidak hanya karena
hermeneutik relatif mengemuka dan semakin populer di tengah-tengah
masyarakat, bahkan implikasi yang ditimbulkan dari pendekatan yang ditawarkan
hermeneutika terhadap penafsiran Al-Qur'an seringkali memicu kontroversi di
kalangan umat Islam. Bahkan beberapa ulama dengan tegas menolak rekomendasi
hermeneutik sebagai salah satu metode istinbat hukum. Dari sini, penulis akan
mencoba memaparkan tentang pendekatan studi Islam melalui pendekatan
Hermeneutika.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pendekatan hermeneutika?
2. Bagaimana sejarah perkembangan Hermeneutika?
3. Bagaimana pendekatan Hermeneutik dalam kajian Islam?
4. Apa probelamatika pendeketan Hermenutik dalam kajian Islam?
5. Apa yang diberikan hermeneutika dalam khazanah Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan Hermeneutik


Kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneia (kata benda),
hermeneuein (kata kerja) yang berarti menafsirkan. Sedangkan dalam bahasa
Inggris disebut dengan kata to interprete. Dari asal katanya, hermeneutika
merupakan kegiatan menafsirkan atau to interprete yang mengasumsikan pada
proses membawa sesuatu untuk dipahami. Dengan demikian, istilah menafsirkan
ini dapat disebut juga dengan istilah memahami.1[1]
Kata Hermeneutik sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa
Yunani, Hermes yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia. Hermes
adalah utusan para dewa langit untuk membawa pesan kepada manusia.
Pengasosiasian Hermeneutik dengan Hermes ini sekilas menunjukkan adanya tiga
unsur yang pada akhirnya menjadi variabel utama pada kegiatan manusia dalam
memahami, yaitu:
1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang
diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes.
2. Perantara atau penafsir (Hermes).
3. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada
yang menerima.2[2]
Beberapa kajian menyebut bahwa hermeneutika adalah proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu atau mengerti. Definisi ini
agaknya definisi yang umum, karena jika melihat terminologinya, kata
Hermeneutika ini bisa diderivasikan ke dalam tiga pengertian:

1[1] Ulya, Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an, Idea Press, Yogyakarta, 2010,
hlm. 55.

2[2] Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an (Tema-tema Kontroversial),


Kalimedia, Yogyakarta, 2015, cet. 1, hlm. 4.
1. Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemahan dan tindakan sebagai
penafsir.
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui
ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk
ungkapan yang lebih jelas.
Secara lebih luas Hermeneutika didefinisikan oleh Zygmunt sebagai upaya
menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau
tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang
menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. 3[3] Hermeneutika
adalah cara “untuk bergaul” dengan bahasa.4[4]
Sedangkan dalam epistimologi ilmu-ilmu keislaman hermeneutika juga
disebut dengan epistimologi bayani yaitu dalam bahasa Arab berarti penjelasan.
Arti asal katanya adalah menyingkap dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan
maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafal yang baik atau
komunikatif.5[5]

B. Sejarah Perkembangan Hermeneutik


Istilah hermenutika pertama kali ditemukan dalam karya Plato. Plato
dengan jelas menyatakan hermeneutika memiliki arti menunjukkan sesuatu.
Dalam Timeus Plato, kata hermenutika dikaitkan dengan otoritas kebenaran.
Stoicisme mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.
Metode alegoris dikembangkan Philo of Alexandria. Ia mengajukan metode
typology yang menyatakan bahwa pemahaman makna spiritual teks tidak berasal
dari teks itu sendiri, tetapi kembali pada sesuatu yang di luar teks.
Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, sejarah hermeneutika terbagi menjadi
tiga fase yaitu:

3[3] Ibid, hlm. 6

4[4] Lurus Imam Santoso, Pendekatan Hermeneutika dalam Studi Islam, dalam
“Pendekatan Studi Islam”, (ed) Ma’mun Mu’min, IDEA Press, Yogyakarta, 2015, hlm. 114.

5[5] Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Press, Kudus, 2011, hlm. 121.
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen.
2. Dari teologi Kristen yang problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat.
3. Dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika.6[6]
Pada awalnya, pendekatan hermeneutik banyak dipakai dalam penafsiran
kitab suci Injil. Pada abad XX, kajian hermeneutik berkembang ke wilayah kajian
sejarah, hukum, filsafat, kesusateraan dan ilmu lainnya tentang kemanusiaan.7[7]
Perkembangan hermeneutika dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Hermeneutika sebagai Teori Eksegesis Bibel
Perkembangan hermeneutik dalam tahap ini merujuk pada prinsip-prinsip
interpretasi yang digunakan pada kitab suci Bibel. Pada waktu itu, di lingkungan
Protestan menggunakan buku Hermeneutica Sacra Siva Methodus Exponendarum
Sacrarum Litterarum karya JC. Dannhauer untuk membantu para pendeta dalam
menafsirkan Bibel. Buku ini terbit pada tahun 1654.
2. Hermeneutika sebagai Metodologi Filologi
Dalam tahap ini, hermeneutika tidak hanya digunakan untuk meneliti dan
mengkaji teks-teks kitab suci tetapi juga untuk menginterpretasi teks-teks kuno
lainnya. Hermeneutika ini muncul seiring dengan terbitnya buku pedoman
hermeneutika karya Johan August Ernesti pada tahun 1761.
3. Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Hermeneutika ini merupakan konsep hermeneutika yang lebih luas dari
hermeneutika sebagai metodologi filologi. Hermeneutika sebagai ilmu
pemahaman linguistik ini berupaya memberikan penafsiran tidak hanya terbatas
pada teks-teks tertulis saja, baik teks-teks sakral maupun bukan. Hermeneutika ini
lebih bersifat umum. Tokoh yang memulai hermeneutika ini adalah Schleirmacher
(1768-1834).
4. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologis Geisteswissenschaften

6[6] Saifuddin, “Hermeneutika Sufi (Menembus Makna di Balik Kata)” dalam


Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (ed) Sahiron Syamsuddin, eLSAQ, Sleman, 2010, hlm.
52.

7[7] Ansori, “Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khaled M.


Abou El-Fadl)” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 10 No. 1, Jur. Tafsir
Hadits, Yogyakarta, 2009, hlm.55.
Hermeneutika ini dipopulerkan oleh Wilhelm Dilthey pada abad ke-19.
Dalam tahap ini, hermeneutika tidak hanya memberikan penafsiran terhadap teks
saja, tetapi juga dapat digunakan untuk menafsirkan semua jenis ekspresi manusia
(geisteswissenschaften), baik yang berupa praktek sosial, sejarah, karya seni, dan
lain-lain.
5. Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Perkembangan hermeneutika pada tahap ini tidak lagi mengacu pada
ilmu/kaidah interpretasi teks atau fondasi metodologi geisteswissenschaften, tetapi
merupakan penjelasan fenomenologis tentang keberadaan manusia. Model
hermeneutika ini dibawa oleh Martin Heidegger dalam bukunya Being and Time
(1927), kemudian Gadamer dalam Truth and Method (1960).
6. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Paul Ricoeur dalam karyanya De I’nterpretation (1965) menggunakan
hermeneutika untuk menafsirkan teks partikular, baik yang berupa simbol dalam
mimpi ataupun mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat atau sastra. Adapun
simbol yang menjadi fokus dalam hermeneutika ini adalah simbol yang
mempunyai makna equivokal atau multi makna.8[8]

C. Pendekatan Hermeneutik dalam Kajian Islam


Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh
Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul Les methods d’exeges. Essai sur la
Science des Fordements de la Comprehension, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (1965),
sekalipun tradisi Hermeneutik telah dikenal luas diberbagai ilmu-ilmu Islam
tradisional, terutama tradisi ushul al-fiqh dan tafsir al-Qur’an. Satu hal yang
menunjol dari Hermeneutik Hasan Hanafi dalam pemikirannya secara umum
adalah muatan idiologisnya yang syarat-syarat dan maksudnya sangat praksis.
Tipikal pemikiran revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan
meinstream umat Islam yang masih terkungkung oleh lembaga-lembaga
tradisionalisme dan ortodoksi.

8[8] Ulya, Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an, Op.Cit, hlm. 58.


Hermeneutik pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang
berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah keanalisis konteks, untuk
kemudian “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses
pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini
dipertemukan dengan kajian al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang
dihadapi adalah bagaiman teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu
dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas
historisnya.9[9]
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz dalam
Hermeneutika al-Qur’an menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika
diaplikasikan pada Ulumul al-Qur’an, ada tiga variable yang harus diperhatikan,
yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas ulumul al-
Qur’an telah membahasanya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan
mushaf al-Qur’an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabul
nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian
terhadap aspek “konteks” dalam penafsiran al-Qur’an. Namun, Fahruddin Faiz
menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka harus
ditambah variable kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian
dan segala logika serta kondisi yang berkembang didalamnya. Variabel
kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari
masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.10[10]
Dalam hal ini dapat dicontohkan dalam QS. Al-Maidah: 38 tentang hukum
potong tangan dalam al-Qur’an. Meski secara tegas dalam al-Qur’an tertulis
kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri, namun hal tersebut dapat dipahami
secara berbeda. Dalam kacamata Hermeneutik, pesan yang hendak disampaikan
adalah adanya keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Hak untuk
memiliki suatu benda tidak boleh dicapai dengan cara-cara yang
mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Pada masa teks tersebut turun, keadaan
sosial masyarakat Arab ketika itu memang meniscayakan adanya hukum potong

9[9] Fahruddin Faiz, Op. Cit, hlm. 17

10[10] Ibid, hlm. 22


tangan. Suatu konstruk budaya Arab ketika itu memang menghendaki adanya
hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, karena kondisi sosial budaya
masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari hukum potong tangan lebih
dikedepankan. Di Indonesia, hukum potong tangan diganti dengan hukum penjara,
suatu upaya yang secara substantif sama dalam mencegah pengulangan kejahatan
yang sama.11[11]

D. Problematika Pendekatan Hermeneutik dalam Kajian Islam


Identitas dan pluralitas, dua unsur utama dalam kehidupan yang dapat
dikatakan merupakan pangkal berbagai problema manusia pasca-modern. Sebagai
entitas yang unik baik individual maupun sosial, setiap manusia berkepentingan
untuk merumuskan keberadaan dirinya dan mengenali porsi dan proporsi
kehidupannya. Dengan kesadaran dan pengetahuan akan eksistensi diri dan
kelompoknya inilah manusia mampu mengidentifikasi dirinya serta
mengekspresikan segala cipta, rasa, dan karsanya sesuai dengan konteks
kehidupannya. Disisi lain, adanya individu dan kelompok di luar dirinya, dengan
konteks kehidupan yang berbeda dan tentunya memiliki cipta, rasa, dan karsa
yang berbeda, menuntut setiap orang untuk tidak egois melampiaskan pemenuhan
eksistensinya, tetapi secara bijaksana menimbang keberadaan yang lain yang juga
memerlukan pemenuhan eksistensi.12[12]
Di abad 21, seiring dengan dahsyatnya globalisasi informasi dan
teknologi, persoalan ini jelas semakin krusial. Dalam ranah inilah kemudian
muncul beragam perbedaan pandangan, benturan antar keinginan, konflik
kepentingan dan lain sejenisnya, dimana keragaman dan benturan tersebut tidak
jarang menginspirasi lahirnya aturan-aturan bersama, kesepakatan sosial, dan lain
sejenisnya.

11[11] Rofi’udin, “Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an” dalam


http://abuqiunsa.blogspot.com/2010/11/hermeneutika-sebagai-metode-
penafsiran.html, diunggah pada 11 Desember 2010 (diunduh 8 September 2016)

12[12] Fahruddin Faiz, Op. Cit, hlm. 29.


Problema identitas dan pluralitas ini pun tidak bisa dihindari juga melanda
umat Islam. Mau tidak mau umat Islam seakan dipaksa merumuskan kembali
keberadaan dirinya di tengah gempuran kenyataan bahwa ada banyak di luar
dirinya yang selama ini tidak disadari, termasuk pula banyaknya tantangan isu dan
wawasan baru yang mencoba menggugat rumusan identitas lama yang selama ini
kukuh dipegangi “harus seperti itu”. Di antara berbagai tantangan yang dimaksud
adalah tawaran baru dari hermeneutika. Keberadaan hermeneutika sebagai sebuah
tawaran baru dalam dunia pembacaan kitab suci menggoyang kemapanan Ulumul
Qur’an yang sekian abad lamanya eksis di dunia Islam sebagai sebentuk
metodologi penafsiran kitab suci.
Menghadapi tawaran dan tantangan baru ini, respon umat Islam sendiri
dapat dikatakan sangat beragam. Ada yang meng-iya-kan tawaran baru tersebut
sambil menekankan aspek dinamis dan progresif dari kehidupan, karena Ulumul
Qur’an yang lama dibakukan tidak akan selalu mampu mengikuti perkembangan
zaman kalau tidak mencoba terus-menerus merekonstruksi dirinya sesuai dengan
perkembangan mutakhir peradaban ilmiah manusia. Adapula yang menolak
tawaran tersebut sambil menegaskan bahwa identitas lama, termasuk pola
penyikapan dan penafsiran terhadap al-Qur’an adalah sudah final dan tidak boleh
sama sekali diotak-atik. Mengotak-atik hal-hal yang sudah lama diyakini
kebenarannya sama artinya dengan meruntuhkan keimanan dan berimplikasi
keluar dari jalur keberagamaan Islam.13[13]
Pendekatan hermeneutika terhadap sebuah kitab suci, termasuk al-Qur’an,
sering dipandang akan melenyapkan sakralitas teks yang dimaksud, karena
dengan hermenutika maka segala pemahaman dan pemaknaan terhadap teks yang
semula juga dipandang sama sakralnya dengan teks itu sendiri, kini dianggap
sekedar hasil karya manusia biasa yang meruang waktu serta tidak bersih dari
kesalahan.
Apabila dicermati, secara umum argumentasi kelompok yang anti
hermeneutik tersebut adalah sebagai berikut:

13[13] Ibid, hlm. 30


a) Dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutik berasal dari tradisi Kristen,
Barat, dan juga tradisi Filsafat, sehingga tidak mustahil mengusung ideologi dan
nilai-nilai Kristiani, Barat, dan juga Filsafat, yang tidak pasti sesuai dengan Islam.
b) Sebenarnya umat Islam telah memiliki metodologi sendiri dalam
menginterpretasi al-Qur’an, yaitu Ulumul Qur’an dan Ilmu tafsir al-Qur’an.
c) Berdasarkan akar katanya, hermeneutika sering diasosiasikan dengan Hermes,
yaitu seorang Dewa Yunani yang bertugas menyampaikan pesan dari dunia dewa-
dewa kepada manusia. Untuk melaksanakan tugasnya ini, Hermes
bertanggungjawab membuat penduduk bumi bisa memahami apa kemauan dewa,
sehingga sangat mungkin Hermes ini memilih cara dan model ungkapan kata
sendiri untuk disampaikan kepada manusia. Apabila dilihat dari titik ini, maka
harus ditegaskan meskipun fungsi-fungsinya sama, namun Muhammad yang
mengemban Risalah al-Qur’an tidaklah sama dengan Hermes. Kalau Muhammad
tidak berhak menginterpretasi dan menyadur Risalah serta selalu mendapat
pengawasan dari Allah agar tidak memanipulasi Risalah, tidak demikian halnya
dengan Hermes.
d) Dalam proses penafsiran, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural.
Berbeda dengan Ulumul Qur’an yang sangat mementingkan dimensi otentisitas
dan prosedur periwayatan sebelum menafsirkan.
e) Ruang lingkup kajian hermeneutika berkisar pada tiga elemen pokok, yakni teks,
interpreter dan audien atau yang diistilahkan dengan triadic structure. Itu berarti
teori hermeneutika sangat simpel dan umum, tidak memberikan penjelasan yang
rinci untuk membimbing para mufassir menemukan sebuah penafsiran yang benar
dan representatif.14[14]
f) Hermeneutika menghendaki adanya pluralitas pemahaman yang
mengimplikasikan adanya relatifitas kebenaran.15[15]
Perbedaan pandangan dan persepsi serta adu argumen pada dasarnya
bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan, asalkan setiap pihak yang berbeda
pandangan saling memiliki niat baik dan cita-cita memperbaiki. Mereka yang

14[14] Ibid, hlm. 36

15[15] Ibid, hlm. 45


setuju dan mengusung ide-ide hermeneutika karena melihat umat Islam
terkungkung oleh dogmatisme keagamaan serta mereka yang anti hermeneutik
dengan semangat untuk mempertahankan identitas keislaman, semuanya layak
untuk mendapat apresiasi.16[16]

E. Konstribusi Hermeneutik dalam Khazanah Islam


Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa hermeneutika tidak bisa lepas
dari teks, konteks, dan kontekstualisasi. Harus ditegaskan bahwa jalur teks,
konteks, dan kontekstualisasi ini hendaknya diaplikasikan secara dialektis-dialogis
dan berkesinambungan. Dengan secara intensif mendialogkan ketiga aspek
tersebut diharapkan seorang mufassir selain mampu menangkap tujuan utama dan
spirit teks sehingga tidak a-historis, juga mampu mengaplikasikan pemahamannya
dalam realitas kekinian, sehingga tidak a-sosial, tidak terasing dari ruang dan
waktunya. Dapat dikatakan dalam aspek dialektika teks, konteks, dan
kontekstualisasi inilah terletak kelemahan besar kitab-kitab tafsir klasik. Ada kitab
tafsir yang cenderung melihat teks saja, sehingga melahirkan pemaknaan yang
harfiah belaka. Ada tafsir yang cenderung melihat konteks saja, sehingga
melahirkan tafsir yang hanya melihat ideal-ideal pemaknaan masa lalu. Ada tafsir
yang hanya merumuskan cara mengaplikasikan al-Qur’an dalam kehidupan
kontekstual saja, sehingga terputus kaitannya dengan misi dan maksud awal al-
Qur’an.
Sumbangan paling berharga dari hermeneutika dan dapat dikatakan
membawa sebuah perspektif baru dalam ilmu Tafsir al-Qur’an adalah berbagai
tawaran teori dan konsep yang berasal dari para tokoh hermeneutika filosofis dan
kritis. Sumbangan dari para tokoh secara umum adalah kesadaran akan adanya
berbagai determinasi yang turut menentukan sebuah proses pemahaman baik
determinasi tersebut berasal dari wilayah sosial, budaya, maupun politik.
Kesadaran akan adanya determinasi-determinasi ini pada akhirnya akan
mengeliminasi setiap pemahaman dan penafsiran yang merasa sebagai “obyektif”
dan “tanpa kepentingan” serta “pasti benar”. Seperti apapun jenis pemahaman dan

16[16] Ibid, hlm. 37


penafsiran manusia, dibalik pemahaman tersebut pasti ada kepentingan-
kepentingan tertentu, baik kepentingan untuk merebut wacana, kepentingan untuk
mempertahankan status-quo agar pemaknaan dan pemahaman berjalan seperti
sedia kala, atau setidaknya suatu keinginan agar apa yang dilakukannya adalah
sesuatu yang benar. Kenyataan seperti ini tidak perlu dirisaukan selama perebutan
pemaknaan dan kompetisi pemahaman tersebut berjalan dalam satu ruang publik
yang sehat dan tidak ada pihak-pihak yang dengan kekuasaannya, baik kekuasaan
politik, sosial, maupun budaya melakukan hegemoni pemaknaan dan
meminggirkan segala pemaknaan lain yang tidak mendukungnya.
Dari kesadaran hermeneutika inilah nantinya diharapkan bisa muncul dan
berkembang sikap inklusif dan toleran menghadapi keragaman. Harus diakui,
kalangan umat beragama memiliki satu penyakit yang dapat dikatakan akut dan
menjadi sumber berbagai konflik di kalangan mereka sendiri, yaitu truth claim.
Truth Claim ini terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang menyatakan
bahwa miliknya, pemikirannya, idenya, atau pandangannyalah yang paling benar,
dan yang lain salah. Dalam dunia penafsiran truth claim ini nampak dalam bentuk
sikap apriori dan memandang bahwa penafsiran dan pemahamannyalah yang
paling benar dan yang lain adalah salah.
Di sinilah kiranya hermeneutika memberikan pelajaran bahwa sebenarnya
setiap ide, pemikiran, maupun penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh konteks dan
misi serta kepentingan dari sang penafsir, sehingga sangat tidak bijaksana untuk
menyalahkan yang lain dan membenarkan dirinya sendiri secara apriori, karena
betapapun adanya, baik pikiran yang lain maupun pikiran sendiri itu sangat
ditentukan oleh konteks masing-masing. Setiap pemahaman pasti ada sisi-sisi
kebenarannya namun juga tidak mungkin sempurna dan memiliki aspek-aspek
kelemahan dan kesalahan. Yang dapat dilakukan oleh setiap orang termasuk umat
beragama hanyalah berkarya dan berperilaku sebaik mungkin sesuai dengan
kebenaran yang diyakininya, sekaligus berlomba secara adil dan fair dengan yang
lain sebaik-baiknya dalam kebaikan.17[17]

17[17] Ibid, hlm. 23-25


BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa:


1) Hermeneutika adalah kegiatan menafsirkan atau to interprete yang
mengasumsikan pada proses membawa sesuatu untuk dipahami.
2) Perkembangan historis hermeneutika dimulai dari hermeneutika sebagai teori
eksegesis bibel, hermeneutika sebagai metodologi filologi, hermeneutika sebagai
ilmu pemahaman linguistik, hermeneutika sebagai fondasi metodologis
geisteswissenschaften, hermeneutika sebagai fenomenologi dassein dan
pemahaman eksistensial, serta hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
3) Pendekatan hermeneutika dalam kajian Islam meliputi tiga variabel yang harus
diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi.
4) Aplikasi pendekatan hermeneutik terhadap teks-teks keislaman dapat dilihat dari
kajian hermeneutik terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah agar ketentuan-ketentuan
yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dapat digunakan untuk
masyarakat sepanjang masa. Meskipun demikian, terjadi pro dan kontra dalam
penggunakan hermeneutika terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah.
5) Konstibusi hermeneutik dalam kajian Islam adalah adanya sikap inklusif dan
toleran menghadapi keragaman penafsiran dan pemahaman.

DAFTAR PUSTAKA

Ansori. 2009. “Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khaled M. Abou
El-Fadl)” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 10 No. 1.
Yogyakarta: Jur. Tafsir Hadit.
Fahruddin Faiz. 2015. Hermeneutika al-Qur’an (Tema-tema Kontroversial), Yogyakarta:
Kalimedia.
Ma’mun Mu’min. 2015. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: IDEA Press.
Rofi’udin, “Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an” dalam
http://abuqiunsa.blogspot.com/2010/11/hermeneutika-sebagai-metode-
penafsiran.html, diunggah pada 11 Desember 2010 (diunduh 8 September 2016)
Sahiron Syamsuddin. 2010. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. Sleman: eLSAQ.
Ulya. 2010. Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an. Yogyakarta: Idea Press.
Ulya. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Kudus: STAIN Press.
18
[1] Ulya, Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an, Idea Press, Yogyakarta,
2010, hlm. 55.
19
[2] Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an (Tema-tema Kontroversial),
Kalimedia, Yogyakarta, 2015, cet. 1, hlm. 4.
20
[3] Ibid, hlm. 6
21
[4] Lurus Imam Santoso, Pendekatan Hermeneutika dalam Studi Islam,
dalam “Pendekatan Studi Islam”, (ed) Ma’mun Mu’min, IDEA Press,
Yogyakarta, 2015, hlm. 114.
22
[5] Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Press, Kudus, 2011, hlm.
121.
23
[6] Saifuddin, “Hermeneutika Sufi (Menembus Makna di Balik Kata)”
dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (ed) Sahiron Syamsuddin, eLSAQ,
Sleman, 2010, hlm. 52.
24
[7] Ansori, “Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika
Khaled M. Abou El-Fadl)” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis
Vol. 10 No. 1, Jur. Tafsir Hadits, Yogyakarta, 2009, hlm.55.
25
[8] Ulya, Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an, Op.Cit, hlm. 58.
26
[9] Fahruddin Faiz, Op. Cit, hlm. 17
27
[10] Ibid, hlm. 22
28
[11] Rofi’udin, “Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an” dalam
http://abuqiunsa.blogspot.com/2010/11/hermeneutika-sebagai-metode-
penafsiran.html, diunggah pada 11 Desember 2010 (diunduh 8 September 2016)
29
[12] Fahruddin Faiz, Op. Cit, hlm. 29.

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29
30
[13] Ibid, hlm. 30
31
[14] Ibid, hlm. 36
32
[15] Ibid, hlm. 45
33
[16] Ibid, hlm. 37
34
[17] Ibid, hlm. 23-25

30

31

32

33

34

Anda mungkin juga menyukai