Anda di halaman 1dari 6

PENDEKATAN HERMENEUTIKA DALAM KAJIAN ISLAM

Oleh: ISWATUN KHOIRIAH (17204080058)

A. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Secara umum, Ilmu pengetahuan dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni ilmu-
ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Begitupula manusia mempunyai pemikiran atau pandangan
terhadap sesuatu dengan cara masing-masing bahkan berbeda-beda.
Saat ini kajian keislaman tidak lagi terbatas hanya pada wilayah fikih, kalam, tasawuf, dan
filsafat, tetapi juga mulai bersentuhan dengan aneka perspektif dan metodologi dalam pelbagai
bidang keilmuan lain seperti: ilmu-ilmu sosial (social sciences), humaniora, ekonomi, psikologi,
ke dokteran, dan yang lainnya.
Pendidikan Islam adalah salah satu obyek kajian filsafat ilmu, karena ilmu Islam itu ruang
lingkupnya luas, materinya sangat luas dan padat. Al-Qur’an sebagai sumber utama yang berisi
dasar-dasar ilmu pengetahuan. Banyak ayat al-Qur’an yang maknanya masih bersifat abstrak
(makna tersirat) dan membutuhkan penjelasan dan penafsiran agar dapat dipahami dan
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada banyak sekali metode untuk mengkaji agama Islam, seperti menggunakan pendekatan
sejarah, pendekatan sosiologis, pendekatan antropologis, pendekatan feminis, dll. Pada
kesempatan kali ini akan dibahas tentang pendekatan hermeneutik dalam pengkajian Islam.
b. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan hermeneutik?
2. Apa saja ruang lingkup pendekatan hermeneutik?
3. Apa saja jenis-jenis pendekatan hermeneutik?
4. Siapa saja tokoh pendekatan hermeneutik?
5. Bagaimana penggunaan pendekatan hermeneutik dalam kajian islam?
B. Pembahasan
1. Pengertian Hermeneutika
Sebenarnya tidak mudah untuk memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang
hermeneutika hanya dalam rentetan satu dua kalimat.
Secara etimologis, kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneunien yang
berarti “menafsirkan”. Maka, kata benda hermeneunien secara harfiah dapat diartikan sebagai
“penafsiran” atau interpretasi.1
Dari kata kerja hermeneuein dapat ditarik tiga bentuk makna dasar masih dalam koridor
makna aslinya, yaitu mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan. Ketiga makna ini dapat
diungkapkan dengan bentuk kata kerja dalam bahasa Inggris to interpret, namun masing-masing
dari ketiga makna tersebut membentuk sebuah makna yang independen dan signifikan bagi
interpretasi.2
Hermeneutika dalam bahasa inggris hermeneuine dan hermeneia yang masing-masinng
berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.3 Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan
sebagai “penafsiran” atau interpretasi.4 Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca
dalam sejumlah literatur peninggalan Yunani Kuno.5Hermeneutika merupakan “proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”.6 Menurut Richard E.Palmer,
hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti.7

1
E sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat ( Yogyakarta: Kanisius. 1999), hlm. 23.
2
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Nawesea Press, 2009), hlm. 5-10.
3
Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2008), hlm. 27.
4
E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode......hlm. 23.
5
Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika.....hlm 27.
6
Ibid, hlm. 29.
7
E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode......hlm. 24.
1
Definisi yang agak bebeda, dikatakan bahwa hemeneutika sebagai suatu metode atau cara
untuk menafsirkan simbol berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari
arti dan maknanya, dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan
masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.8
Hermeneutika, sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal
yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya.
Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang
melingkupi teks tersebut, baik horzon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu
sendiri.9 Dari ketiga horizon tersebut, diharapkan upaya pemahaman atau penafsiran yang
dilakukan akan menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks.10
Menurut Friedrich Schleiermacher, terdapat dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya
identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Aspek
gramatikal interpretasi merupakan syarat berpikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis
interpretasi memungkinkan seseorang memahami pribadi penulis. Kompetensi linguistik dan
kemampuan memahami dari seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni
interpretasi. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami
teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih
baik daripada memahami diri sendiri.11
Dalam pendekatan hermeneutik, seseorang menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan
waktu, maka visinya juga mengalami berbagai macam perubahan. Ia menggunakan apa saja yang
mungkin untuk ditafsirkan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang lebih mementingkan
fenomena.12
2. Ruang lingkup
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika terdiri atas tiga bentuk atau model.
Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick
Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti. Menurut model ini, penafsiran berarti
memahami teks sebagaimana yangdi pahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks adalah
ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak
didasarkan atas kesimpulan pembaca melainkan diturunkan dan bersifat instruktif.13
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya
Hans-Georg Gadamer dan Jacques Derida. Menurut model ini, hermeneutika bukan usaha
menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model
hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Muslim
kontemporer khususnya Hasan Hanafi dan Farid Esack. Menurut model ini, hermeneutika tidak
hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi.14
Pendekatan hermeneutika umumnya membahas pola hubungan segitiga antara teks,
pembuat teks, dan pembaca atau penafsir teks. Seorang penafsir dalam me mahami sebuah teks
dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih pada apa yang ada di
balik teks. Dengan demikian, maka hermeneutika dapat didefinisakan sebagai: Pertama,
mengungkapkan pemikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian, menerjemahkan,
dan bertindak sebagai penafsir. Kedua, usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang
maknanya tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang dapat dimengerti oleh si pembaca. Ketiga,
pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, lalu diubah menjadi bentuk ungkapan yang
lebih jelas.

8
Ibid., hlm. 29.
9
Ibid., hlm. 31.
10
Ibid.
11
Ibid., hlm. 41.
12
Arip Purkon, “Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam” Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013, hlm. 186.
13
Ibid., hlm. 187.
14
Ibid.
2
3. Jenis-jenis hermeneutika
a. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami
Dalam klasifikasi ini hermeneutika merupakan kajian penuntun bagi sebuah
pemahaman yg akurat dan proporsional. Perbedaan konteks mempengaruhi perbedaan
pemahaman, maka hermeneutika dalam kelompok pertama ini merekomendasikan
pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk
memperoleh pemahaman yg komprhensif. Pertanyaan seputar makna teks secara morfologis,
leksikologis, dan sintaksis; dari siapa teks berasal; tujuan untuk apa; dlm kondisi apa dan
bgmn ketika teks disusun, dsb. Tokoh hermeneutika jenis 1: Schleiermacher, W.Dilthey dan
Emilio Betti.15
b. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami pemahaman
Jenis kedua ini melangkah lebih jauh ke dalam dataran filosofis, sehingga dikenal
sebagai hermeneutika filosofis. Fokus perhatiannya bukan lagi bagaimana agar bisa
mendapatkan pemahaman yang komprehensif, tapi lebih jauh mengupas seperti apa kondisi
manusia yang memahami itu, baik dalam aspek psikologis, sosiologis, historisnya termasuk
aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti eksistensial manusia. Tokoh: Heidger dan
Gadamer.
Hermeneutika dalam dimensi filosofis= epistemologisnya dapat didefinisikan
sebagai suatu “pemahaman terhadap pemahaman”. Tujuan: untuk meletakkan
hasilpemahaman yg dimaksud dlm porsi dan proporsi yang sesuai; untuk melakukan suatu
produksi makna baru dari pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk kontekstualisasi. 16
c. Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Merupakan pengembangan lebih jauh dari hermeneutik jenis kedua, bahkan dapat
dikatakan bahwa secara prinsipil obyek formal yang menjadi fokus kajiannya adalah sama.
Yang membedakan hermeneutik jenis kedua dan ketiga ini tehadap determinasi-determinasi
historis dalam proses pemahaman, serta sejauh mana determinasi-determinasi tersebut sering
mmunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana, termasuk juga penindasan-
penindasan sosial-budaya-politik akibat penguasaan otoritas pemaknaan dan pemahaman
oleh kelompok tertentu.17
Dapat dikatakan hermeneutika bisa bergerak dalam 3 horison, yaitu horison
pengarang, horison teks, dan horison penerima atau pembaca; sementara secara prosedural
langkah kerja hermeneutika itu menggarap wilayah teks, konteks dan kontekstualisasi, baik
yang berkenaan dengan aspek operasional metodelogisnya maupun dalam dimensi
epistmologis penafsirannya.
4. Tokoh Hermeneutik dan alirannya
a. F. Schleiermacher (1768-1834) Hermeneutik reproduktif-empatis-psikologis
Aliran hermeneutika ini yang pada intinya hendak mereproduksi makna dari
pemahaman pengarang berdasarkan kondisi psikologis pengarang. Sumbangan yang
diberikannya adalah mengenai divinatorisches verstehen (pemahaman intuitif).18 Kerja dari
model hermeneutika ini adalah merekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi
batin pengarangnya dan berempati kepadanya. Dengan kata lain, kita harus membuat
penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi pengalaman pengarang.
Penafsir mentransformasikan dirinya ke dalam proses kreasi teks, yakni ke dalam perasaan-
perasaan pengarang, lalu melukiskan seutuhnya hasil transformasi itu. Hasilnya adalah
potret kondisi psikologis pengarang.
b. Wilhem Dilthey (1833-1911), hermeneutika reproduktif-empatis-epistemologis

15
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ Press. 2005), hlm. 8.
16
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an.....hlm 8-9
17
Ibid., hlm. 10.
18
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003,
hlm. 43.
3
Aliran hermeneutik ini merupakan kelanjutan dari konsepnya Schleirmacher yang
mereproduksi pemikiran pengarang. Namun, Dilthey memfokuskan pada kondisi makna,
bukan kondisi psikologis. Menurut dia, bahwa peristiwa-peristiwa yang termuat dalam teks
harus dipahami sebagai ekspresi kehidupan sejarah, maka yang direproduksi bukanlah
kondisi psikis pengarang, melainkan makna peristiwa-peristiwa sejarah itu.19 Empati
epistemologi Dilthey ini, penafsir memahami makna simbol-simbol yang dihasilkan
pengarang dan sedekat mungkin menafsirkan sesuai dengan intensi penghasilnya.
c. Martin Heidegger, hermeneutika ontologis
Hermeneutika merupakan bagian dari eksistensi manusia yang melekat pada dirinya.
Dalam memahami dunia dan sejarahnya, manusia merupakan cakrawala bagi dirinya. Suatu
obyek “teks” hanya menampakkan dirinya sebagai sebuah makna, pengertian tentang obyek
tersebut, terjadi karena adanya pemahaman yang mendahului (pra-paham) sebagai the
conditions of possibilitynya. Teori ini merupakan kritik terhadap Schleiermacher dan
Dilthey. Bagi Heidegger, penafsiran tidak bersifat reproduktif, melainkan bersifat produkti.
Maksudnya, makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi kita
yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses kreatif.
d. Hans-Georg Gadamer, hermeneutika filosofis
Hermeneutika ini mendapat inspirasi dari filsafat Heidegger tentang verstehen
sebagai struktur Ada dari Dasein. Bagi Gadamer hermeneutika bukan sekedar metode,
melainkan ciri ada sosial kita sendiri. Kebenaran bukanlah sesuatu yang ditemukan,
melainkan dibuat, maka bersifat relatif terhadap konteks ruang dan waktu.
e. Juergen Habermas dan Paul Ricoeur, hermeneutika kritis
Hermeneutika kritis Habbermas berusaha menengahi antara obyektivitas proses-
proses historis dan motif-motif mereka yang bertindak di dalamnya. Sedang hermeneutika
Ricoeur, hendak menyingkap makna obyektif dari teks-teks yang memiliki jarak dan ruang
waktu dari pembaca. Namun, menurut dia, seiring dengan jarak waktu niat awal dari penulis
sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks.20 Hermeneutika
Recouer ini mencoba menjadi mediator antara hermeneutika reproduktif Scheielmacher dan
Dilthey dengan hermeneutika produktif Heidegger dan Gadamer. Hermeneutika ini tidak
hanya merekonstruksi psikologis pengalaman penulis (Scheielmacher) maupun penemuan
diri sendiri pada diri orang lain (Dilthey), melainkan untuk menyingkap potensi ada atau
Eksistensi (Heidegger).21
f. Jacques Derrida 1930, hermeneutika dekonstruktif
Dekonstruksi merupakan tindakan subyek yang membongkar obyek. Dekonstruksi
Derida adalah penyangkalan terhadap oposisi ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar
dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran tunggal. Tulisan/teks, menurut Derrida
merupakan pra kondisi dari bahasa, bahkan sudah ada sebelum ucapan oral. Tulisan adalah
bentuk permainan bebas unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Dia merupakan proses
perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan
kebenaran mutlak.22 Hermeneutika dekonstruksi ini, masuk dalam rumpun hermeneutika
radikal yang tidak merehabilitasi makna asli. Makna asli tidak dihadirkan kembali, bahkan
sudah hilang, maka tak ada lagi tolok ukur interpretasi.
5. Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Islam
Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode
mentafsirkan kalam-kalam Tuhan menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para tokoh

19
Ibid., hlm. 44.
20
Paul Ricoeur, Theory of Interpretation: Discourse and the Surplus of Meaning, terj. Musnur Hery, Filsafat Wacana: Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa,
Yogyakarta: IRCISoD, 2003, hlm. 203.
21
Ibid., hlm. 203-204.
22
Christopher Norris, Deconstruction: Teory and Practice, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2003, hlm. 10-11.
4
dan ulama. Namun Ada beberapa problem mengenai hermeneutika, terutama mengenai teks-teks.
Sebagaimana apabila seseorang membaca sebuah teks dari seorang pengarang yang sezaman,
maka pembaca tidak akan ada kesulitan memahami kalimat-kalimat ataupun istilah-istilah khusus
yang termuat dalam teks tersebut, namun jika sudah terlalu lama kata-kata, kalimat dan
terminologi khusus dalam sebuah teks sulit untuk dipahami dan tidak jarang banyak yang salah
paham.
Letak persoalan sesungguhnya adalah bahwa pada metode hermeneutika, manusia sebagai
para penafsir menduduki posisi yang signifikan. Oleh karena itu, dalam pandangan hermeneutika
tidak ada sebuah konsep kebenaran tunggal penafsiran, karena yang ada adalah sebuah
relativisme penafsiran yang bersumber pada maksud dan tujuan manusia.23
Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran tersendiri, yang
disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika. Beberapa pakar Muslim modern melihat
signifikansi hermeneutika, khususnya untuk memahami al-Qur’an. Bahkan, mereka menilai
bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami al-Qur’an ternyata memiliki
berbagai keterbatasan. Aktivitas dalam ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks semata,
tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan
dipahami oleh pembacanya, misalnya mengandaikan bahwa ilmu tafsir tidak menempatkan teks
dalam dialektika konteks dan kontekstualisasinya. Teks al-Qur’an akan sulit dipahami oleh
berbagai pembaca lintas generasi.24
Hermeneutik dalam pemikiran Islam pertama-tama diperkenalkan oleh Hassan Hanafi
dalam karyanya yang berjudul Les methods d’exeges. Essai sur la Science des Fordements de la
Comprehension, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (1965), sekalipun tradisi hermeneutik telah dikenal luas
diberbagai ilmu-ilmu Islam tradisional, terutama tradisi shul al-fiqh dan tafsir al-Qur’an. Oleh
Hasan Hanafi, penggunaan hermeneutik pada mulanya hanya merupakan eksperimentasi
metodologis untuk melepaskan diri dari positivisme dalam teoritis hukum Islam dan ushul fiqh.
Sampaidi situ, respon terhadap tawaran atas hermeneutiknya hampir tidak ada.25
Satu hal yang menunjol dari Hermeneutik Hasan Hanafi dalam pemikirannya secara umum
adalah muatan idiologisnya yang syarat-syarat dan maksudnya sangat praksis. Tipikal pemikiran
revolusioner semacam ini, justru sangat berbeda dengan meinstream umat Islam yang masih
terkungkung oleh lembaga-lembaga tradisionalisme dan ortodoksi.26
Pendekatan hermeneutika terhadap sebuah teks suci, termasuk Al-Qur’an, sering
dipandang akan melenyapkan sakralitas teks yang dimaksud karena dengn pendekatan
hermeneutika maka segala pemahaman dan pemaknaan terhadap teks yang semula juga
dipandang sama sakralnya dengan teks itu sendiri, kini dianggap sekedar hasil karya manusia
biasa yang meruang aktu sehingga tidak bersih dari kesalahan.27
Beberapa argumentasi kelompok anti hermeneutika adalah sebagai berikut:
a. Dari aspek perkembangan historisnya, hermeneutika berasal dari tradisi Kristen, Barat dan
juga Filsafat, sehingga tidak mustahil mengusung ideologi dan nilai-nilai yang pasti tidak
sesuai dengan Islam.
b. Sebenarnya umat Islam telah memiliki metodelogi sendiri dalam menginterpretasi Al-
Qur’an, yaitu Ulumul Qur’an atau ilmu tafsir Al-Qur’an yang tidak memerlukan
hermeneutika sebagaimana Bibel/Injil karena Al-Qur’an adalah final dan tidak berubah.28
Sebuah artikel yang kiranya juga mengekspresikan pendirian ketidaksetujuan terhadap
hermeneutika memberikan argumen berikut:

23
Ahmad Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis Menggagas Keberagamaan Liberatif, Jakarta: Buku Kompas, 2004, hlm. 89.
24
Elok Noor Farida dan Kusrini Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.
25
Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 11.
26
Ibid., hlm. 12.
27
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an.....hlm. 29-30.
28
Ibid., hlm. 30-31.
5
a. Berdasarkan akar katanya hermeneutika yang berasal dari Hermes yang menggunakan kata
sendiri untuk disampaikan kepada manusia, namun Muhammad yang mengemban risalah
selalu mendapat pengawasan dari Allah.
b. Dalam proses penafsiraan, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural, hanya
penguasaan terhadap teks, sedangkan pada Ulumul Qur’an mementingkan dimensi otentisitas
dan prosedur periwayatan.
c. Ruang lingkup kjian hermeneutika hanya berkisar pada tiga elemen pokok yakni, teks,
interpreter dan audien.
d. Dalam teori hermeneutika semua orang dapat menfsirkan selama menguasai tiga unsur secara
baik. Dalam Ulumul Qur’an terdapat banyak ayat yang sifatnya tidak terjangkau oleh akal.
e. Dalam teori hermeneutik seorang interpreter memahami lebih baik teks daripada sang
penulis.29
C. Penutup
Kesimpulan

a. Hermeneutika merupakan salah satu pendekatan dalam filsafat yang dikatakan sebagai sebuah
metode atau cara untuk menafsirkan yang telah ada sejan zaman Yunani.
b. Ruang lingkup pendekatan hermeneutika terdiri atas tiga model yakni: 1) objek atau teks; 2)
subjek atau interpreter, dan 3) audien.
c. Jenis-jenis pendekatan hermeneutika: 1) berisi cara untuk memahami; 2) berisi cara untuk
memahami pemahaman; dan 3) berisi cara untuk mengkritisi pemahaman.
d. Tokoh-tokok filsafat hermeneutika: F. Schleiermacher, Wilhem Dilthey, Martin Heidegger,
Hans-Georg Gadamer, Juergen Habermas dan Paul Ricoeur, serta Jacques Derrida.
e. Dalam kajian Islam, penggunaan pendekatan hermeneutika bisa saja digunakan namun beberapa
kelompok menolak karena adanya beberapa faktor dan dalam Islam telah ada cara tersendiri
dalam menafsirkan Al-Qur’an.

D. Daftar Pustaka
Faiz, Fahruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press.
Fanani, Ahmad Fuad. 2004. Islam Mazhab Kritis Menggagas Keberagamaan Liberatif, Jakarta: Buku Kompas.
Farida, Elok Noor dan Kusrini. Jurnal Penelitian, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang
Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius.
Norris, Christopher. 2003. Deconstruction: Teory and Practice, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Membongkar Teori
Dekonstruksi Jacques Derrida, Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Purkon, Arip. “Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam” Jurnal Ahkam: Vol. XIII, No. 2, Juli 2013.
Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Ricoeur, Paul. 2003. Theory of Interpretation: Discourse and the Surplus of Meaning, terj. Musnur Hery, Filsafat
Wacana: Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, Yogyakarta: IRCISoD.
Sibawaihi, 2007. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra.
Sumaryono, E, 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius..
Syamsuddin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Nawesea Press.

29
Ibid., hlm. 32-33.
6

Anda mungkin juga menyukai