Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH MEMAHAMI PERBANDINGAN HERMENEUTIK

DENGAN ULUMUL TAFSIR

Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hermeneutika

Dosen Pengampu:

Drs. Loekisno Choiril Warsito, M.Ag

Oleh:

Moh. Yusuf Alhamdani (E93217076)

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kalamullah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai mukjizat yang paling agung. Pada waktu al-Qur’an diturunkan, kondisi
masyarakat Arab berbeda dengan kondisi masyarakat lain dari segi sosial dan
sejarahnya. Begitu juga dengan hadits/sunnah Nabi sebagai representasi dari al-
Qur’an yang disandarkan kepada perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi
Muhammad SAW.
Dalam hal ini, hermeneutika sebagai metode pembacaan teks telah dikenal
luas dalam berbagai bidang keilmuan Islam tradisional, terutama dalam tradisi Fiqh
dan tafsir al-qur’an. Oleh karena itu, hermeneutika dalam kajian Islam juga perlu
dipelajari untuk menambah khazanah keilmuan dan dapat memberikan pengetahuan
baru terhadap bagaimana memahami teks serta penafsiran terhadap teks yang akan
diteliti. Sebagaimana yang diketahui, bahwa al-Qur’an mampu menjawab berbagai
persoalan yang terjadi di masyarakat. Agar al-Qur’an dapat diterima di semua
kalangan dan sesuai dengan perkembangan zaman, maka perlu dilakukan penafsiran
terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya
hermeneutika terhadap teks-teks keislaman, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Akhir-
akhir ini hermeneutika menjadi perbincangan yang kian menarik perhatian banyak
ilmuan dan ulama, khususnya di Indonesia. Tidak hanya karena hermeneutik relatif
mengemuka dan semakin populer di tengah-tengah masyarakat, bahkan implikasi
yang ditimbulkan dari pendekatan yang ditawarkan hermeneutika terhadap penafsiran
Al-Qur'an seringkali memicu kontroversi di kalangan ummat Islam. Bahkan beberapa
ulama dengan tegas menolak rekomendasi hermeneutik sebagai salah satu metode
istinbat hukum.
Dari penjelasan diatas maka penulis akan memaparkan perbandingan antara
ilmu tafsir dan hermeneutik, yang disalamnya akan menjelassakan tentang seputar
ilmu tafsir dan hermeneutika, serta perbedaan-perbedaan yang ada didalamnya dalam
makalah yang berjudul “ Memahami Perbandingan Hermeneutika dan Ulumul
Tafsir”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hermeneutika ?
2. Apa pengertian Ilmu Tafsir ?
3. Bagaimana perbandingan antara Hermeneutika dan Ilmu Tafsir ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahi Pengertian Hermeneutika.
2. Untuk Mengetahui Pengertian Ilmu Tafsir.
3. Untuk Mengetahui Perbandingan Antara Hermeneutik dan Ilmu Tafsir.
BAB II
PEMABAHASAN
A. Pengertian Hermeneutik
Kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneia (kata benda),
hermeneuein (kata kerja) yang berarti menafsirkan. Sedangkan dalam bahasa Inggris
disebut dengan kata to interprete. Dari asal katanya, hermeneutika merupakan
kegiatan menafsirkan atau to interprete yang mengasumsikan pada proses membawa
sesuatu untuk dipahami. Dengan demikian, istilah menafsirkan ini dapat disebut juga
dengan istilah memahami.1 Dalam mitologi Yunani, sering dikaitkan dengan tokoh
bernama Hermes, seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada
manusia. Tugas menyampaikan pesan ini berarti juga mengalihbahasakan ucapan
dewa ke dalam bahasa yang dimengerti manusia. Pengalihbahasaan tersebut
sebenarnya identik dengan penafsiran. Dari situ, pengertian kata hermeneutik
memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.2
Istilah hermenutika pertama kali ditemukan dalam karya Plato. Plato dengan
jelas menyatakan hermeneutika memiliki arti menunjukkan sesuatu. Dalam Timeus
Plato, kata hermenutika dikaitkan dengan otoritas kebenaran. Stoicisme
mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris. Metode alegoris
dikembangkan Philo of Alexandria. Ia mengajukan metode typology yang
menyatakan bahwa pemahaman makna spiritual teks tidak berasal dari teks itu sendiri,
tetapi kembali pada sesuatu yang di luar teks.
Hermeneutika alegoris ini kemudian diadaptasi dalam Kristen oleh Origen
yang membagi tingkatan pembaca Bibel menjadi tiga:
1. Mereka yang hanya membaca makna luar teks.
2. Mereka yang mampu mencapai ruh Bibel.
3. Mereka yang mampu membaca sempurna dengan kekuatan spiritual.
Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, sejarah hermeneutika terbagi menjadi tiga
fase yaitu :
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen.
2. Dari teologi Kristen yang problematik ke gerakan rasionalisasi dan filsafat.
3. Dari hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika.3

1
Ulya, Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an, (Yogyakarta: Idea Press, 2010), 55.
2
Saifuddin, “Hermeneutika Sufi (Menembus Makna di Balik Kata)” dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,
(ed) Sahiron Syamsuddin, (Sleman: eLSAQ, 2010), 36.
3
Ibid, 52.
Pada awalnya, pendekatan hermeneutik banyak dipakai dalam penafsiran kitab
suci Injil. Pada abad XX, kajian hermeneutik berkembang ke wilayah kajian sejarah,
hukum, filsafat, kesusateraan dan ilmu lainnya tentang kemanusiaan.4
Perkembangan hermeneutika dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Hermeneutika sebagai Teori Eksegesis Bibel
Perkembangan hermeneutik dalam tahap ini merujuk pada prinsip-
prinsip interpretasi yang digunakan pada kitab suci Bibel. Pada waktu itu, di
lingkungan Protestan menggunakan buku Hermeneutica Sacra Siva Methodus
Exponendarum Sacrarum Litterarum karya JC. Dannhauer untuk membantu
para pendeta dalam menafsirkan Bibel. Buku ini terbit pada tahun 1654.
2. Hermeneutika sebagai Metodologi Filologi
Dalam tahap ini, hermeneutika tidak hanya digunakan untuk meneliti
dan mengkaji teks-teks kitab suci tetapi juga untuk menginterpretasi teks-teks
kuno lainnya. Hermeneutika ini muncul seiring dengan terbitnya buku
pedoman hermeneutika karya Johan August Ernesti pada tahun 1761.
3. Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Hermeneutika ini merupakan konsep hermeneutika yang lebih luas dari
hermeneutika sebagai metodologi filologi. Hermeneutika sebagai ilmu
pemahaman linguistik ini berupaya memberikan penafsiran tidak hanya
terbatas pada teks-teks tertulis saja, baik teks-teks sakral maupun bukan.
Hermeneutika ini lebih bersifat umum. Tokoh yang memulai hermeneutika ini
adalah Schleirmacher (1768-1834).
4. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologis Geisteswissenschaften
Hermeneutika ini dipopulerkan oleh Wilhelm Dilthey pada abad ke-19.
Dalam tahap ini, hermeneutika tidak hanya memberikan penafsiran terhadap
teks saja, tetapi juga dapat digunakan untuk menafsirkan semua jenis ekspresi
manusia (geisteswissenschaften), baik yang berupa praktek sosial, sejarah,
karya seni, dan lain-lain.
5. Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dassein dan Pemahaman Eksistensial
Perkembangan hermeneutika pada tahap ini tidak lagi mengacu pada
ilmu/kaidah interpretasi teks atau fondasi metodologi geisteswissenschaften,
tetapi merupakan penjelasan fenomenologis tentang keberadaan manusia.

4
Ansori, “Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khaled M. Abou El-Fadl)” dalam Jurnal
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 10 No. 1, (Yogyakarta: Jur. Tafsir Hadits, 2009), 55.
Model hermeneutika ini dibawa oleh Martin Heidegger dalam bukunya Being
and Time (1927), kemudian Gadamer dalam Truth and Method (1960).
6. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi
Paul Ricoeur dalam karyanya De I’nterpretation (1965) menggunakan
hermeneutika untuk menafsirkan teks partikular, baik yang berupa simbol
dalam mimpi ataupun mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat atau sastra.
Adapun simbol yang menjadi fokus dalam hermeneutika ini adalah simbol
yang mempunyai makna equivokal atau multi makna.5

Walaupun dalam perkembangannya, hermeneutik digunakan dalam berbagai


kajian keilmuan, namun secara singkat hermeneutik dapat diartikan sebagai suatu
metode interpretasi yang memperhatikan konteks kata-kata (dari suatu teks) dan
konteks budaya pemikirannya. Hermeneutik juga dapat diartikan sebagai salah satu
metode interpretasi yang mempunyai tugas untuk memahami isi dan makna sebuah
kata, kalimat, teks, serta untuk menemukan instruksi-instruksi yang terdapat dalam
bentuk simbol-simbol.6 Josef Bleicher membagi konsep dasar hermeneutika menjadi
tiga (3) macam, yaitu teori hermeneutika, filsafat hermeneutika, dan hermeneutika
kritis. Penjelasan lebih rincinya sebagai berikut:

1. Teori Hermeneutika
Teori hermeneutika memusatkan pada teori umum interpretasi sebagai
metodologi ilmu-ilmu humaniora, termasuk ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan.
Kegiatannya adalah mengkaji metode yang sesuai untuk menafsirkan teks
sebagaimana yang diinginkan oleh penulis/pengarang teks agar terhindar dari
kesalahpahaman. Tujuan teori hermeneutika adalah untuk mendapatkan arti yang
objektif atas suatu teks menurut ukuran pengarang teks.
Schleiermacher menggunakan pendekatan psikologis yang menyatakan bahwa
hermeneutika adalah kegiatan penafsiran untuk mengalami kembali proses-proses
mental dari pengarang teks. Dilthey lebih menggunakan pendekatan historis dalam
teori hermeneutika. Dia berpendapat bahwa makna merupakan hasil dari aktifitas
penafsiran yang tidak ditentukan oleh subyek transendental tetapi lahir dari
realitas hidup yang menyejarah. Menurutnya teks adalah representasi dari kondisi
historikalitas pengarang teks.7
5
Ulya, Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an, 58.
6
Ansori, Teks dan Otoritas, 55.
7
Ulya, Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an…, 62.
2. Filsafat Hermeneutika
Hermeneutika filosofis merupakan aktifitas penafsiran yang lebih melihat pada
aspek ontologis dari sebuah teks. Dalam hal ini penfasir telah memiliki prasangka
atau pra-pemahaman atas teks sehingga tidak memperoleh makna teks secara
obyektif. Apabila teori hermeneutika bertujuan untuk mereproduksi makna
sebagaimana makna awal yang dikehendaki oleh penulis teks, maka filsafat
hermeneutika bertujuan untuk memproduksi makna baru.
Tokoh filsafat hermeneutika yaitu Heidegger dan Gadamer. Heidegger
menggeser konsep hermeneutika dari wilayah metodologis-epistimologis ke
ontologis. Hermeneutika bukan a way of knowing tetapi a mode of being.
Gadamer juga berpendapat bahwa penafsiran adalah peleburan horizon-horizon,
horizon penulis teks dan horizon penafsir (masa lalu dan masa kini).8
3. Hermeneutika Kritis
Hermeneutika kritis maksudnya adalah penafsiran yang mengkritik standar
konsep-konsep penafsiran sebelumnya (teori hermeneutika dan filsafat
hermeneutika). Meskipun antara teori hermeneutika dan filsafat hermeneutika
memiliki sudut pandang yang berbeda tentang penafsiran, tetapi keduanya tetap
berusaha menjamin kebenaran makna teks. Hal inilah yang menjadi letak kritik
hermeneutika kritis karena lebih cenderung mencurigai teks karena teks
diasumsikan sebagai tempat persembunyian kesadaran-kesadaran palsu.
Tokoh yang menggunakan hermeneutika kritis adalah Habermas. Dia selalu
mempertimbangkan faktor-faktor di luar teks yang dianggap dapat membantu
memahami konteks suatu teks. Inti dari hermeneutika kritis adalah:
a. Bahwa makna adalah milik manusia
b. Tanpa konteks, maka teks yang dimaknai menjadi tidak berharga dan tidak
berfungsi apa-apa.9

B. Ilmu Tafsir
Secara etimologi tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapan. Ibnu Mandhur
mengungkapkan dala lisanul arab yang merujuk pada Q S Al-Furqon ayat 33
menjelaskan term “Kashf al-mughatta” yaitu membuka sesuatu yang tertutup, hal

8
Ibid, 63.
9
Ibid, 64.
inilah yang melatar belakangi munculnya definisi Tafsir dari Ibnu Mandhur.
Sedangkan secara terminologi dikemukakan oleh M Ali Ash-Shabuniy
menngemukakan: “Ilmu Tafsir adalah Ilmu yang di gunakan untuk memahami kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi Nya Muhammad SAW dan makna-maknanya dan
mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya”. Sedangkan menurut Az-
Zarqoni mengemukakan bahwa “Ilmu Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang Al-
Qur’an yang mulia dari sisi petunjukna untuk mengetahui yang dimaksud oleh Allah
sesuai kmampuan manusia”.
Berbagai definis diatas mendiskripsikan tiga aktifitas penting dalam penafsiran
Al-Qu’an yaitu: memahami (Al-Fahmu, versthen, to understand), menjelaskan ( Al-
Bayan, erklaeren, to eksplain), dan mengeluarkan (istikhraj, extrahieren, to extract).10
Dari berbagai definisi diatas dappat disimpulkan bahwa tafsir adalah berbagai aktifitas
yang berkaitan degan upaya-upaya mengungkap makna yang paling jelas dan tepat
yang termuat dalam teks lafadz dalam Al-Qur’an, sebagai penjelas dari pesan-pesan
yang Allah berikan.
Secara umum, tafsir dibagi menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir
bir ra’yi. Tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang didasarkan dengan
penjelasan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, hadist nabi Muhammad SAW,
penjelasan para sahabat atau orangorang yang mempunyai otoritas untuk menjelaskan
maksud Tuhan. Point penting yang perlu dicatat dalam penafsiran model ini adalah
bagaiman memahami dan menjelaskan teks Al-Qur’an sebagaimana yang
dimaksudkan oleh pengarang yaitu Allah SWT. 11 Untuk memahami teks tersbut, ada
dua hal pokok yang harus dilakukan yaitu:
1. Mengkonfirmasi maknanya kepada sang pengaranag sendiri, atau kepada
orang dekatnya atau orang-orang tertentu yang dinilai dapat memahami dan
dapat menjelasskan maksud pengarang. Karena itulah model penafsiran bil
ma’tsur ini penafsirannya menggunkan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang
lain, atau dengan sabda Nabi Muhammad SAW atau atas pendapat para
sahabat, karena merekalah orang-orang yang terdekat dengan pengarang Al-
Qur’an yaitu Allah SWT.
2. Memahami koneteks dan situasi hidtoris dimana teks tersebut ditulis atau
sebuah ayat itu turun (asbabunnuzul)12
10
Ahmad Zuhdi dkk, Studi Al-Qur’an (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2019) hlm 494-496
11
Al-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun I (Beirut, Alam Al-kutub,1985) hlm 152
12
Jalauddin As-Suyuti,Al-Ittqan fi Ulimil Qur’an, I, terj. Tim editor Indiva (Surakarta: Indiva,2008) hlm 124
Sedangkan tafsir bir ra’yi adalah sebuah metode penafsiran atas teks yang
didasarkan pada ijtihad atau pemikiran mufassir. 13 Dalam konteks Al-Qur’an, menurut
Adz-Dzahabi, sesorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menafsirkan Al-
Qur’an dengan metode ini, antara lain:

1. Menguasai ilmu gramatikal bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain
sebagainya)
2. Menguasai ilmu bantu penalaran, seperti ushul fiqih, ulimul qur’an, ilmu qiraat
dan lain sebagainya
3. Memahami ajaran dan doktrin-doktrin keagamaan, seperti ushulunddin
4. Memahami sejarah dan situasi hystoristurunnya ayat (asbabunnuzul)
5. Memahami hadis-hadis yang digunakan sebagai bahan penafsiran.14

Berdasarkan pemampran diatas, sekikas tampa bahwa model tafsir bil ma’tsur
dan bir ra’yi tidak memiliki perbedaan, keduannya sama-sama memiliki tujuan untuk
memahami Al-Qur’an sebagaimana yang dimaksud oleh Allah SWT atau memahami
teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarang. Perbedaan keduanya hanya ada
pada sumber yang digunakan, model bil ma’tsur menggunakan nash-nash yang telah
ada dan di akui kebenarannya, sefang model bir ro’yi menggunakan ijtihad atau
pemikiran sang mufassir.

Akan tetapi, jika dilihat dari contoh-contoh tafsir yang ada dan sudah
diklasifiksikan sebagai bagian dari tafsir bir ra’yi dan bil ma’tsur serta apa yang
dilakukan oleh sorang mufassir ketika menjelaskan makna suatu teks, maka tampak
sekali perbedaan diantara keduannya, bukan hanya pada aspek sumber rujukan,
melainkan juga pada aspek-aspek yang lain. seperti, aspek dasar pijak penafsir atau
word view sang penafsir. Pada model tafsir bir ra’yi dasar pijaknya tampak bukan
pada analisis linguistik untuk memamahami makna teks, melainkan pada pemahaman
atau pada pengalaman si penafsir sendiri, kemudian berusaha untuk mencari
legitimasi atau kesesuaiannya dalam teks tersebut. Artinya, tafsir bukan untuk
memahami makna teks sebagaimana yang dimaksud pengarang melainkan memahami
teks berdasarkan yang dimaksud oleh penafsir atau pembaca sendiri. Oleh karena itu
ketika ada makna tekstualis atau makana eksplisit atau makana eksplisit teks berbeda
atau bertentangan dengan mekana rasionalitas atau makna yang diharapkan oleh
13
Al-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun , Op, cit. hlm 255
14
Ibid. hlm 266-268
mufassir, maka mereka akan melakukan takwil. Maksudnya mereka tidak akan
menerima makna eksplisit yang telah jelas melainka memberikan makna lain yang
sesuai dengan apa yang diharapkan atau medukung pemahaman mufassir sendiri. Hal
ini sejalan dengan apa yang dimaksud sebagai situasi hystoris (asbabunnuzul) tida
mengacu situasi yang di mana ayat itu turun atau sebuah teks itu di tulis, melainkan
berdasarkan atas kondisi dan situasi dimana seorang mufassir atau pembaca itu hidup.
Tegasmya, asbabunnuzul tidak dikaitkan dengan kondisi masa lalu melainkkan masa
sekarang, karena kondisi saat inilah yang mebutuhkan solusi dan jawaban dari teks.15

BAB III
ANALISIS
A. Perbandingan Hermeneutik dengan Ilmu Tafsir
Ditinjau dari segi sejarah, hermeneutika muncul dari adanya keraguan atas
keotentikan Bibel sehingga timbul desakan rasionalisasi yang dipelopori oleh filsafat
Yunani waktu itu. Mereka meyakini bahwa Bibel bukan ditulis oleh Nabi ‘Isa yang
15
Achmad Khudori Sholeh,Membandingkan Hermeneutika Dengan Ilmu Tafsir, (Malang: UIN Maliki,2011)
hlm 45
dipercayai sebagai Yesus dan bukan pula ditulis oleh murid-murid beliau, tetapi ditulis
oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa. Dalam perjanjian baru,
terdapat Injil Johanes, Injil Markus, Injil Mathius, Injil Lukas dan sebagainya. Dengan
demikian bahwa Bibel merupakan hasil karya para penulisnya dan Tuhan menurunkan
wahyunya kepada para penulis wahyu dalam bentuk inspirasi.
Hal ini yang membedakan dengan al-Qur’an yang tidak mengalami permasalahan
dari segi sejarah. Al-Qur’an sudah jelas riwayat dan sanadnya serta telah dihafal oleh para
sahabat di bawah bimbingan Rasulullah SAW. Al-Quran memiliki jalur periwayatan yang
amat banyak. Sedangkan Bibel, selain riwayatnya tunggal (ahad) yang dibawa oleh
seorang saja, baik Johanes, Markus, Lukas maupun Mathius, periwayatan Bibel juga
mursal, sanadnya terputus karena tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa secara langsung.
Penafsiran terhadap al-Qur’an telah dilakukan sejak masa Rasulullah, di mana Nabi
Muhammad SAW sebagai penafsir pertama dan kemudian dilanjutkan oleh sahabat
beliau, dan berlanjut sampai sekarang. Dalam penafsiran al-Qur’an ini terdapat beberapa
metode yang dipakai, diantaranya Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi ar-Ra’yi, dan Tafsir al-
Isyari.
Karakteristik tafsir yang membedakannya dengan hermeneutika adalah adanya
otoritas untuk menafsirkan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah SAW. dan
kemudian dilanjutkan pada masa sahabat, tabi’in, dan sampai sekarang. Penafsiran al-
Quran berangkat dari arti kosakata dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang
karena terdapat beberapa persyaratan yang amat ketat untuk menjadi seorang mufassir.
Hal ini berbeda dengan hermeneutika berusaha menghapus otoritarianisme sebuah teks
seperti yang diungkapan Khaled M. Abou El-Fadl. Hermeneutika menghapus otoritas
baik yang dilakukan oleh penafsir, pembaca penafsiran seorang penafsir, maupun sikap
selektif terhadap penggunaan bukti/dalil atas suatu permasalahan.16

1. Pendapat Para Tokoh


Berikut di anatara beberapa pendapat para tokoh tentang pendekatan hermeneutika
terhadap teks keislaman (teks al-Qur’an dan as-Sunnah):
a. Hermeneutika al-Qur’an
1) Hermeneutik Khaled M. Abou El-Fadl
Khaled M. Abou El-Fadl berusaha menghapus otoritarianisme sebuah teks, baik
yang dilakukan oleh penafsir, pembaca penafsiran seorang penafsir, maupun karena sikap
16
Angga Prilakusuma, Telaah Kritis Aplikasi Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur’an.
selektif terhadap penggunaan bukti/dalil atas suatu permasalahan. Secara normatif, teks-
teks keagamaan telah memberikan ruang bagi beragam pemahaman atau penafsiran.
Beragam pemahaman dan penafsiran tersebut bertujuan untuk menguak kehendak Tuhan.
Seorang penafsir yang telah terjebak ke dalam otoritarianisme adalah ketika
memposisikan dirinya sebagai juru bicara teks sehingga memposisikan dirinya telah dapat
merepresentasikan makna yang dikehendaki Tuhan. Padahal al-Qur’an secara tegas
menyatakan bahwa pengetahuan Tuhan bersifat mutlak dan bahwa pengetahuanNya tidak
dapat disejajarkan dengan pengetahuan siapapun. Pembaca tafsiran seorang penafsir yang
dianggap telah melakukan otoritarianisme adalah ketika ia membaca suatu tafsiran (teks)
lalu menarik satu kesimpulan dari teks tersebut. Dalam hal ini, ia mengklaim bahwa tidak
ada pembacaan atau penafsiran lain. Sedangkan penafsir yang bersikap selektif terhadap
penggunaan dalil, maka ia hanya mencari dukungan dari perintah Tuhan tersebut dan
tidak berusaha menemukan perintah Tuhan.17
Menurut Khaled, apabila menempatkan teks pada posisi tertutup maka hal itu
bertentangan dengan fungsi al-Qur’an sebagai hudan lin naas. Di mana yang seharusnya
menekankan pada proses dialog yang matang dan mendalam antara al-Qur’an dan
manusia secara terus-menerus dan berkesinambungan tanpa dibatasi ruang dan waktu.18
Berdasarkan pada pendapat Khaled M. Abou El-Fadl ini, maka terlihat jelas
perbedaan antara hermeneutika dengan tafsir dalam proses pemahaman. Hermeneutika
mencoba menghapus otoritarianisme dalam memahami al-Qur’an, sehingga setiap orang
yang memiliki kemampuan untuk melakukan proses hermeneutika diperbolehkan untuk
memahaminya. Akan tetapi, tafsir tidak memperbolehkan memahami al-Qur’an secara
mudah.bagi orang yang tidak memiliki keahlian tertentu, maka ia diharuskan mengikuti
penafsiran ulama-ulama mufassir.

2) Hermeneutik Saintifik Syekh Thanthawi Jawhari


Syekh Thanthawi Jawhari merupakan seorang ulama Mesir yang memperkenalkan
hermeneutik al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir saintifik. Maksud dari
hermeneutik saintifik di sini adalah kecenderungan penggunaan teori-teori ilmiah dalam
penafsirannya.
Terdapat tiga alasan digunakannya hermeneutik saintifik, yaitu adanya kebutuhan
untuk memperkuat keyakinan bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci yang selalu relevan

17
Ansori, Teks dan Otoritas ..., 56.
18
Ibid., 62.
mengikuti perkembangan sains. Alasan kedua adalah untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan karena al-Qur’an sendiri memuat teks-teks isyarat ilmiah (ayat kauniyah)
yang mengajarkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen. Alasan ketiga, sebagai
upaya kritik paradigmatis atas perkembangan sains modern yang cenderung
membebaskan pemikiran yang rasional-verifikatif. Tafsir saintifik ini akan memberikan
kerangka hermeneutis etis dalam pengembangan sains modern.19
Meskipun demikian, hermeneutik Jawhari memiliki kelemahan yakni
mengabaikan aspek kebahasaan dari suatu teks. Konsekuensinya adalah tafsir al-Jawahir
justru mengutip secara langsung penafsiran sahabat atau ulama tafsir ketika berhadapan
dengan kosakata atau istilah al-Qur’an yang belum ditemukan dalam khazanah ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, Jawhari tidak melakukan analisis linguistik atau semantik
yang lebih mendasar atas kosakata tersebut. Selain itu hermeneutik Thanthawi juga tidak
memperhatikan konteks psikologi, sosial dan kultural pada saat al-Qur’an diturunkan
sehingga menjadikan penafsirannya out of context.20
Melalui pendekatan hermeneutik saintifik oleh Syekh Thanthawi Jawhari ini,
maka ilmu pengetahuan yang terus mengalami perkembangan tidak akan melenceng dari
ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Begitu juga dengan kitab suci umat Islam ini
akan selalu mengawal perkembangan ilmu pengetahuan.

3) Hermeneutika Fazlur Rahman


Seperti halnya dengan konsep hermeneutika yang lain, Fazlur Rahman memiliki
pandangan tentang al-Qur’an.
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam pengertian
biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, al-Qur’an murni
Kata-kata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan
personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata
(kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah
rekaman. Kata-kata (kalam) Ilahi mengalir melalui hati Nabi.

Konsep hermeneutika Fazlur Rahman terkenal dengan teori doble movement


(gerak ganda interpretasi). Gerak pertama, dengan memahami makna al-Qur’an sebagai
suatu keseluruhan sebagai respon terhadap situasi-situasi khusus. Dalam hal ini, penafsir

19
Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris Arah Baru Studi Tafsir al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 115.
20
Ibid., 159.
juga harus memperhatikan aspek sosio historis pada saat al-Qur’an diturunkan. Setelah
itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Gerak
kedua, membawa pandangan umum tersebut untuk diwujudkan ke dalam konteks sosio
historis konkret saat ini sehingga dapat mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an secara
baru.21

b. Hermeneutika Hadits
1) Hermeneutika Fazlur Rahman
Sunnah Nabi merupakan perkataan, perbuatan serta ketetapan Nabi Muhammad
SAW sebagai penjelas al-Quran. Dalam perkembangannya, terdapat pembukuan hadits
yang terjadi pada masa sahabat. Akan tetapi permasalahannya adalah adanya fenomena
penyebaran hadits-hadits palsu sehingga perlu dilakukan penyeleksian hadits-hadits
tersebut yang benar-benar bersumber dari Nabi dan selainnya. Problem lain adalah hadits-
hadits yang telah terformulasikan dalam beberapa kitab hadits tersebut justru dianggap
sebagai sebuah ketentuan yang bersifat pasti, kaku dan tertutup.
Melihat kondisi demikian, Fazlur Rahman memiliki konsep tersendiri tentang
sunnah. Pertama, sunnah berarti perilaku Nabi yang memiliki sifat normatif (sunnah
normatif/ideal) sehingga harus dipandang sebagai suatu konsep teladan atau pedoman.
Dalam hal ini perlu memperhatikan konteks sosio historisnya. Kedua, sepanjang perilaku
Nabi tersebut berlanjut secara diam-diam dan non verbal yang diterapkan pada generasi
sesudah Nabi, sepanjang perilaku tersebut dinyatakan untuk meneladani perilaku Nabi.
Dalam hal ini terjadi metamorfosis dari “sunnah normatif” menjadi “sunnah yang hidup
dan aktual”.22
Konsep “sunnah yang hidup” ini akan memberikan cara baru dalam memahami
sunnah dan hadits Nabi secara lebih progresif dan dinamis. Melalui kerangka studi
historis dan sosiologis dari hadits tersebut, maka perlu adanya reinterpretasi terhadap
hadits agar selalu selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosial moral pada masa
kini. Oleh karenanya, hadits harus dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau
ulang, bukan sebagai hukum yang sudah siap saji atau sudah jadi.23

2) Hermeneutika Muhammad Syahrur

21
Mawardi, Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman, 71.
22
Wahyuni Eka Putri, Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman, 330.
23
Ibid., 339.
Menurut Syahrur, sunnah merupakan metodologi penerapan hukum-hukum atau
al-Kitab dengan mudah dan ringan tanpa keluar dari batasan-batasan Allah dalam
persoalan hudud atau pembuatan batasan-batasan adat lokal dalam persoalan-persoalan
non hudud dengan mempertimbangkan realitas nyata (waktu, tempat, dan syarat-syarat
objektif yang mana hukum-hukum akan diterapkan di dalamnya).
Dari pengertian di atas, nampak bahwa sunnah menurut pandangan Syahrur
adalah ijtihad Nabi dalam mengubah Islam yang mutlak menjadi Islam yang nisbi dan
ditujukan untuk masyarakat Arab abad ke-7, dan tidak ditujukan untuk masyarakat
seluruh dunia pada semua masa.
Berdasarkan pada definisi sunnah tersebut, maka Syahrur membedakan antara
sunnah dengan hadits. Menurutnya, sunnah merupakan ijtihad Nabi Muhammad SAW,
sedangkan hadits adalah produk ijtihad Nabi dalam bentuk verbal yang karena alasan
politik kemudian dibukukan. Dengan demikian, sunnah yang seharusnya dijadikan
sebagai model ijtihad, dan bukan hadits. Oleh karena itu, umat Islam sekarang harus
mengikuti jalan atau metode Nabi (sunnah) untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
terkini, bukan kata-kata verbalnya (hadits).24

3) Hermeneutika Yusuf Qardhawi


Pandangan Yusuf Qardhawi terhadap kedudukan Sunnah adalah sebagai
penafsiran al-Qur’an dalam penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal, yang
memiliki manhaj komprehensif, seimbang dan memudahkan. Dalam hal ini, Yusuf
Qardhawi menawarkan tiga prinsip dasar dalam memahami Sunnah. Pertama, meneliti
kesahihan sunnah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh ahli hadits. Kedua,
memahami nash yang berasal dari Nabi sesuai pengertian bahasa dan asbabul wurudnya,
kaitannya dengan nash al-Qur’an dan Sunnah yang lain. Ketiga, memastikan nash
tersebut tidak bertentangan dengan nash lain yang kedudukannya lebih kuat.
Untuk melaksanakan ketiga prinsip tersebut, Yusuf Qardhawi memiliki beberapa
metode, yakni:
1) Memahami hadits sesuai petunjuk al-Qur’an
2) Menghimpun hadits-hadits yang setema
3) Pentarjihan terhadap hadits-hadits yang tampaknya bertentangan
4) Memahami hadits sesuai latar belakang, situasi, kondisi dan tujuannya
5) Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran yang tetap
24
Zaimuddin, “Hermeneutika Hadis Muhammad Syahrur” dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, 397.
6) Membedakan antara ungkapan haqiqat dengan majaz
7) Membedakan yang ghaib dengan yang nyata
8) Memastikan makna kata-kata dalam hadits.25

2. Contoh Pendekatan Hermeneutika terhadap ayat-ayat al-Qur’an


a. Q.S. an-Nisa: 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.

Asbabun Nuzul dari ayat ini ialah:

Dikemukakan oleh Ibnu Mardawaih dari jalur sanad al-Kilabi dari Abi Shalih
yang bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Abbas. ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Ketika
Rasulullah SAW. menaklukkan Makkah, beliau SAW. memanggil ‘Usman bin Thalhah.
Ketika (‘Usman bin Thalhah) sudah datang menghadap beliau SAW; Rasulullah SAW.
bersabda: “Mana kuncinya?”. Ketika kunci diserahkan oleh (‘Usman bin Thalhah) kepada
beliau SAW; berdirilah ‘Abdullah bin ‘Abbas seraya berkata: “Wahai Rasulullah SAW;
demi ayahku dan ibuku, berikan kunci itu kepadaku, akan kurangkap jabatan tersebut
dengan jabatan siqayah (pengairan)”. Lalu ‘Usman bin Thalhah menarik tangannya
kembali. Maka Rasulullah SAW. bersabda: “Wahai ‘Usman bin Thalhah, berikan kunci
itu kepadaku (Nabi SAW)!”. ‘Usman bin Thalhah berkata: “Inilah amanat Allah SWT.”.
Maka berdirilah Rasulullah SAW. dan membuka Ka’bah, kemudian keluar untuk
melakukan thawwaf di Baitullah (Ka’bah). Maka turunlah Malaikat Jibril membawa
perintah agar kunci tadi dikembalikan (kepada ‘Usman bin Thalhah). Lalu beliau SAW.
memanggil ‘Usman bin Thalhah dan menyerahkan kunci kepadanya (kepada ‘Usman bin
Thalhah), kemudian (Nabi SAW.) membaca Ayat tersebut.
Dari ayat diatas, terdapat persoalan pokok yang terdiri dari:
1) Perintah menunaikan amanat
Perintah yang terkandung dalam ayat tersebut mengandung kewajiban setiap
orang yang beriman agar menunaikan amanat yang menjadi tanggungjawabnya, baik
amanat dari Tuhan ataupun dari sesama manusia.
25
Mir’atun Nisa’, “Hermeneutika Hadis Yusuf Qardhawi” dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, 436.
2) Perintah menetapkan hukum dengan adil
Menetapkan hukum dalam ayat di atas mencakup pengertian “membuat dan
menerapkan hukum”. Secara kontekstual, ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada
kelompok sosial tertentu dalam masyarakat, tetapi kepada setiap orang yang
mempunyai kekuasaan memimpin orang lain. Persoalan lain adalah “keadilan” yang
diwakili oleh kata al-‘adl. Al-Baidhawi menyatakan bahwa al’adl bermakna al-inshaf
wa al-sawiyat, berada di pertengahan dan mempersamakan. Keadilan yang dimaksud
adalah yang relevan dengan martabat kemanusiaan dan dalam bingkai keadilan sosial
bagi seluruh rakyat. Kesimpulannya, bahwa perintah menetapkan hukum dengan adil
agar dalam menggunakan kekuasaannya bertujuan untuk memelihara martabat
kemanusiaan. Selain itu juga dalam pembuatan hukum dan aturan lainnya harus
berdasarkan pada keadilan sesuai dengan kodrat manusiawi.
Selain itu, di dalam perintah membentuk aturan-aturan hukum secara tersirat
juga terkandung pemberian kewenangan untuk melaksanakan tugas yang
diperintahkan. Pemerintah berkewajiban mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
oleh karenanya diberikan kekuasaan tersebut, karena jika tanpa kekuasaan tersebut
maka tugas tidak dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, kaitannya dengan konteks
kehidupan bernegara, prinsip menunaikan amanat sesuai dengan fungsi eksekutif dan
yudikatif. Sedang prinsip menetapkan hukum dengan adil sesuai dengan fungsi
legislatif.Lembaga eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan harus bertindak
amanah dan dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan tugas. Jangan
mempersulit masyarakat dan jangan pula mengejar kepentingan duniawi apalagi
dengan cara yang tidak kesatria.
Peranan lembaga yudikatif dalam menjalankan amanah patut mendapat
sorotan sekarang ini. Banyak hakim yang terlibat kasus suap dan melakukan
perbuatan tercela. Mungkin mereka sebenarnya bukanlah termasuk kategori “yang
berhak” dalam ayat di atas, namun mereka tetap “berhak” karena proses rekrutmen
yang transaksional. Lembaga legislatif juga tidak jauh berbeda. Banyak anggota
legislatif yang tersandung kasus korupsi penyalahgunaan uang negara. Mungkin juga
karena proses rekrutmennya melalui partai politik sebagai lembaga tempat transaksi
jabatan publik sehingga yang punya uang yang berkuasa. Maka ketika mereka sudah
duduk di kursi jabatan, akan memikirkan pengembalian modal kampanye. Padahal
mereka bertugas untuk menetapkan dan membuat hukum di negara ini. Maka tidak
heran apabila hukum yang dihasilkan tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat
banyak, bahkan hanya untuk kepentingan partai, kelompok dan golongan mereka.26
b. Q.S. al-Maidah: 38
Tentang hukum potong tangan yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Meski secara
tegas al-Qur’an menyebutkan tentang kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri,
namun hal tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam pandangan Hermeneutik,
ayat tersebut mengandung pesan tersirat tentang konsep keadilan dalam pemenuhan
hak dan kewajiban. Akan tetapi, hak untuk memiliki suatu benda tidak dapat diperoleh
dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang ada.
Pada masa teks tersebut turun, keadaan sosial masyarakat Arab ketika itu
memang meniscayakan adanya hukum potong tangan. Konstruk budaya Arab ketika
itu memang menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Kondisi sosial
budaya masyarakat Arab tidak sama dengan Indonesia, maka lebih mengutamakan
substansi dari hukum potong tangan tersebut yakni untuk memberikan efek jera.
Hukum potong tangan di Indonesia diganti dengan hukum penjara yang memiliki
subtansi sama yakni sebagai usaha dalam mencegah pengulangan kejahatan yang
serupa.27

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneia (kata benda),
hermeneuein (kata kerja) yang berarti menafsirkan, istilah hermenutika pertama kali
ditemukan dalam karya Plato. Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika memiliki arti
menunjukkan sesuatu Perkembangan hermeneutika dapat dijabarkan sebagai berikut

26
Fitrah Bukhari, “Teori Hermeneutika al-Qur’an dan Aplikasinya Terhadap Penafsiran Ayat
Politik/Pemerintahan” dalam http://fitrahidealis.wordpress.com/2012/11/08/teori-hermeneutika-al-quran-dan-
aplikasinya-terhadap-penafsiran-ayat-politikpemerintahan/ diunggah pada 8 November 2012 (diunduh 15
November 2013)
27
Rofi’udin, “Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an” dalam
http://abuqiunsa.blogspot.com/2010/11/hermeneutika-sebagai-metode-penafsiran.html, diunggah pada 11
Desember 2010 (diunduh 15 November 2013)
Hermeneutika sebagai Teori Eksegesis Bibel, Hermeneutika sebagai Metodologi Filologi,
Hermeneutika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik, Hermeneutika sebagai Fondasi
Metodologis Geisteswissenschaften, Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dassein dan
Pemahaman Eksistensial, Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi.
Sedangkan Ilmu Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an yang
mulia dari sisi petunjukna untuk mengetahui yang dimaksud oleh Allah sesuai kmampuan
manusia, Secara umum, tafsir dibagi menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bil Ma’tsur dan
Tafsir bir ra’yi. Tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran Al-Qur’an yang didasarkan dengan
penjelasan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, hadist nabi Muhammad SAW,
penjelasan para sahabat atau orangorang yang mempunyai otoritas untuk menjelaskan
maksud Tuhan.
Karakteristik tafsir yang membedakannya dengan hermeneutika adalah adanya
otoritas untuk menafsirkan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah SAW. dan
kemudian dilanjutkan pada masa sahabat, tabi’in, dan sampai sekarang. Penafsiran al-
Quran berangkat dari arti kosakata dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang
karena terdapat beberapa persyaratan yang amat ketat untuk menjadi seorang mufassir.
Hal ini berbeda dengan hermeneutika berusaha menghapus otoritarianisme sebuah teks
seperti yang diungkapan Khaled M. Abou El-Fadl. Hermeneutika menghapus otoritas
baik yang dilakukan oleh penafsir, pembaca penafsiran seorang penafsir, maupun sikap
selektif terhadap penggunaan bukti/dalil atas suatu permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Khudori Sholeh, 2011, Membandingkan Hermeneutika Dengan Ilmu Tafsir, Malang:

UIN Maliki.

Ulya, 2010, Berbagai Pendekatan Studi al-Qur’an, Yogyakarta: Idea Press.


Saifuddin, 2010, “Hermeneutika Sufi (Menembus Makna di Balik Kata)” dalam

Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (ed) Sahiron Syamsuddin, Sleman: Elsaq.

Ansori, 2009, “Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khaled M. Abou El-

Fadl)” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Jur. Tafsir

Hadits.

Ahmad Zuhdi dkk, 2019, Studi Al-Qur’an. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

Al-Dzahabi, 1985, Tafsir wal Mufassirun I. Beirut: Alam Al-kutub.

Jalauddin As-Suyuti, 2008, Al-Ittqan fi Ulimil Qur’an, I, terj. Tim editor Indiva Surakarta:

Indiva.

Angga Prilakusuma, Telaah Kritis Aplikasi Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur’an.

Hendar Riyadi, 2005, Tafsir Emansipatoris Arah Baru Studi Tafsir al-Qur’an, Bandung:

Pustaka Setia.

Mawardi, Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman.

Wahyuni Eka Putri, Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman.

Zaimuddin, “Hermeneutika Hadis Muhammad Syahrur” dalam Hermeneutika al-Qur’an dan

Hadis.

Mir’atun Nisa’, “Hermeneutika Hadis Yusuf Qardhawi” dalam Hermeneutika al-Qur’an dan

Hadis.

Fitrah Bukhari, “Teori Hermeneutika al-Qur’an dan Aplikasinya Terhadap Penafsiran Ayat

Politik/Pemerintahan” dalam http://fitrahidealis.wordpress.com/2012/11/08/teori-

hermeneutika-al-quran-dan-aplikasinya-terhadap-penafsiran-ayat-politikpemerintahan/

diunggah pada 8 November 2012 (diunduh 15 November 2013)

Rofi’udin, “Hermeneutika sebagai Metode Tafsir al-Qur’an” dalam

http://abuqiunsa.blogspot.com/2010/11/hermeneutika-sebagai-metode-penafsiran.html,

diunggah pada 11 Desember 2010 (diunduh 15 November 2013)

Anda mungkin juga menyukai