Anda di halaman 1dari 11

Pendekatan Filsafat

Hermeneutika
6 Makna Hermeneutika

Pemahaman Eksistensial

Sistem Penafsiran Teori Penafsiran Biblikal

Ilmu Pemahaman Metode Filologi pada


Linguistik umumnya

Geistewissenschaften
Kaitan Hermeneutika dengan ilmu tafsir

 hermeneuein = menafsirkan
 hermeneia = penafsiran.
 hermeneutika = “membuat menjadi mengerti”
 Proses ini dikaitkan dengan peran Hermes dalam
mitologi Yunani yang bertugas sebagai pembawa
pesan, sekaligus penafsir bagi pesan-pesan para
dewa. Ini sejalan dengan makna kata kerja
hermeneuein yang meliputi 3 aktivitas:
 (1) mengekpresikan secara lantang dengan kata-kata,
atau sebut saja “mengatakan”,
 (2) menerangkan, seperti dalam menerangkan situasi, dan
 (3) menerjemahkan, seperti dalam menerjemahkan pesan
ke dalam bahasa asing. Ketiga aktivitas tersebut tercakup
dalam makna kata “menafsirkan”.
6 makna hermeneutika
 Hermeneutika sebagai teori penafsiran
biblikal,
 Metodologi filologi secara umum,
 Ilmu tentang semua pemahaman lingusitik,
 Landasan metodologis bagi
Geisteswissenschaften,
 Fenomenologi eksistensi dan pemahaman
eksistensial,
 Sistem penafsiran, baik yang bersifat
rekolektif maupun ikonoklastik, yang dipakai
manusia dalam memahami makna dibalik
mitos dan simbol-simbol.
1 Hermeneutika sebagai penafsiran biblikal

 Hermeneutika menyajikan “sistem” interpretasi yang


dengan itu suatu ayat dalam kitab suci dapat ditafsirkan.
Melalui sistem tersebut, seorang mufassir dapat
menemukan makna yang tersembunyi dari sebuah teks.
 Dengan memahami hermeneutika sebagai teori
penafsiran biblikal, maka akan didapatkan kejelasan
tentang ruang lingkup hermeneutika, yang tidak saja
mencakup teori-teori eksplisit tentang aturan-aturan
dalam menafsirkan, tetapi juga teori-teori yang
didapatkan secara tidak langsung dalam praktek
penafsiran yang dilakukan. Jika Gerhard Ebeling, misalnya
mengkaji “Hermeneutika Martin Luther”, maka ia tidak
saja memusatkan kajiannya pada pernyataan-pernyataan
Luther tentang teori penafsiran biblikal, tetapi juga
terhadap praktek penafsiran yang dilakukannya seperti
yang didapatkan dengan menganalisis khutbah-khutbah
yang diberikan dan tulisan-tulisannya yang lain.
2 Hermeneutika sebagai metode filologi secara umum

 Konsekuensi dari perluasan ruang lingkup Hermeneutika


yang meliputi teks-teks non-biblikal, maka dimulailah
kecenderungan untuk memperlakukan kitab suci sama
dengan perlakuan terhadap buku-buku sekuler lainnya.
Dalam sebuah panduan hermeneutika yang ditulis 1761,
Ernesti menyatakan bahwa makna verbal kitab suci
harus ditetapkan secara sama seperti yang dilakukan
terhadap buku-buku lain.[1] Hal senada diungkap oleh
Spinoza, bahwa norma penafsiran biblikal hanya bisa
menjadi penerang untuk akal yang sama.[2] Dengan
mencermati perkembangan semacam ini metode
penafsiran biblikal menjadi sama saja dengan filologi
klasik yang menjadi dasar teori penafsiran sekuler,
sebuah bangunan yang menjadi landasan bagi definisi
modern kedua bagi hermeneutika sebagai metode
filologi.

[1] F.W. Farrar, History of Interpretation, hal. 402 dalam Palmer, Hermeneutics, 38. [2] Palmer, 38.
Hermeneutika sebagai Ilmu
pemahaman linguistik
 Hermeneutika dianggap sebagai “seni” atau
“ilmu” memahami, sebagaimana dilontarkan
oleh F. Schleiermacher. Di sini,
hermeneutika mengimplikasikan sebuah
kritik radikal terhadap landasan utama
filologi, yang mengharuskan hermeneutika
untuk bergerak mencapai batas luar
konsepsinya sebagai sekumpulan aturan-
aturan, dan untuk membuatnya koheren
secara sistematis, yaitu sebuah bidang ilmu
yang menjelaskan kondisi bagi pemahaman
dalam segala dialog. Hasilnya, bukan lagi
sekedar hermeneutika filologis, tetapi
hermeneutika yang bersifat umum yang
prinsip-prinsipnya dapat menjadi pondasi
bagi penafsiran segala macam teks.
Hermeneutika sebagai
Geisteswissenschaften
 Wilhelm Dilthey, seorang penulis biografi
F. Schleiermacher, kemudian,
mengkonsepsi hermeneutika menjadi
disiplin induk yang menjadi pondasi bukan
saja bagi penafsiran teks yang melandasi
definisi ketiga, tetapi menjadi definisi baru
yang meliputi segala disiplin yang
memusatkan perhatian pada pemahaman
seseorang terhadap seni, prilaku, dan
tulisan-tulisan yang disebut dengan istilah
geisteswissenschaften.
5 Hermeneutika sebagai Fenomenologi dan Pemahaman
Eksistensial

 Tokohnya adalah Martin Heidegger. Menurutnya, “pemahaman”


dan “interpretasi” merupakan bentuk dasar keberadaan manusia.
Dengan karyanya Being and Time, Heidegger menandai perubahan
dalam perkembangan hermeneutika, yang di satu sisi terkait
dengan dimensi ontologis pemahaman, dan pada saat yang sama
hermeneutika diidentifikasikan dengan konsepsinya tentang
fenomenologi secara khusus.
 Selanjutnya, Hans Georg Gadamer mengembangkan implikasi
dari sumbangan pemikiran Heidegger menjadi sebuah karya
sistematik tentang “hermeneutika filosofis”.[1] Karyanya yang
lain, Truth and Methode, merupakan upaya untuk menghubungkan
hermeneutika kepada aspek-aspek estetika dan filosofis sejarah
pemahaman. Dalam hal ini, hermeneutika dibawa selangkah lebih
jauh tetapi masih dalam fase “linguistik” dengan pernyataan
Gadamer bahwa keberadaan yang bisa dipahami adalah bahasa,
sehingga hermeneutka adalah sebuah pertemuan dengan yang
ada melalui bahasa.
[1] Lihat H.G. Gadamer, Philosophical Hermenutics. (terj. David
E. Linge). Berkeley: University of California Press, 1977.
6 Hermeneutika sebagai sistem penafsiran
 Tokoh yang pertama mengadopsi konsep ini adalah Paul Ricoeur.
Dalam bukunya de l’interpretation (1965), ia mengatakan, “kami
mengartikan hermeneutika teori tentang aturan yang mengatur
sebuah penafsiran, atau dapat dikatakan, interpretatsi teks khusus
atau kelompok tanda yang bisa dianggap sebagai teks.”[1]
 Pada tahap ini, hermeneutika menjadi proses penggalian makna
yang dari sesuatu yang isi dan makna yang manifest menuju makna
yang tersembunyi atau laten. Objek penafsirannya sendiri yang
berupa teks, dalam bentuk yang sangat luas bisa terdiri dari
lambang-lambang dalam mimpi, atau bahkan mimpi dan kejadian
dalam mitos dan simbol-simbol masyarakat atau karya sastra.
Dalam hal ini, Ricoeur membedakan antara:
 simbol-simbol yang jelas merujuk kepada satu makna (univocal)
dan
 simbol-simbol yang samar-samar dan mengandung beragam
makna (equivocal).
 Yang terakhir inilah yang menjadi fokus perhatian hermeneutika.
Menurutnya, hermeneutika berkaitan dengan teks-teks simbolik
yang memiliki makna ganda. Makna ganda ini bisa jadi menyusun
sebuah kesatuan semantik yang ---seperti dalam mitos-mitos---
memiliki makna zahir yang jelas dan pada saat yang sama juga
sebuah signifikansi yang mendalam. Hermeneutika, menurut
Ricouer, adalah sistem yang memunculkan signifikansi batin dari
dalam substansinya yang tampak.

[1] P. Ricoeur, de l’interpretation: essai sur freud. Paris: editions du Seuil, 1965, h. 18, dalam Palmer, Hermeneutics, h. 43.,
6

 Ricoeur membedakan dua sindrom hermeneutika:


 upaya untuk menemukan makna yang tersembunyi,
seperti“demitologisasi” Rudolf Bultmann
 upaya untuk membongkar simbol yang menjadi representasi
realitas yang salah, seperti ditampilkan oleh Marx, Nietzsche,
dan Freud yang membongkar kedok-kedok dan ilusi-ilusi melalui
gerakan rasionalisasi yang tiada henti dalam upaya
“demistifikasi”.
 Pengikut aliran demythologizer (atau “demitologisasi”)
memperlakukan simbol atau teks sebagai jendela menuju realitas
sakral, sementara kaum demystifier memperlakukan simbol yang
sama (sebut saja teks kitab suci) sebagai sebuah kenyataan salah
yang harus dihancurkan.
 Pendekatan Ricoeur dalam mengkaji Freud berupaya menemukan
dan menafsirkan kembali signifikansi Freud dengan cara baru pada
momen kesejarahan masa kini. Ricoeur berusaha untuk menerobos
rasionalitas keragu-raguan dan kepercayaan terhadap interpretasi
rekolektif dalam sebuah filsafat reflektif yang tidak kembali ke
dalam abstraksi atau menjadi lebih buruk dengan pengajuan
keragu-raguan secara sederhana.

Anda mungkin juga menyukai