Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HERMENEUTIKA

“RUANG LINGKUP DAN KONSEP DASAR HERMENEUTIKA”

Dosen pengampu: Hulaimi Al-Amin, MA

Disusun Oleh:

 Muhammad Muhsana Efendi (200601044)

 Guslan Rohmansyah (200601)

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk mememenuhi mata kuliah
“Hermeneutika” dengan judul “Ruang lingkup dan konsep dasar hermeneutika”.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad Shallallhu ‘alaihi Wasallam, kepada keluarga, para sahabat, dan
pengikutnya, dengan penuh harapan kelak kita mendapatkan syafa’atnya di hari
akhir nanti. Dengan kerendahan hati dan kesadaran penuh, penulis sampaikan
terima kasih kepada berbagai sumber refrensi, baik secara langsung maupun tidak
langsung.

Penulis berharap Tugas makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan kita. Sekian pengantar dari penulis,
semoga bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. penulis
menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca agar mengetahui yang mana
harus diperbaiki maupun ditambahkan.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses hermeneutik dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur
dialektika manusia yang semakin kompleks dan terbuka di dalam memahami
pesan-pesan ketuhanan. Dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga
model, yaitu hermeneutik sebagai cara atau hermeneutik teoritis, hermeneutik
sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis,
hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutik kritis.
Problema hermeneutik dalam kajian agama, lebih- lebih filsafat, makin
bertambah penting mengingat penafsiran ulang terhadap suatu teks. Dalam proses
menerjemahkan tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah
pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historisitas yang
kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekedar
memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Namun di balik
proses hermeneutik berjubel-jubel elemen lain yang saling berkait, seperti
praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
Secara historis, penggunaan hermeneutika dapat ditemukan dalam karya-
karya klasik pemikir Yunani kuno, seperti tulisan Aristoteles Peri
Hermenias atau de intepretatione.Minat utama Aristoteles dan pemikir-pemikir
masa tersebut adalah intepretasi terhadap ungkapan-uangkapan, baik lisan maupun
tulisan, yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Asumsi hermeneutika pada
masa tersebut bersifat personal, bahwa setiap orang mempunyai pengalaman-
pengalaman mental sendiri-sendiri sehingga berpengaruh terhadap cara
pengungkapan dan gaya bahasa yang berbeda pula. Oleh karena itu, tujuan
hermeneutika pada masa itu antara lain untuk memahami bentuk-bentuk ekspresi
manusiawi dari peristiwa mental manusia.1
Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodernisme,
hermeneutika mulai berperan sebaga salah satu disiplin yang sangat kritis
terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Ia tidak lagi sebagai teori
penafsiran, akan tetapi menempatkan diri sebagi kritikus metode penafsiran.
Hermeneutika di sini mulai berubah menjadi “metateori tentang teori intepretasi”.2
Oleh karena itu, berdasarkan asumsi diatas, dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang Hermeneutika dengan pokok pembahasan; ruang lingkup dan
konsep dasar Hermeneutika.
B. Pokok Bahasan
1. Konsep dasar Hermeneutika
2. Ruang lingkup Hermeneutika
C. Tujuan
1. Mengetahui Konsep dasar Hermeneutika
2. Mengetahui Ruang lingkup Hermeneutika

1
M.Amin Abdullah, dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-
Qur’an menurut Hasan Hanafi, ( Jakarta, TERAJU, 2002) hlm: xxi
2
Ibid
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dasar Hermeneutika
Hermeneutik adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman teks.
Kajian hermeneutik berkembang sebagai sebuah usaha untuk menggambarkan
pemahaman teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan
demikian, hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan
saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman teks, 2) persoalan yang
mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu3.
Secara etimologi kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari Yunani,
hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Ia merupakan sebuah
proses mengubah sesuatu dari situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Oleh
sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah sebagaimana menafsirkan sebuah teks
klasik dan asing menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat berbeda 4.
Istilah hermeneutika juga kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani,
Hermes, yang bertugas menyampaikan tugas Yupiter kepada manusia. Mitos ini
menjelaskan tugas seorang hermes yang begitu penting, yang bila keliru dapat
3
Hery, Musnur et al, Richard E. Palmer, Interpretation Theory In Scheimacher, Dilthey, Heidger
dan Gadamer, terj. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005, h. 08
4
Umiarso, Hasan Hanafi; Pendekatan Hermeneuti Dalam Menghidupkan Tuhan, Sebuah Bungan
Rampai, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, h. 193
berakibat fatal. Hermes adalah seorang duta yang dibebani misi menyampaikan
pesan sang dewa. Berhasil atau tidaknya misi menyampaikan pesan tersebut
tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian,
hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan
menjadi tahu.5
Ebeling (dalam grondin,1994:20) membuat interpreatasi yang banyak
dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan hermes. Menurutnya,
proses tersebut mengandung tiga makna hermeneutis yang mendasar, yaitu :(1)
mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata
sebagai medium penyampaian; (2) menjelaskan secara rasional sesuatu yang
sebelumnya masih samar-samar sehingga maknanya dapat dmengerti; dan (3)
menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai
pemirsa. Tiga pengertian tersebut akhirnya terangkum dalam pengertian
“menafsirkan” (interpreting, understanding). Hal ini karena segala sesuatu yang
masih membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal, dan
penerjemahan bahasa, pada dasarnya mengandung proses ‘ memberi pemahaman’
atau dengan kata lain menafsirkan. Dengan demikian, hermeneutika merupakan
“proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti
(sumaryono, 1999:24). Dalam defisini yang agak berbeda, dikatakan bahwa
hermeneutika sebagai suatu metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa
teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya,
dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa
lampau yang tidak di alami, kemudian dibawa kemasa sekarang (fais, 2003:9).

Tentang istilah hermeneutika sendiri secara historis baru muncul pertama kali
dalam karya Johann Konrad Dannhauer, seorang teolog Jerman, yang berjudul
Hermeneutika Sacra, Shive Methodus Exponendarums Sacrarum yang ditulis
pada tahun 1654. Sebagai seorang teolog, hermeneutika yang dibahas masih
terbatas dalam penafsiran teks-teks Bibel.6

5
Sumaryono, E, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 2003, h. 24-25
6
Mudjia Raharjo,. Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, h. 54
Istilah hermenutika sebagai “ilmu tafsir” pertama kali muncul pada sekitar
abad ke 17 dengan dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat
prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari
sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Carl
braathen merupakan filosof yang mengakomodasi kedua pengertian tersebut
menjadi satu dan menyatakan bahwa hermeneutika adalah “ ilmu yang
merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa dimasa dan kondisi yang
lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata dimasa sekarang sekaligus
mengandung aturan-aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan
asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman (fais 2003:10).7

Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang.


Schleiermacher, filusuf yang kelak digelari Bapak hermeneutic modern,
memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab
suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar
artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan hingga akhir abad
ke-20.
Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang
teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami
kandungan makna literalnya, lbih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan
mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon
pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri.

Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut, diharapkan upaya


pemahaman atau penafsiran yang dilakukan akan menjadi kegiatan rekonstruksi
dan reproduksi makna teks. Selain melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan
oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh
pengarang ke dalam teks, sebauah aktivitas penafsiran sesungguhnya juga
berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi
saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode

7
Mudjia raharjo, daasar-dasar hermeneutika, ar ruzz media, yogjakarta, 2008, hal 28-30
penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam
kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontekstualisasi.

Dengan demikian untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap


suatu teks, keberadaan konteks diseputar teks tersebut tidak bisa dinafikan. Sebab,
kontekslah yang menentukan makna teks, bagaimana teks tersebut harus
dipahami. Dengan demikian, teks yang sama dalam waktu yang sama dapat
memiliki makna yang berbeda dimata “penafsir” yang berbeda; bahkan seorang
“penafsir” yang sama dapat memberikan pemaknaan teks yang sama secara
berbeda-beda ketika ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Dengan demikian, dalam konteks perbincangan hermeneutika yang saat ini


berkembang, setidaknya terdapat tiga pemahaman yang dapat diperoleh, yaitu :
pertama, hermeneutika dipahami sebagai teknik praksis pemahaman atau
penafsiran. Pemahaman ini lebih dekat dengan tindakan eksegesis, yakni kegiatan
memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna
tentang sesuatu agar dapat dipahami. Kedua, hermeneutika dipahami sebagai
metode penafsiran. Dalam konteks ini, ia berisi perbincangan teoritis tentang the
conditions of possibility sebuah penafsiran. Ia menyangkut hal-hal apa yang
dibutuhkn atau langkah-langkah bagaimana yang harus dilakukan untuk
menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, hermeneutika
dipahami sebagai filsafat penafsiran. Dalam pemahaman ini, hermeneutika
menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan
bagaimana pemahaman manusia tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan
disanggah.8

B. Ruang lingkup Hermeneutika


Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan-perubahan.
Kronologi perkembangan pengertian dan pendifinisiannya dengan lengkap
diungkapkan oleh Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutics Interpretation
Theory in  Schleirmacher, Dilthey, Heiddeger, and Gadamer (1969), yang
diterjemahkan oleh Musnur Hery menjadi Hermeneutika Teori Baru mengenai
8
Mudjia raharjo, daasar-dasar hermeneutika, ar ruzz media, yogjakarta, 2008, hal 31-33
Interpretasi (2003). Dalam buku tersebut Richard E. Palmer membagi
perkembangan hermeneutika menjadi enam kategori, yakni (1) hermeneutika
sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3)
hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai fondasi
dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai
fenomenologi dasein, dan (6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi.

1) Hermeunitika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci


Terminologi hermeunitika dalam pengertian ini pertama kali
dimunculkan sekitar abad 17-an oleh J.C Dannhauer. Meskipun
sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori-teori
penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang
hukum, sudah berlangsung sejak lama. Misalnya dalam agama Yahudi,
tafsir terhadap teks-teks Taurat telah dilakukan oleh para Ahli Kitab.
Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam penafsiran terhadap
kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab Anthiokia
dan penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria.
Demikian juga dalam Islam, ilmu tafsir (hermeunitika Al-Qur’an) dipakai
sebagai upaya untuk memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul
beraneka macam metode tafsir. Hermeunitika Al-Qur’an dalam perspektif
ini dijadikan sebagai sebuah teori tafsir untuk mengungkapkan makna
“tersembunyi” di balik teks atau kitab suci.
2) Hermeneutika sebagai metode filologi
Dalam laju perkembangannya, hermeunitika mengalami perubahan
dalam memperlakukan teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan
perkembangan rasionalisme dan filologi pada abad pencerahan. Dalam
wilayah ini, sekalipun suatu teks berasal dari kitab suci, harus juga
diperlakukan sebagaimana teks-teks buku lainnya. Semua teks dipandang
sama-sama memiliki keterkaitan dengan sejarah ketika teks itu muncul. Itu
artinya, metode hermeunitika sebagai penafsiran kitab suci mulai
bersentuhan dengan teori-teori penafsiran sekuler seperti filologi.
Sumbangan yang berarti dalam memperkaya pengertian hermeunitika ini
berasal dari seorang teolog modern yang bernama Rudolf Bultman dengan
konsep penafsiran demitologisasinya dan Wilhelm Dilthey dengan
konsep historical understandingnya. Demikian pula terjadi di kalangan
pemaharu muslim, seperti Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad
Parves.
3) Hermeneutika sebagai pemahaman linguistik
Hermeunitika linguistik sebagai kelanjutan dari hermeunitika filologis,
ia telah melangkah lebih jauh di balik teks. Hermeunitika jenis ini menyatakan
bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak
sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi
dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan
kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain harus
juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat
mereproduksi pengalaman sang pengarang.
4) Hermeneutika sebagai pondasi dari ilmu kemanusiaan
Dalam perkembangannya, hermeunitika dalam perspektif ini dijadikan
sebagai metode untuk memperoleh makna kehidupan manusia secara
menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks
saja, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk sinyal
dan simbol, praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karya-
karya seni. Menurut Dilthey, suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami
dengan tiga proses. Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para
pelaku aksi. Kedua, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka
yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai
peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat
sejarawan yang bersangkutan hidup.
5) Hermeneutika sebagai fenomena dasein dan pemahaman eksistensial
Hermeunitika sebagai “hermeunitika dasein” merupakan hermeunitika
yang tidak terkait dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks dan juga tidak
terjait dengan metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan
pengungkapan fenomologis dari cara beradanya manusia itu sendiri. Pada
intinya menurut Edmund Husserl mengatakan bahwa pemahaman dan
penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi manusia.
6) Hermeneutika sebagai sistem interpretasi (penafsiran)
Setelah hermeunitika mengalami beragam pendefinisian di tangan
beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional
sampai merupakan bagian dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang
tokoh bernama Paul Ricoeur yang menari kembali diskursus hermeunitika ke
dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks. Lebih lanjut dia mengatakan,
hermeunitika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran yaitu penafsiran
terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap teks.
Hermeunitika juga bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat
dalam simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya.
Hermeunitika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat
mengurangi keanekaragaman makna dari simbol-simbol. Langkah pemahaman
Hermeunitika menurut Ricoeur ada tiga langkah yakni Pertama, langkah
simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna
oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah
filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang


dimaksud dengan Hermeneutika Secara etimologi kata hermeneutika
(hermeneutic) berasal dari Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau
menafsirkan. Ia merupakan sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi ketidak
tahuan menjadi mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah
sebagaimana menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi milik kita yang
hidup di zaman dan tempat berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Armas, Adnin, 2006. Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán,


dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo

Bleicher, Josep, 2003. Contemporery Hermeneutics, Hermeneutics as Method,


Philosophy, and Critique, London: Routhledge & Keegan Paul

Raharjo, Mudjia,2008. Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan


Gadamerian, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Richard E. Palmer, 2005. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher,


Dilthey, Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan
Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi .
Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai