Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH BALAGHAH AL-QUR’AN

Dzikr, Hadzf, Qasr, I,tiradh dan Iltifat Fawassil Al-Ayat

Dosen Pengampu: Agam Royana, Lc. M.

Disususn Oleh

Kelompok V

Uswatun Hasanah (200601039)

Muhammad Muhsana Efendi (200601044)

Faozan Wari (200601059)

Haufiana Hariyanti (200601061)

PRODI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS UHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti- nantikan syafaatnya di akhirat kelak.

Kami tentu menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk makalah ini supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf sebesar-besarnya kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada dosen yang telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian
semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Mataram, 29 Agustus 2022

Penulis
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
C. Tujuan ...........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Dzikr...............................................................................................................
B. Hadzf..............................................................................................................
C. Qasr................................................................................................................
D. I’tiradh............................................................................................................
E. Iltifat...............................................................................................................
F. Fawassil A-Ayat.............................................................................................

BAB III PENUTUP

Kesimpulan....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan hadits Nabi merupakan sumber agama Islam. Keduanya
menggunakan bahasa arab dan keduanya hanya mengatur serta menyinggung hal-hal
yang bersifat pokok, tidak menyebutkan uraian teknis secara rinci. Padahal keduanya
dimaksudkan mampu menjadi rujukan semua persoalan kehidupan hingga akhir alam
ini. Persoalan uraian teknis secara rinci, diserahkan kepada para tokoh agama untuk
mampu menjabarkannya.
Sejarah dan Dasar Pemikiran Ilmu Ma’ani Sejak jaman Al-Quran belum
diwahyukan kepada Rasulullah S.A.W , orang Arab sudah dikenal dengan kepiawaian
dan kefashihanya dalam membuat syair. Bait-bait yang yang mereka buat sangat
mempesona dengan gaya bahasa super, padahal pada waktu itu belum terlahir Ilmu
balaghah.
Bukti bahwa mereka pandai bersyair dengan bahasa yang fashih dan baligh
yaitu dengan adanya tantangan dari Allah Ta’ala agar mereka membuat yang serupa
dengan Al-Quran meskipun hanya satu ayat. Tantangan ini merupakan bukti bahwa
mereka mempunyai kemampuan untuk membuat ibaraat dengan gaya bahasa dan
fashahah yang tinggi. Namun, mereka tidak mempu melakukan hal itu.
Sebelum AlQuran diturunkan belum menjadi sebuah disiplin ilmu, namun
dalam keseharian sudah dipraktekkan dan diterapkan mereka melalui karya-karyanya
baik berupa syi’ir maupun natsr. Barulah kemudian setelah Al-Quran diwahyukan
kepada Rasulullah S.A.W, Ilmu Balahgah terlahir dan berkembang. Keindahan,
kefashihah dan ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an sangat berpengaruh besar terhadap
perkembangan ilmu balaghah. Ahli sastra Islam maupun non Islam sepakat bahwa
bahasa Al-Qur’an dan nilai-nilai keagungan di dalamnya adalah puncak balaghah
yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun.
Ilmu ma’ani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara memelihara kesalahan
dalam mengemukakan maksud pembicara (mutakallim) agar dapat diterima oleh
lawan bicara (mukhâthab).Ilmu Ma’ani merupakan bagian dari ilmu Balaghoh yaitu
yang mempelajari tentang cara atau metode pengungkapan bahasa yang indah dan
ungkapan yang fasih sesuai dengan tempat dan keadaan lawan bicara. Sehingga
seseorang sampai pada tujuan yang hendak dicapai.
Belajar ilmu balaghoh baik melalui ilmu Bayan, ilmu Ma’ani, mupun ilmu
Badi’ tujuannya sama tidak lain adalah agar memahami bahasa Al-Qur’an. Karena Al-
Qur’an sebagai pedoman hidup yang memiliki makna dan bahasa yang indah. oleh
karena itu, perlu untuk memahami kaidah-kaidah bahasa agar tidak salah dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Karena dalam Al-qur’an ada makna hakiki, ada pula makna
majazi dan banyak perumpamaan atau tasybih yang memiliki tujuan tertentu. Lafaz-
lafaz yang indah juga dibahas dalam ilmu Badi’. Kesesuaian dibahas dalam ilmu
Ma’ani, dan ilmu Bayan.
Pada akhirnya disini penulis akan memaparkan bagian dari ilmu bakaghah itu
yaitu,Ilmu Ma’ani beserta macam macam dan contohnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian dan Contoh Dzikr?
2. Bagaimana Pengertian dan Contoh Hadzf?
3. Bagaimana Pengertian dan Contoh Qashr?
4. Bagaimana Pengertian dan Contoh I’tiradh?
5. Bagaimana Pengertian dan Contoh Iltifat?
6. Bagaimana Pengertian dan Contoh Fawassil Al-Ayat?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pembahasan Dzikr, Hadzf, Qashr, I’tiradh, Iltifat dan
Fawassil Al-Ayat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dzikr
Al-Dzikr secara leksikal bermakna menyebut. Sedangkan dalam terminologi
ilmu balâghah al-dzikr adalah menyebut musnad ilaih. Al-Dzikr merupakan kebalikan
dari al-hadzf.

Dalam praktek berbahasa, al-dzikr mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

1. Al-Îdhâh wa al-tafrîq (menjelaskan dan membedakan) Penyebutan musnad


ilaih pada suatu kalimat salah satunya bertujuan untuk menjelaskan subjek
pada suatu nisbah. Jika musnad ilaih itu tidak disebutkan maka tidak akan
muncul kesan kekhususannya. Contoh,
2. Ghabâwah al-mukhâthab (menganggap mukhâthab bodoh) Mutakallim yang
menganggap mukhâthab tidak tahu apa-apa ia akan menyebut musnad ilaih
pada suatu kalimat yang ia ucapkan. Dengan menyebut musnad ilaih,
mukhâthab mengetahui fâ’il, mubtada, atau fungsifungsi lain yang termasuk
musnad ilaih. Demikian juga akan terhindar dari kesalahfahaman mukhâthab
pada ungkapan yang dimaksud.
3. Taladzdzudz (senang menyebutnya) Seorang mutakallim yang menyenangi
sesuatu ia pasti akan banyak menyebutnya. Pepatah mengatakan Jika
mutakallim menyenagi mukhâthab ia pasti akan menyebutnya, dan tidak akan
membuangnya.
B. Pengertian Hadzf
Al-Hadzf secara leksikal bermakna membuang. Sedangkan maksudnya dalam
terminologi ilmu balaghah adalah membuang musnad ilaih. Al-Hadzf merupakan
kebalikan dari al-dzikr. Dalam praktek berbahasa al-hadzf mempunyai beberapa
tujuan, yaitu:
Contoh Hadzf al-Mubtada':

َ ‫َو َما َأ ْد َرا‬


) 11-10 ‫ نَا ٌر َحا ِميَةٌ (القارغعة‬، ‫ك َما ِهيَ ْه‬
Dalam ayat diatas yang berfungsi sebagai subjek (Maubtada') tidak tampak,
dihilangkan yaitu karena terletak dalam jawaban dari pertanyaan atau dari pernyataan
sebelumnya, jika di ucapkan selengkapnya (‫َنا ٌر َحاِم َي ٌة )هي‬
Kemudian contoh hadzf al-fa'il adalah:

ِ ‫ َكال ِإ َذا بَلَ َغ‬٢٥ ٌ‫ تَظُ ُّن َأ ْن يُ ْف َع َل بِهَا فَاقِ َرة‬٢٤ ٌ‫اس َرة‬
‫ت التَّ َراقِ َي‬ ِ َ‫َو ُوجُوهٌ يَوْ َمِئ ٍذ ب‬
26-24 ‫القيامة‬٢٦
Memperhatikan konteks makna pada ayat diatas, tidak sulit bagi pembaca
memahami apa yang dikemukakan para mufassirin seperti al-Thabari, bahwa fail
kata‫ بلِغت‬adalah nyawa, suasana kritis pada saat-saat sakratulmaut itulah yang ingin
ditonjolkan dalam ayat tersebut sehingga subjek atau pelaku yaitu ruh menjadi tidak
begitu penting untuk disebutkan. Tanpa disebutkan secara eksplisit pun, toh
pembaca tidak akan sulit untuk memahami dan menampilkannya sendiri. Di sinilah
pula letak nilai fashahah ayat tersebut.

٣ َ‫ َ َكال َسوْ ف تَ ْعلَ ُمون‬٢‫ َحتَّى ُزرْ تُ ُم ْال َمقَابِ َر‬١ ‫َأ ْلهَا ُك ُم التَّ َكاثُ ُر‬
Lengkapnya kamu akan mengetahui akibat buruk dari perbuatan lalai karena
bermegah-megahan seperti yang tersebut pada ayat (1) sebelumnya. Dan Hadzf
maf'ul bih meliputi ‫ حذف المفعول ب ه لمراع اة‬،‫ يشاء شاء مفعول حذف المفعول به لقصد العموم‬،‫حذف‬
‫الفاصلة‬
Sedangkan contoh Hadzf al-Ma'thuf alaih adalah

ٌ‫ان َّيْأ ُكلُهُنَّ َس ْب ٌع عِ َجاف‬ ٍ ‫ت سِ َم‬ ٍ ‫ْق اَ ْف ِت َنا فِيْ َسب ِْع َب َق ٰر‬ ُ ‫ص ِّدي‬
ِّ ‫ي ُْوسُفُ اَ ُّي َها ال‬
ِ ‫ت لَّ َعلِّ ْٓي اَرْ ِج ُع ِا َلى ال َّن‬
‫اس َل َعلَّ ُه ْم َيعْ َلم ُْو َن‬ ٍ ۙ ‫ت ُخضْ ٍر وَّ ا ُ َخ َر ٰي ِب ٰس‬ ٍ ‫وَّ َسب ِْع ُس ۢ ْنب ُٰل‬
Dari segi makna, terasa terdapat beberapa kata yang tidak disebutkan (al-
Hadzf) dalam dua ayat tersebut. Dalam gaya bahasa biasa, lengkapnya seperti yang
dikemukakan para ulama'
Jadi selain kata-kata ‫ الرؤيا ألستعبره يوسف إلى ـي‬dalam ungkapan yang lengkap
tersebut terdapat beberapa fi'il yang berfungsi sebagai ma'thuf alaih ‫ففعلوا فأتاه فقال له‬
yaitu,
Adapun contoh Hadzf Jawab al-Syarth: َ ‫رُك َبا ًنا َفِإ َذا َأ ِم ْن ُت ْم َف ْاذ ُكرُوا هَّللا‬ ْ ‫َفِإنْ ِخ ْف ُت ْم َف ِر َجاال َأ ْو‬
‫ )أي َفِإنْ ِخ ْف ُت ْم َفـ)صلوا( ِر َجاال َأ ْو ُر ْك َبا ًنا‬٢٣٩ ‫( )البقرة‬٢٣٩) ‫ُون‬
َ ‫َك َما َعلَّ َم ُك ْم َما لَ ْم َت ُكو ُنوا َتعْ َلم‬
Tema ayat ini beserta ayat sebelumnya adalah tentang wajibnya salat
dilakukan walaupun dalam keadaan takut, seperti dalam situasi peperangan yang
tidak memungkinkan orang berbicara dengan kalimat lengkap. Maka dalam keadaan
darurat seperti ini jawab syarat yakni kalimat ‫ ص لوا‬dihilangkan, agar perhatian
mukhatab terfokus hanya kepada yang belum mereka ketahui saja, yaitu bagaiman
cara shalat dalam keadaan takut, yaitu sambil berjalan kaki ( ‫ ) جاال َِر‬atau ( ُ‫)ر ْك َباًنا‬
sambil berkendaraan
Kemudian bila kamu telah aman, maka shalatlah!. Di sini dalam keadaan
aman perintah shalat tidak ditampilkan dengan (‫ ( ص لواَف‬Mengenal Uslub tetapi
dengan ْ dalam bahwa mengingatkan untuk kiranya, َ‫ َف اذ ُ ُك روا َّلال‬keadaan aman,
lakukanlah shalat secara sempurna dengan khusyu' dengan memperhatikan inti
shalat, yaitu mengingat Allah (dzikrullah) Demikianlah ayat yang mengandung hadzf
ini dapat menimbulkan sugesti tentang wajibnya shalat, dalam keadaan apapun,
sebagai ibadah yang dapat membuat manusia merasa dekat serta senantiasa ingat
(dzikir) kepada Maha Pencipta.
1. untuk meringkas atau karena sempitnya konteks kalimat.
2. Terpeliharanya lisan ketika menyebutnya.
3. Li al-hujnah (merasa jijik jika menyebutnya) Jika seseorang merasa jijik
menyebut sesuatu-apakah nama orang atau benda -ia pasti tidak akan
menyebutkannya atau mungkin menggantikannya dengan kata-kata lain
yang sebanding.
4. Li al-ta’mîm (generalisasi), Membuang musnad ilaih pada suatu kalimat
juga mempunyai tujuan untuk mengeneralkan pernyataan. Suatu pernyataan
yang tidak disebut subjeknya secara jelas akan menimbulkan kesan banya
pesan itu berlaku untuk umum (orang banyak).
5. Ikhfâu al-amri ‘an ghairi al-mukhâthab Kadang-kadang seorang mutakallim
ingin merahasiahkan musnad ilaih kepada selain orang yang diajak bicara
(mukhâthab). Untuk itu ia membuang musnad ilaih, sehingga orang lain
tidak mengetahui siapa subjeknya.
C. Pengertian Qashr

Qashr secara bahasa sama dengan "takhsis" berarti pengkhususan, secara


terminologi berarti mengkhususkan sesuatu pada sesuatu dengan menggunakan cara-
cara tertentu. Dalam qashr mengandung dua bagian pokok yaitu maqshur (sesuatu
yang dikhususkan) dan maqshur 'alaih (yang menerima pengkkhususan).

Pembagian Qashr
1. Qashr hakiki Qashr hakiki adalah mengkhususkan sesuatu sesuai dengan
kenyataannya, tidak digantungkan pada yang lain. Seperti:
‫هّٰلِل‬
ِ ْ‫ت َو َما فِى ااْل َر‬
‫ض‬ ِ ‫ِ َما فِى السَّمٰ ٰو‬
“kepunyaan Allah lah segala apa yang ada di langit dan di bumi…” (QS.
2: 284).
Qashr pada ayat itu ditandai dengan mendahulukan kata yang mestinya
diakhirkan, yaitu lafazh “"‫ هللا‬.Disebut qashr haqîqi, karena berdasarkan
kenyataan yang sesungguhnya, bahwa yang memiliki sesuatu di langit dan
di bumi adalah Allah.
2. Qashr idhofi yaitu mengkhususkan sesuatu berdasarkan sandaran tertentu
(mu‟ayyan). Seperti firman Allah:
‫هّٰللا‬
ِ ‫اِنَّ َما ُ اِ ٰلهٌ َّو‬
‫اح ٌد‬
“…Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa …” (QS. 4: 171).
Ayat itu mengandung pengertian, bahwa –berdasarkan keyakinan
orang-orang Kafir, Isa dan Maryam adalah Tuhan – Allahlah Tuhan Yang
Maha Esa. Sehingga Allah hanya bersifat sebagai Tuhan.
D. Pengertian I’tiradh
Yaitu menyisipkan satu ungkapan dalam suatu teks. Seperti yang tampak pada
ayat berikut ini, dengan maksud memberikan penegasan sesuai konteks penyisipan
ْ ‫فَا ِ ْن لَّ ْم تَ ْف َعلُوْ ا َولَ ْن تَ ْف َعلُوْ ا فَاتَّقُوا النَّا َر الَّتِ ْي َوقُوْ ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ ۖ اُ ِع َّد‬
‫ت‬
َ‫لِ ْل ٰكفِ ِر ْين‬

Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka
takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang
disediakan bagi orang-orang kafir.

Jumlah mu’taridlah (kalimat sisipan) pada ayat tersebut adalah ( ْ‫تَ ْف َعلُو‬ ‫) َولَ ْن‬
yang terletak pada fi’il syarat dan jawabnya sebagai penegasan bahwa mereka tidak
dapat bahkan tidak akan dapat membuatnya.1
E. Pengertian Iltifat
Perpindahan dari bentuk dhamir muhkatab atau ghaib atau mutakallim kepada
bentuk lain, namun dengan syarat diakhirnya kembali pada bentuk yang sama. Itulah
yang disebut Iltifat.

Adapun bagian-bagian dari iltifat antara lain :

1
Moh. Makinuddin, “Mengenal Ushlub dalam Struktur Kalimat dan Makna”, Jurnal Studi
Islam, Vol. 14, No.02, Agustus 2018, hlm. 171
1. Iltifat dari Uslub ghaib kepada Uslub mengajak bicara (orang pertama pada
kata ganti orang kedua), seperti firman-Nya, Q.S yasiin ayat 22

َ‫َو َما لِ َي ٓاَل اَ ْعبُ ُد الَّ ِذيْ فَطَ َرنِ ْي َواِلَ ْي ِه تُرْ َجعُوْ ن‬
Artinya : Mengapa aku tidak menyembah (tuhan) yang telah
menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan
dikembalikan?
2. Iltifat dari Uslub mengajak bicara kepada Uslub ghaib (kata ganti orang kedua
kepada orang ketiga) seperti dalam firman-Nya Q.S Al-Kautsar ayat 1-2

‫ك ْال َكوْ ثَ ۗ َر‬


َ ‫اِنَّٓا اَ ْعطَي ْٰن‬
ْ‫ك َوا ْن َحر‬ َ َ‫ف‬
َ ِّ‫صلِّ لِ َرب‬
Artinya : Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat
yang banyak. Maka dirikanlah shalat karenaTuhanmu; dan berkorbanlah.
3. Iltifat dari uslub berbicara kepada uslub ghaib (kata ganti orang kedua kepada
orang ketiga) dalam firman-Nya Q.S Al-imran ayat 9
ُ ِ‫ْب فِ ْي ِه ۗاِ َّن هّٰللا َ اَل ي ُْخل‬
‫ف ْال ِم ْي َعا َد‬ َ ‫اس لِيَوْ ٍم اَّل َري‬
ِ َّ‫ك َجا ِم ُع الن‬
َ َّ‫ࣖ َربَّنَٓا اِن‬
”Ya Tuhan kami, Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari
yang tidak ada keraguan padanya.” Sungguh, Allah tidak menyalahi janji.

F. Fawassil Al-Ayat
Al-Fashilah (Al-Fawashil) adalah kalam (pembicaraan) yang terpisah dari
kalam yang setelahnya, yang terkadang ia di ujung ayat dan terkadang tidak. Dan
Fashilah terletak di akhir penggalan pembicaraan. Ia dinamakan dengan hal itu karena
kalam terputus (berakhir) di tempat itu.2
Di dalam al-Qur’an, Fashilah (al-Fawashil) itu bermacam-macam, di antaranya:
1) Pemisah ayat yang hampir sama (Fashilah mutamatsilah), seperti dalam firman-
Nya:

)٤(‫ت ْال َم ْع ُموْ ۙ ِر‬


ِ ‫) َّو ْالبَ ْي‬٣( ‫ق َّم ْن ُشوْ ۙ ٍر‬
ٍّ ‫) فِ ْي َر‬٢( ‫ب َّم ْسطُوْ ۙ ٍر‬ ُّ ‫َو‬
ٍ ‫) َو ِك ٰت‬١( ‫الطوْ ۙ ِر‬
” Demi bukit, dan kitab yang ditulis, pada lembaran yang terbuka, dan demi
Baitul Ma'mur.”(QS. Ath-Thuur: 1-4) Dan firman-Nya:

ِ ۚ ‫) َوالَّ ْي ِل اِ َذا يَس‬٣(‫) َّوال َّش ْف ِع ۙ َو ْال َو ْت ۙ ِر‬٢(‫) َولَيَا ٍل َع ْش ۙ ٍر‬١(‫َو ْالفَجْ ۙ ِر‬
)٤(‫ْر‬

2
Syatibi, Ahmad, Balaghah II (Ilmu Ma’ani) Pengantar Memahami Makna Al-Jaman, (Jakarta:,
Terjemahan Center Fak. Adab UIN Jakarta, hal. 12-14.
” Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan
malam bila berlalu.”(QS. Al-Fajr: 1-4) Dan firman-Nya:

َ ۙ َّ‫ْح اِ َذا تَنَف‬


‫س‬ َ ۙ ‫) َالَّي ِْل اِ َذا َع ْس َع‬١٦( ‫ار ْال ُكنَّ ۙ ِسو‬
ِ ‫) َوالصُّ ب‬١٧( ‫س‬ ِ ‫) ْل َج َو‬١٥( ‫فَٓاَل اُ ْق ِس ُم بِ ْال ُخنَّ ۙ ِسا‬
)١٨(
” Sungguh, aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam,
demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh
apabila fajarnya mulai menyingsing.”(QS. At-Takwir: 15-18).
2) Pemisah ayat yang berdekatan dalam huruf (Fashilah mutaqaribah fi huruf),
seperti firman-Nya:

)٥( ‫ك يَوْ ِم ال ِّدي ۗ ِْن‬


ِ ِ‫) مٰ ل‬٤(‫الرَّحْ مٰ ِن ال َّر ِحي ۙ ِْم‬
” Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari
pembalasan.”(QS. Al-Fatihah: 3-4)
Hal ini karena dekatnya huruf miim dengan nuun dalam akhir kata. Dan
firman-Nya:

‫) ِبَلْ َع ِجب ُْٓوا اَ ْن َج ۤا َءهُ ْم ُّم ْن ِذ ٌر ِّم ْنهُ ْم فَقَا َل ْال ٰكفِرُوْ نَ ٰه َذا‬١( ‫ۤق َۗو ْالقُرْ ٰا ِن ْال َم ِجيْد‬
)٣(‫) َءاِ َذا ِم ْتنَا َو ُكنَّا تُ َرابًا ۚ ٰذلِكَ َرجْ ۢ ٌع بَ ِع ْي ٌد‬٢( ۚ ٌ‫َش ْي ٌء ع َِجيْب‬

Qaaf Demi al-Qur'an yang sangat mulia. (Mereka tidak menerimanya)


bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi
peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang
kafir:"Ini adalah suatu yang amat ajaib" Apakah kami setelah mati dan setelah
menjadi tanah (kami akan kembali lagi), itu adalah suatu pengembalian yang
tidak mungkin.”(QS. Qaaf: 1-3)
Karena huruf dal dengan ba berdekatan.
3) Pemisah ayat yang bertepatan (Fashilah Mutawaziyah), yaitu jika dua kata sama
dalam wazn (pola) dan huruf-huruf sajaknya, seperti firman-Nya

)١٤(ۙ ٌ‫) َّواَ ْك َوابٌ َّموْ ضُوْ َعة‬١٣( ۙ ٌ‫فِ ْيهَا ُس ُر ٌر َّمرْ فُوْ َعة‬
” Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak
(didekatnya).”(QS. Al-Ghaasyiyah: 13-14)

Anda mungkin juga menyukai