Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

GHARAIB AL-QUR’AN
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah Ilmu Tafsir

OLEH KELOMPOK 13 MBS 2-D

Marlina (3721152)
Welli Putrianti (3721154)

Dosen Pengampu :
Wandi. A, S.Th.I, M.Ag

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI
TP 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Gharaib Al-Quran” ini tepat pada waktunya. Selawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW yang membawa umat
manusia untuk menuntun pada kebenaran dan membawa kita dari kegelapan menuju
jalan yang terang benderang seperti saat sekarang saat ini.

Adapun judul dari makalah ini yaitu “Gharaib Al-Qur’an”. Dalam


menyelesaikan makalah ini, penulis mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu pemakalah sangat berterima kasih kepada Bapak Dosen Wandi.
A,S.Th.I,M.Ag

Pengantar menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Melalui kata
pengantar ini penulis meminta maaf apabila isi makalah ini ada kekurangan dan ada
tulisan yang penulis buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca. Dengan
ini, penulis persembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Bukittinggi, 8 Juni 2022

Penul

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................2
1. Latar Belakang...........................................................................................................2
2. Rumusan Masalah......................................................................................................2
3. Tujuan........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3
1. Pengertian Gharaib.....................................................................................................3
2. Cara Menafsirkan Ayat Ayat Gharaib.......................................................................7
3. Contoh Gharaib Dalam Al-Qur’an.............................................................................12
4. Faedah Megetahui Gharaib Al-Qur’an......................................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................................16
1. Kesimpulan................................................................................................................16
2. Saran..........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................17
FOTO BUKTI BUKU..........................................................................................................18

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam Al-Quran terdapat beberapa pelajaran dari Allah yang dikemas
dengan berbagai model yang unik dan indah bahkan ada yang sangking uniknya
manusia tidak dapat memahaminya secara langsung tapiharus melalui proses
sangat panjang dan ketelitian yang tajam, sebagai contoh ayat Gharaib Al-Quran
Gharaib Al-Quran bukanlah ayat yang buiasa digunakan dalam Al-
Quran, bukan lafadznya melainkan makna yang terkandung dalam sebuah ayat
tersebut. Hal ini mengakibatkan munculnya rasa penasaran bagi orang Islam
(khususnya) dan non muslim (umumnya). Seakan-akan di dalam Al-Quran
terdapat kerancuan makna dan kata yang tidak cocok bila digabungkan dengan
kalimat yang lain, pdahal Al-Quran adalah pedoman dan tuntunan hidup bagi
seluruh makhuknya.

B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian Gharaib Al-Quran?
2) Bagaimana cara menfasirkan ayat-ayat yang Gharaib?
3) Contoh Gharaib dalam Al-Qur’an?
4) Apa faedah mengetahui Gharaib Al-Quran?

C. Tujuan Penyelesaian
1) Untuk mengetahui pengertian dari Gharaib Al-Quran
2) Untuk mengetahui cara menafsirkan aya-ayat Al-Quran yang Gharibah
3) Untuk mengetahui contoh gharaib dalan Al-Qur’an
4) Untuk mengetahui faedah Gharaib Al-Quran

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gharaib
Lafal gharaib berasal dari bahasa Arab, yakni jamak dari gharibah yang berarti
asing atau sulit pengertiannya. Apabila dihubungkan dengan Alqur'an maka yang
dimaksud dengannya ialah ayat-ayat Alqur'an yang sukar pemahamannya sehingga
hampir-hampir tak dimengerti seperti kata ‫ َاًّبا‬dalam ayat 31 dari 'Abasa ‫َو َفاِكَهًة َّو َاًّبا‬.
Jangankan kita yang bukan bangsa Arab, bahkan orang Arab asli dan sahabat utama
Rasul Allah yang langsung menerima Alqur'an dari beliau seperti Abu Bakar dan
'Umar bin al-Khaththab tak paham maksud kata tersebut; padahal tak disangsikan
lagi ketajaman pikiran dan keluasan pengetahuan mereka tentang Alqur'an. Karena
itulah Abu Bakar menjawab ketika ditanya tentang ayat tersebut: "Mana langit
yang akan menaungiku, dan mana bumi tempatku berpijak, bila kakatakan sesuatu
yang tidak aku ketahui dalam kitab Allah?". Dalam ungkapan lain Umar juga
mengakui ketidakmampuannya memahami kata tersebut seperti ditegaskannya:
"Kata ‫ َفاِكَهًة‬jelas bagi kita pengerti ya, tapi yang dimaksud dengan ‫ "?َاًّب ا‬Umar
tertegun lalu berkata kepada dirinya: "Ini terlalu berberat-berat hai Umar"
Cuplikan peristiwa di atas dapat dijadikan bukti bahwa dalam Alqur'an memang
ada ayat-ayat yang sukar dipahami. Ayat-ayat serupa itulah yang dimaksud dengan
gharaib Alqur'an.1
Perbedaan Pandangan seputar apakah di dalam al-Qur’an terdapat lafal yang
bukan bahasa orang- orang Arab?
Sebenarnya, para ulama telah sepakat bahwa al-Qur’an itu berbahasa arab,
hanya saja mereka berselisih pendapat tentang: Apakah dalam al-Qur’an itu
terdapat terdapat kata- kata yang berasal bukan dari bahasa orang- orang arab?
Dalam hal ini, terdapat 2 aliran:
1. Aliran pertama, yaitu aliran jumhur. Tokohnya adalah al-Qadhi Abu Bakar,
Ibnu at- Tayib, al- Bakilani, Imam Syafi’i dan ulama lain. Mereka
mengatakan, ” al-Qur’an itu keseluruhannya berbahasa arab, dan didalamnya
tidak terdapat kata- kata yang dinisbatkan pada bahasa lain.” hanya saja kata-

1
Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, Hal. 267.

3
kata itu sesuai dan berlaku pada bahasa- bahasa lain, sehingga orang Arab,
Parsi, Habasyah, dan lainnya menggunakan kalimat itu.”Kemudian
ditegaskan pula, banyak nash al-Qur’an yang menunjukan bahwa al-Qur’an
itu berbahasa arab, baik susunan, lafalnya, uslubnya dan ucapannya diantara
nash- nash tersebut adalah :
1. Firman Allah:“Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, Dengan bahasa
Arab yang jelas.” (Qs. Asyu’ara:194-195)
2. Firman Allah:“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, Yakni bacaan dalam
bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui”. (Qs. Fushilat:3)
3. Firman Allah:”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (Qs. Yusuf:2)
4. Firman Allah:”(ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada
kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” (Qs. Az-Zumar: 28)

2. Aliran Kedua, yaitu aliran kelompok ulama yang mengatakan bahwa di


dalam al-Qur’an terdapat lafal yang bukan bahasa Arab. Lafal- lafal itu
karena jumlahnya sedikit, sehingga tidak bisa mengeluarkan kedudukan al-
Qur’an sebagai bahasa Arab yang jelas, seperti lafal ‫كاة‬WW‫ المش‬yang berarti
kuwwah, lafal “Al-Kifly” yang berarti ad-da’fu lafal “qasyarah” yang berarti
asad. Semua lafal ini berasal dari Habasyah, bukan bahasa arab. Begitu juga
lafal-lafal di bawah ini:
a. Lafal Al-Qistas artinya adil/mizan berasal dari Rum
b. “As-Sijjil” artinya “Al-Hijarah” dan “At-Tin” dari bahasa Parsi.
c. “Al-Gassaq” artinya “Al-Baridul Muntin” dari bahasa Turki
d. “Al-Yammu” artinya “Al-Bahru” dan “At-Tur” artinya “Al-Jabal” berasal
dari bahasa Suryani
e. “Sundus” artinya ar-Raqiq min as-satr dari bahasa hindi
f. “Istibraaq” artinya al-Ghalid (tanpa Qaf) dari bahasa parsi
g. “Tha-ha” artinya ya rojul dari bahasa Ibrani
h. “Siiniin” artinya Hasan dari bahasa nubtiyah

4
i. “Waraa’ahum malik” artinya amaamahum dari bahasa qibti
j. “Aliim” artinya al- Bahr dari bahasa qibti
k. “al-Aabb” artinya al- Hasyisy (sejenis tumbuhan yang memabukkan) dari
bahasa orang barat
l. “Inna naasyiat al-Lail” artinya Qooma min al-Lail dari bahasa habsy.
m. “Abariq” menurut Ats-tsa’labi di dalam fiqh lughah, kata itu berasal dari
bahasa parsi, sedangkan menurut al-Juwailiqi kata itu merupakan unsur
serapan bahasa arab dari bahasa parsi. Artinya adalah kendi tempat
menyimpan.
n. “Ibla’i” menurut ibnu Hatim telah mengeluarkan riwayat dari Wahhab bin
Munabbih tentang firman Allah, “Ibla’i ma’aka”. Ibnu Munabih mengatakan
bahwa kata itu berasal dari bahasa Habsy yang artinya adalah telanlah
(izdarihii).
o. “Akhlad” berasalh dari bahasa Ibriyah, dalam al- Irsyad, Al- Wasithi
mengatakan dengan ungkapan “Aklada ila ard”. Maksudnya adalah
menempel/melekat pada bumi.
p. “Al-’Ara’ik” berasal dari bahasa Habsyi, di dalam funun al-Afnan, Ibnu
al-Jauzi menuturkan bahwa maknanya adalah singgasan raja (sarir)
q. “Asfar” berasal dari bahasa suryani, dalam al-Irsyad, Al-Wasithi
mengatakan bahwa maknanya adalah kitab- kitab.
r. “Ishri” berasal dari bahasa Nabathi, dalam lughat al-Qur’an, Abu Qasim
mengatakan bahwa maknanya adalah “janjiku”.
s. “Akwab” berasal dari bahasa Nabathi, Ibnu al-Jauzi mengartikan sebagai
gelas
t. “Inahu” berasal dari penduduk barat, maknanya adalah matang
u. “Awwah” berasal dari bahasa Habsyi artinya penyantun
v. “Awwab” berasal dari bahasa Habsyi artinya disucikan
w. “Batha’inuha” berasal dari bahasa Qibthi, syadalah pernah mengatakan
mengenai firman Allah: Batha’inuha min istabroq, yakni bagian luarnya
(zhawahiruha).

5
Ibnu Atiyah berkata, “sebenarnya lafal-lafal ini asalnya bahasa Ajam (bukan
Arab), namun karena orang-orang arab menggunakannya dan
mengarabkannya. Maka lafal- lafal itu menjadi bahasa Arab. Sebenarnya,
orang arab itu sendiri mendapatkan pencampuran dari bahasa lain dari
tetangganya, sehingga mereka terpengaruh dengan lafal- lafal Ajam yang
mereka gunakan dalam syair- syair dan pembicaraanya. Kemudian lafal-
lafal itu berlaku seperti bahasa Arab yang sahih, secara demikianlah al-
Qur’an diturunkan “.
3. Alasan- alasan Jumhur Ulama (Aliran Pertama)
Jumhur Ulama beralasan dengan dalil- dalil yang menegskan bahwa al-
Qur’an itu berbahasa arab dan didalamnya tidak terdapat lafal- lafal yang
bukan bahasa arab atau nama- nama benda yang bukan bahasa arab. Seperti
kata Israil, Jibril, Imran, Nuh, dan Luth. Mereka beralasan dengan dalil- dalil
sebagai berikut:
a. Seringnya al-Qur’an mengulang- ulang lafal “‫ ”قراناعربيا‬di berbagai tempat
dalam al-Qur’an, sedangkan telah kita mafhumi bahwa lafal al-Qur’an itu
umum, mencakup semua surat dan semua ayat, mencakup pula semua
kalimat dan kosa- kata.
b. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa orang arab agar mereka bisa
memahami dan merenungkan artinya. Mustahil Allah SWT memberikan
firman-Nya kepada suatu bangsa dengan bahasa yang tidak dimengerti
mereka.
c. Allah SWT menolak anggapan orang musyrik arab tatkala mereka
mengira bahwa muhammad SAW menerima al-Qur’an dari salah seorang
ahli kitab kemudian Allah membantah anggapan mereka dengan firman
Allah dalam Qs. An-Nahl:103
“Dan Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata:
“Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya
(Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam , sedang Al Quran adalah
dalam bahasa Arab yang terang.”

6
d. Seandainya dalam al-Qur’an terdapat lafal yang bukan bukan dari bahasa
Arab atau lafal- lafalnya Ajam, pasti orang musyrik arab akan
mengumumkan untuk menentang al-Qur’an dan berhujah atas ketidak
benaran nubuwwah rasul SAW seperti firman Allah SWT:
“Dan Jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain
Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-
ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (Rasul
adalah orang) Arab”
e. Terdapatnya dalam al-Qur’an lafal yang dinisbatkan kepada bahasa lain
pada dasarnya karena persesuaian bahasa, dengan arti lafal tersebut dipakai
bersama oleh orang Arab, parsi dan lain- lain dan hal ini tidak berarti
mengeluarkan kedudukannya sebagai bahasa arab.

B. Cara Menafsirkan Ayat Ayat Gharaib


Permasalahan ini menjadi problema, khususnya setelah Nabi wafat sebab ketika
beliau masih hidup semua permasalahan timbul dapat ditanyakan langsung
kepadanya. Dengan begitu, selesai dan umat puas. Tentu tidak semua persoalan
sosial dan problema keagamaan muncul pada masa Nabi karena umur beliau relatif
singkat sementara persoalan kemasyarakatan tersebut berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, tidak heran bila banyak
timbul permasalahan yang rumit yang membutuhkan pemecahan segera,
sepeninggal Rasul Allah.
Namun Rasul Allah tidak sia-sia. Sebelum wafat, beliau telah lebih dulu
mengantisipasi permasalahan yang akan datang kemudian Dalam hal ini beliau
meninggalkan dua pusaka yang amat berharga bagi kita yaitu Kitab Allah dan
Sunnah Rasul. Nabi menjamin se penuhnya, siapa saja yang berpedoman kepada
keduanya, niscaya tak akan sesat selama-lamanya.
Hadis ini dikukuhkan oleh irman Allah dalam ayat 59 dari surat al-Nisa yang
berbunyi:
‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّرُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َفِاْن َتَناَز ْعُتْم ِفْي َش ْي ٍء َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّرُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم‬
‫ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْيًل‬

7
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Secara teoretis kembali kepada Alqur'an dan Sunnah boleh di sebut tak ada
masalah; tapi problema segera muncul dan terasa sekali memberatkan pikiran ketika
teori itu akan diterapkan untuk me mecahkan berbagai kasus yang terjadi di
masyarakat. Dalam hal ini tidak terkecuali permasalahan tafsir seperti kasus yang
dihadapkan kepada Abu bakar dan Umar yang telah dikutip di atas.
Ketika Nabi masih hidup permasalahan tafsir serupa itu belum sempat
ditanyakan, lalu beliau wafat, sementara ayat-ayat yang gharibah itu banyak yang
belum jelas pengertiannya. Oleh karenanya cara yang ditempuh ulama dalam
memahaminya ialah sebagai berikut:
1) Menafsirkan Alquran dengan Alquran
Contoh Surat al An’am ayat 82
Kata ‫ ظلم‬dalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka terasa membawa
pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab hampir tidak
ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah melakukan perbuatan
dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang mukmin yang hidupnya
tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan kata
dzulm dengan syirk berdasarkan pada surat Luqman ayat 13
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar”.
Dari penjelasan Nabi diatas dapat diketahui bahwa kata dzulm dalam surat al
An’am berarti syirk bukan ke-dzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah
persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat al An’am ayat

8
82 diterjemahkan sebagai berikut “orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah
yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk”.

2) Jika tidak ada dalam Alqurn, maka di cari dalam Sunnah


As Sunnah adalah penjelas dari al qur’an, dimana al qur’an telah menjelaskan
bahwa semua hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh karena itu
Rasulullah bersabda
‫َأَال إِّني ُأْو ِتْيُت الُقرآَن َوِم ْثَلُه َم َع ُه َيْع ِني الُس َّنَة‬
“Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur’an dan bersamanya pula
sesuatu yang serupa dengannya” yaitu sunnah

3) Kalau tidak juga ditemukan, maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat
Pendapat para sahabat lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah
berkumpul dengan Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau
yang bersih. Mereka menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun
nuzul dari sebuah ayat maupun surat dari al qur’an, mereka mempunyai kesucian
jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal memahami secara benar dan
selamat terhadap kalam Allah SWT. bahkan menjadikan mereka mampu
menemukan rahasia-rahasia al qur’an lebih banyak dibanding siapapun
orangnya.
4) Jika masih dijumpai, maka dicari dalam pendapat para sahabat dan tabi’in.
Sebagai contoh kata ‫ ُظْلٍم‬di dalam ayat 82 dari Al-An’am:
‫ٰۤل‬
‫َاَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا َو َلْم َيْلِبُس ْٓو ا ِاْيَم اَنُهْم ِبُظْلٍم ُاو ِٕىَك َلُهُم اَاْلْم ُن َو ُهْم ُّم ْهَتُد ْو َن‬
Pemakaian kata zhulm dalam konteks ayat itu terasa mem bawa
pemahaman yang asing dan seakan-akan tidak cocok dengan kenyataan sebab
hampir tak ditemukan orang-orang ber iman yang tak melakukan kezaliman.
Jika demikian halnya tentu tak ada orang beriman yang akan tenteram hidupnya
dan mereka tak akan mendapat petunjuk, atau dengan perkataan lain percuma

9
mereka beriman jika mereka tak akan selamat karena teramat sukar bagi mereka
untuk membebaskan diri mereka sepenuhnya dari kezaliman.
Oleh karena itu, sahabat bertanya kepada Rasul Allah; lalu Rasul
menafsirkan kata zhulm dalam ayat itu dengan syirik ber dasarkan ayat 13 dari
surat Luqman:
‫اَل ُتْش ِرْك ِباِهّٰللۗ ِاَّن الِّش ْر َك َلُظْلٌم َع ِظ ْيٌم‬
Artinya: “Jangan kamu mensekutukan Allah, sesungguhnya syirik its
kezaliman yang besar)”
Dari penjelasan Nabi itu diketahuilah bahwa kata th dalam ayat itu berarti
syirik bukan kezaliman biasa. Dengan p jelasan itu selesailah persoalannya.
Berdasarkan penjelasan N itulah maka ayat 82 dari al-An'am tersebut
diterjemahkan seb berikut “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukk iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-
or yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang-orang y mendapat
petunjuk”.

5) Melalui syi'ir (syair) Arab. Artinya untuk mengetahui maku dari ayat-ayat yang
sukar pengertiannya itu dicari padanas pemakaian dan maknanya dalam syair-
syair Arab.
Sebagian ulama menolaknya karena cara serupa itu menung mereka
berarti menjadikan syair sebagai asal bagi Alqur'an padahal Alqur'an sendiri
tidak menyukai syair seperti tampi pada kecaman dan celaannya terhadap para
penyair yang meng gubah syair tersebut sebagaimana ditegaskan Allah dalam ay
224-226 dari surat al-Syu'ara' sebagai berikut:
‫َو الُّش َعَر اُء َيَّتِبُعُهُم اْلَغ اُووَن َأَلْم َتَر َأَّنُهْم ِفي ُك ِّل َو اٍد َيِهيُم ون َو َأَّنُهْم َيُقوُلوَن َم ا اَل َيْفَع ُلوَن‬
(Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu
melihat, mereka menggembara di tiap-tiap lembah dan mereka mengatakan apa
yang mereka sendiri tidak melakukannya)
Dalam surat Yasin ayat 69 ditegaskan pula bahwa Allah tak pernah mengajarkan
syair kepada Nabi Muhammad saw dan tak pantas syair itu baginya.

10
Namun sebagian besar ulama tetap menjadikan syair sebagai salah satu cara
dalam memahami ayat-ayat Alqur'an. Cara serupa ini kata Abu Bakar bin al-
Anbari sebagaimana dikutip al-Suyuthi, banyak dilakukan oleh para sahabat
Nabi dan tabi'in. Dalam konteks ini Ibnu Abbas berkata: “Syair [bagaikan] kitab
(diwán) bagi bangsa Arab. Dari itu apabila sukar bagi kami memahami suatu
kata dari Alqur'an yang diturunkan Allah dalam bahasa Arab, maka kami
kembali kepada diwan itu [syair]: lalu kami mencari pemahaman kata darinya”.
Penegasan Ibnu Abbas ini mengandung makna bahwa para sahabat Nabi tidak
menjadikan syair sebagai dasar dalam memahami suatu kata melainkan sekadar
media atau alat bantu dalam me mahaminya. Hal itu mereka lakukan karena
Alqur'an diturunkan dalam bahsa Arab sebagaimana tak dapat disangkal oleh
siapa pun. Dengan demikian, bahasa Arab (syair) hanya berfungsi sebagai
jembatan atau alat untuk memahami ayat-ayat Alqur'an tersebut. Berdasarkan
kenyataan itu jelas bagi kita bahwa mereka sebenarnya tidak menjadikan syair
sebagai dasar dalam memahami ayat-ayat suci sebagaimana dituduhkan oleh
kelompok pertama tadi, melainkan sekadar alat bantu dalam upaya memahami
ayat-ayat itu. Jadi mereka tidak pernah menganggap syair Arab sebagai asal atau
rujukan dari Alqur'an. Jika demikian halnya, maka tidak ada salahnya bila kita
menggunakan syair Arab dalam memahami Alqur'an selama tidak menganggap
syair tersebut sebagai asal dari Alqur'an melainkan hanya sekadar memudahkan
pemahaman. Sebagai contoh kata “‫ ”َاْنَداًدا‬yang terdapat pada enam tempat dalam
Alqur'an yaitu ayat 22 dan 165 dari al-Baqarah; ayat 30 dari Ibrahim; 33 dari
Saba'; 8 dari al Zumar; dan 9 dari al-Fushshilat. Menurut Ibnu Abbas kata
tersebut. mengandung arti ‘bandingan’ sebagaimana pengertian serupa itu juga
ditemukan dalam syair Arab seperti ucapan Habib bin Rabi'ah.2

2
Ibid 1

11
C. Contoh Gharaib Dalam Al-Qur’an
1. Lafadz ‫ فاطر‬dalam Surat Fathir ayat 1 dan Surat Al An’am ayat 14.
Ibnu Abbas RA berkata, ”Dahulu saya tidak mengerti makna (faathiru al-
samaawaati wa al-ardh), Hingga dua orang badui menemui saya dan
keduanya berselisih perihal sebuah sumur. Salah seorang berkata kepada
temannya,“Ana fathartuha”, yakni “Ana abtada’tuha hafraha (Aku yang
memulai menggali dan membuatnya)” Ibnu Abbas RA juga berkata faathiru
al-samaawaati wa al-ardhartinya badii’ual-samaawaati wa al-ardh (Pencipta
pertama langit dan bumi), atau dalam riwayat lain disebutkan khaliqu al-
samawati wa al-ardhi (Pencipta langit dan bumi dari suatu ketiaadaan).Di
dalam tafsir Al-Maraghi lafadzfaathir berasal dari faathara asy-syaian yakni
“mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya”.Keghariban lafadz ini
terletak pada maknanya, dalam pembicaraan sehari-hari, fathara
diartikandengan makna membelah,seperti pada ayat “idzaa al-
samaainfatharat”.Namun pada ayat ini kata fathara mengandung arti
menciptakan.
2. Lafadz ‫حنانا‬di dalam surat Maryam ayat 13.
Lafadz ini asing dalam pembicaraan orang-orang Arab, Ibnu Abbas RA
tidak mengetahui apa maksud dari kata tersebut.
Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair, sesungguhnya Ia ditanya
tentang firman Allah: wa hanaanan min ladunna maka ia menjawab, “Aku
telah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, namun Ia tidak menjawab
apapun.”Dikeluarkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas,Iia berkata, “Demi
Allah, aku tidak tahu apa itu hanaanan.” Diriwayatkan oleh al-Firyabi dari
Isra’il dari Simak bin Harbi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, Ia berkata, “Aku
mengetahui semua yang ada dalam Al-Quran kecuali empat hal: ghislin, wa
hanaanan, awwah, dan arraqiim.Keghariban lafadz ini terletak pada
asingnya penggunaan kata tersebut dalam pembicaraan orang Arab sehari-
hari. Adapun penafsiran para mufassir dalam mengartikan
lafadzhanananadalah sebagai berikut:Dalam Tafsir Ath-Thabari
sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, Ali bin Abi

12
Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas, Ia mengatakan, wa hanaanan min
ladunna yakni rahmat dari sisi Kami.Dalam sebuah riwayat yang panjang,
Nafi’ bin Azraq menanyakan kepada Ibnu Abbas perihal lafadzhananan
tersebut apakah dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya? Beliau menjawab,
“Ya. Tidakkah kamu mendengar Tharfah bin Abd berkata:
‫ابا ُم ْنِذ ٍر َاْفَنْيَت َفاْسَتْبِق َبْع َض َناَح َناَنْيَك َبْعُض الَّش ِّر َاْهَو ُن ِم ْن َبْعض‬
Hai Abu Mundzir, kamu telah menghabiskan! Sisakan sebagian
untuk kami.Dua kasih sayangmu, sebagian kejahatan lebih ringan
daripada yang lain.
Selain pengertian di atas, para mufassir juga menafsirkan kata
tersebut dengan makna lain, namun semuanya masih saling
berdekatan.Mujahid mengatakan maknanya adalah tha’attufan min
rabbihi‘alaihi (perlakuan lemah lembut dari Tuhannya).Ibnu Zaid berkata
maknanya adalah mahabbah‘alaihi (rasa cinta terhadapnya.Atha’ bin Abi
Rabah mengatakan maknanya adalah ta’zhiman min ladunna(kemuliaan
dari sisi kami).

D. Faedah Megetahui Gharaib Al-Qur’an


Banyak faedah yang dapat dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat-
ayat yang gharibat antara lain sebagai berikut:
1) Mengundang tumbuhnya penalaran ilmiah. Artinya, mempelajari ayat-ayat yang
sulit pemahaman itu akan melahirkan berbagai upaya guna memahaminya.
Untuk maksud tersebut tentu diperlukan usaha yang maksimal dengan
memperhatikan pemakaiannya dalam bahasa Arab seperti syair dan sebagainya.
Dalam usaha serupa itu, jelas lebih banyak menggunakan pe mikiran rasional
daripada emosional. Apabila pola pikir semacam ini berkembang dengan baik
di kalangan para ulama dan ilmu wan, maka lahirlah karya-karya besar
sebagaimana telah dicatat oleh sejarah pada abad keemasan tempo dulu (VII-
XIII M.) yang sampai sekarang masih dapat ditemukan oleh umat. Lahirnya
berbagai aliran keagamaan dalam berbagai bidang seperti teologi, fikih,
tasawuf, tafsir, dan lain-lain dapat dijadikan bukti atas kebenaran tesis ini.

13
Jadi jika Alqur'an yang turun itu hanya berisi ayat-ayat yang biasa dan mudah
dipahami, maka kegiatan penalaran ilmiah kurang termotivasi; dengan demikian
tidak akan lahir analisis yang tajam. Akibatnya otak menjadi manja dan kurang
berpikir. Di sinilah berawalnya zaman kemunduran Islam yang sampai sekarang
masih terasa.
2) Mengambil perhatian umat. Dengan diketahuinya ke-gharib-an ayat-ayat
Alqur'an, maka terasa secara mendalam ketinggian bahasa yang dibawa oleh
Alqur'an, baik lafalnya, maupun makna yang terkandung di dalamnya. Dari
situ si pembaca dan pen dengarnya akan antusias dan serius memperhatikan
ayat-ayat yang dibacakan tersebut, sebab kata-kata yang disampaikannya
bukan kata-kata yang biasa mereka dengar, melainkan kata-kata yang asing
dan luar biasa.
Cara serupa ini salah satu metode dalam berdakwah. Sebagaimana kita
ketahui, Islam ialah agama dakwah, dan Alqur'an ialah kitab sucinya yang
akan menuntun para juru dakwah dalam berdakwah. Oleh karena itu, bahasa
yang diguna kan dalam kitab suci tersebut harus yang mampu menggugah
perasaan umat manusia agar mereka tertarik memeluk Islam. Dengan
dipakainya kata-kata yang sedikit asing, maka timbul keinginan untuk
mendengarkannya secara lebih serius. Dengan cara serupa itu, diharapkan
mereka akan tertarik mendalaminya, lalu mau mengikuti petunjuk-petunjuk
yang disampaikannya. Inilah tujuan akhir dari dakwah Islam.
3) Memperoleh keyakinan terhadap eksistensi Alqur'an sebagai kalam Ilahi.
Dengan diketahui maksud yang terkandung dalam ayat-ayat yang gharibat,
maka akan diperoleh suatu pemahaman yang mendalam dari ayat tersebut.
Dari uraian di muka, jelas bagi kita bahwa untuk memahami dan
menafsirkan ayat-ayat yang gharibat diperlukan keluasan pengetahuan, tidak
hanya tentang 'ulum Alqur'an, melainkan juga hal-hal yang berhubungan
dengan budaya, kondisi, adat istiadat, bangsa, dan bahasa Arab, terutama
yang ditemukan ketika Alqur'an diturunkan. Tanpa mengetahui hal-hal
tersebut tidak mustahil kita akan keliru dalam menafsirkan ayat-ayat yang
gharibat itu.

14
Jadi seorang mufasir dituntut mempunyai pengetahuan yang luas dalam
berbagai aspek tentang hal tersebut sebelum menafsirkan ayat ayat Alqur'an,
apalagi yang gharibah.3

3
Ibid 2

15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Lafal gharaib berasal dari bahasa Arab, yakni jamak dari gharibah yang
berarti asing atau sulit pengertiannya. Apabila dihubungkan dengan Alqur'an
maka yang dimaksud dengannya ialah ayat-ayat Alqur'an yang sukar
pemahamannya sehingga hampir-hampir tak dimengerti seperti kata ‫ َاًّبا‬dalam
ayat 31 dari 'Abasa ‫َو َفاِكَهًة َّو َاًّبا‬.
ara yang ditempuh ulama dalam memahaminya ialah sebagai berikut:
1) Menafsirkan Alquran dengan Alquran
2) Jika tidak ada dalam Alqurn, maka di cari dalam Sunnah
3) Kalau tidak juga ditemukan, maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat
4) Jika masih dijumpai, maka dicari dalam pendapat para sahabat dan tabi’in.\
5) Melalui syi'ir (syair) Arab. Artinya untuk mengetahui maku dari ayat-ayat yang
sukar pengertiannya itu dicari padanas pemakaian dan maknanya dalam syair-
syair Arab.
B. SARAN
Dengan demikian sebagai penuis makalah ini, kami meminta saran dan kritik
karena masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, agar teman-teman
mahasiswa yang membaca ataupun Dosen yang membimbing agar memberikan
masukan demi kesempurnaan penulisan makalah ilmu tafsir ini

16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustafa al-Maraghi. 1992. Tafsir al-maraghi ter.Bahrun Abu Bakar dkk.
(Semarang: Pt Karya Toha Putra.
Ibnu katsir. 2011. Shahih Tafsr Ibnu Katsir terj. Jakarta: Tim Pustaka Ibnu Katsir.
Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqan fi Ulumi Al-Quran. Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiyah.
Nashruddin Baidan. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2005.
FOTO BUKTI BUKU

Anda mungkin juga menyukai