Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu:
Bapak Dr. Sofian Effendi, S.Th.I, M.A
Disusun oleh:
Fathiya (21211650)
Lusiawati (21211696)
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya guna
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Qur’an yang berjudul Muqaddam dan
Mu’akhar dalam Al-Qur’an. Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Al-Qur’an bagi para pembaca dan terutama bagi kami para penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sofian Effendi, S.Th.I, M.A
selaku dosen mata kuliah Ulumul Qur’an yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami, juga kepada semua pihak yang telah
bekerja sama dan saling membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna. Untuk
itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Pemateri
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan Masalah.............................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
BAB III...................................................................................................................................16
PENUTUP...............................................................................................................................16
A. Kesimpulan.................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada masa bangsa Arab telah
mencapai puncak kemajuannya di bidang kesusasteraan Arab. Ciri kemajuan satra arab di
kalangan mereka antara lain, lahirnya para orator ulung, serta para penyair yang
mumpuni. Oleh karenanya, orang pandai pada masa itu adalah mereka yang mampu
menggubah puisi berbait-bait dengan spontan secara indah dan menawan. Mereka adalah
jagonya memilih kata-kata yang menyentuh perasaan serta mempunyai ketepatan makna
dengan kondisi lingkungan dan tema, berimaginasi tinggi yang dapat menyentuh
perasaan serta diterima oleh akal pikiran.
Untuk menghadapi masyarakat seperti itu, Allah SWT mengutus Rasulullah
Muhammad dengan mukjizat Kitab Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai satra yang
sangat tinggi untuk mengungguli, melemahkan, serta mematahkan nilai sastra yang ada di
kalangan bangsa arab. Salah satu bukti kemukjizatan Al-Qur’an adalah Al-Qur’an
menantang kepada manusia untuk meniru Al-Qur’an dengan membuat sesuatu yang
serupa dengannya. Sebagaimana tertulis dalam firman Allah SWT, dalam QS. al-Isrâ: 88:
1
Diskusi tentang Muqaddam dan Mu’akhar ini merupakan salah satu sisi
kemujmalan Al-Qur’an. Artinya bahwa kajian tentang tema ini merupakan sisi samar
(ghumûd) yang ditimbulkan oleh lafad-lafad yang mujmal dalam Al-Qur’an. Pemahaman
dalam hal ini, selain berpatokan pada teks Al-Qur’an, juga harus memperhatikan cakupan
pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut. Gaya bahasa muqaddam dan muakhkhar dalam Al-Qur’an, sedikitnya
mempunyai dua kajian pokok yang perlu diperhatikan: Pertama, Kajian yang terkait
dengan teks Al-Qur’an yang secara lahir sulit dipahami maknanya (musykil), namun
setelah diketahui bahwa teks tersebut termasuk gaya bahasa yang didahulukan (al-
taqdim) dan yang diakhirkan (al-ta’khir), maka jelas dan hilanglah kesulitan itu. Kedua,
Kategori yang kedua adalah kajian muqaddam dan muakhkhar yang tidak terjadi makna
yang ambigu (musykil). Dalam kategori yang kedua ini, sesuatu yang didahulukan
mempunyai segi yang lebih istimewa, serta mempunyai beberapa fungsi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Qur’an memiliki banyak aspek I’jaz, salah satunya adalah dari aspek bahasa dan
uslubnya. Ia merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan dengan menggunakan susunan
bahasa yang sangat tinggi nilai kesusastraannya. Ilmu balaghah merupakan salah satu
persyaratan penting bagi orang yang hendak menjadi mufassir, karena terkadang satu ayat
baru bisa dimengerti dengan ilmu balaghah. Salah satu pembahasan yang penting dalam
ilmu balaghah adalah kajian tentang taqdīm dan ta’khīr. Taqdīm (mendahulukan kata)
dan ta’khīr (mengakhirkan kata) termasuk salah satu kajian yang penting dalam
pembahasan ilmu ma’ani. Adapun tujuan merubah posisi kata tidak lain adalah karena
kata yang didahulukan lebih penting dan lebih diperhatikan keberadaannya. Ada beberapa
sebab suatu kata didahulukan dan diakhirkan, di antaranya adalah taqaddum al-
sababiyah ‘al almusabbab (mendahulukan kausalitas), al-taqaddum bi al-syaraf
(mendahulukan atas dasar memuliakan), al-taqaddum bi al-rutbah (mendahulukan sesuai
dengan urutan atau tingkatan), al-taqaddum bi al-zaman (mendahulukan sesuatu sesuai
dengan zaman), al-taqaddum bi al-Dzat (mendahulukan Dzat) dan sebagainya.
Taqdim dan ta’khir dalam Al-Qur’an adalah penyebutan suatu lafad dengan
mendahulukan atau mengakhirkan atas lafad yang lain. Jika penyebutannya mendahului,
maka dalam hal ini disebut muqaddam. Sebaliknya, lafad yang disebutkan kemudian
adalah mu’akhar. Adanya taqdīm maka mengaharuskan juga adanya ta’khīr, karena
taqdīm dan ta’khīr tidak sekedar bertukar tempat, akan tetapi hal tersebut juga
mempunyai tujuan yang bersifat retorika. Taqdīm dan ta’khīr termasuk dalam
pembahasan ilmu ma’ani.
Secara esensial, jika lafad dalam redaksi Al-Qur’an yang mengandung muqaddam-
mu’akhar tersebut dibolak-balik, maka tidak mempengaruhi dari apa yang dikandung
olehnya. Namun, kaidah muqaddam dan mu’akhar ini bisa mempertegas apa yang
diinginkan oleh teks Al-Qur’an sekaligus memperindah dalam segi redaksinya.1
1
Munir Mahmud al-Musiry, Dalâlatut-Taqdîm wat-Takchîr, h. 135.
3
Menurut As-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, bahwa muqaddam dan
mu’akhar sedikitnya mempunyai dua kajian pokok yang perlu diperhatikan: Pertama,
Kajian yang terkait dengan teks Al-Qur’an yang secara dhahir sulit dipahami maknanya
(musykil), namun setelah diketahui bahwa teks tersebut termasuk uslub (gaya bahasa) al-
taqdim (yang didahulukan) dan al-ta’khir (yang diakhirkan), maka jelas dan hilanglah
kemusykilan itu. Kedua, terdapat hikmah khusus tentang penggunaan teks-teks al-Qur’an
yang didahulukan. Syamsudin ibn al-Sha’igh menyatakan dalam karyanya al-Muqaddima
fii al-Sirr al-Fadl al-Muqaddima bahwa kategori ini merupakan yang banyak terdapat
dalam Al-Qur’an. Ia menambahkan, dalam kategori ini, sesuatu yang di-taqdim-kan
mempunyai segi yang lebih istimewa. Ia juga mengindikasikan, dengan adanya taqdim-
ta’khir ini juga mempunyai beberapa fungsi diantaranya; (1) mendapatkan barakah (at-
untuk menerangkan lebih dulu dari sisi ( ال زمنwaktu) atau ( اإلجيادkeberadaan), seperti
mendahulukan lafadz ( آدمNabi Adam) atas ( ن وحNabi Nuh), mendahulukan lafadz ع اد
(kaum 'Ad) atas ( مثودkaum Tsamûd); dan (5) difungsikan untuk menunjukan sebab (as-
sabab), seperti mendahulukan sifat العزيز (Mulia) atas ( احلكيمBijaksana), mendahulukan
2
Jalaludin as-Suyuthî asy-sSyafi’î, al-Itqân fî ‘Ulûmil-Qurân, al-Juz ats-Tsâni, Dâr al-Fikri, h. 13-15.
4
1) Mendahulukan kata dari ‘amilnya yang seharusnya ‘amil tersebut didahulukan
(al-taqdīm ‘ala niyyat al-ta’khīr). Seperti mendahulukan khabar dari mubtada’,
fa’il dari fi’il dan maf’ul dari fi’il. Macam yang pertama ini kemudian terbagi lagi
menjadi dua yakni mendahulukan musnad ilaih (subyek) dari musnad (predikat)
dan sebaliknya.
2) Mendahulukan suatu kata dari kata yang lain tanpa berhubungan dengan ‘amil
(al-taqdim Lā ‘ala niyyah al-Ta’khīr). Seperti mendahulukan kata karena hukum
kausalitas, mendahulukan Dzat, mendahulukan atas dasar memuliakan,
mendahulukan sesuai dengan urutan dan mendahulukan sesuai masa dan
kejadiannya.
1. Contoh tentang Mendahulukan kata dari ‘amilnya yang seharusnya ‘amil tersebut
didahulukan (al-taqdīm ‘ala niyyat al-ta’khīr),
5
َس ٰل ٌم ۛ ِه َي َحىّٰت َمطْلَ ِع الْ َف ْج ِر
“Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar”.
Penjelasan : Munir Muhammad al-Musairi menjelaskan tujuan taqdim
tersebut dengan
أي ما هي إال سالمة،تقدم اخلرب (سالم) على مبتدئه (هي) لنفي غري السالمة منها
أما لو قيل يف سالم االحتمل أن تكون سالما و غری سالم،وخري ليس ایها ای شر
(Taqdim khabar (salâmun) atas mubtada’nya (hiya) difungsikan untuk
meniadakan selain kesejahteraan, yakni malam itu hanya ada kesejahteraan
dan kebaikan, dan tidak ada kejelekan. Jika redaksinya (hiya salâmun),
maka mempunyai makna -malam itu- mengandung kesejahteraan dan juga
mengandung tidak sejahtera).
c. Mendahulukan lafadz اِهٰل َه (maf’ul 2) atas ُ( َه ٰوى ۗهmaf’u 1)) seperti yang
ۙ ت تَ ُك ْو ُن َعلَْي ِه َوكِْياًل ۗ ِ
َ ْت َم ِن اخَّتَ َذ اهٰل َهٗ َه ٰوىهُ اَفَاَن
َ ْاََرءَي
“Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi
pelindungnya?”.
Asalnya adalah ُ( ه َٰوىهُ ِإ ٰلهَهhawa nafsunya sebagai tuhannya). Karena orang
yang menjadikan tuhannya sebagai hawa nafsunya tidak dicela, maka
maf’ul yang kedua pada ayat ini didahulukan (taqdim) untuk memberikan
perhatian lebih kepadanya.
2. Contoh kajian Mendahulukan suatu kata dari kata yang lain tanpa berhubungan
dengan ‘amil (al-taqdim Lā ‘ala niyyah al-Ta’khīr). Adapun beberapa sebab yang
mengharuskan susunan kata didahulukan yaitu antara lain:
a. Untuk Mengagungkan (al-ta’dzīm)
6
1) Mendahulukan lafadz اهللatas الرسولseperti yang terdapat dalam firman
7
b. Mendahulukan lafadz َ َّ اِيatas َن ْعبُ ُدseperti
اك yang terdapat dalam firman
tersebut dengan إن املعىن ختصك بالعبادة واالستعانة وال نعبد غريك وال نستعني به
(taqdim tersebut difungsikan untuk menghususkan dalam ibadah dan
meminta pertolongan, tidak menyembah kecuali kepada Allah, juga tidak
meminta pertolongan kecuali kepada Allah).
c. Untuk menunjukkan menunjukkan keterdahuluannya (al-sabaq)
ِ
1) Mendahulukan lafadz ُلَلَّذيْ َن اتََّبعُ ْوه atas ُّ ٰه َذا النَّيِب seperti yang terdapat
ِ
ُّ لَلَّذيْ َن اتََّبعُ ْوهُ َو ٰه َذا النَّيِب (ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi
ِ
ini (Muhammad)) mendahulukan lafadz ُ( لَلَّذيْ َن اتََّبعُ ْوهorang-orang yang
mengikutinya) atas ُّ ( ٰه َذا النَّيِبNabi ini Muhammad). Sekiranya tidak
terjadi takdîm lafadz tsb berbunyi ان أوىل الن اس ب إبراهيم هلذا الن يب وال ذين
8
Muhammad mempunyai makna bahwa para pengikut Nabi Ibrahim itu
lebih dahulu hidup di zaman jauh sebelum kehidupan Rasul
Muhammad.
2) Mendahulukan lafadzا َد َمatas نُ ْو ًح ا َّواٰ َل اِْب ٰر ِهْي َم َواٰ َل ِع ْم َرا َنseperti yang
َاصطَ ٰف ٓى اٰ َد َم َونُ ْو ًحا َّواٰ َل اِْب ٰر ِهْي َم َواٰ َل ِع ْمَرا َن َعلَى الْ ٰعلَ ِمنْي ۙن ٰ ِ
ْ َا َّن اللّه
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga Imran melebihi segala umat (pada masa masing-masing)”.
Penjelasan : Taqdim tersebut difungsikan untuk menerangkan kepada
pembaca tantang lafadz yang didahulukan. Dalam kontek ayat tersebut,
mendahulukan lafadz Adam (Nabi Adam) atas Nabi Nuh, Ibrahim, dan
Keluarga Imran mempunyai makna bahwa Nabi Adam itu lebih dahulu
hidup di zaman jauh sebelum kehidupan Nabi Nuh, Ibrahim, dan Ali
Imran. Oleh karena itu, dalam memaparkan qisah ini, nabi terdahulu
didahulukan atas nabi yang setelahnya.
ض َم ْن َذا الَّ ِذ ْي يَ ْش َف ُع ِعْن َده اِاَّل بِاِ ْذنِ ه َي ْعلَ ُم َم ا َبنْي َ اَيْ ِديْ ِه ْم َو َم ا َخ ْل َف ُه ۚ ْم َواَل
ِ ۗ ااْل َْر
ِ
َ ۚ ت َوااْل َْر
ض َواَل ئَُـ ْو ُده َّ ُحُيِ ْيطُ ْو َن بِ َش ْي ٍء ِّم ْن ِع ْل ِم ه ااَّل مِب َ ا َش اۤ ۚ َء َو ِس َع ُك ْر ِس يُّه
ِ الس ٰم ٰو
kalimat( اَل تَْأ ُخ ُذه ِس نَةٌ َّواَل َن ْو ۗ ٌمtidak mengantuk dan tidak tidur)
mendahulukan lafadz ٌ( ِسنَةrasa kantuk) atas kalimat ( َن ْو ۗ ٌمtidur). Taqdim
الر ُس ْو َل النَّيِب َّ ااْل ُِّم َّي الَّ ِذ ْي جَيِ ُد ْونَ ه َمكُْت ْوبً ا ِعْن َد ُه ْم ىِف الت َّْو ٰرى ِة َوااْلِ جْنِ ْي ِل
َّ اَلَّ ِذيْ َن َيتَّبِعُ ْو َن
ِ
ِ ف ويْن ٰهىهم ع ِن الْمْن َك ِر وحُيِ ُّل هَل م الطَّيِّٰب ِ
ض ُع َ ت َوحُيَ ِّر ُم َعلَْي ِه ُم اخْلَٰبۤ ِٕى
َ َث َوي ُُ َ ُ َ ْ ُ َ َ يَْأ ُمُر ُه ْم ب الْ َم ْعُر ْو
ِ ۗ ِ
َ َت َعلَْي ِه ْم فَالَّذيْ َن اٰ َمُن ْوا بِ ه َو َع َّز ُر ْوهُ َون
ص ُر ْوهُ َواتََّبعُ وا ْ َص َر ُه ْم َوااْل َ ْغ ٰل َل الَّيِت ْ َك انْ َعْن ُه ْم ا
ك ُه ُم الْ ُم ْفلِ ُح ْو َن ۤ ْٓ الن ُّْو َر الَّ ِذ
َ ي اُنْ ِز َل َم َعه ۙاُو ٰل ِٕى
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak
bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat
dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang
makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan
segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk
bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu
yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya,
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
10
diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang
beruntung”.
Penjelasan : Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah lafadz
11
pembaca tentang lafadz yang didahulukan. Dalam kontek ayat tersebut,
mendahulukan lafadz man (orang yang berakal) atas thairun (burung)
mempunyai makna lebih memuliakan orang yang berakal daripada
makhluk Allah yang tidak berakal.
12
1) Mendahulukan lafadz ِ يatas َّويه ِدي بِ ه َكثِي راseperti
ض ُّل بِ ه َكثِْي ًرا yang
ُ ًْ ْ َْ
terdapat dalam firman Allah QS. Al-Baqarah: 26,
13
اب ااْل َلِْي ُم ْٓ َنبِّْئ ِعبَ ِاد
ۙ ِ َّ ي اَيِّن ْٓي اَنَا الْغَ ُفور
ُ الرحْي ُم َواَ َّن َع َذايِب ْ ُه َو الْ َع َذ ُْ
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha
Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab
yang sangat pedih”.
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) atas sifat اب ااْل َلِْي ُم
ُ ( الْ َع َذadzab
yang sangat pedih). Taqdim tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa sifat tertentu jumlahnya lebih banyak atau lebih besar dari sifat
yang lain, yang disebut setelahnya. Dalam kontek ayat tersebut,
ampunan Allah dan kasih sayang-Nya jumlahnya lebih banyak dan
lebih besar bila dibanding dengan adzab dan siksa-Nya.
f. Untuk Menunjukkan Urutan
1) Mendahulukan lafadz مَسِ ْعنَا atas َواَطَ ْعنَا seperti yang terdapat dalam
الر ُس ْو ُل مِب َٓا اُنْ ِز َل اِلَْي ِه ِم ْن َّربِّه َوالْ ُمْؤ ِمُن ْو ۗنَ ُك لٌّ اٰ َم َن بِال ٰلّ ِه َو َم ٰلۤ ِٕى َكتِ ه َو ُكتُبِ ه َو ُر ُس لِه اَل
َّ اٰ َم َن
ِ ِ ٍ
ِ ك الْم
صْيُر َ َنُ َفِّر ُق َبنْي َ اَ َحد ِّم ْن ُّر ُسله ۗ َوقَالُْوا مَسِ ْعنَا َواَطَ ْعنَا غُ ْفَران
َ َ ك َربَّنَا َوالَْي
“Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya
(Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.
Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-
bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata,
“Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan
kepada-Mu tempat (kami) kembali”.
Penjelasan : (didahlukannya lafadz ( al-sama’u) mendengar atas lafadz
(at-thâ’ah) ketaatan karena mendengar menjadi syaratnya perintah
agama serta menjadi syarat sahnya sebuah perintah. Tidak ada perintah
14
tanpa pengetahuan, dan tidak ada ketaatan tanpa terlebih dahulu
memahami perintah).
لوجوب- على األمر بالنحر األضحية-تقدم أمر الصالة هنا – صالة عيد األضجي
حيث جيب ملن أراد أن يض حى أن يب دأ بص الة العي د أوال مث،مراع اة ذال ك ال رتتيب
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
Harjum, Muhammad. Kemukjizatan Alquran dari segi Bahasa, Kota Kembang, 2009
al
Musiry, Munir Mahmud. Dalâlatut-Taqdîm wat-Takchîr fî Alqurân al-Karîm: Dirâsah
Tahliliyah, Maktabah Wahbah, 2005M/1426H.
asy-Syafi’î, Jalaludin as-Suyuthî. al-Itqân fî ‘Ulûmil-Qurân, al-Juz ats-Tsâni, Dâr al-
Fikri, tth.
al-Qaththân, Mannâ’. Mabâhits fî ‘Ulûmil-Qurân, Mansyûrât al-Ashr al-Hadîts,
1973M/1393H.
Muhammad bin Abdillah al- al-Zarkāsyī, al-Burhān Fi ‘Ulum al-Qur’ān, (Mesir: Dar
alTurats, tt)
17