Anda di halaman 1dari 20

MUQADDAM & MU’AKHAR DALAM AL-QUR’AN

Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu:
Bapak Dr. Sofian Effendi, S.Th.I, M.A

Disusun oleh:

Fathiya (21211650)

Hilyah Seffana (21211665)

Lusiawati (21211696)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSITUT ILMU QUR’AN
1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya guna
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Qur’an yang berjudul Muqaddam dan
Mu’akhar dalam Al-Qur’an. Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Al-Qur’an bagi para pembaca dan terutama bagi kami para penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sofian Effendi, S.Th.I, M.A
selaku dosen mata kuliah Ulumul Qur’an yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami, juga kepada semua pihak yang telah
bekerja sama dan saling membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna. Untuk
itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Jakarta, 12 November 2022

Pemateri

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN....................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2

C. Tujuan Masalah.............................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................3

A. Definisi dan penjelasan Muqaddam dan Mu’akhar dalam Al-Qur’an .......................3

B. Contoh-contoh dalam Ayat Al-Qur’an dan Penjelasannya...........................................5

BAB III...................................................................................................................................16

PENUTUP...............................................................................................................................16

A. Kesimpulan.................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada masa bangsa Arab telah
mencapai puncak kemajuannya di bidang kesusasteraan Arab. Ciri kemajuan satra arab di
kalangan mereka antara lain, lahirnya para orator ulung, serta para penyair yang
mumpuni. Oleh karenanya, orang pandai pada masa itu adalah mereka yang mampu
menggubah puisi berbait-bait dengan spontan secara indah dan menawan. Mereka adalah
jagonya memilih kata-kata yang menyentuh perasaan serta mempunyai ketepatan makna
dengan kondisi lingkungan dan tema, berimaginasi tinggi yang dapat menyentuh
perasaan serta diterima oleh akal pikiran.
Untuk menghadapi masyarakat seperti itu, Allah SWT mengutus Rasulullah
Muhammad dengan mukjizat Kitab Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai satra yang
sangat tinggi untuk mengungguli, melemahkan, serta mematahkan nilai sastra yang ada di
kalangan bangsa arab. Salah satu bukti kemukjizatan Al-Qur’an adalah Al-Qur’an
menantang kepada manusia untuk meniru Al-Qur’an dengan membuat sesuatu yang
serupa dengannya. Sebagaimana tertulis dalam firman Allah SWT, dalam QS. al-Isrâ: 88:

ٍ ‫ض ُه ْم لَِب ْع‬ ِ ِ‫مِب‬ ِ‫مِب‬ ٰٓ ِ ِ ِ


‫ض ظَ ِهْيًرا‬ ُ ‫س َواجْل ُّن َعلى اَ ْن يَّْأُت ْوا ثْ ِل ٰه َذا الْ ُق ْراٰ ِن اَل يَْأُت ْو َن ثْله َولَ ْو َكا َن َب ْع‬ ْ ‫قُ ْل لَّ ِٕى ِن‬
ُ ْ‫اجتَ َم َعت ااْل ن‬
Artinya: Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.”
Demikianlah Allah mengutus Rasul-Nya dengan bekal mukjizat Al-Qur’an yang
menggunakan bahasa Arab dengan nilai satra yang sangat tinggi, agar tidak dapat ditiru
oleh para sastrawan yang hebat pada masanya. Bahkan Allah menegaskan di akhir
tantangan-Nya, bahwa mereka pasti tidak akan dapat membuatnya. Al-Qur’an telah
menyusun kalimat dan lafadz-lafadznya secara tepat dan akurat, sehingga tampak lebih
indah dan mengagumkan, baik dari sisi keindahan makna maupun lafadznya.

1
Diskusi tentang Muqaddam dan Mu’akhar ini merupakan salah satu sisi
kemujmalan Al-Qur’an. Artinya bahwa kajian tentang tema ini merupakan sisi samar
(ghumûd) yang ditimbulkan oleh lafad-lafad yang mujmal dalam Al-Qur’an. Pemahaman
dalam hal ini, selain berpatokan pada teks Al-Qur’an, juga harus memperhatikan cakupan
pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut. Gaya bahasa muqaddam dan muakhkhar dalam Al-Qur’an, sedikitnya
mempunyai dua kajian pokok yang perlu diperhatikan: Pertama, Kajian yang terkait
dengan teks Al-Qur’an yang secara lahir sulit dipahami maknanya (musykil), namun
setelah diketahui bahwa teks tersebut termasuk gaya bahasa yang didahulukan (al-
taqdim) dan yang diakhirkan (al-ta’khir), maka jelas dan hilanglah kesulitan itu. Kedua,
Kategori yang kedua adalah kajian muqaddam dan muakhkhar yang tidak terjadi makna
yang ambigu (musykil). Dalam kategori yang kedua ini, sesuatu yang didahulukan
mempunyai segi yang lebih istimewa, serta mempunyai beberapa fungsi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Muqaddam dan Mu’akhar dalam Al-Qur’an?


2. Apa saja contoh-contoh Muqaddam dan Mu’akhar Al-Qur’an?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Muqaddam dan Mu’akhar dalam Al-Qur’an.


2. Untuk mengetahui contoh-contoh Muqaddam dan Mu’akhar Al-Qur’an.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Muqaddam dan Mu’akhar dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an memiliki banyak aspek I’jaz, salah satunya adalah dari aspek bahasa dan
uslubnya. Ia merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan dengan menggunakan susunan
bahasa yang sangat tinggi nilai kesusastraannya. Ilmu balaghah merupakan salah satu
persyaratan penting bagi orang yang hendak menjadi mufassir, karena terkadang satu ayat
baru bisa dimengerti dengan ilmu balaghah. Salah satu pembahasan yang penting dalam
ilmu balaghah adalah kajian tentang taqdīm dan ta’khīr. Taqdīm (mendahulukan kata)
dan ta’khīr (mengakhirkan kata) termasuk salah satu kajian yang penting dalam
pembahasan ilmu ma’ani. Adapun tujuan merubah posisi kata tidak lain adalah karena
kata yang didahulukan lebih penting dan lebih diperhatikan keberadaannya. Ada beberapa
sebab suatu kata didahulukan dan diakhirkan, di antaranya adalah taqaddum al-
sababiyah ‘al almusabbab (mendahulukan kausalitas), al-taqaddum bi al-syaraf
(mendahulukan atas dasar memuliakan), al-taqaddum bi al-rutbah (mendahulukan sesuai
dengan urutan atau tingkatan), al-taqaddum bi al-zaman (mendahulukan sesuatu sesuai
dengan zaman), al-taqaddum bi al-Dzat (mendahulukan Dzat) dan sebagainya.
Taqdim dan ta’khir dalam Al-Qur’an adalah penyebutan suatu lafad dengan
mendahulukan atau mengakhirkan atas lafad yang lain. Jika penyebutannya mendahului,
maka dalam hal ini disebut muqaddam. Sebaliknya, lafad yang disebutkan kemudian
adalah mu’akhar. Adanya taqdīm maka mengaharuskan juga adanya ta’khīr, karena
taqdīm dan ta’khīr tidak sekedar bertukar tempat, akan tetapi hal tersebut juga
mempunyai tujuan yang bersifat retorika. Taqdīm dan ta’khīr termasuk dalam
pembahasan ilmu ma’ani.
Secara esensial, jika lafad dalam redaksi Al-Qur’an yang mengandung muqaddam-
mu’akhar tersebut dibolak-balik, maka tidak mempengaruhi dari apa yang dikandung
olehnya. Namun, kaidah muqaddam dan mu’akhar ini bisa mempertegas apa yang
diinginkan oleh teks Al-Qur’an sekaligus memperindah dalam segi redaksinya.1

1
Munir Mahmud al-Musiry, Dalâlatut-Taqdîm wat-Takchîr, h. 135.

3
Menurut As-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, bahwa muqaddam dan
mu’akhar sedikitnya mempunyai dua kajian pokok yang perlu diperhatikan: Pertama,
Kajian yang terkait dengan teks Al-Qur’an yang secara dhahir sulit dipahami maknanya
(musykil), namun setelah diketahui bahwa teks tersebut termasuk uslub (gaya bahasa) al-
taqdim (yang didahulukan) dan al-ta’khir (yang diakhirkan), maka jelas dan hilanglah
kemusykilan itu. Kedua, terdapat hikmah khusus tentang penggunaan teks-teks al-Qur’an
yang didahulukan. Syamsudin ibn al-Sha’igh menyatakan dalam karyanya al-Muqaddima
fii al-Sirr al-Fadl al-Muqaddima bahwa kategori ini merupakan yang banyak terdapat
dalam Al-Qur’an. Ia menambahkan, dalam kategori ini, sesuatu yang di-taqdim-kan
mempunyai segi yang lebih istimewa. Ia juga mengindikasikan, dengan adanya taqdim-
ta’khir ini juga mempunyai beberapa fungsi diantaranya; (1) mendapatkan barakah (at-

tabaruk), seperti mendahulukan lafadz ‫ اهلل‬atas ‫ املالئكة‬dan ‫ أول و العلم‬juga mendahulukan


lafadz ‫ اهلل‬atas ‫( الرس ول‬rasul); (2) mengagungkan (at-ta 'dhim), seperti mendahulukan

lafadz ‫ اهلل‬atas ‫ الرس ول‬dan ‫( املالئكة‬malaikat); (3) memuliakan (at-tasyrif), seperti

mendahulukan lafadz ‫( الذكر‬laki-laki) atas ‫( األنثى‬wanita), mendahulukan lafadz ‫املسلمون‬


(orang islam laki-laki) atas ‫( املس لمات‬orang islam perempuan); (4) taqdim difungsikan

untuk menerangkan lebih dulu dari sisi ‫( ال زمن‬waktu) atau ‫( اإلجياد‬keberadaan), seperti

mendahulukan lafadz ‫( آدم‬Nabi Adam) atas ‫( ن وح‬Nabi Nuh), mendahulukan lafadz ‫ع اد‬

(kaum 'Ad) atas ‫( مثود‬kaum Tsamûd); dan (5) difungsikan untuk menunjukan sebab (as-
sabab), seperti mendahulukan sifat ‫العزيز‬ (Mulia) atas ‫( احلكيم‬Bijaksana), mendahulukan

‫( العبادة‬ibadah) atas ‫( االستعانة‬meminta pertolongan), dan mendahulukan ‫( التوابون‬bertaubat)


atas ‫( املتطهرين‬mensucikan diri).2

Taqdīm dan ta’khīr terbagi menjadi dua macam:

2
Jalaludin as-Suyuthî asy-sSyafi’î, al-Itqân fî ‘Ulûmil-Qurân, al-Juz ats-Tsâni, Dâr al-Fikri, h. 13-15.

4
1) Mendahulukan kata dari ‘amilnya yang seharusnya ‘amil tersebut didahulukan
(al-taqdīm ‘ala niyyat al-ta’khīr). Seperti mendahulukan khabar dari mubtada’,
fa’il dari fi’il dan maf’ul dari fi’il. Macam yang pertama ini kemudian terbagi lagi
menjadi dua yakni mendahulukan musnad ilaih (subyek) dari musnad (predikat)
dan sebaliknya.
2) Mendahulukan suatu kata dari kata yang lain tanpa berhubungan dengan ‘amil
(al-taqdim Lā ‘ala niyyah al-Ta’khīr). Seperti mendahulukan kata karena hukum
kausalitas, mendahulukan Dzat, mendahulukan atas dasar memuliakan,
mendahulukan sesuai dengan urutan dan mendahulukan sesuai masa dan
kejadiannya.

B. Contoh-contoh dalam Ayat Al-Qur’an dan Penjelasannya

1. Contoh tentang Mendahulukan kata dari ‘amilnya yang seharusnya ‘amil tersebut
didahulukan (al-taqdīm ‘ala niyyat al-ta’khīr),

a. Mendahulukan lafadz ‫( َولِٰلّ ِه‬musnad ilaih (subyek)) dari ِ ‫الس ٰم ٰو‬


‫ت‬ َّ ‫ُجُن ْو ُد‬
(musnad (predikat)) seperti yang terdapat pada firman Allah QS. Al-Fath:
7,

‫ض َو َكا َن ال ٰلّهُ َع ِز ْيًزا َح ِكْي ًما‬ ِ َّ ‫ولِٰلّ ِه جُنود‬


ِ ۗ ‫الس ٰم ٰوت َوااْل َْر‬ ُْ ُ َ
“Dan milik Allah bala tentara langit dan bumi. Dan Allah Maha perkasa,
Maha bijaksana”.
Dalam ayat tersebut terdapat taqdīm dan ta’khīr yang berkaitan dengan
perihal ‘amil, Adapun taqdīm dan ta’khīrnya adalah didahulukannya
musnad ( Lillah ) atas musnad ilaih (junūd al- al-samāwāt wa al-arḍ)
bertujuan untuk menjelaskan (menekankan) bahwa langit dan bumi
hanyalah kuasa Allah.

b. Mendahulukan lafadz ‫َس ٰل ٌم‬ (khabar) atas ‫( ِه َي‬mubtada’) seperti yang

terdapat dalam firman Allah QS. Al-Qadr: 5,

5
‫َس ٰل ٌم ۛ ِه َي َحىّٰت َمطْلَ ِع الْ َف ْج ِر‬
“Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar”.
Penjelasan : Munir Muhammad al-Musairi menjelaskan tujuan taqdim
tersebut dengan

‫ أي ما هي إال سالمة‬،‫تقدم اخلرب (سالم) على مبتدئه (هي) لنفي غري السالمة منها‬

‫ أما لو قيل يف سالم االحتمل أن تكون سالما و غری سالم‬،‫وخري ليس ایها ای شر‬
(Taqdim khabar (salâmun) atas mubtada’nya (hiya) difungsikan untuk
meniadakan selain kesejahteraan, yakni malam itu hanya ada kesejahteraan
dan kebaikan, dan tidak ada kejelekan. Jika redaksinya (hiya salâmun),
maka mempunyai makna -malam itu- mengandung kesejahteraan dan juga
mengandung tidak sejahtera).

c. Mendahulukan lafadz ‫اِهٰل َه‬ (maf’ul 2) atas ُ‫( َه ٰوى ۗه‬maf’u 1)) seperti yang

terdapat dalam firman Allah QS. Al-Furqan: 43,

ۙ ‫ت تَ ُك ْو ُن َعلَْي ِه َوكِْياًل‬ ۗ ِ
َ ْ‫ت َم ِن اخَّتَ َذ اهٰل َهٗ َه ٰوىهُ اَفَاَن‬
َ ْ‫اََرءَي‬
“Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi
pelindungnya?”.
Asalnya adalah ُ‫( ه َٰوىهُ ِإ ٰلهَه‬hawa nafsunya sebagai tuhannya). Karena orang
yang menjadikan tuhannya sebagai hawa nafsunya tidak dicela, maka
maf’ul yang kedua pada ayat ini didahulukan (taqdim) untuk memberikan
perhatian lebih kepadanya.
2. Contoh kajian Mendahulukan suatu kata dari kata yang lain tanpa berhubungan
dengan ‘amil (al-taqdim Lā ‘ala niyyah al-Ta’khīr). Adapun beberapa sebab yang
mengharuskan susunan kata didahulukan yaitu antara lain:
a. Untuk Mengagungkan (al-ta’dzīm)

6
1) Mendahulukan lafadz ‫ اهلل‬atas ‫ الرسول‬seperti yang terdapat dalam firman

Allah QS. At-Taghabun: 12,


ِ ِ ِ َّ ‫َواَ ِطْيعُوا ال ٰلّهَ َواَ ِطْيعُوا‬
ُ ‫الر ُس ْو ۚ َل فَا ْن َت َولَّْيتُ ْم فَامَّنَا َع ٰلى َر ُس ْولنَا الَْب ٰل ُغ الْ ُمبِنْي‬
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu
berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah
menyampaikan (amanah Allah) dengan terang”.
Penjelasan : Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah kalimat َ

َّ ‫َواَ ِطْيعُ وا ال ٰلّ هَ َواَ ِطْيعُ وا‬


‫الر ُس ْو ۚ َل‬ (Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada

Rasul-Nya), mendahulukan lafadz ‫( اهلل‬Allah) atas ‫( الرسول‬rasul). Taqdîm


tersebut difungsikan untuk mengagungkan dan memberi perhatian lebih
pada lafadz yang didahulukan. Dalam konteks ayat tersebut,
mendahulukan lafadz Allah (Allah) atas rasul (Muhammad) mempunyai
makna mengagungkan dan memberi perhatian lebih pada Allah daripada
rasul, mengingat Allah adalah Pencipta manusia, Raja manusia, dan
Tuhannya manusia, sedangkan rasul adalah hamba dan utusan-Nya.
b. Untuk Tujuan Pengkhususan (al-takhsis)
ِ
a. Mendahulukan lafadz ُ‫ايَّاه‬ atas ‫ َت ْعبُ ُد ْو َن‬seperti yang terdapat dalam firman

Allah QS. An-Nahl: 114,

‫ت ال ٰلّ ِه اِ ْن ُكْنتُ ْم اِيَّاهُ َت ْعبُ ُد ْو َن‬ ِ ۖ ٰ ‫مِم‬


َ ‫فَ ُكلُ ْوا َّا َر َزقَ ُك ُم اللّهُ َح ٰلاًل طَيِّبًا َّوا ْش ُكُر ْوا ن ْع َم‬
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
menyembah kepada-Nya”.
Penjelasan : Takdim tersebut difungsikan untuk menghususkan lafadz
yang didahulukan. Dalam konteks ayat tersebut, mendahulukan lafadz
iyyâhu (hanya kepada-Nya) atas ta’budûhu (kami menyembah)
mempunyai makna menghususkan kepada Allah dalam peribadatan.

7
b. Mendahulukan lafadz َ َّ‫ اِي‬atas ‫ َن ْعبُ ُد‬seperti
‫اك‬ yang terdapat dalam firman

Allah QS. Al-Fatihah: 5,

‫اك نَ ْستَعِنْي ۗ ُن‬


َ َّ‫اك َن ْعبُ ُد َواِي‬
َ َّ‫اِي‬
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan”.
Penjelasan : Ahmad Mushthafa Al-Maraghy menjelaskan tujuan taqdim

tersebut dengan ‫إن املعىن ختصك بالعبادة واالستعانة وال نعبد غريك وال نستعني به‬
(taqdim tersebut difungsikan untuk menghususkan dalam ibadah dan
meminta pertolongan, tidak menyembah kecuali kepada Allah, juga tidak
meminta pertolongan kecuali kepada Allah).
c. Untuk menunjukkan menunjukkan keterdahuluannya (al-sabaq)
ِ
1) Mendahulukan lafadz ُ‫لَلَّذيْ َن اتََّبعُ ْوه‬ atas ُّ ‫ٰه َذا النَّيِب‬ seperti yang terdapat

dalam firman Allah QS. Ali ‘Imran: 68,


ِِ ٰ ِ ِ ِ ِ ِ ‫اِ َّن اَوىَل الن‬
َ ‫َّاس بِا ْب ٰرهْي َم لَلَّذيْ َن اتََّبعُ ْوهُ َو ٰه َذا النَّيِب ُّ َوالَّذيْ َن اٰ َمُن ْوا ۗ َواللّهُ َويِل ُّ الْ ُمْؤ مننْي‬ ْ
“Orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang yang
mengikutinya, dan Nabi ini (Muhammad), dan orang yang beriman.
Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman”.
Penjelasan : Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah lafadz

ِ
ُّ ‫لَلَّذيْ َن اتََّبعُ ْوهُ َو ٰه َذا النَّيِب‬ (ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi

ِ
ini (Muhammad)) mendahulukan lafadz ُ‫( لَلَّذيْ َن اتََّبعُ ْوه‬orang-orang yang
mengikutinya) atas ُّ ‫( ٰه َذا النَّيِب‬Nabi ini Muhammad). Sekiranya tidak

terjadi takdîm lafadz tsb berbunyi ‫ان أوىل الن اس ب إبراهيم هلذا الن يب وال ذين‬

‫اتبعوه‬. Taqdim tersebut difungsikan untuk menerangkan kepada pembaca


tantang lafadz yang didahulukan. Dalam konteks ayat tersebut,
ِ
mendahulukan lafadz ُ‫( لَلَّذيْ َن اتََّبعُ ْوه‬yang mengikuti Ibrahim) atas Nabi

8
Muhammad mempunyai makna bahwa para pengikut Nabi Ibrahim itu
lebih dahulu hidup di zaman jauh sebelum kehidupan Rasul
Muhammad.

2) Mendahulukan lafadz‫ا‬ ‫ َد َم‬atas ‫نُ ْو ًح ا َّواٰ َل اِْب ٰر ِهْي َم َواٰ َل ِع ْم َرا َن‬seperti yang

terdapat dalam firman Allah QS. Ali ‘Imran: 33,

َ‫اصطَ ٰف ٓى اٰ َد َم َونُ ْو ًحا َّواٰ َل اِْب ٰر ِهْي َم َواٰ َل ِع ْمَرا َن َعلَى الْ ٰعلَ ِمنْي ۙن‬ ٰ ِ
ْ َ‫ا َّن اللّه‬
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga Imran melebihi segala umat (pada masa masing-masing)”.
Penjelasan : Taqdim tersebut difungsikan untuk menerangkan kepada
pembaca tantang lafadz yang didahulukan. Dalam kontek ayat tersebut,
mendahulukan lafadz Adam (Nabi Adam) atas Nabi Nuh, Ibrahim, dan
Keluarga Imran mempunyai makna bahwa Nabi Adam itu lebih dahulu
hidup di zaman jauh sebelum kehidupan Nabi Nuh, Ibrahim, dan Ali
Imran. Oleh karena itu, dalam memaparkan qisah ini, nabi terdahulu
didahulukan atas nabi yang setelahnya.

3) Mendahulukan lafadz ٌ‫ ِس نَة‬atas ‫ َن ْو ۗ ٌم‬seperti yang terdapat dalam firman


Allah QS. Al-Baqarah: 255,
ِ َّ ‫اَل ٰلّ ه ٓاَل اِٰل ه اِاَّل ه ۚ َو اَحْل ي الْ َقُّيوم ۚە اَل تَْأخ ُذه ِس نَةٌ َّواَل َن و ۗ ٌم لَ ه م ا ىِف‬
‫ت و َم ا ىِف‬
َ ‫الس ٰم ٰو‬ َ ْ ُ ُ ْ ُّ َ ُ َ ُ

‫ض َم ْن َذا الَّ ِذ ْي يَ ْش َف ُع ِعْن َده اِاَّل بِاِ ْذنِ ه َي ْعلَ ُم َم ا َبنْي َ اَيْ ِديْ ِه ْم َو َم ا َخ ْل َف ُه ۚ ْم َواَل‬
ِ ۗ ‫ااْل َْر‬
ِ
َ ۚ ‫ت َوااْل َْر‬
‫ض َواَل ئَُـ ْو ُده‬ َّ ُ‫حُيِ ْيطُ ْو َن بِ َش ْي ٍء ِّم ْن ِع ْل ِم ه ااَّل مِب َ ا َش اۤ ۚ َء َو ِس َع ُك ْر ِس يُّه‬
ِ ‫الس ٰم ٰو‬

‫ِح ْفظُ ُه َم ۚا َو ُه َو الْ َعلِ ُّي الْ َع ِظْي ُم‬


“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus
menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.
Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada
yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia
mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-
9
Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan
bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia
Mahatinggi, Mahabesar”.
Penjelasan : Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah

kalimat‫( اَل تَْأ ُخ ُذه ِس نَةٌ َّواَل َن ْو ۗ ٌم‬tidak mengantuk dan tidak tidur)
mendahulukan lafadz ٌ‫( ِسنَة‬rasa kantuk) atas kalimat ‫( َن ْو ۗ ٌم‬tidur). Taqdim

tersebut difungsikan untuk menerangkan kepada pembaca tentang


lafadz yang didahulukan. Dalam kontek ayat tersebut, mendahulukan
lafadz sinah (rasa kantuk) atas naum (tidur) difungsikan untuk
menerangkan bahwa rasa kantuk itu lebih dahulu datangnya daripada
tidur.
d. Untuk Memuliakan (al-tasyrif)

1) Mendahulukan lafadz ‫س ْو َل‬ َّ atas ُّ ‫ النَّيِب‬seperti yang terdapat dalam firman


ُ ‫الر‬
Allah QS. Al-A’raf: 157,

‫الر ُس ْو َل النَّيِب َّ ااْل ُِّم َّي الَّ ِذ ْي جَيِ ُد ْونَ ه َمكُْت ْوبً ا ِعْن َد ُه ْم ىِف الت َّْو ٰرى ِة َوااْلِ جْنِ ْي ِل‬
َّ ‫اَلَّ ِذيْ َن َيتَّبِعُ ْو َن‬
ِ
ِ ‫ف ويْن ٰهىهم ع ِن الْمْن َك ِر وحُيِ ُّل هَل م الطَّيِّٰب‬ ِ
‫ض ُع‬ َ ‫ت َوحُيَ ِّر ُم َعلَْي ِه ُم اخْلَٰبۤ ِٕى‬
َ َ‫ث َوي‬ ُُ َ ُ َ ْ ُ َ َ ‫يَْأ ُمُر ُه ْم ب الْ َم ْعُر ْو‬
ِ ۗ ِ
َ َ‫ت َعلَْي ِه ْم فَالَّذيْ َن اٰ َمُن ْوا بِ ه َو َع َّز ُر ْوهُ َون‬
‫ص ُر ْوهُ َواتََّبعُ وا‬ ْ َ‫ص َر ُه ْم َوااْل َ ْغ ٰل َل الَّيِت ْ َك ان‬ْ ‫َعْن ُه ْم ا‬
‫ك ُه ُم الْ ُم ْفلِ ُح ْو َن‬ ۤ ْٓ ‫الن ُّْو َر الَّ ِذ‬
َ ‫ي اُنْ ِز َل َم َعه ۙاُو ٰل ِٕى‬
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak
bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat
dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang
makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan
segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk
bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu
yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya,
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang

10
diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang
beruntung”.
Penjelasan : Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah lafadz

َّ ‫ اَلَّ ِذيْ َن َيتَّبِعُ ْو َن‬,


َّ ‫الر ُس ْو َل النَّيِب‬ mendahulukan lafadz َّ (Rasul) atas ُّ ‫النَّيِب‬
‫الر ُس ْو َل‬
(nabi). Taqdim tersebut difungsikan untuk memuliakan lafadz yang
didahulukan. Dalam kontek ayat tersebut, mendahulukan lafadz rasul
atas nabi mempunyai makna lebih memuliakan rasul daripada nabi.
Memuliakan rasul atas nabi ini bisa dipahami melalui misi risalah yang
dipikulnya. Rasul adalah seorang utusan yang diberi wahyu (dimana
wahyu tsb belum pernah turun sebelumya) kemudian diutus untuk
menyampaikan kepada kaumnya, sementara nabi adalah seorang yang
diutus oleh Allah pada kaum tertentu dengan membawa syariat atau
wahyu dari Rasul sebelumnya.

2) Mendahulukan lafadz ‫ َم ْن‬atas ‫ َوالطَّْير‬seperti yang terdapat dalam firman


ُ
Allah QS. An-Nur: 41,

‫ص اَل تَه‬ ِ ٍ ۗ ‫ص ّٰف‬


ٰۤ ‫ض َوالطَّْي ُر‬
ِ ‫ت َوااْل َْر‬ َّ ‫اَمَلْ َت َر اَ َّن ال ٰلّ هَ يُ َس بِّ ُح لَ ه َم ْن ىِف‬
ِ ‫الس ٰم ٰو‬
َ ‫ت ُك لٌّ قَ ْد َعل َم‬
‫َوتَ ْسبِْي َحه َوال ٰلّهُ َعلِْي ۢ ٌم مِب َا َي ْف َعلُ ْو َن‬
“Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah
bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang
mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui
(cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan”.
Penjelasan : Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah

kalimat ‫َوالطَّْي را‬ ِ ‫الس ٰم ٰو‬


ِ ‫ت َوااْل َْر‬
‫ض‬ َّ ‫( يُ َس بِّ ُح لَ ه َم ْن ىِف‬bertasbih apa yang di
ُ
langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan

sayapnya), mendahulukan lafadz ‫( َم ْن‬yang berakal) atas ‫َوالطَّْي ُر‬


(burung).Taqdim tersebut difungsikan untuk menerangkan kepada

11
pembaca tentang lafadz yang didahulukan. Dalam kontek ayat tersebut,
mendahulukan lafadz man (orang yang berakal) atas thairun (burung)
mempunyai makna lebih memuliakan orang yang berakal daripada
makhluk Allah yang tidak berakal.

3) Mendahulukan lafadz ‫احْلَ َّي‬ atas ‫ت‬


َ ِّ‫الْ َمي‬ seperti yang terdapat dalam

firman Allah QS. Ar-Rum: 19,


ِ ‫هِت‬ ِ ِّ‫ت وخُيْ رِج الْمي‬
ِ ِ
َ ‫ض َب ْع َد َم ْو َ ا ۗ َو َك ٰذل‬
‫ك‬ َ ‫ت م َن احْلَ ِّي َوحُيْ ِي ااْل َْر‬
َ َ ُ َ ِّ‫ِج احْلَ َّي م َن الْ َمي‬
ُ ‫خُيْ ر‬
‫خُتَْر ُج ْو َن‬
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi setelah mati (kering).
Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur)”.
Penjelasan : Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah

kalimat ِ ِّ‫احْل ي ِمن الْمي‬


‫ت‬ (mengeluarkan yang hidup dari yang mati),
َ َ َّ َ
mendahulukan lafadz ِ ِّ‫الْمي‬
‫( احْلَ َّي‬yang hidup) atas‫ت‬ (yang mati).Taqdim
َ
tersebut difungsikan untuk memuliakan lafadz yang didahulukan.
Dalam kontek ayat tersebut, mendahulukan lafadz al-hayy (orang yang
hidup) atas al-mayyit (tidak hidup) mempunyai fungsi lebih
memuliakan orang yang hidup daripada yang tidak hidup. Memuliakan
orang yang hidup ini bisa dipahami karena dirinya mempunyai status
yang tinggi, yaitu sebagai hamba Allah yang masih bisa melakukan
aktifitas untuk kehidupannya, dan boleh jadi bermanfaat bagi lainnya.
Sementara orang yang meninggal adalah hamba yang tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk melakukan aktfitas bagi kemajuan hidupnya,
dengan demikian orang yang masih mempunyai kesempatan hidup
sudah semestinya lebih didahulukan daripada yang sudah meninggal.

e. Untuk Menunjukkan pada Jumlah yang Lebih Banyak

12
1) Mendahulukan lafadz ِ ‫ ي‬atas ‫ َّويه ِدي بِ ه َكثِي را‬seperti
‫ض ُّل بِ ه َكثِْي ًرا‬ yang
ُ ًْ ْ َْ
terdapat dalam firman Allah QS. Al-Baqarah: 26,

‫ضةً فَ َما َف ْو َق َها ۗ فَاََّما الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْوا‬ ِ


َ ‫ب َمثَاًل َّما َبعُ ْو‬ َ ‫ض ِر‬ ْ َّ‫ا َّن ال ٰلّهَ اَل يَ ْستَ ْحي اَ ْن ي‬
ۘ ‫َفَي ْعلَ ُم ْو َن اَنَّهُ احْلَ ُّق ِم ْن َّرهِّبِ ْم ۚ َواََّما الَّ ِذيْ َن َك َفُر ْوا َفَي ُق ْولُْو َن َما َذٓا اََر َاد ال ٰلّهُ هِب ٰ َذا َمثَاًل‬
َ‫ض ُّل بِه اِاَّل الْ ٰف ِس ِقنْي ۙن‬ِ ‫ض ُّل بِه َكثِيرا َّويه ِدي بِه َكثِيرا ۗ وما ي‬
ُ َ َ ًْ ْ َْ ًْ
ِ‫ي‬
ُ

“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor


nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang
beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka
yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?”
Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat,
dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi
tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-
orang fasik”.
Penjelasan : Struktur taqdîm dan takhîr pada ayat tersebut adalah lafadz

‫ض ُّل بِ ه َكثِْي ًرا َّو َي ْه ِد ْي بِ ه َكثِْي ًرا‬


ِ ‫ي‬,
ُ (Dengan perumpamaan itu banyak orang

yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak

orang yang diberi-Nya petunjuk), mendahulukan lafadz ‫ض ُّل بِ ه َكثِْي ًرا‬


ِ‫ي‬
ُ
(yang disesatkan) atas ‫( َّو َي ْه ِد ْي بِ ه َكثِْي ًرا‬yang diberi petunjuk). Taqdim

tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa golongan tertentu


jumlahnya lebih banyak dari golongan yang lain, yang disebut
setelahnya. Dalam konteks ayat tersebut, golongan yang sesat atau yang
tidak mengambil pelajaran terhadap perumpamaan tersebut jumlahnya
lebih banyak daripada jumlah orang yang dapat mengambil pelajaran.
Oleh karenanya, kelompok yang jumlahnya lebih banyak –biasanya-
didahulukan.

2) Mendahulukan lafadz َّ ‫ اَنَ ا الْغَ ُف ْو ُر‬atas ‫اب ااْل َلِْي ُم‬


‫الر ِحْي ۙ ُم‬ ُ ‫ ُه َو الْ َع َذ‬seperti yang
terdapat dalam firman Allah QS. Al-Hijr: 49-50,

13
‫اب ااْل َلِْي ُم‬ ْٓ ‫َنبِّْئ ِعبَ ِاد‬
ۙ ِ َّ ‫ي اَيِّن ْٓي اَنَا الْغَ ُفور‬
ُ ‫الرحْي ُم َواَ َّن َع َذايِب ْ ُه َو الْ َع َذ‬ ُْ
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha
Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab
yang sangat pedih”.

Penjelasan : Mendahulukan Sifat Allah ‫( الْغَ ُف ْو ُر ال َّر ِحْي ۙ ُم‬Aku-lah Yang

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) atas sifat ‫اب ااْل َلِْي ُم‬
ُ ‫( الْ َع َذ‬adzab
yang sangat pedih). Taqdim tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa sifat tertentu jumlahnya lebih banyak atau lebih besar dari sifat
yang lain, yang disebut setelahnya. Dalam kontek ayat tersebut,
ampunan Allah dan kasih sayang-Nya jumlahnya lebih banyak dan
lebih besar bila dibanding dengan adzab dan siksa-Nya.
f. Untuk Menunjukkan Urutan

1) Mendahulukan lafadz ‫مَسِ ْعنَا‬ atas ‫َواَطَ ْعنَا‬ seperti yang terdapat dalam

firman Allah QS. Al-Baqarah: 285,

‫الر ُس ْو ُل مِب َٓا اُنْ ِز َل اِلَْي ِه ِم ْن َّربِّه َوالْ ُمْؤ ِمُن ْو ۗنَ ُك لٌّ اٰ َم َن بِال ٰلّ ِه َو َم ٰلۤ ِٕى َكتِ ه َو ُكتُبِ ه َو ُر ُس لِه اَل‬
َّ ‫اٰ َم َن‬
ِ ِ ٍ
ِ ‫ك الْم‬
‫صْيُر‬ َ َ‫نُ َفِّر ُق َبنْي َ اَ َحد ِّم ْن ُّر ُسله ۗ َوقَالُْوا مَسِ ْعنَا َواَطَ ْعنَا غُ ْفَران‬
َ َ ‫ك َربَّنَا َوالَْي‬
“Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya
(Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.
Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-
bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata,
“Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan
kepada-Mu tempat (kami) kembali”.
Penjelasan : (didahlukannya lafadz ( al-sama’u) mendengar atas lafadz
(at-thâ’ah) ketaatan karena mendengar menjadi syaratnya perintah
agama serta menjadi syarat sahnya sebuah perintah. Tidak ada perintah

14
tanpa pengetahuan, dan tidak ada ketaatan tanpa terlebih dahulu
memahami perintah).

2) Mendahulukan lafadz ِ ‫يُْؤ ِمُن ْو َن بِ الْغَْي‬


‫ب‬ atas َّ ‫ َويُِقْي ُم ْو َن‬seperti
َ‫الص ٰلوة‬ yang

terdapat dalam firman Allah QS. Al-Baqarah: 3,

ۙ ‫ٰه ْم يُْن ِف ُق ْو َن‬ ‫ب وي ِقيمو َن َّ مِم‬ ِ ِ ِ


ُ ‫الص ٰلوةَ َو َّا َر َز ْقن‬ ْ ُ ْ ُ َ ِ ‫الَّذيْ َن يُْؤ مُن ْو َن بالْغَْي‬
“ (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat,
dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada
mereka”.

Penjelasan : Mendahulukan lafadz ِ ‫( يُْؤ ِمُن ْو َن بِالْغَْي‬beriman kepada yang


‫ب‬

ghaib) atas َّ ‫( َويُِقْي ُم ْو َن‬mengerjakan


‫الص ٰلو َة‬ shalat), dan ُ‫نِْف ُق ْو َن‬
(menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan). Taqdim
tersebut difungsikan untuk menunjukkan bahwa (beriman kepada yang
ghaib) itu menjadi syarat diterimanya amal ibadah shalat dan
menafkahkan sebagian rizqi. Itulah sebabnya (beriman kepada yang
ghaib) dalam redaksinya diletakkan sebelum mengejakan shalat dan
infaq.

3) Mendahulukan lafadz ِ ‫يُْؤ ِمُن ْو َن بِ الْغَْي‬


‫ب‬ atas َّ ‫ َويُِقْي ُم ْو َن‬seperti
‫الص ٰلو َة‬ yang

terdapat dalam firman Allah QS. Al-Kautsar: 2,

ْ‫ك َواحْنَ ۗر‬ ِ َ‫ف‬


َ ِّ‫ص ِّل لَرب‬
َ
“ Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah
(sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)”.
Penjelasan : Munir Mahmud al-Musiry dalam konteks inimengatakan
sebagai berikut :

‫ لوجوب‬-‫ على األمر بالنحر األضحية‬-‫تقدم أمر الصالة هنا – صالة عيد األضجي‬

‫ حيث جيب ملن أراد أن يض حى أن يب دأ بص الة العي د أوال مث‬،‫مراع اة ذال ك ال رتتيب‬

.‫تكون األضحية بعد الصالة‬


15
(didahulukannya lafadz (shalat) (shalat ‘idul-Adhhâ) atas berkorban di
sini, berdasar pada prinsip tertib (urut), oleh karenanya, barang siapa
yang hendak melaksanakan penyembelihan hewan qurban, hendaklah
memulainya dengan shalat ’ied terlebih dahulu).

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa muqaddam-mu’akhar dalam Al-Qur’an


bahwa gaya bahasa taqdim dan takhir ada dalam Alquran dalam jumlah yang banyak.
seperti yang dibahas adalah dari segi penyebutan yang didahulukan katanya atas kata
(kalimah) yang lain, dengan pemisah huruf athaf atau dengan pemisah kalimat (jumlah)
yang lain. Bahkan, dengan menceritakan suatu kisah nabi tertentu kemudian disusul
dengan kisah nabi lainnya, juga termasuk cakupan muqaddam-mu’akhar ini. Sehingga,
seakan-akan pemisah-pemisah(fashilah) berfaedah ¬li tartib atas kata atau peristiwa yang
dihubungkan itu. Muqaddam-mua’khar ini terdapat dua macam, yang pertama adalah
kategori yang dapat menyulitkan makna jika belum diketahui bahwa dalam ayat tersebut
terdapat lafad yang taqdim maupun ta’khir. Sedangkan yang kedua tidak tedapat kesulitan
dalam memahami maknanya. Dengan demikian, kajian ini sedikit berbeda dengan
pembahasan Ilmu Nahwu yang membahas mengenai mubtada dan khabar yang
didahulukan maupun yang diakhirkan. Kaedah muqaddam-mu’akhar dalam Al-Qur’an ini
lebih berfungsi sebagai taukid dan muhassinah dari redaksinya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Harjum, Muhammad. Kemukjizatan Alquran dari segi Bahasa, Kota Kembang, 2009
al
Musiry, Munir Mahmud. Dalâlatut-Taqdîm wat-Takchîr fî Alqurân al-Karîm: Dirâsah
Tahliliyah, Maktabah Wahbah, 2005M/1426H.
asy-Syafi’î, Jalaludin as-Suyuthî. al-Itqân fî ‘Ulûmil-Qurân, al-Juz ats-Tsâni, Dâr al-
Fikri, tth.
al-Qaththân, Mannâ’. Mabâhits fî ‘Ulûmil-Qurân, Mansyûrât al-Ashr al-Hadîts,
1973M/1393H.
Muhammad bin Abdillah al- al-Zarkāsyī, al-Burhān Fi ‘Ulum al-Qur’ān, (Mesir: Dar
alTurats, tt)

17

Anda mungkin juga menyukai