Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

NUZULUL QURAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Al-Qur’an

Dosen Pengampu:
Dr. Miswari, M. Ag.

Oleh:
Alief Aulia Azzarin 2108056039
Dwi Nur Hasanah 2108056041

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

2022
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur kami
panjatkan ke hadirat Allah SWT.. atas hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Nuzulul Quran” ini tepat pada waktunya. Tidak lupa selawat serta salam
senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah mengantar umatnya dari
zaman kebodohan sampai pada zaman terangnya kebenaran dan ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Dr.
Miswari, M. Ag. pada mata kuliah Studi Al Quran. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari, bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah yang berjudul “Nuzulul Quran” Mata kuliah
Studi Al Quran ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Semarang, 04 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3

2.1 Pengertian Nuzulul Quran..............................................................................................3

2.2 Tahapan Nuzulul Quran.................................................................................................4

2.3 Hikmah Turunnya Al-Qur’an Secara Berangsur-angsur...........................................9

2.4 Pemeliharaan Al Quran Pada Masa Nabi dan Khulafaurrasyidin...........................12

2.5 Penyempurnaan Pemeliharaan Al Quran Setelah Masa Khulafaurrasyidin..........21

BAB III PENUTUP......................................................................................................................25

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................25

3.2 Saran...............................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dua puluh tahun dua bulan dua puluh dua hari lamanya ayat-ayat Al-Qur’an silih berganti
turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya tekun mengajarkan Al-
Qur’an dan membimbing ummatnya. Sehingga pada akhirnya mereka berhasil membangun
masyarakat yang di dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran
di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi. Boleh jadi kita pernah mempertanyakan, “Mengapa
dua puluh tahun lebih baru selesai dan berhasil?”. Meskipun Al-Qur’an merupakan satu kesatuan
paket yang ayat-ayatnya tak dapat pisahkan satu sama lain, namun proses turunnya wahyu yang
memakan waktu dua puluh tahun lebih tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat
antara Al-Qur’an dan realitas kehidupan (yaitu; antara teks, penerima pertama yaitu Nabi SAW.
dan objek realitas) dan tidak dapat disepelekan terlebih diabaikan begitu saja. Hubungan erat
yang dimaksud tersebut dalam istilah Qasim Mathar, dalam beberapa forum, digambarkan bahwa
wahyu yang diturunkan oleh Tuhan tersebut bukan bertujuan untuk menghapus budaya yang ada,
tetapi ia datang untuk mempersuntingnya, lalu mendudukkannya pada posisi yang lebih
terhormat dari keadaan sebelumnya. Karena hubungan kuat tersebut, mengabaikan salah satu di
antaranya berarti sama halnya membuka peluang yang besar untuk berbuat kesalahan dalam
memahami dan menemukan makna kandungan Al-Qur’an. Olehnya itu, pengetahuan di seputar
teks dan realitas yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Al-Qur’an sangatlah penting. Di
antara pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang nuzulul Qur’an.

Dari deskripsi di atas, maka penulis merumuskan masalah yang dibahas dalam tulisan ini
adalah nuzulul Qur’an, dengan sub-sub pembahasan tentang pengertian nuzulul Qur’an, proses
turunnya, hikmah turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, pemeliharaan Al-Qur’an pada
masa Nabi dan Khulafaurrasyidin dan penyempurnaan pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa
Khulafaurrasyidin,

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis perlu untuk merumuskan masalah
mengenai Nuzulul Qur’an sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Nuzulul Qur’an?
2. Bagaimana tahapan Nuzul Qur’an?
3. Bagaimana hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur?
4. Bagaimana pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi dan Khulafaurrasyidin?
5. Bagaimana penyempurnaan pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa Khulafaurrasyidin?
1.3 Tujuan Penulisan
Sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah maka tujuan dari penulisannya ini
adalah:
1. Untuk memahami pengertian dari Nuzulul Qur’an.
2. Untuk memahami tahapan Nuzulul Quran.
3. Untuk mengidentifikasi hikmah apa saja dari diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-
angsur.
4. Untuk memahami pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi dan Khulafaurrasyidin.
5. Untuk memahami penyempurnaan pemeliharaan Al-Qur’an setelah masa
Khulafaurrasyidin.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nuzulul Quran
Nuzulul Qur’an diungkap dengan ungkapan yaitu: kata Nazzala-yunazzilu-tanzilan dengan
makna “turun secara berangsur-angsur dan kata anzala-yunzilu-inzalan dengan makna denotative
“menurunkan”. Ketika kita menempatkan arti an-nuzul secara Bahasa kepada Alquran maka
ditemukan arti-arti tersebut tidak layak untuk disematkan ke dalam Al-Qur’an kecuali dalam
bentuk majas. Al-Quran sebagai al-kalam an-nafsi yang terdapat dalam zat Allah, maka tidak
layak dimengerti an-nuzul secara bahasa. Karena arti tersebut hanya sesuai untuk al-hawadist
(baharu), sedangkan zat Allah suci. Jika Al-Qur’an dipandang sebagai Lafadz yang dibaca, maka
tidak layak dimengerti sebagai kata an-nuzul secara bahasa juga. Karena lafadz bersifat “aradh”
yang keberadaannya hanya diketahui saat diucapkan. Maka jalan keluar bagi pengertian an-nuzul
secara bahasa, ditempatkannya secara bentuk majas artinya adalah “menginformasikan,
menetapkan, menggerakkan dari atas ke bawah”. 1

Kata nuzul menurut bahasa bagi para ulama juga mempunyai arti yang berbeda antara lain
sebagai berikut: Pertama, Imam Ar- Raghib al-Asfihfani dalam kitabnya al- Mufradaat kata nuzul
itu mempunyai arti: Al - inhidar min’uluwwin ila safalin (meluncur dari atas ke bawah atau
berarti turun) 2sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 22 yaitu:

‫الس َماِۤء َماۤءً فَاَ ْخَر َج بِهٖ ِم َن الث ََّم ٰر ِت ِر ْزقًا‬


َّ ‫الس َماۤءَ بِنَاۤءً ۖ َّواَْنَز َل ِم َن‬
َّ ‫اشا َّو‬ ِ ‫الَّ ِذي جعل لَ ُكم ااْل َر‬
ً ‫ض فَر‬
َ ْ ُ َ ََ ْ
‫لَّ ُك ْم ۚ فَاَل جَتْ َعلُ ْوا لِٰلّ ِه اَنْ َد ًادا َّواَْنتُ ْم َت ْعلَ ُم ْو َن‬

1
Maulana Dwi Kurniasih, Dyah Ayu Lestari, “Ahmad Fauzi, Hikmah Penurunan Al-Qur’an Secara berangsur”,
MIMBAR Agama Budaya, Vol. 38 No. 02, hlm. 77
2
Maulana Dwi Kurniasih, Dyah Ayu Lestari, “Ahmad Fauzi, Hikmah Penurunan Al-Qur’an Secara berangsur”,
MIMBAR Agama Budaya, Vol. 38 No. 02, hlm. 77
3
Artinya: (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan
(hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan
tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [02]:22)

Sedangkan secara etimologi pengertian Nuzul Qur’an berarti bacaan kerena makna tersebut
diambil dari ‫ قرأة‬atau ‫قرآن‬. Secara terminologi yang dimaksud dengan Nuzulul Al-Qur’an adalah
cara dan fase turunnya Alquran dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Seperti
disebutkan dalam kitab-kitab Alquran, bahwa sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, Alquran terlebih dahulu diturunkan Allah SWT ke Lauh Mahfudzh, kemudian dari Lauh
Mahfudzh diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia. Barulah dari Baitul Izzah Alquran
diturunkan melalui perantara Malikat Jibril AS secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad
SAW. 3Sehingga dapat disimpulkan dari pengertian di atas bahwa Nuzulul Qur’an adalah
peristiwa diturunkannya wahyu Allah SWT yakni Al Quran kepada Nabi Muhammad SAW
melalui perantara Malaikat Jibril alaihisalam secara mutawatir (berangsur-angsur) selama kurun
waktu ke rasulan beliau (kurang lebih 23 tahun).

2.2 Tahapan Nuzulul Quran


Perbedaan kitab Al-Quran dipandang dari aspek proses penurunannya sangat jauh berbeda
dengan kitab-kitab wahyu lainnya. Sehingga karena alasan perbedaan tersebut, sikap meragukan
sumber munculnya teks wajar ketika dipertanyakan oleh orang-orang kafir. 4Dalam Al-Quran
Allah mengabadikan pertanyaan mereka:
ِ ِ‫اح َد ًة ۛ َك ٰذل‬
ِ ‫ال الَّ ِذين َك َفروا لَواَل نُِّز َل علَي ِه الْ ُقراٰ ُن مُجْلَةً َّو‬
ُ‫ت بِهٖ ُفَؤ َاد َك َو َرَّت ْلنٰه‬
َ ِّ‫ك ۛ لنُثَب‬
َ ْ َْ ْ ْ ُ َ ْ َ َ‫َوق‬
‫َتْرتِْياًل‬

3
Maulana Dwi Kurniasih, Dyah Ayu Lestari, “Ahmad Fauzi, Hikmah Penurunan Al-Qur’an Secara berangsur”,
MIMBAR Agama Budaya, Vol. 38 No. 02, hlm. 78

4
Muhammad Yunan, “Nuzulul Qur’an dan Asbabun Nuzul”, Jurnal Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan,
Vol.02 No. 01 (Juni, 2020), hlm. 60
4
Artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan
kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan: 32)

Ada 3 fase turunnya Al-Qur’an


Fase pertama, untuk fase pertama turunnya Al-Qur’an, kitab suci ini diturunkan ke Lauhul
Mahfudz secara keseluruhan. 5Dalil fase pertama ini adalah firman Allah swt berikut,
(22)‫ح َّم ۡحفُ ۡو ٍظ‬ ٰ
ٍ ‫)فِ ۡى لَ ۡو‬21( ‫بَ ۡل ه َُو قُ ۡرا ٌن َّم ِج ۡي ٌد‬
Artinya: “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, yang
(tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh". (QS. Al-Buruj [85]: 21-22) Para mufassir sepakat,
bahwa ayat ini menjelaskan turunnya Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz.

Fase kedua, ini merupakan lanjutan dari fase sebelumnya. Untuk fase kedua turunnya Al-
Qur’an, kitab suci ini diuturunkan secara utuh dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izzah pada bulan
Ramadhan, bertepatan dengan malam lailatul qadar.6 Dalil yang menjadi landasan untuk fase ini
adalah firman Allah SWT berikut,

‫ٰت ِّم َن اهْلُٰدى َوالْ ُف ْرقَا ۚ ِن فَ َم ْن َش ِه َد ِمْن ُك ُم‬


ٍ ‫َّاس وبِّين‬ ِِ ِ
َ َ ِ ‫ضا َن الَّذيْٓ اُنْ ِز َل فْيه الْ ُق ْراٰ ُن ُه ًدى لِّلن‬
َ ‫َش ْه ُر َر َم‬
‫ضا اَْو َع ٰلى َس َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِّم ْن اَيَّ ٍام اُ َخَر ۗ يُِريْ ُد ال ٰلّهُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َواَل يُِريْ ُد بِ ُك ُم‬
ً ْ‫ص ْمهُ ۗ َو َم ْن َكا َن َم ِري‬
ُ َ‫َّهَر َف ْلي‬
ْ ‫الش‬
‫ْملُوا الْعِ َّدةَ َولِتُ َكِّب ُروا ال ٰلّهَ َع ٰلى َما َه ٰدى ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُر ْو َن‬
ِ ‫الْعسر ۖ ولِتُك‬
َ َْ ُ
Artinya, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil).” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Ayat al-Quran di atas juga diperkuat hadits berikut,

‫يل‬ ِ‫ فَ َج َعل ِجرْب‬،‫الد ْنيَا‬


ُّ ِ ‫السم‬
‫اء‬ ‫ن‬ ِ ‫ت العَِّز ِة‬
‫م‬ ِ ‫ َفو ِضع يِف بي‬،(‫ اللّوح احملفوظ‬:‫الذ ْك ِر )أي‬ ِّ ‫صل ال ُق ْرآ ُن ِمن‬ ِ
ُ َ َ َّ َ ْ َ َ ُ َ َ ُ‫ف‬
‫السالم َيْن ِز ُل بِِه َعلَى النَّيِب ِّ صلّى اهلل عليه وسلّم‬
ّ ‫عليه‬
Artinya: Artinya, “Al-Quran dipisahkan dari ad-Dzikr (Lauhul Mahfudz) lalu diletakkan
di Baitul Izzah di langit dunia. Kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi saw.”
(HR. Hakim dalam al-Mustadrak)
5
Achmad Zuhdi, dkk, Studi Al-Qur’an (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021), hlm. 33
6
Achmad Zuhdi, dkk, Studi Al-Qur’an (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021), hlm. 33
5
Para mufasir, seperti Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, Fakhruddin al-Razi
dalam Mafatih al-Ghaib, Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsir as-Sa’di, dan pakar tafsir lalinnya,
sepakat bahwa Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan secara utuh dari Lauhul Mahfudz ke
Baitul ‘Izzah.
Fase ketiga, ini merupakan fase terakhir dari turunnya Al-Qur’an. Pada fase ini, Al-
Qur’an diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Ayat-ayat yang turun
berangsur sesuai dengan konteks peristiwa saat itu. 7Dalil yang menjadi dasar fase ketiga ini
adalah firman Allah SWT berikut,

(193) ُ ‫الر ْو ُح ااْل َِمنْي‬


ُّ ‫َنَز َل بِِه‬

(194) ‫ك لِتَ ُك ْو َن ِم َن الْ ُمْن ِذ ِريْ َن‬


َ ِ‫َع ٰلى َق ْلب‬
ٍ ‫بِلِس‬
(195) ٍ ‫ان َعَريِب ٍّ ُّمبِنْي‬ َ
(195) ُ‫الر وْحُ ا اْل َِمنْي‬
ُّ ِ‫َل بِه‬
َ ‫) َنز‬193 (‫ِن ا لْمُنْذِرِي َْن‬ َ ‫ِك ِلتَكُو‬
َ ‫ْن م‬
ٍ ‫بِلِس‬
َ ‫) عَلٰى قَلْب‬194 ( ٍ ‫َان عَرَيِب ٍّ مُّبِنْي‬

Artinya, “Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan
bahasa Arab yang jelas." (QS. As-Syu’ara [26]: (193-195)

Menurut Manna’ al-Qaththan, terdapat dua mazhab pokok di kalangan para ulama di
seputar pemahaman tentang proses turunnya Al-Quran, yaitu anatra lain:

1.) Pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, bahwa yang dimaksud dengan turunnya Al-Quran
ialah turunnya Al-Quran secara sekaligus ke Baitul ’Izzah di langit dunia untuk menunjukkan
kepada para malaikatnya bahwa betapa besar masalah ini, selanjutnya Al-Quran diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun sesuai dengan
peristiwa-peristiwa yang mengiringinya sejak beliau diutus sampai wafatnya. Pendapat ini
didasarkan pada riwayat-riwayat dari Ibnu Abbas. Antara lain:
“Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada lailah al-qadr. Kemudian setelah itu, ia
diturunkan selama dua puluh tahun.”

7
Achmad Zuhdi, dkk, Studi Al-Qur’an (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021), hlm. 34
6
“Al-Quran itu dipisahkan dari al-zikr, lalu diletakkan di Baitul ’Izzah di langit dunia. Maka Jibril
mulai menurunkannya kepada Nabi SAW.”
“Al-Quran diturunkan pada lailah al-qadr pada bulan Ramadhan ke langit dunia sekaligus, lalu ia
diturunkan secara berangsur-angsur.”

2.) Pendapat yang disandarkan pada al-Sya’bi bahwa permulaan turunnya Al-Qur’an dimulai
pada lailah al-qadr di bulan Ramadhan, malam yang diberkahi. Sesudah itu turun secara bertahap
sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan
demikian, Al-Quran hanya memiliki satu macam cara turun, yaitu turun secara bertahap kepada
Rasulullah SAW, sebab yang demikian inilah yang dinyatakan oleh Al-Qur’an.8

ٍ ‫َّاس ع ٰلى م ْك‬


‫ث َّو َنَّزلْنٰهُ َتْن ِزيْاًل‬ ِ
ُ َ ِ ‫َو ُق ْراٰنًا َفَر ْقنٰهُ لَت ْقَراَهٗ َعلَى الن‬
Artinya: “Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Isra’: 106)

‫ت بِهٖ ُفَؤ َاد َك َو َرَّت ْلنٰهُ َت ْرتِْياًل‬ ِ ِ‫اح َد ًة ۛ َك ٰذل‬


ِ ‫ال الَّ ِذين َك َفروا لَواَل نُِّز َل علَي ِه الْ ُقراٰ ُن مُجْلَةً َّو‬
َ ِّ‫ك ۛ لنُثَب‬
َ ْ َْ ْ ْ ُ َ ْ َ َ‫َوق‬
‫ٰك بِاحْلَ ِّق َواَ ْح َس َن َت ْف ِسْيًرا‬ ِ ِ
َ ‫ك مِب َثَ ٍل ااَّل جْئ ن‬
َ َ‫َواَل يَْأُت ْون‬
Artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan
kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu
yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqan: 32-33)

Di samping dua pendapat mayoritas di atas, terdapat lagi pandangan-pandangan yang lain, yaitu:
1. Pendapat yang menyebutkan bahwa Al-Quran diturunkan ke langit dunia pada dua puluh
malam kemuliaan (lailah al-qadr), yang setiap malam kemuliaan tersebut ada yang

8
Muhammad Yunan, “Nuzulul Qur’an dan Asbabun Nuzul”, Jurnal Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan,
Vol.02 No. 01 (Juni, 2020), hlm. 60-61
7
ditentukan oleh Allah untuk diturunkan setiap tahunnya, dan jumlah untuk satu tahun
penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW.
2. Ada juga sebagian ulama yang berpandangan bahwa Al-Qur’an turun pertama-tama
secara berangsur-angsur ke Lauh al-mahfuz, kemudian diturunkan secara sekaligus ke
Bait al-‘Izzah. Dan setelah itu, turun sedikit demi sedikit. Pendapat yang menetapkan tiga
tahap proses penurunan Al-Quran di atas, mulai dari penetapannya di Lauh al-mahfuz,
kemudian menuju langit dunia di Bait al- ‘Izzah, kemudian ditetapkan dalam hati
Rasululllah SAW.9
Para ulama membagi sejarah turunnya Al-Qur’an dalam dua periode: (1) Periode sebelum
hijrah (ayat-ayat makkiyyah); dan (2) Periode sesudah hijrah (ayat-ayat madaniyyah), tetapi
disini akan dipetakan menjadi tiga periode guna mempermudah dalam pengklasifikasiannya.
1. Periode pertama, pada permulaan turunnya wahyu yang pertama (Al-Alaq 1-5)
Muhammad saw belum diangkat menjadi Rasul, dan hanya berperan sebagai nabi yang
tidak ditugaskan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya. Sampai pada turunnya
wahyu yang kedua barulah Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang
diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah
peringatan” (QS. Al-Muddatsir [74]: 1-2).
Kemudian sesudah itu, kandungan wahyu ilahi berkisar dalam tiga hal.
Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw, dalam membentuk kepribadiannya
(Q.s. Al-Muddatsir [74]: 1-7).
Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai ketuhanan (Q.s. Al-A’la [87]
dan Al-Ikhlash [112].
Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiyah, serta bantahan-
bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat Jahiliah ketika itu. Dapat
dilihat, misal dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang
menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap
fakir-miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.

9
Muhammad Yunan, “Nuzulul Qur’an dan Asbabun Nuzul”, Jurnal Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan,
Vol.02 No. 01 (Juni, 2020), hlm. 61
8
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-
macam reaksi dikalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam
tiga hal pokok: Pertama, Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-
ajaran Al-Qur’an. Kedua, Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-
Qur’an, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat
istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), atau karena adanya maksud-maksud
tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya
Bani Hasyim memperoleh kemuliaan Nubuwwah, kemuliaan apalagi yang tinggal untuk
kami. Ketiga, Dakwah Al-Qur’an mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju
daerah-daerah lainnya.
2. Periode kedua, sejarah turunnya Al-Qur’an pada periode kedua terjadi selama 8-9 tahun,
pada masa ini terjadi pertikaian dahsyat antara kelompok Islam dan Jahiliah. Kelompok
oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara untuk menghalangi kemajuan dakwah
Islam. Pada masa itu, ayat-ayat Al-Qur’an di satu pihak, silih berganti turun menerangkan
kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu (Q.s.
An-Nahl [16]: 125). Sementara di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman terus
mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran (Q.S 41: 13). Selain itu,
turun juga ayat-ayat mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat (Q.S. Yasin [36]:
78-82). Di sini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah sanggup memblokade paham-
paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan
kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
3. Periode ketiga, pada periode ini dakwah Al-Qur’an telah mencapai atau mewujudkan
suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan
ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-
Munawwarah). Periode ini berlangsung selama 10 tahun. Ini merupakan periode yang
terakhir, saat Islam disempurnakan oleh Allah SwT dengan turunnya ayat yang terakhir,
Al-Maidah [5]: 3, ketika Rasulullah Saw wukuf pada haji wada’ 9 Dzulhijjah 10 H/7
Maret 632 M. Dan ayat terakhir turun secara mutlak, surat Al-Baqarah [2]: 281, sehingga
dari ayat pertama kalinya memakan waktu sekitar 23 tahun.10
10
Achmad Zuhdi, dkk, Studi Al-Qur’an (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2021), hlm. 36-41
9
2.3 Hikmah Turunnya Al-Qur’an Secara Berangsur-angsur
Terdapat dua bentuk keperluan yang dibutuhkan oleh Rasulullah SAW. Akan turunnya Al-
Qur’an secara berngsur-angsur, yaitu;
1. Untuk memantapkan dan memperteguh hati beliau, karena setiap peristiwa yang beliau
alami selalu disusul dengan turunnya Al-Quran.
2. Agar Al-Quran mudah dihafal.

Menurut Muhammad Baqir Hakim, terdapat beberapa tanda bukti kebesaran Al-Quran yang
dapat kita ketahui melalui proses turunnya secara bertahap, yaitu:
1. Selama perjalanan dakwah Rasulullah SAW. selama dua puluh tahun lebih lamanya telah
terjadi perubahan-perubahan yang mendasar melalui proses yang cukup berat dan cobaan
yang sangat dahsyat. Bagi manusia biasa akan sangat kewalahan dan tidak akan mampu
menjalaninya. Akan tetapi Al-Quran dapat mengiringi perjalanan dakwah beliau SAW.
Baik dalam keadaan lemah maupun kuat, sulit maupun dalam keadaan lapang, dan dalam
masa-masa memperoleh kekalahan maupun kemenangan.
2. Al-Quran diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah SAW. memberikan semangat dan
membantu Rasulullah SAW. secara batiniah bagi keberlanjutan proses dakwah Rasulullah
SAW. Allah berfirman:
ِ ِ‫اح َد ًة ۛ َك ٰذل‬
ِ ‫ال الَّ ِذين َك َفروا لَواَل نُِّز َل علَي ِه الْ ُقراٰ ُن مُجْلَةً َّو‬
ُ‫ت بِهٖ ُفَؤ َاد َك َو َرَّت ْلنٰه‬
َ ِّ‫ك ۛ لنُثَب‬
َ ْ َْ ْ ْ ُ َ ْ َ َ‫َوق‬
‫َتْرتِْياًل‬
Artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan
kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan: 32)
Risalah Islam mengalami berbagai keraguan, tuduhan-tuduhan, kondisi politik yang tidak
menentu dan cobaan lainnya yang berasal dari kaum musyrik. Untuk menghadapi semua itu,
Rasulullah SAW. memerluakan bantuan dari Al-Qu’ran. Dan bantuan tidak akan maksimal bila

10
Al-Qur’an tidak diturunkan secara berangsur-angsur, karena pada waktu itu kondisi memerlukan
proses yang harus melewati tahapan-tahapan tertentu secara terus-menerus dan berkelanjutan.11

‫ٰك بِاحْلَ ِّق َواَ ْح َس َن َت ْف ِسْيًرا‬ ِ ِ


َ ‫ك مِب َثَ ٍل ااَّل جْئ ن‬
َ َ‫َواَل يَْأُت ْون‬

Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.” (QS. Al-Furqan: 33)
Manna’ al-Qaththan dalam kitab Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an-nya juga memberikan
beberapa kesimpulan tentang hikmah turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, yaitu:
1.) Untuk meneguhkan hati Rasulullah SAW. dalam menghadapi kaum yang memiliki watak dan
sikap yang begitu keras.
2.) Tantangan dan mukjizat. Kaum musyrikin sering mengajukan pertanyaanpertanyaan dengan
maksud melemahkan dan menantang untuk menguji kenabian Rasulullah SAW., mengajukan hal-
hal batil dan tidak masuk akal, seperti masalah hari kiamat. Maka turunlah Al-Qur’an untuk
menjealaskan kepada mereka suatu kebenaran dan jawaban yang amat tegas atas pertanyaan
mereka itu.
3.) Untuk memudahkan hafalan dan pemahaman, sebab Al-Qur’an turun di tengah-tengah ummat
yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis. Dan yang menjadi catatan mereka adalah
hafalan dan daya ingatnya.
4.) Relevan dengan peristiwa, pentahapan dan penetapan hukum. Manusia tidak akan mudah
mengikuti dan tunduk kepada agama yang baru ini, jika Al-Qur’an tidak memberikan strategi
yang jitu dalam merekonstruksi kerusakan dan kerendahan martabat mereka.
5.) Karena proses turunnya yang berangsur-angsur, maka orang pun mengkajinya sedikit demi
sedikit. Ketika itu, mereka mendapati rangkaiannya yang tersusun cermat sekali dengan makna
yang saling bertaut, dengan redaksi yang begitu teliti, ayat demi ayat, surat demi surat yang
terjalin saling bertautan bagaikan rangkaian mutiara yang indah dan belum pernah ada
bandingannya.

11
Muhammad Yunan, “Nuzulul Qur’an dan Asbabun Nuzul”, Jurnal Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan,
Vol.02 No. 01 (Juni, 2020), hlm. 65
11
6.) Mempunyai faedah dalam pendidikan dan pengajaran. Proses turunnya yang secara berangsur-
angsur dan bertahap merupakan bantuan yang paling baik bagi jiwa manusia dalam upaya
menghafal Al-Qur’an, memahami, mempelajari, memikirkan makna-maknanya dan
mengamalkan kandungannya.
Pernyataan yang diungkap oleh beberapa ulama di atas menyangkut hikmah penurunan
Al-Quran secara bertahap mencerminkan suatu pengakuan hubungan yang nyata bahwa teks Al-
Qur’an ternyata tidak hanya merespon kondisi penerima wahyu pertama semata, yaitu Rasul
SAW. tetapi lebih dari itu realitas kultural pun masuk dalam cakupan perhatiannya. Dan antara
Al-Qur’an dengan penerima pertama dan masyarakat sebagai objek sasarannya yang memiliki
kondisi tersendiri haruslah menjadi perhatian dan tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan begitu
saja. Artinya, bahwa yang ideal adalah teks dan realitas harus berjalan seiringan. Karena alasan
ini pula pemahaman tentang ilmu asbabun nuzul menjadi penting untuk dimiliki. 12
2.4 Pemeliharaan Al Quran Pada Masa Nabi dan Khulafaurrasyidin
Pemeliharaan Al-Qur’an terdiri dari dua kata, yaitu pemeliharaan dan Al-Qur’an.
Pemeliharaan sendiri berasal dari kata pelihara yang berarti jaga atau rawat, yang diberi imbuhan
pe-dan-an yang berarti proses, cara, dan perbuatan memelihara. Adapun definisi Al-Qur‟an
secara istilah yang disepakati oleh ulama ushul, fikih, dan bahasa, yaitu:
ِ ‫الكالم المعجز المنزل على النبي صلى اهلل عليه وسلم المكتوب‬
‫ المنقول عنو‬،‫ف المصاحف‬

‫بالتواتر‬،

‫المتعبد بتالوتو‬
Firman (Allah) yang merupakan mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad),
dituliskan di dalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.13
Sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “Pemeliharaan Al-Qur’an” di sini adalah
segala proses dan cara yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara kitab suci Al-Qur’an
sehingga tetap terjaga orisinalitas, otentisitas, dan validitasnya dari segala bentuk perubahan baik
12
Muhammad Yunan, “Nuzulul Qur’an dan Asbabun Nuzul”, Jurnal Ilmu-ilimu Keislaman dan Kemasyarakatan,
Vol.02 No. 01 (Juni, 2020), hlm. 65-66
13
Subhi As-Shalih, Mabaahits fii, Uluum Al-Qur‟an, Beirut : Daar Al-„Ilm li Al- Malaayiin, 2000, cet. 4, hal. 21.
12
berupa penambahan maupun pengurangan. Selain pemeliharaan dalam konteks fisik Al-Qur’an,
makalah ini membahas pula pemeliharaan berupa upaya menjaga validitas Al-Qur’an dari upaya
kritik yang melemahkannya, dan juga upaya membumikan Al-Qur’an dalam diri umat Islam
sebagai wujud eksistensi Al-Qur’an di tengah-tengah umat Islam. Namun karena banyaknya
usaha dan upaya tersebut terutama dalam hal membumikan Al-Qur’an, maka penyusun hanya
akan melakukan sampling sehingga hanya akan membahas satu atau dua contoh secara acak agar
dapat memberikan gambaran umum mengenai upaya pemeliharaan Al-Qur’an.
Adapun beberapaproses pemeliharaan tersebut menjadi beberapa jenis kegiatan yang
berlangsung semenjak diturunkannya Al-Qur’an hingga masa modern, sebagai berikut:
1. Hafalan Al-Qur’an
Menghafal Al-Qur’an seringkali disebut sebagai Al-Hifdzu fii As-Shuduur yang berarti
pemeliharaan dalam dada. Sejak awal diturunkan Al-Quran sudah mulai dijaga dalam bentuk
hafalan oleh Rasulullah SAW maupun umat Islam lainnya. Rasulullah SAW membacakan Al-
Qur’an secara perlahan kepada para sahabat agar mereka bisa menghafalnya.
Terutama lagi bangsa arab kala itu memiliki tradisi menghafal yang sangat kuat. Hal ini
juga terjadi dikarenakan tradisi baca tulis belum begitu populer bagi bangsa arab. Karena itulah
dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an mereka disebut sebagai kaum Ummiyin (orang-orang
yang buta huruf), di antaranya adalah firman Allah ‫ جل جالله‬dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2.
Namun walaupun zaman sekarang baca tulis telah populer, bahkan Al-Qur’an telah
dibukukan menjadi satu mushaf, umat Islam pada umumnya masih tetap berbondong-bondong
untuk menghafalkan Al-Qur’an. Salah satu hal yang mendorong umat Islam untuk menghafalkan
Al-Qur’an adalah banyaknya motivasi dalam hadits Rasulullah untuk menghafalnya, diantaranya
yaitu:

‫ َو َمثَ ُل الَّ ِذي َي ْق َرُأ‬،‫الب َر َر ِة‬ ِ ِ َّ ‫ظ لَهُ مع‬


َ ‫ الك َر ِام‬,‫الس َف َرة‬
ِ ِ
َ َ ٌ ‫ َو ُه َو َحاف‬،‫مثَ ُل الَّذي َي ْق َرُأ ال ُق ْرآ َن‬،
َ
ِ ‫َأجر‬
8 ‫ان‬ ِ ِ
َ ْ ُ‫ َو ُه َو َعلَْيه َشدي ٌد َفلَه‬،ُ‫اه ُده‬
َ ‫َو ُه َو َيَت َع‬
Artinya: Permisalan orang yang membaca Al-Qur’an dan dia telah menghafalnya, maka
dia akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti. Dan perumpamaan yang membaca (Al-

13
Qur’an) dan dia selalu menekuninya padahal dia merasa berat di dalam (membaca)nya, maka dia
memperoleh
dua pahala. (H.R. Bukhari)
Hadits di atas menjelaskan tingginya derajat seorang penghapal Al-Qur’an, bahkan
disejajarkan dengan derajat malaikat yang selalu taat pada perintah Allah ‫جل جالله‬. Bahkan masih
banyak hadits lainnya yang memotivasi untuk menjadi ahli dan penghapal Al-Qur’an.
2. Penulisan Al-Qur’an
Menuliskan Al-Qur’an disebut juga Al-Hifdzu fi As-Shuthuur yaitu menjaga Al-
Qur’an dalam bentuk baris-baris tulisan. Selain menghafal Al-Qur‟an, beberapa orang
sahabat adapula yang terbiasa menuliskan ayat Al-Qur‟an pada lembaran kulit yang
disamak, pelepah kurma, tulang, ataupun sarana lain yang memungkinkan. Diantara para
sahabat penulis wahyu yaitu 4 Khulafaur Rasyidin, Abdullah bin Abi Sarh, Zubair bin
Awwam, Muawiyah, Khalid bin Sa’id bin Al-Ash bin Umayah, Abaan bin Sa’id bin Al-
Ash bin Umayah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Syurahbil bin Hasanah, Abdullah bin
Rawahah, Amru bin Al-Ash, Khalid bin Walid, Arqam bin Abil Arqam, Tsabit bin Qais,
Abdullah bin Arqam, Handzalah bin Rabi’, dan Mu’aiqib bin Abi Fatimah. Ayat Al-
Qur‟an pada periode kenabian tersebut tidaklah ditulis secara menyeluruh per surat dan
berurutan, karena masing-masing sahabat mencatat hasil pendiktean Rasulullah SAW
berdasarkan kapan wahyu itu turun kepada beliau.
3. Pembukuan Al-Qur’an
Bila pada saat dituliskan Al-Qur’an masih terpisah-pisah dan tidak berurutan,
maka pembukuan Al-Qur’an adalah proses penulisan ulang seluruh isi Al-Qur’an yang
terpisah tersebut menjadi satu mushaf dan disusun secara berurutan mulai dari surat Al-
Fatihah dan An-Naas sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada
para sahabat. Pembukuan Al-Qur’an ini dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-
Shiddiq radiyallahu ‘anhu sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan
mengenai pemeliharaan Al-Qur’an pada masa khulafaur rasyidin.
Perbedaan antara penulisan dan pembukuan Al-Qur’an terletak pada keadaan Al-
Qur’an ketika dicatatkan. Adapun penulisan hanya berupa pencatatan teks semata,
sedangkan pembukuan lebih kepada proses penyatuan catatan-catatan maupun hafalan
14
Al-Qur’an menjadi satu. Oleh karena itu dalam hal ini sering digunakan kata Al-Jam’u
yang berarti pengumpulan dalam menamai proses ini.
4. Kodifikasi Al-Qur’an
Kodifikasi bermakna menghimpun, menggolongkan, mencatat, atau memberi nomor
atau lambang. Sehingga kodifikasi Al-Qur’an dapat dimaknai sebagai usaha atau upaya
menghimpun, menggolongkan, mencatat, dan atau memberi kode dalam penulisan teks
Al-Qur’an.Kodifikasi sering dimaknai dengan kata Al-Jam’u yang bermakna
pengumpulan. Begitupun proses pemeliharaan Al-Qur’an sejak masa Rasulullah hingga
Khulafaur Rasyidin sering disebut dengan satu istilah yaitu Al-Jam’u.
Menurut Dr. Ali Al-Ubaid bahwa dalam Ulumul Qur’an sendiri kata Al-Jam’u
sendiri memiliki dua makna, yaitu menghafalnya dan menulisnya. Karena itulah kadang
terjadi kerancuan dalam membedakan proses pemeliharaan Al-Qur’an sejak masa
Rasulullah SAW hingga Khalifah Utsman bin Affan radiyallahu ‘anhu. Oleh karena
itulah penyusun kemudian memisahkan istilah kodifikasi untuk proses penulisan ulang
Al-Qur’an yang terjadi pada masa Utsman bin Affan radiyallahu ‘anhu berupa
penetapan satu macam tulisan untuk berbagai macam bacaan atau qira’ah Al-Qur’an.
Adapula ulama yang menyebutnya sebagai proses Naskhul Qur‟an atau penggandaan
teks Al-Qur’an.
5. Penyempurnaan Tulisan Al-Qur’an & Kaidah Tajwid
Penyempurnaan tulisan Al-Qur’an yaitu penambahan titik, harakat, dan tanda baca
dalam Al-Qur’an yang bertujuan untuk menjaga kefasihan bacaan terhadap Al-Qur’an.
Juga mencegah terjadinya kesalahan dalam mempelajari atau menghafal Al-Qur’an
karena faktor ‘ajamiyah. Adapun pada periode awal Al-Qur’an dituliskan tanpa ada
tanda baca seperti titik huruf dan juga harakat. Namun umat Islam saat itu masih mampu
untuk membaca Al-Qur’an yang notabene berbahasa arab dikarenakan bahasa arab
adalah bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, disamping itu banyak dari mereka
menyandarkan bacaan Al-Qur’an pada hafalannya.
Namun ketika Islam semakin menyebar hingga memasuki negeri nonarab (ajam)
sehingga terkadang muncul kesalahan dialek atau pengucapan dalam bahasa arab. Oleh
karena itulah kemudian muncul tanda baca untuk mencegah terjadinya kesalahan
15
tersebut. Selain itu kemudian disusunlah kaidah tajwid dengan konsep yang lebih
sederhana berdasarkan qiraat yang digunakan dalam rangka menjadi patokan-patokan
dasar dalam membaca Al-Qur’an.
6. Pembelaan Terhadap Otentisitas Al-Qur’an
Yang penyusun maksud dengan pembelaan terhadap otentisitas Al-Qur’an yaitu
berupa penelitian ataupun pembahasan mengenai argumentasi yang menguatkan Al-
Qur’an, dengan membantah argumentasi yang melemahkannya. Penyusun memasukan
pembahasan ini karena hal ini termasuk dalam kategori menjaga dan memelihara Al-
Qur’an, yaitu menjaga status keabsahan Al-Qur’an bagi Umat Islam. Hal ini berbeda dari
bentuk-bentuk pemeliharaan Al-Qur’an sebelum ini yang lebih bersifat konkrit berupa
tulisan ataupun bacaan Al-Qur’an. Kebanyakan argumentasi kritis yang melemahkan Al-
Qur’an datang dari kalangan orientalis dan sekuler dengan berbagai motif dan latar
belakangnya masing-masing. Sehingga upaya menjawab pertanyaan serta argumentasi
tersebut merupakan salah satu wujud penjagaan terhadap Al-Qur’an.14

Adapun sejarah pemeliharaan kemurnian Al Qur'an yaitu antara lain:


a. Masa Nabi Muhammad SAW.
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah merupakan bangsa yang buta huruf dan amat
sedikit di antara mereka yang mengenal tulis-baca, mereka belum mengenal kertas sebagaimana
sekarang. Perkataan Al Waraq (daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti kertas di masa
tersebut hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja. Adapun kata al qirthos yang dari padanya
terambil kata bahasa Indonesia kertas oleh mereka hanyalah dipakaikan untuk benda-benda
(bahan-bahan) yang dipergunakan untuk menulis yaitu kayu, tulang binatang, kulit binatang,
Pelepah kurma dan lain sejenisnya maupun bebatuan yang tipis. Setelah mereka menaklukkan
negeri Persia yaitu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW barulah mereka mengenal yang
namanya kertas, orang Persia memberikan nama kertas dengan "kaqhid', maka dipakailah nama
itu untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu pula. Adapun sebelum Nabi maupun pada saat
Nabi masih hidup kata-kata kaqhid tidak ada dalam pemakaian untuk bahasa Arab maupun

14
Didik Darmadi, “PEMELIHARAAN AL-QUR’AN SEJAK ERA KENABIAN HINGGA ZAMAN KONTEMPORER
Upaya Menjaga Orisinalitas & Validitas Al-Qur’an”, hlm.06-08
16
Hadits-hadits Nabi, kemudian kata-kata al qirthos itupun dipakai pula oleh bangsa Arab kepada
apa yang dinamakan kaqhid dalam bahasa Persia. Kitab atau buku tentang apapun, juga belum
ada pada masa mereka kata-kata kitab' pada masa itu hanyalah berarti sepotong kulit, batu atau
tulang dan sebagainya yang telah bertuliskan atau berarti seperti kata “kitab” dengan ayat 28
surat 27 (An Naml).
Begitu juga kata “kutub” (Jama' kitab ) yang dikirimkan oleh Nabi kepada Raja-raja di
masanya untuk menyerah kepada Islam, kepada mereka belum mengenal kitab atau buku
sebagaimana yang dikenal masa sekarang ini sebab itu di waktu Al Qur'an itu dibukukan pada
masa Khalifah Ustman bin Affan - sebagaimana akan diterangkan nanti - tidak tahu mereka
dengan apa Al Qur'an yang mereka bukukan tersebut diberi nama, bermacam-macam pendapat
para sahabat tentang nama yang harus diberikan, akhirnya mereka sepakat memberikan nama "Al
Mushhaf” (isim maf’ul dari ashhafa) yang artinya mengumpulkan sumif, jama' dari shahifah,
lembaran-lembaran yang telah tertulis15.
Setiap diturunkan ayat Al Quran, Nabi selalu menyuruh menghafalnya dan menuliskanya
di bebatuan, kulit binatang, pelepah kurma dan lain sejenisnya, seperti benda-benda tipis yang
dapat ditulisi dan pula Nabi menerangkan akan bagaimana ayat-ayat itu nantinya disusun dalam
sebuah surat, artinya oleh Nabi diterangkan bagaimana ayat-ayat itu mesti disusun secara tertib
urutan ayat-ayatnya, di samping itu Nabi juga membuat aturan, yaitu hanya Al Qur'an sajalah
yang diperbolehkan untuk ditulis dan melarang selainnya termasuk Hadits maunpun pelajaran-
pelajaran yang keluar dari mulut Nabi SAW. Hal ini bertujuan agar apa yang dituliskannya
adalah betul-betul Al Qur'an dan tidak tercampur adukkan, dengan yang hanya Al Qur'an betul-
betul terjamin kemumiannya. Nabi menganjurkan supaya Al Qur'an itu dihafalkan di dalam dada
masing-masing sahabat dan diwajibkan pula untuk dibaca pada setiap shalat.
Dengan jalan demikian itu maka banyaklah para sahabat yang mampu menghafal Al
Qur'an surat yang satu macam dihafal oleh ribuan manusia dan banyak yang mampu menghafal
Al Qur'an secara keseluruhan. Dalam pada itu tidak satu ayat pun yang tidak tertuliskan. Pada
masa perang Badar orang-orang Musyrikin yang ditawan oleh Nabi Muhammad SAW, yang
tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis dan membaca masing-masing
diharuskan mengajar 10 orang muslim untuk membaca dan menulis sebagai tebusan. Dengan
15

17
demikian semakin bertambahlah keinginan untuk membaca dan menulis dan bertambah
banyaklah di antara orang Islam yang pandai membaca dan menulis, sehingga banyak pula orang-
orang yang menulis ayat-ayat Al Qur'an yang telah diturunkan. Sementara Nabi sendiri memiliki
beberapa orang penulis wahyu yang diturunkan untuk beliau secara khusus. Di antara para
penulis itu ialah: Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan
Muawiyah bin Abi Shofyan
Dalam pada itu oleh Malaikat Jibril diadakan ulangan (repetisi) sekali dalam satu tahun,
diwaktu ulangan Nabi disuruh untuk mengulangi memperdengarkan wahyu yang telah diturunkan
kepadanya, di tahun beliau wafat ulangan itu diadakan oleh Jibril sebanyak dua kali. Nabi sendiri
pun sering mengadakan ulangan di hadapan para sahabatnya, pendeknya Al Qur'an tersebut
sangat terjaga dan terpelihara secara baik dan Nabi telah menjalani cara yang amat praktis di
dalam memelihara dan menyiarkan Al Qur'an yang sesuai dengan kondisi bangsa Arab pada saat
itu.
b. Masa Sahabat Abu Bakar As-Shidiq r.a.
Setelah Rasulullah wafat, sahabat Anshar dan Muhajirin sepakat menunjuk Abu Bakar
menjadi Khalifah, pada masa awal pemerintahanya banyak orang-orang Islam yang belum kuat
imannya terutama di daerah Najed dan Yaman banyak di antara mereka yang menjadi murtad
dari agama Islam dan banyak pula yang menolak membayar zakat, maka terjadilah peperangan
untuk menumpas orang-orang murtad dan para pengikutnya serta orang yang mengaku dirinya
menjadi Nabi. Di antara peperangan-peperangan tersebut yang terkenal dengan peperangan
Yamamah, tentara Islam yang ikut terdiri dari para sahabat yang kebanyakan hafal Al-Qur'an,
mereka yang gugur dalam medan pertempuran sebanyak 70 syuhada'16.
Oleh karena itu, sahabat Umar bin Khattab kawatir akan semakin bertambahnya para
huffadz yang gugur dalam medan pertempuran dan mengakibatkan lenyapnya Al-Qur'an bersama
dengan meninggalnya para huffadz tersebut, maka Umar bin Khattab datang kepada Khalifah
Abu Bakar untuk membicarakan hal tersebut, Umar berkata kepada Abu Bakar sebagai berikut,
"Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga
banyak ayat-ayat AlQur'an itu perlu dikumpulkan.13 Abu Bakar menjawab, Mengapa aku akan
melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?”. Umar menegaskan: “Demi Allah ini
16
Depag. RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Hal. 22
18
adalah suatu perbuatan yang baik, dan la berulang kali memberikan argumentasi tentang kebaikan
pengumpulan Al Qur'an ini, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan
Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya bahwa
Umar mengajakku untuk mengumpulkan Al-Qur'an, lalu diceritakannya segala pembicaraan yang
terjadi di antara beliau dengan Umar. Kemudian Abu Bakar berkata: "Engkau adalah seorang
pemuda yang cerdas dan yang aku percaya sepenuhnya, dan engkau adalah seorang penulis
wahyu yang selalu disuruh Rasulullah, oleh karena itu kumpulkanlah ayat-ayat Al-Qur'an. Zaid
menjawab, "Demi Allah ini adalah pekerjaan yang berat bagiku, seandainya aku diperintahkan
untuk memindahkan bukit. maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku dari pada mengumpulkan Al-
Qur'an yang engkau perintahkan itu". Kemudian ia berkata kepada Abu Bakar dan Umar,
"Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi? Abu Bakar menjawab:
Demi Allah ini adalah perbuatan yang baik, lalu ia memberikan alasan-alasan kepada Zaid untuk
mengumpulkan Al-Qur'an itu sehingga hal yang demikian itu dapat membukakan hati Zaid,
kemudian ia mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dari daun pelepah kurma, kulit binatang,
bebatuan dan lain sejenisnya, dan dari para sahabat yang telah hafal Al-Qur'an secara utuh.
Dalam usaha pengumpulkan Al-Qur'an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat teliti sekalipun
beliau sendiri hafal Al-Qur'an secara bagus, namun untuk kepentingan pengumpulan Al-Qur'an
demi Umat Islam itu ia sendiri masih memandang perlu untuk menyesuaikan hafalan atau bacaan
dan catatan para sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Dengan demikian Al-
Qur'an telah ditulis secara keseluruhan oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran dan
diikatnya dengan benang dan tersusun menurut apa yang telah ditetapkan dan diajarkan oleh
Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar dan Mushhaf terasebut tetap berada di
tangan Abu Bakar selama pemerintahannya dan kemudian dipindah ke rumah Umar bin Khattab
sampai beliau wafat, dan sepeninggal beliau dipindah ke rumah Hafshah putri Umar, istri
Rasulullah sampai pada masa pengumpulan dan penyusunan Al-Qur'an pada masa Khalifah
Usman bin Affan.
c. Masa Khalifah Ustman bin Affan
Al-Qur'an pada masa Khalifah Ustman bin Affan tetap masih dalam keadaan demikian
itu, artinya, telah ditulis dalam satu naskah yang lengkap diatas lembaran-lembaran yang serupa

19
ayat-ayat dalam satu surat tersusun menurut tertib yang ditunjukkan oleh Nabi, lembaran-
lembaran itu digulung dan diikat dengan benang disimpan oleh mereka yang disebutkan di atas.
Pada masa pemerintahan Ustman bin Affan, pemerintahannya telah sampai ke Armenia,
Azarbaijan disebelah Timur dan Tripoli di sebelah Barat. Dengan demikian kelihatanlah kaum
Muslimin pada waktu itu tetah terpencar hingga ke Mesir, Syiria, Irak, Persia dan Afrika, kemana
mereka pergi dan di mana mereka tinggal Al-Qur'an itu tetap menjadi imam mereka. Kemudian
Khalifah Ustman bin Affan meminta kepada Khafshah binti Umar lembaran-lembaran Al-Qur'an
yang ditulis pada masa Kahalifah Abu Bakar untuk disalin. Oleh Ustman dibentuklah kepanitiaan
untuk menyalinnya dengan anggota sebagai berikut: Zaid bin Tsabit sebagai Ketua dan sebagai
anggota: Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Ash, Abdurrahman bin Kharits bin Hisyam. 17 Tugas dari
kepanitiaan itu adalah membukukan Al Qur'an dan menyalin sebuah lembaran-lembaran tersebut
menjadi sebuah buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Ustman menasehatkan supaya :
1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur'an.
2.Kalau ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan) maka haruslah
dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur'an diturunkan menurut dialek mereka.
Maka dikerjakanlah oleh panitia tersebut sebagaimana yang telah ditugaskan kepadanya,
dan setelah selesai maka lembaran-lembaran Al-Qur'an yang telah dipinjamnya dikembalikan lagi
pada Khafshah. Al-Qur'an yang telah dibukukan dinamai dengan "Al Mushhaf" dan oleh panitia
ditulis sebanyak lima buah, empat buah di antaranya dikirim ke Makkah, Syiria, Bashrah dan
Kuffah dan yang satu buah di Madinah untuk Khalifah Ustman bin Affan sendiri, dan inilah yang
dinamai dengan Musfhaf Al Imam. Sesudah itu, Khalifah Ustman memerintahkan untuk
mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertulis Al Qur'an sebelum itu dan
membakarnya, dan dengan demikian mushhaf yang ditulis pada masa Ustman itu kaum Muslimin
menyalinnya. Dengan demikian maka pembukuan Al Qur'an pada masa Ustman faedahnya
sangat besar antara lain:
1. Menyatukan kaum Muslimin kepada satu macam Mushhaf yang seragam bacaan dan
tulisannya.
2. Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib unit sebagaimana yang kelihatan
pada Mushhaf pada masa sekarang.
17
TM, Hasybi As Sidiqiy, Ilmu Ilmu Al Qur 'an, Bulan Bintang, Jakarta 1989, Hal. 26
20
Di samping itu Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan para sahabat untuk
menghafalkan ayat-ayat Al Qur'an, oleh karena itu banyak sahabat yang menghafalnya baik
hanya satu surat maupun menghafal Al-Qur'an secara keseluruhan. Kemudian pada masa Tabi'in,
Tabi'ut Tabi'in dan seterusnya, usaha menghafal Al-Qur'an dianjurkan dan diberi dorongan oleh
para Khalifah sendiri. Pada masa sekarang di Mesir di sekolah-sekolah awaliyah diwajibkan
menghafal Al-Qur'an, kalau mereka hendak menamatkan sekolah dan hendak meneruskan
pelajaran kejenjang lebih tinggi (Muallimin) maka hafalan mereka selalu diuji sehingga pelajar-
pelajar tamatan Muallimin tersebut telah hafal seluruhnya dengan baik. Di Indonesia sudah
merupakan hal yang menjadi kebiasaan diadakan Musabaqah Tilawati Al-Qur'an yang
diperuntukkan mulai dari usia kanak-kanak sampai pada tingkatan dewasa, mulai dari tingkat
kelurahan sampai kecamatan, kabupaten bahkan sampai tingkat Nasional, demikian pula
Jami'atul Quito' tidak asing lagi di Indonesia yang berusaha dalam bidang ini. Untuk menjaga
kemurnian Al-Qur'an yang diterbitkan di Indonesia maupun yang didatangkan dari luar negeri
Pemerintah RI. Cq. Departemen Agama membentuk sebuah badan yang bertugas untuk
memeriksa dan mentashhih Al-Qur'an yang akan dicetak dan akan diedarkan yang dinamai
Lajnah Pentashhih Mushhaf Al-Qur'an yang ditetapkan oleh menteri Agama No.37 Tahun 1957.
Selain itu Pemerintah juga sudah memiliki Al-Quran Pusaka yang berukuran 1x2 meter yang
telah ditulis tangan oleh penulis dari Indonesia sendiri yang dimulai dari tanggal 28 Juni 1948/17
Ramadhan 1367 dan selesai tanggal 15 Maret 1960/17 Ramadhan 1379 yang sekarang tersimpan
di masjid Baitu Al-Rahman dalam Istana Negara. Al-Qur'an Pusaka itu disamping untuk menjaga
kesucian dan kemurnian Al-Qur'an juga dimaksudkan untuk menjadi Induk dari Al-Qur'an yang
diterbitkan di Indonesia. Dengan usaha-usaha yang disebutkan di atas maka terpeliharalah Al-
Qur'an Al Karim hingga sampai kepada kita semua sekarang dengan tidak ada perubahan
sedikitpun dari apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.18
Dalam pada itu, Al-Qur'an dihafalkan oleh jutaan umat Islam, ini adalah salah satu isyarat
bahwa Allah senantiasa menjaga Al Qur'an dan dengan ini terbuktilah penjagaan Allah terhadap
Al-Qur’an dengan firman-Nya yang berbunyi:

18
Cahaya Khaeroni, “SEJARAH AL-QUR’AN (Uraian Analitis, Kronologis, dan Naratif tentang Sejarah Kodifikasi Al-
Qur’an), Jurnal Historia, Vol. 05 No. 02, hlm. 04-09
21
‫الذ ْكَر َواِنَّا لَهٗ حَلٰ ِفظُْو َن‬
ِّ ‫اِنَّا حَنْن َنَّزلْنَا‬
ُ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an dan sesungguhnya Kami tetap
menjaganya. (QS. Al Hijr: 9)

2.5 Penyempurnaan Pemeliharaan Al Quran Setelah Masa Khulafaurrasyidin


Penulisan Al-Qur’an secara lengkap dari awal hingga akhir dengan urutan surat sebagaimana
yang diajarkan Rasulullah SAW telah selesai dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin.
Termasuk mengakhiri perbedaan penulisan mushaf yang dapat berakibat pada perpecahan di
antara kaum muslimin. Maka hal selanjutnya yang banyak dilakukan oleh umat adalah
menyempurnakan penulisan mushaf dan meneruskan periwayatan Al-Qur’an dari generasi
sebelumnya kepada generasi setelahnya.
Adapun dalam hal periwayatan Al-Qur’an kemudian muncul banyak sekali qiraat bacaan Al-
Qur’an, karena Rasulullah SAW sendiri mengajarkan qiraat yang berbeda-beda kepada para
sahabat. Qiraat tersebut mulai dari yang paling lemah hingga paling kuat riwayatnya, yaitu
maudhu‟, syadz, ahad, masyhur, dan mutawatir. Adapun yang boleh dibaca hanyalah qiraat
mutawatir dan masyhur. Adapun qiraat yang mutawatir riwayatnya dan bisa dipastikan berasal
dari Rasulullah SAW karena banyaknya priwayat disebutkan oleh Ibnu Mujahid ada tujuh
riwayat, yaitu riwayat Ibnu Katsir, Ibnu Amir, Ashim, Abu Amru, Hamzah, Nafi’, dan Al-Kisaai.
(Dr. Nuruddin „Ithr) menyebutkan tambahan terhadap jumlah qiraat mutawatir ini sejumlah tiga
riwayat sehingga seluruhnya menjadi sepuluh riwayat, yaitu qiraat Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq,
dan Khalaf bin Hisyam. Lalu kemudian munculah Imam Qiraat pada generasi setelahnya,
diantara yang terkenal yaitu Al-Bizzi dan Qonbul yang berasal dari riwayat Ibnu Katsir, Hisyam
bin Ammar dan Ibnu Dzakwan dari Riwayat Ibnu Amir, Syu’bah dan Hafsh dari riwayat Ashim,
Ad-Duuri dan As-Suusi dari Abu Amru, Khalaf dan Khalad dari riwayat Hamzah, Qalun dan
Warsy dari riwayat Nafi’, Abul Harits dan Ad-Duuri dari riwayat Al-Kisaai, Ibnu Wardan dan
Ibnu Jamaz dari riwayat Abu Ja’far, Ruwais dan Ruuh dari Ya’qub, dan yang terakhir yaitu Ishaq
dan Idris dari riwayat Khalaf.19

19
Didik Darmadi, “Pemeliharaan Al-Qu’ran Sejak Era Kenabian Hingga Zaman Kontemporer Upaya Menjaga
Originalitas dan Validitas Al-Qur’an”, hlm. 15
22
Demikianlah periwayatan qiraat Al-Qur’an terus berlangsung dari generasi ke generasi
hingga era kontemporer sekarang ini. Diantara periwayat yang masyhur pada era kontemporer
yaitu Al-Allamah Abdul Fattah Al-Qadhi (1403 H), Asy-Syaikh Amir As-Sayyid Utsman (1408
H), dan Al-Allamah Hussein Khitab (1408 H). Dalam hal penulisan Al-Qur’an, Marwan bin
Hakam menghapuskan mushaf yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar yang berada pada
Hafsah setelah Hafsah wafat dengan tujuan agar tidak memunculkan dualisme atau anggapan
bahwa mushaf utsmani tidak sempurna, atau ada bagian yang kurang darinya. Lalu untuk
menjaga orisinalitas tulisan teks Al-Qur’an sejak kodifikasi masa Utsman bin Affan radiyallahu
anhu, digunakanlah rasm ustmani sebagai standar penulisan mushaf. Banyak ulama yang
mengharuskan penulisan mushaf menggunakan rasm ustmani. Bahkan Imam Ahmad
mengharamkan penulisan Al-Qur’an dengan selain rasm utsmani.
Selanjutnya dalam hal penulisan teks Al-Qur’an dirumuskanlah tanda baca yang lebih
sistematis untuk menjaga agar bacaan Al-Qur’an tetap benar walau dibaca oleh orang-orang
ajam. Setelah perumusan titik harakat yang digagas oleh Abul Aswad Ad-Duali, kemudian
disempurnakan oleh Khalil Al-Farahidi dengan menjadikan tanda harakat berupa ‫( و‬wawu) kecil
di atas huruf sebagai tanda dhummah, ‫( ي‬yaa) kecil di bawah huruf sebagai tanda kasrah, dan ‫ا‬
(alif) kecil di atas huruf sebagai tanda fathah. Akan tetapi banyak yang menolak konsep Al-
Farahidi dikarenakan kekhawatiran terjadi penambahan huruf pada teks Al-Qur’an. Namun di
kemudian hari konsep harakat Al-Farahidi inilah yang menjadi dasar dari pengembangan harakat
sehingga menjadi sebagaimana yang digunakan dalam mushaf Al-Qur’an sebagaimana sekarang.
Dalam penulisan Al-Qur’an yang tidak kalah pentingnya adalah tanda titik pada huruf
yang disebut juga Nuqath Al-I’jam. Yang dimaksud dengan Nuqath Al-I’jam adalah tanda titik
yang terdapat pada huruf yang kurang berbentuk sama agar bisa dibedakan antara satu dengan
yang lain, semisal huruf ‫ ج‬,‫ خ‬,‫( ح‬jim, kho, kha). Hal ini dikarenakan pada awal mulanya huruf-
huruf dalam mushaf Al-Qur’an tidak memiliki tanda apapun (mujarradan), lalu dibuatlah titik
untuk bisa membedakan antara huruf ‫( ي‬yaa) dan ‫( ت‬taa).20
Adapun yang pertama kali merumuskan Nuqath Al-I’jam menurut Dr. Ahmad Abu Bilal
yaitu Abul Aswad Ad-Duali dan murid-muridnya: Nashr bin ‘Ashim, Abdurrahman bin Hurmuz,

20
Didik Darmadi, “Pemeliharaan Al-Qu’ran Sejak Era Kenabian Hingga Zaman Kontemporer Upaya Menjaga
Originalitas dan Validitas Al-Qur’an”, hlm. 15-16
23
Yahya bin Ya’mar, Anbasah Al-Fiil, dan Maimun Al-Aqran. Dalam hal penulisan mushaf Al-
Qur’an memasuki babak baru dengan ditemukannya alat percetakan oleh bangsa eropa pada abad
15 masehi. Cetakan mushaf Al-Qur’an pertama kali hadir di eropa pada abad 16 di Italia,
kemudian disusul pencetakan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Hinkelmann di Jerman dan Maracci
di Italia pada abad ke 17. Namun dalam cetakan tersebut terdapat banyak kekeliruan fatal.
Adapun di dunia Islam, awal mula pencetakan Al-Qur’an dilakukan Maulaya Utsman di
Santo Petersburg, Rusia pada abad ke 18. Disusul oleh pencetakan Al-Qur’an di Teheran dan
Tibriz pada abad ke 19. Lalu pada awal abad ke 20 Raja Mesir Fuad I meminta para Syaikh Al-
Azhar membentuk komite pencetakan mushaf Al-Qur’an. Setelah melalui proses penelitian dan
tahqiq akhirnya mushaf Al-Qur’an yang lebih sempurna dari sebelumnya berhasil dicetak pada
tahun 1923. Mushaf ini menggunakan kaidah penulisan rasm utsmani dengan menambahkan
jumlah ayat dalam setiap surat dan memberi penomoran pada setiap ayat, keterangan makkiyah
atau madaniyah, tanda-tanda waqaf, juz, hizb, rubu’, dan ayat sajadah.
Setelah itu muncul pencetakan mushaf Al-Qur’an di madinah oleh Majma’ Al-Malik Fahd
yang dipelopori oleh Kerajaan Saudi. Dibentuklah panitia yang terdiri dari para ulama yang ahli
di bidang Al-Qur’an dan tulisannya pada tahun 1983. Dengan penerapan standar penulisan serta
pengecekan yang ketat dari panita serta evaluasi yang berjalan secara berkesinambungan
membuat kualitas mushaf yang dicetak menjadi sangat baik. Mushaf hasil cetakan Majma’ ini
kemudian disebut Mushaf Madinah.
Setelah itu muncul pencetakan mushaf Al-Qur’an di madinah oleh Majma’ Al-Malik Fahd
yang dipelopori oleh Kerajaan Saudi. Dibentuklah panitia yang terdiri dari para ulama yang ahli
di bidang Al-Qur’an dan tulisannya pada tahun 1983. Dengan penerapan standar penulisan serta
pengecekan yang ketat dari panita serta evaluasi yang berjalan secara berkesinambungan
membuat kualitas mushaf yang dicetak menjadi sangat baik. Mushaf hasil cetakan Majma’ ini
kemudian disebut Mushaf Madinah.21

21
Didik Darmadi, “Pemeliharaan Al-Qu’ran Sejak Era Kenabian Hingga Zaman Kontemporer Upaya Menjaga
Originalitas dan Validitas Al-Qur’an”, hlm. 16-17
24
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara terminologi Nuzulul Qur’an adalah proses mempermaklumkan al-Qur’an
dengan cara dan sarana yang dikehendaki oleh Allah sehingga dapat diketahui oleh
malaikat untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga dapat disimpulkan
dari pengertian di atas bahwa Nuzulul Qur’an adalah peristiwa diturunkannya wahyu
Allah SWT yakni Al Quran kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat
Jibril alaihisalam secara mutawatir selama kurun waktu ke rasulan beliau (kurang lebih 23
tahun).
Untuk tahapan Nuzulul Qur'an menurut Manna’ al-Qaththan, terdapat dua mazhab
pokok di kalangan para ulama di seputar pemahaman tentang proses turunnya Al-Quran,
yaitu pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, bahwa yang dimaksud dengan turunnya
Al-Quran ialah turunnya Al-Quran secara sekaligus ke Baitul ’Izzah di langit dunia untuk
menunjukkan kepada para malaikatnya bahwa betapa besar masalah ini, selanjutnya Al-
Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. secara bertahap selama dua puluh tiga
tahun sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang mengiringinya sejak beliau diutus sampai
wafatnya.
Adapun hikmah dari turunnya Al-Qur'an secara berangsur-angsur, yaitu (1) Untuk
meneguhkan hati Rasulullah SAW. dalam menghadapi kaum yang memiliki watak dan
sikap yang begitu keras. (2) Tantangan dan mukjizat. (3) Untuk memudahkan hafalan dan
pemahaman. (4) Relevan dengan peristiwa, pentahapan dan penetapan hukum. (5)
Mempunyai faedah dalam pendidikan dan pengajaran.
Pada zaman Nabi dan Khulafaurrasyidin pemeliharaan Al-Qur'an itu sangat
penting. Pada zaman Nabi Setiap diturunkan ayat Al-Qur’an, Nabi selalu menyuruh
menghafalnya dan menuliskanya di bebatuan, kulit binatang, pelepah kurma dan lain
sejenisnya, seperti benda-benda tipis yang dapat ditulisi dan pula Nabi menerangkan akan
bagaimana ayat-ayat itu nantinya disusun dalam sebuah surat. Pada masa
Khulafaurrasyidin, masa Abu Bakar. Abu Bakar menyuruh Zaid lalu memberikan alasan-
25
alasan kepada Zaid untuk mengumpulkan Al Qur'an itu sehingga hal yang demikian itu
dapat membukakan hati Zaid, kemudian ia mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dari daun
pelepah kurma, kulit binatang, bebatuan dan lain sejenisnya, dan dari para sahabat yang
telah hafal Al-Qur'an secara utuh. Dengan demikian Al-Qur'an telah ditulis secara
keseluruhan oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran dan diikatnya dengan benang
dan tersusun menurut apa yang telah ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah, kemudian
diserahkan kepada Abu Bakar dan Mushhaf tersebut tetap berada di tangan Abu Bakar
selama pemerintahannya dan kemudian dipindah ke rumah Umar bin Khattab sampai
beliau wafat, dan sepeninggal beliau dipindah ke rumah Hafshah putri Umar, istri
Rasulullah sampai pada masa pengumpulan dan penyusunan Al-Qur'an pada masa
Khalifah Usman bin Affan. Al-Qur'an pada masa Khalifah Ustman bin Affan tetap masih
dalam keadaan demikian itu, artinya, telah ditulis dalam satu naskah yang lengkap diatas
lembaran-lembaran yang serupa ayat-ayat dalam satu surat tersusun menurut tertib yang
ditunjukkan oleh Nabi, lembaran-lembaran itu digulung dan diikat dengan benang
disimpan oleh mereka yang disebutkan di atas.
Penulisan Al-Qur'an secara lengkap dari awal hingga akhir dengan urutan surat
sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. telah selesai dilakukan pada masa
Khulafaur Rasyidin. Termasuk mengakhiri perbedaan penulisan mushaf yang dapat
berakibat pada perpecahan di antara kaum muslimin. Maka hal selanjutnya yang banyak
dilakukan oleh umat adalah menyempurnakan penulisan mushaf dan meneruskan
periwayatan Al-Qu'ran dari generasi sebelumnya kepada generasi setelahnya. Dalam hal
periwayatan Al-Qur'an kemudian muncul banyak sekali qiraat bacaan Al-Qur'an, karena
Rasulullah SAW. sendiri mengajarkan qiraat yang berbeda-beda kepada para sahabat.

26
Saran
Seharusnya kita sebagai anak muda, yang lebih modern harus lebih memahami
tentang Nuzulul Qur'an, karena mempelajari Nuzulul Qur'an sangatlah penting untuk tau
bagaimana tahapan proses turunnya Al-Qur'an. Al-Qur'an sangatlah penting bagi
kehidupan kita, karena Al-Qur'an adalah pedoman hidup manusia. Oleh sebab itu, kita
sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah dengan sempurna harus mampu untuk
memahami turunnya Al-Qur'an dan pemeliharaan Al-Qur'an pada masa Nabi ataupun
pada masa Khulafaurrasyidin. Jika kita mengerti bagaimana pemeliharaan Al-Qur'an dan
penyempurnaan pemeliharaan Al-Qur'an pada masa setelah Khulafaurrasyidin maka kita
sebagai umat Islam harus selalu menjaga Al-Qur'an agar Al-Qur'an masih terjaga. Untuk
itu Nuzulul Qur'an harus selalu dipahami.

27
DAFTAR PUSTAKA
Darmadi Didik. PEMELIHARAAN AL-QUR’AN SEJAK ERA KENABIAN HINGGA ZAMAN
KONTEMPORER Upaya Menjaga Orisinalitas & Validitas Al-Qur’an.

Khaeroni Cahaya. SEJARAH AL-QUR’AN (Uraian Analitis, Kronologis, dan Naratif tentang
Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an). Jurnal Historia.

Kurniasih Maulana Dwi, Lestari Dyah Ayu, dan Fauzi Ahmad. Hikmah Penurunan Al-Qur’an
Secara berangsur-angsur. Mimbar Agama Budaya. Vol. 38 No. 02.

Subhi As-Shalih, Mabaahits fii. Uluum Al-Qur’an. Beirut : Daar Al-„Ilm li Al- Malaayiin.2000.

TM, As Sidiqiy Hasybi. Ilmu Ilmu Al Qur 'an. Jakarta: Bulan Bintang 1989.

Yunan Muhammad. “Nuzulul Qur’an dan Asbabun Nuzul”. Jurnal: Ilmu-ilimu Keislaman dan
Kemasyarakatan. 2020.

Zuhdi Achmad, dkk. Studi Al-Qur’an. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya. 2021.

28

Anda mungkin juga menyukai