Anda di halaman 1dari 25

AL-MUJMAL WA AL-MUBAYYAN DAN

AT-TAKHSHISH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Ushul Fiqh


Pengampu : Drs. Muhammad Idris, DM, MM

MAKALAH

Oleh :
Wanda Rhamadani 4.22.5399
Sarion 4.20.200.5214

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAI MIFTAHUL’ULUM
TANJUNGPINANG
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulilllah. Segala puji dan syukur kita sampaikan kepada Allah


SWT.Karena berkat rahmat, karunia-Nya, serta keridhaan-Nyajugalah kami
dapatmenyelesaikan makalah penelitian kualitatif yang berjudul “Al-mujmal Wa
Al-mubayyan dan At-takhshish”. Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah UlumulQur’An.
Dalam rangkaian proses pembuatan makalah, banyak sekali dukungan dari
pihak eksternal sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Kami
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan inspirasi
kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.
Ucapan maaf kami sampaikan kepada para pembaca, apabila di dalam
makalah ini terdapat paduan kata yang terkesan menyinggung bagi para pembaca.

Tanjungpinang, Oktober2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB IPENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.........................................................................................2

BAB IIPEMBAHASAN..........................................................................................3
A. AL-MUJMAL WA AL-MUBAYYAN..............................................................3
2.1 Pengertian Al-mujmal Wa Al-mubayyan..................................................3
2.2 Kemungkinan Mujmal...............................................................................4
2.3 Tingkatan-tingkatan Penjelasan................................................................7
2.4 Penanggulangan Penjelasan......................................................................8
B. AT-TAKHSHISH..............................................................................................13
2.5 Pengertian At-takhshish..........................................................................13
2.6 Hukum At-takhshish................................................................................13
2.7 At-takhshishiyah (pengkhususan)...........................................................13
2.8 At-muakhashiyah, Al-munfashil.............................................................15
2.9 Al-mukhshiyah Al-muttashil...................................................................16
2.10 Macam-macam At-takhshish...................................................................16

BAB IIIPENUTUP................................................................................................21
3.1 Kesimpulan..............................................................................................21
3.2 Saran........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang
Sebagaimana telah diketahui sumber ajaran islam baik al-quran maupun
sunnah sumber ajaran yang berbahasa arab. Hal ini dimaklumi karena ajaran islam
pertama kali diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammas Saw yang tinggal di
jazirah arab. Oleh karena itu, untu memahami hukum-hukum yang bersumber dari
al-quran dan sunnah harus benar-benar memahami gaya bahasa (uslub yang ada
dalam bahasa arab dan cara penunjukan nash kepada artinya. Para ulama ahli
ushul fiqih mengerahkan perhatian mereka kepada penelitian terhadap uslub-uslub
dan ibarat-ibarat bahasa arab yang lazim digunakan untuk memahami nash. Sariat
secara benar sesuai dengan pemahaman orang arab sendiri yang nash diturunkan
dalam bahasa mereka. oleh karena hal tersebut maka diperlukan adanya
pembelajaran yang dapat memberikan pemahaman tentang uslub-uslub. Bahasa
arab untuk memahami sumber hukum islam dengan benar. Para ushuliun
menetapkan bahwa, perhubungan lafadz dengan makna mempunyai beberapa segi
yang harus dibahas. Mereka membagi lafadz dalam hubungannya dnegan makna
kepada beberapa bagian dengan, yang diantaranya yaitu pemabgian tenatng lafadz
dari segi kandungan pengertian yang dlam makalah ini lebih spesifik mebahas
tentang al-mujmal, al-mubayyan dan at-takhsh.
Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan pedoman asas bagi umat islam. Setiap
tindakan orang muslim haruslah sesuai dengan tuntutannya atau setidaknya tidak
bertentangan dengan keduanya. Akan tetapi untuk memahami maksud yang
terkandung dalam kedua sumber asas tersebut tidaklah semudah yang kita flkirkan
dengan akal, tetapi memerlukan ilmu dalam membantu menjelaskan kesamaran
dan menyingkap maksud-maksud al-Qur’an dan al-Hadits. Salah satu ilmu
tersebut adalah ilmu ushulfiqh.
Oleh karena itu, suatu pembahasan usul fiqh yang dapat membantu
mengenali kejelasan suatu makna dalam al-Qur’an dan al-Hadits ialah mujmal dan
mubayyan. Pembahasan mengenai ini sangat penting karena untuk mendapatkan
pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan yang luas mengenai suatu
makna perkataan yang diteliti. Dengan mengetahui mujmal dan mubayyan ini,

1
kita dapat mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih memerlukan
penjelasan lebih lanjut karena masih bersifat umum dan jelas sehingga maksudnya
dapat diuraikan.

1.2 RumusanMasalah
1. bagaimana pandangan para ahli tentang Al-mujmal Wa Al-mubayyan?
2. Apa saja tingkatan-tingakatan dalam mujmal?
3. Apa saja bentuk penanggulangan penjelasan?
4. Apa saja hukum At-takhshish?
5. Apa saja macam/bentuk At-takhshish?

1.3 TujuanMasalah
2. Menjelaskan tentang pandangan para ahli tentang Al-mujmal Wa Al-
mubayyan.
3. Menjelaskan tentang tingkatan-tingakatan dalam mujmal.
4. Menjelaskan tentang bentuk penanggulangan penjelasan.
5. Menjelaskan tentang hukum At-takhshish.
6. Menjelaskan tentang macam/bentuk At-takhshish.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. AL- MUJMAL WA AL-MUBBAYYAN


2.1 Pengertian Al-mujmal Wa Al-mubbayyan
Mujmal secara bahasa adalah berarti global atau tidak terperinci. Menurut
istilah adalah lafal yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada
penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’). Hal ini karena kata-kata itulah yang
dipakai syari’ dalam memberikan taklif kepada manusia.Misalnya, lafal shalat,
zakat, haji dan lain-lainyya. Karena itu, untuk mencari kejelasan dari lafal-lafal itu
bukan dengan jalan ijtihad, tetapi melalui penjelasan dari pembuat syari’ itu
sendiri. Dan sunnah Rasulullah saw yang berfungsi untuk menjelaskan tiap-tiap
kata tersebut.
Al-Mubayyan atau lafal-lafal yang memberikan dan menjelaskan makna
lafal-lafal yang mujmal dalam al-Qur’an, oleh ulama ushulfiqh juga disebut
dengan al-Bayan. Dan menurut mereka Al-Bayan terbagi menjadi beberapa
macam/fungsi, yaitu :
a. Menjelaskan isi al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat global.
Misalnya hadis Fi’liyah Rasulullah SAW. Yang menjelaskan cara
melakukan sholat yang diwajibkan dalam al-Qur’an pada surat al-
Baqarah/2:110, yang artinya :
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”1
Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban shalat, namun sifatnya masih
global, karena ayat tersebut tidak merinci berapa kali, berapa rakaat dan
bagaimana tata cara mengerjakannya.2 Oleh karena itu, datanglah hadis
Rasulullah yang berfungsi untuk menjelaskan kemujmalan/global nya
ayat tersebut. Hadis yang dimaksud adalah :
‫صلوا كما ر ْایتموني ْا صلي‬
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya melakukan shalat (H.R.
Bukhari dan Muslim). Di samping itu, ada juga contoh hadis yang

berfungsi menjelaskan ayat yang masih umum dalam al-Quran yaitu


1
Departemen Agama R.I.,op.cit, h.21.
2
Nasrun Haroen, Nasrun Haroen, Ushul Fiqih,(Cet. 2 ; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h.49

3
menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah sebagian dari
cakupan lafal umum itu, bukan seluruhnya. Hadis tersebut adalah
‫عن ْابي ھر یر ة یقول نھى رسول هللا صلى هللا علیھ وسلم ْان یجمع الرجل بین المر ْاة وعمتھا‬
(‫)رواه البخا ري ومسلم‬.
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. Melarang memadu antara
seorang wanita dengan Bibinya, saudara ayah atau ibu (H.R. Bukhari dan
muslim).
b. Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajban
yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam al-Qur’an. Misalnya masalah
Li’an, yaitu bilamana seorang suami menuduh istrinya berzina, tetapi
suami tersebut tidak mampu menghadirkan empat orang saksi, padahal
istrinya tidak mengakuinya, maka sebagai jalan keluarnya adalah dengan
cara Li’an, yaitu suami bersumpah empat kali bahwa tuduhannya adalah
benar dan pada kali kelima, ia berkata La’nat Allah atasku jika aku
termasuk ke dalam orang yang berdusta. Setelah itu istri juga
mengadakan sumpah sebanyak lima kali sebagai bantahan terhadap
tuduhan suaminya tersebut.
c. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam al-Qur’an.
Contohnya: Hadis riwayat Al- Nasa’I dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda mengenai keharaman memakan
binatangburuan yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai
cakar sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut ini:
‫عن ْابي ھریرة عن النبي صلى هللا علیھ وسلم قال كل ذي ناب من السباع فاْكلھ حرام (رواه‬
)‫النسائ‬
“Dari Abu Hurairah, Nabi saw. Bersabda smua jenis binatang buruan
yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka
hukum memakannya adalah haram.’(H.R. anNasa’i).

2.2 Kemungkinan Mujmal


Berlakunya al-Ijmāl melalui salah satu daripada tiga perkara iaitu :
Al-ishtirāk dan tiada qarinah ( Abd Latif Muda dan Rosmawati Ali 2001: 352).
Tidak dapat ditarjiḥkan salah satu daripada makna lafaz al-musytarak tersebut

4
disebabkan tiada qarinah yang menjelaskan makna yang dikehendakinya. Justeru
itu, ia dikira mujmal. Seperti lafaz, al-mawlābererti hamba yang dimerdekakan
atau tuan yang memerdekakan hamba. Kalimah gharīb atau asing yang tidak
difahami makna dikehendaki sehinggalah ada penjelasan daripada Allah.
Contohnya lafaz al-Ḥāqqah dalam firman Allah. ُ‫ ا ْل َحاقَّة‬maksudnya : Hari Kiamat.
(Surah al-Ḥāqqah 69: 1 ) kalimat itu tidak difahami makna maknanya melainkan
setelah dijelaskan oleh Allah yaitu Hari Kiamat.
‫رعي‬f‫ النقل من المعنى اللغوي إلى معنى إصطالحي ش‬iaitu pindahan daripada makna bahasa
kepada istilah syarak. Seperti lafaz: al-Ribā’. Lafaz yang dipindahkan kepada
syarak daripada bahasa dan digunakan untuk makna syarak tidak sama dengan
makna bahasa. Pengertian yang dikehendaki pada penggunaan syarak dijelaskan
melalui al-Sunnah.
Al-Mujmal ialah lafaz yang tidak mungkin dapat diketahui perincian
daripada lafaznya yang tersendiri, bahkan ia hanya dapat difahami melalui
pentafsiran dan ijtihad. Terdapat banyak lafaz nas al-Quran mengandungi hukum
taklifi yang berbentuk mujmal yang ia kemudiannya dijelaskan oleh al-Sunnah.
Contohnya, berkenaan dengan perintah solat yang dibawa dalam bentuk mujmal,
kemudian ia dijelaskan melalui al-Sunnah. Sebagaimana Sabda Baginda:
‫لي‬ff‫وني أص‬ff‫ا رأيتم‬ff‫لوا كم‬ff‫ ص‬maksudnya: Sembahyanglah kamu sebagaimana kamu
melihat aku sembahyang ( Riwayat Malik bin Al-Huwarith) .
Pada mulanya, terdapat nas di dalam firman Allah :
َّ ‫ َوَأقِي ُموا‬maksudnya : Dirikanlah solat (al-Baqarah 2: 43) perkataan ‫وا‬ff‫َوَأقِي ُم‬
َ‫اَل ة‬f‫الص‬
َ‫اَل ة‬fff‫الص‬
َّ merupakan ayat mujmaliaitu tafsiran dari sudut cara untuk bersolat
masihlagi dalam keadaan samar. Namun ia telah dijelaskan oleh al-Sunnahbahawa
cara untuk bersolat hendaklah dikuti sebagaimana cara Rasulullah bersolat. Hal ini
telah menjelaskan ayat mujmal. Penyebab samarnya lafal mujmal
Dalam menjelaskan hal ini, Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan
bahwa ada enam hal yang merupakan penyebab samarnya suatu lafaz Mujmal
yaitu sebagai berikut :
1. Itu mengandung makna yang tidak jelas atau tidak tertentu kualitasnya.
Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-An’am ayat 141 :
“dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya”. Lafadz ‘hak’ dalam
ayat ini, sekalipun maknanya secara umum bisa dimengerti, namun jenis

5
dan kualitas hak tersebut tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan dalil lain
yang akan menjelaskannya. Lafadz itu mengandung makna musytarak
( bersama ) antara dua makna atau lebih sesuai dengan arti etimologinya.
Misalnya firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
‫و المطلقات يتربصن با نفسهن ثالثة قروء‬
“Wanita-wanita yang ditalak itu hendaklah menahan dirinya (menunggu)
tiga quru “. Lafadz ‘quru’ dalam ayat ini bersifat mujmal, karena secara
etimologi mengandung dua makna, yaitu haid dan suci. Apabila dipilih
salah satu makna, maka harus didukung dalil lain baik dari al-Qur’an,
Sunnah maupun ijtihad.
2. Masuknya huruf istitsna’ (pengecualian) yang kualitas pengecualiannya
tidak jelas ke dalam suatu kalimat. Misalnya firman Allah SWT dalam
surat al-Maidah ayat 1 :
‫يايها الذين أمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة األنعام إال ما يتلى عليكم غير محلى الصيد و‬
‫انتم حرم ان هللا يحكم ما يريد‬
“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.Kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu “
merupakan kalimat yang mujmal yang tidak jelas maksudnya. Akan
tetapi, kalimat mujmal itu langsung dijelaskan oleh Allah SWT dalam
surat al-Maidah ayat 3. Oleh sebab itu apa yang dimaksud oleh Allah
SWT dengan kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu” adalah
jenis binatang-binatang yang haram dimakan yang dicantumkan dalam
surat al-Maidah ayat 3 tersebut.
3. Rasulullah SAW mengerjakan suatu perbuatan yang mengandung dua
kemungkinan, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa yang
dituju adalah salah satunya. Misalnya sebuah Hadits yang diriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW meng-qasharshalat dalam perjalanan ( HR.
Bukhari dan Muslim). Perjalanan yang dimaksud dalam Hadits ini masih
mengandung dua kemungkinan, yang jauh atau yang dekat.Apabila
penjelasan tentang jarak perjalanan tersebut tidak ada, maka

6
lafazh“perjalanan “(safar) tetap akan mujmal. Akan tetapi
kemujmalanlafadz tersebut dijelaskan oleh sebuah Hadits riwayat
Baihaqy, bahwa perjalanan yang boleh meng-qasharshalat adalah
perjalanan yang jauh, yaitu yang ditempuh dua hari perjalanan . Terdapat
beberapa Hadits mengenai hal ini sehingga berakibat juga pada
perbedaan pendapat Ulama fiqih dalam menentukan jarak perjalanan
tersebut.
4. SAW menetapkan hukum dalam suatu kasus, tetapi keputusan itu
mengandung beberapa kemungkinan sehingga tidak dapat difahami
kecuali melalui dalil lain. Misalnya Hadits Rasulullah SAW yang
menyuruh seseorang yang berbuka puasa di bulan Ramadhan untuk
memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau
memberi makan 60 orang miskin. Yang membuat penetapan hukum
Rasulullah SAW ini menjadi mujmal adalah karena belum jelas penyebab
berbuka puasanya seseorang itu sehingga dikenakan ketetapan hukum ini,
apakah disebabkan jima’ siang hari Ramadhan atau disebabkan berbuka
saja, baik karena jima’ atau yang lainnya. Karena itu diperlukan dalil lain
yang menjelaskannya.
5. Dalam suatu kalimat terdapat dhamir (kata ganti ) yang merujuk kepada
kalimat sebelumnya yang mengandung dua kemungkinan tanpa ada dalil
kuat yang merujuk kepada salah satu rujukan, atau dalam suatu kalimat
sebutan yang berbeda , tanpa ada dalil yang menunjukkan pada salah satu
dua kemungkinan itu

2.3 Tingkatan-tingkatan Penjelasan


Mujmal menurut bahasa ada beberapa arti menghimpun‫ الجمع‬samar‫بهة‬ff‫الش‬
dan tidak diketahui artiny ‫ المبهم‬yakni kata yang memiliki makna global atau
umum. Secara istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik
dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau
menjelaskan ukurannya. Menurut Hanafiyah, mujmal adalah lafal yang
mengandung makna secara global dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak
dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri, melainkan melalui penjelasan dari
pembuat syari’at yakni Allah SWT dan Rasulullah saw. Sedangkan menurut

7
Jumhur ulama ushulfiqh, mujmal adalah perkataan atau perbuatan yang tidak jelas
petunjuknya. Abu Ishaq al-Syirazi ahli ushulfiqh dari kalangan Syafi’iyah,
mujmal adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga memahaminya
memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan) atau bila ada penafsiran dari pembuat
mujmal (Syari’). Selain itu, al-Bazdawi dalam kitab ushulfiqhnya, mengajukan
definisi mujmal yaitu ungkapan yang di dalamnya terkandung banyak makna,
namun makna mana yang dimaksud di antara makna-makna tersebut tidak jelas
(kabur).
Berdasarkan beberapa pengertian mujmal secara istilah di atas, dapat
dipahami bahwa meskipun masing-masing ahli ushul berbeda dalam memberikan
redaksinya, namun secara substansi, semuanya saling melengkapi dan mengarah
pada makna yang sama yaitu suatu lafal atau ungkapan yang belum jelas dan tidak
dapat dipahami maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari
lainnya. Penjelasan inilah disebut dengan al-bayan, baik penjelasan itu dari Allah
langsung atau pun penjelasan melalui Rasulullah Saw.Dengan demikian, dapat
pula dikatakan bahwa mujmal adalah lafal yang kandungan maknanya masih
global dan memerlukan perincian atau penjelasan dari pembuat mujmal atau
syara’ itu sendiri.

2.4 Penanggulangan Penjelasan


Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah
berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan
salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
1. lafadz yang masih memerlukan lainnya untuk menentukan maknanya:
Kata ”rapat” dalam bahasa Indonesia misalnya memiliki dua makna:
perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam alQur’an misalnya
surat alBaqarah: 228
‫س ِهنَ ثَاَل ثَةَ قُ ُروء‬ ْ َ‫َوا ْل ُمطَلَقَاتُ يَتَ َرب‬
ِ ُ‫صنَ بِا َ ْنف‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’. Kata‫روء‬NN‫ ق‬dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh.
Sehingga untuk menentukan maknanya membutuhkan dalill lain.
2. lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan tatacaranya. Surat
An Nur: 56

8
َ‫صلَوة‬
َ َ‫َواَقِي ُم ال‬
Dan dirikanlah sembahyang, kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas
masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tatacaranya, maka
butuh dalil lainnya untuk memahami tatacaranya. Begit pula ayat- ayat
haji dan puasa dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa Mujmal itu
adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami
maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’ baik ketidak
jelasannya itu akibat peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna
khusus yang dikehendaki syara’ ataupun karena sinonim lafazh itu
sendiri ataupun karena lafazh itu ganjil artinya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya dari pada musykil,
sebab penjelasan mujmaldiperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad.
Dari aspek keharusan adanya penjelasan dari syara’ tentang lafazhmujmal
itu timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat
memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran.
Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat
nash Al-Quran. Lafal quru ini disebut mujmal karena mempunyai dua arti, yaitu
haid atau suci. Kemudian mana diantara dua macam arti yang dikehendaki oleh
ayat tersebut maka diperlukan penjelasan, yaitu bayan. Itulah suatu contoh ijmal
dalam lafal tunggal.
Contoh dalam lafal murakkah (susunan kata-kata) sebagai berikut:
)۲۳٧ : ‫ (البقره‬. ‫او يعفوالذى بيده عقدة النكاح‬
“Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan”. (Q.S. Al-Baqarah
:237).
Dalam ayat tersebut masih terdapat Ijmaltentang menentukan siapakah
yang dimaksud orang yang memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu,
mungkin yang dimaksud suami atau wali. Kemudian untuk menentukan siapa
diantara kedua itu yang dimaksud pemegang ikatan nikah maka diperlukan
bayan.Selain yang tersebut diatas, ada lagi mujmal pada tempat kembalinya
dhamir yang ihtimal (layak) menunjukan dua segi, sebagaimana sabda Nabi saw :
‫ال يمنع أحدكم جاره أن يضع خشبة فى حدره‬
“Janganlah salah seorang diantara kamu menghargai tetangga untuk meletakkan
kayu pada dindingnya”.

9
Kata-katanya pada dindingnya masih mujamal artinya belum jelas, apakah
kembalinya itu kepada dinding orang itu atau kepada tetangganya. Mujamal ini
hampir sama dengan ‘am (umum) dan muthlaq. Karena itu, perlu mengetahui
perbedaan antara ketiga makna tersebut agar tidak salah menentukan
masalahnya.Untuk memahami mujmal dan menemukan bagian-bagian dan
berbagai bentuknya mutlak diperlukan adanya penjelasan (mubayyin) yang
menerangkan makna secara rinci. Tapi sesudah keterangan dan rincian ini, orang
masih perlu merenung dan berfikir sebelum sampai pada kesimpulan.Banyak
ungkapan al-Qur’an mengenai hukum-hukum taklifi yang berbentuk mujmal,
yang kemudian oleh Sunnah dijelaskan dan dirincikan ketentuan-ketentuannya.
Perintah shalat misalnya, berbentuk mujmal, lalu datanglah Sunnah Nabi dalam
bentuk lucapan dan sekaligus tindakan. Demikian pula ibadah haji, sunnahlah
yang menjalankan. Seperti terdapat pada sabda Nabi saw:
ِ ‫ُخ ُذ ْوا َعنِّى َمنَا‬
L‫س َك ُك ْم‬

“Ambillah dariku amalan amalan haji kalian.”


Soal zakat dan jual beli juga begitu, disebut secara mujmal kemudian
Sunnah pula yang menguraikan secara rinci mengenai batasan dan ketentuan-
ketentuan, untuk mengatur tata pergaulan antar manusia.Demikianlah, tak pernah
kita temukan satu mujmal pun kecuali dijelaskan oleh Sunnah dengan merinci
ketentuan-ketentuan hukumnya sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kekaburan
(ibham).Menurut kebanyakan ulama, sesudah datangnyaa keterangan pada
mujmal yang dianggap sebagai bagian lafazh (mujaml) tersebut, maka tidak boleh
lagi menerapkan ta’wil serta tidak boleh mengenakan takhsish sesudah adanya
penjelas (mubayyin). Sebagian ulama berpendapat bahwa setelah diterangkan
mujmal menjadi zhahir, kadang menjadi nash atau mufassar, dan adakalanya
menjadi muhkam. Tidak bisa ldipastikan bahwa setelah itu otomatis menjadi salah
satu dari tiga macam tersebut. Bahkan ada yang menyatakan bahwa setelah
adanya keterangan mujmal kadang-kadang menjadi musykil. Untuk kasus ini
mereka mengajukan contoh sabda nabi perihal riba:
َ ‫ح َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر َمثَاًل بِ ِم ْث ِل‬
‫س َوآ ًء‬ ِ ‫ش ِع ْي ِر َوا ْل ِم ْل ُح بِا ْل ِم ْل‬ َّ ‫ض ِة َوا ْلبُ ِّر بِا ْلبُ ِّر َوال‬
َّ ‫ش ِع ْي ُر بِال‬ َّ ِ‫ضةُ بِاا ْلف‬
َّ ِ‫ب َوا ْلف‬ ِ ‫الذ َه‬َّ ِ‫َب ب‬ُ ‫لذه‬ َّ َ‫ا‬

ِ َ‫شيَا ُء َفبَيِّ ُع ْوا َكيْف‬


‫شْئتُ ْم‬ ْ ‫س َوا ٍء يَدًا بِيَ ٍد فَا ِ َذ‬
ْ َ ‫اختَلَفَتْ َه ِذ ِه ااْل‬ َ ِ‫ب‬

10
“jual beli atau barter antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr
dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, korma dengan korma
dan garam dengan garam (maka masing-masing barang itu harus) sama kontan.
Apabila (salah satu dari) benda-benda ini diperjual belikan dengan benda lain,
maka juallah dengan cara bagaimanapun yang kamu suka”
Hadis ini mereka pandang sebagai penjelasan dan rincian terhadap kata riba yang
terdapat dalam firman Allah:
َّ ‫اَلَّ ِذيْنَ يَْأ ُكلُ ْونَ ال ِّربَا اَل يَقُ ْو ُم ْونَ اِاَّل َك َما يَقُ ْو ُم الَّ ِذى يَت ََخبَّطُهُ ال‬
ِّ ‫ش ْيطَانُ ِمنْ ا ْل َم‬
‫س‬
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit jiwa” (Q.S.
al-Baqarah:275)
Dan bagi mereka, kata riba yang mujmal ini sesudah itu menjadi musykil
yang perlu diteliti dan dikenali lebih jauh. Sebabnya, meski telah dijelaskan, toh
lafazh itu masih meliputi benda-benda lain yang serupa dengan benda-benda
seperti tersebut pada hadis diatas. Sebenarnya, nashal-Quran dalam masalah riba
bukanlah mujmal. Walaupun terdapat kesamaran didalamnya, tapi telah
diterangkan oleh sabda Nabi dalam khutbah Wada’ :
‫وان ربا الجا هلية موضوع واول ربا ابتدأبه ربا عمى العباس بن عبد المطلباال‬
“ingatlah bahwa riba (yang berlaku dimasa) jahiliyah adalah maudhu’ (dibikin-
bikin, jadi batal). Dan riba yang pertama kali disinggung oleh Allah (dalam al-
Quran) adalah riba pamanku, al-Abbas ibn Abdul muththalib.”
Jadi, riba yang dimaksud didalamal-Quran adalah riba hutang piutang, yakni
riba dimana tempo pembayaran hutang dihitung (dinilai) dengan tambahan hutang
(bunga). Itulah sebabnya, diakhir ayat riba, Allah berfirman, “jika kamu bertobat
maka bagimulah modal hartamu. (Artinya), ambil kembali modal harta yang kamu
hutangkan saja, dan janganlah minta bunganya. Itulah cara bertobat dari praktek
riba. (Q.S. al-Baqarah). Kalian tidak berbuat zhalim, dan kalian tidak dizhalimi.”

Riba macam ini dinamakan riba nasi’ah (riba tempo). Dan menurut Ibnu Abbas,
hanya riba macam inilah yang haram, tidak yang lain.
Adapun riba yang kedua seperti disebut dalam hadis diatas adalah “riba jual
beli”—sebutan yang biasa dipakai para ulama. Karena itu mereka biasa
meletakkan pembahasan tentang riba ini dalam bab jual beli. Maksud dari

11
penempatan tersebut ialah menjadikan enam benda itu berikut komoditas-
komoditas lain yang serupa dengannya—berikut perbedaan pendapat dikalangan
ulama mengenai batasan apa saja yang serupa—bukanlah obyek perdagangan
kecuali pada lingkup tertentu yang sangat terbatas. Pasalnya, sebagian dari yang
keenam komoditas yang diperdagangkan sebab keduanyaadalah alat penilai harga
dan alat penimbang barang. Sedang untuk sebagian yang lain, andaikan untuk
orang yang diperbolehkan memperdagangkannya secara bebas, tanpa ikatan dan
syarat, niscaya lahirlah monopoli dikalangan para produsennya belaka, dan
terhalanglah segolongan manusia lainnya.
Ulama sepekat bahwa apabila sudah ada penjelasan (bayan), lafazhmujaml
tidak lagi dikatagorekan sebagai mubham sebab dengan adanya dukungan dari
penjelasan (bayan) itu berarti ia keluar dari lingkup ibham (kekaburan). Hanya
saja, kadang terjadi, sementara ulama yang mengadakan pembahsan tidak
mengetahui adanya penjelas (mubayyin) itu sehingga kekaburan itu tetap ada
dalam pandangan mereka. Kendati demikian, pada dirinya, lafazh tersebut tidak
bisa dibilang kabur: kekaburan telah sirna dengan adanya penjelasan.
Pada mujaml ini juga terdapat dalam undang-undang Hukum positif.
Wakaf itu terdapat dalam fasal 16 peraturan pemerintah tentang masalah hukum
Keluarga. Juga syari’ menginginkan supaya hukum ini dikumpulkan, bukan
dipisah-pisah, bertahun tahun lamanya masih terasa pengaruh pertikaian bentuk-
bentuk yang bersangkut dengan hokum di Mesir. Sampai-sampai syari’. Mesir
ikut campur memecahkan masalah ini. Pada alinia kedua, fasal 28 Peraturan
Pemerintah mengatur masalah hukum bagi pengadilan. Keputusan pengadilan
pada tahun 1927 berbunyi,- demikianlah, tidak dikhususkan oleh pengadilan
mempercampurkan dengan pertengkaran yang bersangkut langsung, atau dengan
perantara wakaf, atau dengan mensahkannya, atau dengan menafsirkannya, atau
melaksanakn sebagian syarat-syaratnya, atau dengan menerangakan pendapat
mereka itu.

12
B. AT-TAKHSHISH
2.5 Pengertian At-takhshish
Takhsis berasal dari kata khos yang berarti khusus yang di ikutkan
wazanaf’ala, lalu maknanya berubah menjadi menkhususkan. Dalam ushulfiqih
takhsis berarti mengkhususkan lafadh yang ‘am kepada sebagian afrad-nya (lafadh
yang masuk bawahannya).
Contohnya, misalnya kafir mu’ahad (kafir yang melakukan perjanjian
damai) mentakhsish ayat :
ْ ‫فَا ْقتُلُ ْوا ا ْل ُم‬
‫ش ِر ِك َي‬
Dalam ulumul Quran, tahksish adalah mengkususkan ayat Al-Quran atau
hadis yang ‘am dengan ayat lain atau hadis yang khos. Seperti contoh di atas.

2.6 Hukum At-takhshish


Secara bahasa takhsis berarti membeedakan hukum sebgaian kelompok.
Sedangkan dlaam istilah ushul fiqih menurut syafi’iyah, takhsis adalah mejelaskan
(bayan sesuatu yang melekat dari cakupan lafadz. Sebagimana yang telah
dijelaskan, mayoritas agama telah sepkat bahwa lafal yang ‘am itu meunjukkan
kepada setiap satuan yang dicakupnya skealipun mereka berselisih dalam hal
kekeuatan penunjukan dalalahnya terhadap setiap yang dicakup lafadz ‘am.

2.7 At-takhshish (pengkhususan)


1. Pengertian lafaz khash
Lafaz khusus adalah lafaz yang dibuat untuk menunjukan satu satuan
tertentu;berupa orang, seperti muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki atau
beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tiga belas,seratus,
kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan lafal lain yang menunjukan jumlah
satuan dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya. Hukum lafaz
umum secara global adalah jika ia terdapat dalamnashsyara’ yang menunjukan
secara pasti kepada maknanya yang khusus yang dibuat untuknya secara hakiki
dan hukum itu ditetapkan karena petunjuknya secara pasti buka dugaan.
Lafaz yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri
Menurut definisi terakhir ini, lafaz khas itu ditentukan untuk menunjukan satu
satuan secara perorangan seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti

13
laki-laki; atau lafaz lain dalam bentuk satuannya (yang masuk dalam pengertian
‘am). Khushush adalah keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang
pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan
antara khas dan khushush, meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering
disamakan. Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah
sebagian yang dikandung oleh lafaz. Sedangkan pengertian khushush adalah apa
yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
2. Ketentuan lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
a. Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nashsyara’ (teks hukum), ia
menunjukan artinya yang khas secara qath’ial-dalalah (penunjuk yang
pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum
yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maidah/5:89 “Maka
kaffarahnyan adalah memberi makan sepuluh orang miskin”. Hukum
yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan
makan sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
b. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu
kepada arti lain, maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang
dikehendaki oleh dalil itu. Umpamanya sabda Nabi:Untuk setiap empat
puluh ekor kambing, (zakatnya) satu ekor kambing oleh ulama hanafi
zakat kambing dalam hadist itu dita’wilkan kepada yang lebih umum
yang mencakup kambing dan nilai harganya. Juga menta’wilkan lafaz
hadist: “segantang kurma” dalam kewajiban zakatfitrah, kepada “haraga
segantang kurma”.
c. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan ditemukan pula
hukum yang khushush dalam kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi
pemberlakuan hukum ‘amm itu.
d. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dan dalil amm, terdapat
perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiah, seandainya dalil itu
bersamaan masanya, maka dalil yang khas mentakhsiskan yang amm,
karena tersedianya persyaratan untuk takhsish. Bila keduanya tidak
bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan: bila lafaz amm

14
terkemudian datangnya, maka lafaz amm itu menasakh lafaz khas itu
menasakh lafaz‘amm dalam sebagian afradnya.

2.8 Al-muakhasniyah, Al-munfashil


Secara etimologi, mad berarti panjang, jaiz artinya boleh, dan Munfasil
adalah terpisah atau dikutip dari Buku Al Qur’an dan Hadis Madrasah
Tsanawiyah terbitan Kemenag, secara istilah, pengertian Mad Jaiz Munfasil
adalah apabila ada mad thabi‟i yang bertempat di akhir kata setelah itu terdapat
hamzah yang bertempat di kata yang lain setelahnya dan tidak ada yang
memisahkan antara mad dan hamzah tersebut. Sedangkan kadar panjang bacaan
mad jaiz munfashil itu sama dengan mad wajib muttashil, dipanjangkan menjadi
dua setengah (2 ½) alif atau sama dengan empat sampai lima harakat (ketukan).
Disebut jaiz karena ulama qurra’ berbeda pendapat terkait kadar panjang bacaan
mad jaiz munfashil. Sebagian ulama qurra’ menyebut sama dengan mad thabi’i,
dua harakat atau satu alif.
Contoh mad Jaiz Munfasil:
1. Surat Al Kautsar ayat 1
‫ِإنَّا َأ ْعطَ ْينَا َك ا ْل َك ْوثَ َر‬
Innaaa’thaiynaakal Kautsar
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak”. (QS. Al
Kautsar: 1).
2. Surat Al Insyiqaq ayat 16
ِ َ ‫شف‬
‫ق‬ ِ ‫فَاَل ُأ ْق‬
َّ ‫س ُم بِال‬
“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja”
3. Surat Al Infithar ayat 15
ِ ‫فَاَل ُأ ْق‬
ِ َّ‫س ُم ِبا ْل ُخن‬
‫س‬
“Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang”.
4. Surat Al Qadar ayat 1
‫ِإنَّا َأ ْن َز ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة ا ْلقَ ْد ِر‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan”.
Selain itu Mad yaitu memperpanjang [memanjangkan] bacaan pada saat
bertemunya dengan huruf-huruf hijaiyah yang termasuk ke dalam hukum Mad.
Dalam aturan hukum Mad, apabila harus dua harakat [ketukan], maka itu wajib

15
dibaca 2 harakat dengan secara merrata, teratur dan juga tetap. Apabila terdapat 6
harakat maka itu wajib dibaca juga dengan 6 harakat. Apabila dalam aturannya
seharusnya dibaca 6 harakat, akan tetapi hanya dibaca dengan 2 harakat dan hal
tersebut menjadikan terjadinya perubahan atau pada kata atau kalimat tersebut,
maka hukum dari bacaan tersebut yaitu haram.
Hukum bacaan mad penting diketahui Muslim dalam membaca Alquran.
Sebab, membaca Alquran pun tidak boleh sembarangan karena harus benar dan
tartil. Nabi Muhammad SAW telah bersabda:
ْ ‫" َزيِّنوا ا ْلقُ ْرآنَ ِبَأ‬
"‫ص َواتِ ُك ْم‬
Artinya: Hiasilah Alquran dengan suara kalian!
"‫س ِمنَّا َمنْ لَ ْم يَتَ َغنَّ بِا ْلقُ ْرآ ِن‬
َ ‫"لَ ْي‬
Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan Alquran.

2.9 Al-mukhshiyah Al-muttashil


Mad wajib muttasil adalah mad thabi’i yang bertemu dengan hamzah (‫)ء‬
dalam satu kalimat. Panjang bacaan mad wajib muttasil adalah empat-lima harakat
(ketukan) atau sampai dengan dua setengah alif. Pemahaman tentang mad ini juga
dijelaskan dalam Kitab NazhamHidayatush Shibyan berikut ini,
‫ص ٌل َك َجا َءتِ ْه‬ ٌ ‫َواِنْ تَاَل هُ ا ْل َه ْم ُز فِى َكلِ َمتِ ْه *** فَ َوا ِج‬
ِ َّ‫ب ُمت‬
Artinya: “Apabila ada huruf mad yang setelahnya berupa huruf hamzah dan
terdapat dalam satu kata, maka disebut mad wajib muttasil seperti lafaz Allah
‫"جاءته‬.
Contoh Bacaan Mad Wajib Muttasil Ayat di bawah ini semuanya dibaca
panjangnya empat sampai lima harakat karena mad thabi’i bertemu hamzah dalam
satu kalimat. QS At Taubah ayat 37, ‫سو ُء َأ ْع َمالِ ِه ْم‬
ُ ‫ لَ ُه ْم‬dibaca lahumsū`ua’mālihim.
Alasan: Mad thabi’i bertemu hamzah berharakat dhammah
Al Mursalaat ayat 43, ‫ َواش َْربُوا َهنِيًئا‬dibaca wasyrabụhanī`am

2.10 Macam-macam At- takhshish


Takhsis terbagi menajdi dua, takhsis muttashil dan munfashil. Berikut ini
penjelsannya:
1. Takhsis Muttashil

16
Takhsis muttashil adalah takhsis yang berada dalam satu kalimat. Takhsis
ini terbagi menjadi empat, sebagimana penjelasan berikut ini:

a. Takhsis dengan Istisna’


Istisna’ adalah mengecualikan sesuatu dari sesuatu. Istisna’ dapat
mentakhsis kalimat yang ‘am. Seperti contoh:
‫ ِإاَّل الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬, ‫س ٍر‬
ْ ‫سانَ لَفِي ُخ‬
َ ‫ِإنَّ اِإْل ْن‬

Artinya “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,


Kecuali orang-orang yang beriman” (QS. Al-‘Ashr: 1-2).
Kalimat ‫س ٍر‬ ْ ‫سانَ لَفِي ُخ‬
َ ‫ ِإنَّ اِإْل ْن‬adalah ayat yang ‘am. Lalu di takhsis dengan
‫ِإاَّل الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬. dengan demikian maka manusia yang rugi hanyalah manusia
yang tidak beriman.
b. Takhsish dengan Syarat
Takhsis dengan syarat adalah mentakhshislafadh dengan berikutnya yang
menajdi sifat. Misalnya:
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
َ‫صفُ ْون‬ ُ َ‫س َدت َۚا ف‬
ِ ‫س ْب ٰحنَ ِ َر ِّب ا ْل َع ْر‬
ِ َ‫ش َع َّما ي‬ َ َ‫لَ ْو َكانَ فِ ْي ِه َمٓا ٰالِ َهةٌ اِاَّل ُ لَف‬

Artinya “Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-
tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang
memiliki ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan” (QS. Al-Anbiya’: 22)
c. Takhsis dengan Sifat
Takhsis dengan sifat adalah mentakhsis lafadh yang ‘am dengan sifat
yang berada setelahnya. Misalnya:
‫َو َمن قَتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطًَأ فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬

Artinya “Barangsiapa membunuh seorang mukmin yang tidak di sengaja


maka ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman ” (QS. An-Nisa :
92).
Lafadh‫ ٍة‬fَ‫ َرقَب‬yang merupakan lafad yang ‘am maka di takhsish dengan
‫ ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬. maka budak yang di merdekan harus budak yang mu’min.
d. Takhsis dengan Ghoyah

17
Takhsish dengan ghayah adalah takhsish dengan lafadh yang memilki
makna ghayah. Misalnya ‫ َحتَّى‬seperti contoh:
َ‫ۖ َواَل تَ ْق َربُوهُنَّ َحت َّٰى يَ ْط ُه ْرن‬

Artinya “ Janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci” (QS.


Al-Baqarah : 222).

Ayat di atas berarti larangan mendekati istrinya yang menstruwasi. Dan


hal itu di larang sampai mereka suci. Jadi larangan tersebut hanya di
khususkan hanya pada saat sedang haid.

e. Takhsis dengan Badal


Takhsish dengan badal adalah mentakhsis lafadh yang umum dengan
badal yang berada setelahnya. Seperti contoh:
َ ‫ستَطَا َع ِإلَ ْي ِه‬
‫سبِياًل‬ ِ ‫س ِح ُّج ا ْلبَ ْي‬
ْ ‫ت َم ِن ا‬ ِ ‫َوهَّلِل ِ َعلَى النَّا‬

Artinya ” Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,


yaitu orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah, ( baik
dalam finansial maupun fisik)” (QS. Ali-Imran : 97).

ِ ‫س ِح ُّج ا ْلبَ ْي‬


Kalimat ‫ت‬ ِ ‫َوهَّلِل ِ َعلَى النَّا‬ adalah lafadh yang umum. Dan lafadh
َ ‫ستَطَا َع ِإلَ ْي ِه‬
tersebut lafadh berikutnya, yaitu ‫سبِياًل‬ ْ ‫ َم ِن ا‬.

2. Takhsis Munfashil
Takhsis munfashil adalah takhsish dengan ayat atau hadis lain yang
berikatan. Takhsishmunfashil ini boleh takhsishal-Quran dengan al-Quran, al-
Quran dengan hadis, hadis dengan hadis, hadis dengan al-Quran. Berikut ini
adalah macam-macam takhsishmunfashil:
a. Takhsis al-Quran dengan Al-Quran. Takhsis al-Quran dengan Al-Quran
mentakhsis ayat atau potongan ayat al-Quran dengan ayat lain. Seperti
contoh dalam surat al-Baqarah ayat 221:

ِ ‫ش ِر ٰ َك‬
‫ت‬ ْ ‫َواَل تَن ِك ُحو ْا ٱ ْل ُم‬

Artinya “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik.

Ayat tersebut di takhsishdenagn surat al-Maidah ayat 5 berikut ini:

َ ‫صنَاتُ ِمنَ الَّ ِذينَ ُأوتُوا ا ْل ِكت‬


‫َاب ِمن قَ ْبلِ ُك ْم‬ َ ‫َوا ْل ُم ْح‬

18
Artinya ” wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu”. Ayat al-Baqoroh yang melarang
menikahi wanita musyrik hanya di tujukan kepada selain ahlul kitab
seperti yahudi dan nasrani. Karena sudah di takhsis dengan ayat lain al-
Maidah ayat 5, yang memperbolehkan menikahi ahlul kitab.

b. Takhsishal-Quran dengan hadis seperti contoh:


‫سا ِرقَةُ فَا ْقطَ ُعوا َأ ْي ِديَ ُه َما‬
َّ ‫ق َوال‬
ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫َوال‬
Artinya “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya” (QS. Al-Maidah: 38).
Ayat di atas di takhsish dengan hadis Rasulullah Saw. Berikut ini:
‫ رواه الجماعة‬. ‫الَ قَ ْط َع فِي َأقَ َّل ِمنْ ُر ْب ِع ِد ْينَا ٍر‬
Artinya “Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang
nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (HR. Al-
Jama’ah).
c. Takhsish hadis dengan al-Quran seperti contoh:
‫رواه متفق عليه‬.‫ضَأ‬ َ ‫صالَةَ َأ َح ِد ُك ْم ِإ َذا َأ ْحد‬
َّ ‫َث َخت َّى يَت ََو‬ َ ُ‫اَل يَ ْقبَ ُل هللا‬
Artinya “Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia
berhadats sampai ia berwudhu”. (HR. Bukhari Muslim)
Hadis tersebut ditakhshishal-Quran surah Al-Maidah ayat 6:
‫سا َء فَلَ ْم ت َِجدُوا َما ًء‬ ْ ‫سفَ ٍر َأ ْو َجا َء َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ا ْل َغاِئ ِط َأ ْو اَل َم‬
َ ِّ‫ستُ ُم الن‬ َ ‫ض ٰى َأ ْو َعلَ ٰى‬
َ ‫َوِإنْ ُك ْنتُ ْم َم ْر‬
ُْ‫س ُحوا بِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُك ْم ِمنه‬ َ َ َ ‫فَتَيَ َّم ُموا‬
َ ‫ص ِعيدًا طيِّبًا فا ْم‬
Artinya “Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”.
d. Takhsish hadis dengan hadis seperti contoh:
ْ ‫س َما ُء ا ْل ُع‬
‫ متفق عليه‬. ‫ش ُر‬ َّ ‫سقَتْ ال‬
َ ‫فِ ْي َما‬
Artinya “Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya
sepersepuluh”. (HR. Bukhari Muslim).
Hadis ini ditakhsish dengan hadis lain berikut ini:
‫ متفق عليه‬. ٌ‫ص َدقَة‬
َ ‫ق‬ ُ ‫س ِة َأ ْو‬
ٍ ‫س‬ َ ‫لَ ْي‬
َ ‫س فِ ْي َما د ُْونَ َخ ْم‬

19
Artinya “Tidak wajib zakat pada taanaman yang kurang dari lima watsaq
(1000 kilogram)” (HR. Bukhari Muslim).

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mujmal secara bahasa adalah berarti global atau tidak terperinci. Menurut
istilah adalah lafal yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada
penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’). Hal ini karena kata-kata itulah yang
dipakai syari’ dalam memberikan taklif kepada manusia.Misalnya, lafal shalat,
zakat, haji dan lain-lainyya. Karena itu, untuk mencari kejelasan dari lafal-lafal itu
bukan dengan jalan ijtihad, tetapi melalui penjelasan dari pembuat syari’ itu
sendiri. Dan sunnah Rasulullah saw yang berfungsi untuk menjelaskan tiap-tiap
kata tersebut. Al-Mubayyan atau lafal-lafal yang memberikan dan menjelaskan
makna lafal-lafal yang mujmal dalam al-Qur’an, oleh ulama ushulfiqh juga
disebut dengan al-Bayan.
Secara etimologi, mad berarti panjang, jaiz artinya boleh, dan Munfasil
adalah terpisah atau dikutip dari Buku Al Qur’an dan Hadis Madrasah
Tsanawiyah terbitan Kemenag, secara istilah, pengertian Mad Jaiz Munfasil
adalah apabila ada mad thabi‟i yang bertempat di akhir kata setelah itu terdapat
hamzah yang bertempat di kata yang lain setelahnya dan tidak ada yang
memisahkan antara mad dan hamzah tersebut.

3.2 Saran
Diharapkan kepada setiap individu untuk tidak memandang segala sesuatu
hanya dari satu sisi. Untuk pengetahuan lebih lanjut mengenai tentang Al-mujmal
Wa Al-mubayyan dan At-takhshish. maka penulis memberikan sedikit saran
kepada para pembaca agar makalah ini dapat menjadi referensi membantu
pembaca menyelesaikan masalah terkait hukum-hukum maupun tingkatan atau
macam-macam bentu Al-mujmal Wa Al-mubayyan dan At-takhshish .

DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab, ‘Ilmu Ushul al-Fiqih, Dar al-Hadits, Kairo, tc.,2003,
Syarifudin, Amir,ushul fiqih, Jakarta : Zikrul Hakim, 2004.

21
Abdullah. Boedi. 2009, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
Afandi. Kholid dan Nailul Huda. 2013. Dari Teori Ushul Menuju Fiqih Ala Tashil
at-Thuruqat. Santri. Salaf Press.
Djalil. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta :Prenada Media
Group.

22

Anda mungkin juga menyukai