Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERAN AL-HADIST SEBAGAI DASAR HUKUM ISLAM


SETELAH AL-QURAN
Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam

Dosen Pengampu : H. Munir, M.Ag.

Disusun oleh :

1. Feby Alfina Pratiwi


2. Novi Dwi Kurnia
3. Tulus Wahyudi
4. Khoirotul Fauziyah
5. Muhammad Fajaruddin
6. Muhammad Nur Nasih
7. Khulafa Ling-ling
8. Muhammad Zaki
9. Muhammad Agung
10. Galang Teguh Imani Muslim
11. Difyatus Shafa Fatikhah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUTTAQWA GRESIK

2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam (The Lord of the world and
The Creator of insan) Allah SWT yang telah melimpahkan karunianya kepada kita semua,
sehingga kita masih diberi kesempatan untuk memperbanyak ibadah kita. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini disusun uk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam. Selain
itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang Peran al-Hadist sebagai Sumber
Hukum Ajaran Islam bagi pembaca dan bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pengampu yang telah memberi
tugas kepada kelompok kami untuk menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Mudah-mudahan makah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya,
kami ucapkan terima kasih.

Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 1
1.3 Tujuam Masalah ........................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadist ...................................................................................................... 2


2.2 Fungsi hadist dan kedudukannya .............................................................................. 2
2.3 Pembagian dan struktur hadist .................................................................................. 4
2.4 Hubungan hadist cdengan Al-Quran ......................................................................... 9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 14


3.2 Saran ......................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 15


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul-Nya kepada umat manusia untuk memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagis dunia dan akhirat.
Rasulullah lahir ke dunia ini dengan membawa risalah islam, petunjuk yang benar.
Hukum Syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Allah SWT sebagai pembuat hukum) baik
yang sumbernya pasti (qath’i stubut) seperti al-Quran dan Hadist, maupun ketetapan yang
sumbernya masih dugaan kuat (zanni stubut) seperti hadist yang bukan tergolong
mutawatir.
Hadist merupakan sumber sari’at islam yang kedua setelah al-Quran. Hadist memiliki
fungsi yang sangat penting terhadap al-Quran. Dalam fungsi tersebut hadist menjelaskan
ayat-ayat al-Quran yang tidak ada penjelasan yang dapat dimengerti di dalamnya.
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa Hadist Rasul merupakan sumber dan dasar
hukum Islam al-Quran. Dan umat islam di wajibkan mengikuti hadist sebagaimana
diwajibkan mengikuti al-Quran. Karena tanpa keduannya orang islam tidak mungkin
dapat memahami islam secara mendalam. Seorang mujahid dan seorang alim tidak
diperbolehkan hanya mengambil dari salah satu dari keduanya.
Banyak ayat al-Quran dan Hadist yang memberikan pengertian bahwa hadist itu
merupakan sumber hukum islam selain al-Quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk
perintah maupun larangannya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Jelaskan pengertian hadist menurut bahasa dan istilah ?
2. Apa saja fungsi dari hadist dan jelaskan kedudukan hadist sebagai sumber hukum
islam?
3. Sebutkan pembagian hadist dan apa saja struktur hadist ?
4. Bagaimana hubungan hadist dengan al-Quran ?

1.3. Tujuan Masalah


1. Mengetahui pengertian hadist menurut bahsa dan istilah.
2. Mengetahui fungsi dari hadist dan kedudukan hadist sebagai sumber hukum islam.
3. Mengetahui macam-macam hadist serta struktur hadist.
4. Mengetahui bagaimana hubungan hadist dengan Al-Quran.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadist

Hadits (bahasa Arab :‫ﻟﺍ‬G‫ﺚﻳﺪﺤ‬, har. 'berbicara, perkataan, percakapan', ejaan KBBI: hadis
disebut juga sunnah, adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan
dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. hadits dijadikan sumber
hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah al-Qur'an.
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam
terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan
tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Menurut istilah ulama ahli hadits,[siapa?] hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi,
baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (bahasa Arab: ‫ﺮﻳﺮﻘﺗ‬, translit. taqrīr ), sifat
jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (bahasa Arab: ‫ ﺔﺜﻌﺑ‬juga
sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah).

Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan Sunnah,
maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata
hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3].

2.2 Fungsi dan kedudukan hadist

Di atas telah disinggung bahwa fungsi utama Hadist Nabi Muhammad adalah untuk
menjelaskan isi kandungan al-Qur'an. Oleh karena sebagian besar ayatayat hukum
dalam al-Qur'an masih dalam bentuk garis besar yang – secara amaliah - belum bisa
dilaksanakan, maka dalam hal ini penjelasa hadis dapat dibutuhkan. Dengan
demimian fungsi hadis yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur'an. Hal ini sesuai
dengan penjelasann al-al-Qur'an :

‫ﮫﯿﻓ ﻢﺘﻔﻠﺘﺧﺍ ﻯﺬﻟﺍ ﻢﮭﻟ ﻦﯿﺒﺘﻟ ﻻﺍ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻚﯿﻠﻋ ﺎﻨﻟﺰﻧﺍ ﺎﻣﻭ‬

Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad) melainkan


agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.
Bila al-Qur'an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnah
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani, dalam hubungannya
dengan al-Qur'a,n maka hadis menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam alQur'an yang
dikenal dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam al-Qur'an dalam hal:
a) Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat, karena dapat
saja shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara umum pada waktu itu.
Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan yang terdiri dari ucapan
dan perbuatan dalam rangka menjelaskan apa yang dimaksud shalat pada ayat
tersebut.
b) Merinci apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara garis besar misalnya
menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam alQur'an .
c) Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara umum, misalnya
hak kewarisan anak laki-;aki dan anak perempuan.
d) Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur'an misalnya
Allah melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara,
diperluas Nabi bahwa bukan saja saudara ayah tapi juga saudara ibunya.

3. Menetapkan sesuatu hukum dalam hadis yang secara jelas tidak ada dalam al-
Qur'an. Fungsi sunnah dalam bentuk ini dikenal dengan istilah Itsbat. Pada prinsipnya
hadis nabi yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap al-Qur’an. Akan tetapi
dalam melihat berbagai macam penjelasan nabi dan berbagai ragam ketentuan yang
dikandung oleh suatu ayat, maka interpretasi tentang bayan tersebut oleh ulama yang
satu berbeda dengan ulama lainnya.
Sebagai contoh, Abu Hanifah mengklasifikasikan bayan hadis tersebut
menjadi : bayan taqrir, bayan tafsir, dan bayan tafdil (nasakh); imam Malik
membagi menjadi : bayan taqrir, bayan taudhih (tafsir), bayan tafsil, bayan bashthi
(tasbth dan ta’wil), dan bayan tasyri’; Imam Syafi’i mengkategorikannya menjadi :
bayan tafsil, bayan takhsish, bayan ta’yin bayan tasyri’ dan bayan naskh.
Sebenarnya bila dicermati secara teliti, akan jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh
hadis itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung oleh al-
Qur'an secara terbatas.
Umpamanya Nabi mengharamkan daging babi dan bangkai, kemudian Nabi
menyebutkan haramnya binatang buas. Secara lahiriah ketetapan Nabi itu adalah hal
yang baru dan tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur'an, tapi larangan itu bisa
dipahami sebagai penjelas terhadap larangan Allah memakan sesuatu yang kotor. Jadi
secara sepintas sepertinya pelarangan memakan binatang buas adalah lanjutan atau
tambahan oleh nabi, namun hal itu hal itu tidak lain adalah penjelasan dari ayat lain
yang mengharuskan memakan hanya dari makanan yang baikbaik saja (tidak kotor).

A. Penjelasan Hadis Terhadap Hukum dalam al-Qur'an


Pada dasarya hadis Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-
Qur'an dengan segala bentuknya sebagaimana dijelaskan diatas. Allah
menetapkan hukum dalam al-Qur'an adalah untuk diamalkan. Karena dalam
pengamalan itulah terletak tujuan yang disyari'atkan. Tetapi pengamalan hukum
Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya
sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian penjelasanpenjelasan
Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang yang ditetapkan dalam al-Qur'an
secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat. Penjelasan Nabi terhadap hukum
dalam al-Qur'an itu memiliki beberapa bentuk :
1. Nabi memberikan penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh
umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Dalam penjelasan itu
kelihatannya Nabi tidak memberikan penjelasan yang bersifat definitif filosofis, tetapi
hanya dengan melakukan serangkaian perbuatan dengan cara yang mudah diikuti
umatanya.
2. Nabi memberikan pejelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara nyata
terdapat disekitar lingkungan kehidupan pada waktu itu. Dengan demikian hukum
yang ditetapkan dalam al-Qur'an mudah dimengerti dan diterima serta dijalankan oleh
umat.
Dari segi bentuk penjelasan Nabi terhadap hukum yang disebutkan dalam al-
Qur'an, terdapat beberapa bentuk penjelasan; Pertama, penjelasan Nabi secara jelas
dan terperinci sehingga tidak mungkin ada pemahaman lain. Walaupun dalam al-
Qur'an beberapa hukum bersifat garis besar, namun dengan penjelasan Nabi secara
rinci, lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum itu menjadi jelas. Penjelasan Nabi yang
rinci itu dipahami baik oleh sahabat. Dalam hal ini tidak timbul perbedaan pendapat
dalam memahami penjelasan tersebut.
Dengan demikian penjelasan Nabi bersifat Qath'i. Penjelasan Nabi yang
bersifat Qath'i itu berlaku dalam bidang akidah dan pokok-pokok ibadah seperti
shalat, puasa zakat, dan ibadah haji. Dalam hal yang bersifat pokok ini, meskipun
tidak ada penjealsan rinci dalam al-Qur'an namaun karena Nabi memberikan
penjelasan secara Qath'i, maka tidak ada lagi kesamaran, dan karenanya tidak timbul
perbedaan mendasar dikalangan ulama dalam hukumnya.
Kedua, pehjelasan Nabi tidak tegas dan rinci, sehingga masih menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan dalam pemahamn meskipun sudah ada penjelasan dari
Nabi. Kemungkinan pemahamn itu terjadi dari segi kebenaran materinya atau terjadi
akibat ketidakpastian penjelasannya. Penjelasan Nabi yang belum tuntas dan jelas itu
disebut penjelasan yang zanni. Penjelasan yang zanni itu pada umumnya berlaku
pada bidang mu'amalah dalam arti yang luas. Begitu pula dalam bidang ibadah yang
tidak pokok. Umpamany sikap berdiri atau duduk dalam shalat tidak dijelaskan
secara pasti sehingga dalam pelaksanaannya timbul sedikit perbedaan.
Mengenai kekuatan hadis sebagi sumber hukum ditentukan oleh dua segi, pertama
dari segi kebenaran materinya dan kedua dari segi kekuatan petunjuknya terhadap
hukum. Dari segi kebenaran materinya, kekuatan hadis mengikuti kebenaran
pemberitaannya (wurudnya) yang terdiri tiga tingkat yaitu : mutawatir, masyhur dan
ahad.

2.3 Pembagian dan Struktur Hadist

1. PEMBAGIAN MACAM-MACAM HADIST


 Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga
yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

1.      Hadits Mutawatir

a.       Pengertian Hadits Mutawatir Secara etimologi, kata mutawatir berarti :


Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang
diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka
akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak
thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.

2. Hadits Ahad

Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata  wahid berarti “satu” jadi,
kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah
hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih
akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir.
Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir. Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu
masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz

A.    Hadits Masyhur Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar
dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain : ‫ص َحابَ ِه‬ َّ ‫ار َواهُ ِمنَ ال‬
َ َ ‫مـ‬
‫ص َحابَ ِه َو ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم‬ ُ ُ
َّ ‫“ َع َد ٌد ال يَ ْبلغ َح َّد تَـ َواتِر بَ ْع َد ال‬Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi
bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah
sahabat dan orang yang setelah mereka.”

B. Hadits Ghairu Masyhur

Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan
Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”.
Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam
semua tingkatan sanad.” Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian
Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian
thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada
ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau
tiga orang perawi.”

 Pembagian hadits dari segi Kualitas

Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.

1. HADIST SHOHEH
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa
ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut : ·         Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits
shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang
adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan .

·Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.” Dari defenisi
diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2)
perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5)
matannya tidak mengandung ‘illat.

2. HADIST HASAN

a.   Pengertian dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ ) الحسن‬bermakna
al-jamal (‫ )الجمال‬yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan
defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang
dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu : ‫آلحا َد ِب َن ْق ِل َع ْد ِل َتا ُّم‬ َ ‫َو َخ َب ُر ْا‬
ُ ‫ضب‬
‫ْط َف ْلحُسْ نُ ل َِذا ِت ِه‬ َ ‫ َفا ِءنْ َخفَّ ال‬.ِ‫ْح لِ َذا ِته‬ َّ ‫ضبْطِ ُم َّتصِ ُل ال َّس َن ِد َغ ْي ُر م َُعلَّ ٍل َوالَ َش ٍّاذ ه َُو ال‬
ِ ‫ص ِحي‬ َّ ‫ ال‬khabar ahad yang
diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung
sanadnya.

Contoh Hadist Hasan : hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu
salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda : ‫َأ ْع َما ُر اُ َّمتِي َما بَ ْينَ ال ِّستِّ ْينَ اِل َي ال َّس ْب ِع ْينَ َوَأقَلُّهُ ْم‬
َ‫“ َم ْن يَجُوْ ُز َذالِك‬Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian itu.

3. HADIST DHOIF

Pengertian Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫)الضعيف‬
berarti lemah lawan dari Al-Qawi (‫ )القوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena
sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.

Dalam istilah hadits dhaif adalah : ‫صفَهُ ْال َح َس ِن بِفَ ْق ِد شَرْ ٍط ِم ْن ُشرُوْ ِط ِه‬
ِ ‫ هُ َو َما لَ ْم يَجْ َم ْع‬Adalah
hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak
terpenuhi. Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama : ‫ْح‬ ِ ‫ص ِحي‬َّ ‫صفَهُ ال‬ ِ ‫ه َُو َما لَ ْم يَجْ َم ْع‬
ْ
‫ َوال َح َس ِن‬Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.

Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan
hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya
tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan
terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.

Contoh hadits dhaif

hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda : ‫ضا َأ ِوا ْم َرَأ ٍه ِم ْن ُدب ُِر‬
َ ‫َو َم ْن َأتَي َحاِئ‬
‫ َأوْ َكا ِهنَا فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما اُ ْن ِز َل َعلَي ُم َح َّم ٍد‬barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid)
atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

2. STRUKTUR HADIST

Hadits Nabi yang lengkap dan jelas terdiri dari sanad, matan, dan Mukharrij
(perowi). Sehingga, ketiga struktur tersebut bisa dikatakan sebagai tiga unsur
(komponen) pokok yang terkandung didalamnya.

1. Sanad

Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat yang bersandar, yang
menjadi sandaran) Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad yaitu Jalan yang
menyampaikan matan hadits yakni rangkaian para perowi yang memindahkan matan
dari premernya. Jalur ini adakalanya yang disebut dengan Sanad, adakalanya karena
periwayat bersandar kepadanya dalam menisbatkan matan kepada sumbernya, dan ada
kalanya karena hafidz bertumpu pada “yang menyebutkan sanad” dalam mengetahui
shohih dan dhoif nya suatu hadits. ( silsilah orang- orang yang menghubungkan
kepada matan hadits).

Silsilah orang yang dimaksud adalah susunan atau rangkaian orang-orang


yang menyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai
kepada Rosululloh SAW. yang perkata’an dan perbuatan, dan lainya merupakan sanad
atau matan hadits. Dengan pengetian tersebut, sebutan sanad hanya berlaku pada
rangkaian orang, bukan dilihat dari sudut pribadi secara perseorangan.Dengan
demikian, sanad adalah rantai penutur atau perowi (periwayat) hadist.

Contoh Sanad

‫ ﻝﺎﻗ ﻪﻴﺑﺃ ﻦﻋ ﻢﻌﻄﻣ ﻦﺑ ﺮﻴﺒﺟ ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﻋ ﺏﺎﻬﺷ ﻦﺑﺍ ﻦﻋ ﻚﺎﻟﻣ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ ﻝ ﺎﻗ ﻒﺳﻮﻳ ﻦﺑ ﷲ‬: ‫ﷲ ﻝﻮﺳﺭ ﺖﻌﻤﺳ‬
‫ﺭﻮﻄﻟﺍ ﺏﺮﻐﻤﻟﺍ ﻰﻓ ﺃﺮﻗ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ‬. )‫)ﺪﺒﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ‬

Artinya:

“memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada


kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya
berkata: “aku mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat
maghrib.” (HR. Al-Bukhori)[2]

Contoh lain yaitu:

“Musaddad mengabari bahwa yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah dari


Qatdah dari
Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:” Sanad mengandung dua bagian
penting, yakni:
a. Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang
bersangkutan.

b. Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-


masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan, misalnya sami’tu,
akhbarani, ‘an, dan anna[3]

2. Matan Hadis

Matan menurut lughat, ialah: tengah jalan, punggung bumi atau bumi yang keras dan
tinggi. Menurut istilah, ialah:

‫ﻰﻨ ﺎﻌﻤﻟﺍﺎﻬﺒ ﻢ ﻮﻗﺘﺘ ﻰﺘﻟﺍ ﺚﻴ ﺪﺤﻟﺍ ﻅ ﺎﻓﻟﺍ‬

“ Lafad-lafad hadits yang dengan lafad-lafad itulah terbentuk makna”[4]

Kata matan menurut bahasa berarti ‫ ﺽﺭﻻﺍ ﻦﻣ ﺐﻠﺻﻭ ﻊﻔﺗﺭﺍ ﺎﻣ‬yang berarti tanah
yang tinggi dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata matan dengan arti
kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut istilah ada banyak
pendapat yang dikemukakan para ahli dibidangnya, diantaranya:

a. Menurut Muhammad At Tahhan

‫ﻡﻼﻜﻟﺍ ﻦﻣ ﺪﻨﺴﻟﺍ ﻪﻴﻟﺍ ﻰﻬﺘﻨﻳ ﺎﻣ‬

“suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”

b. Menurut Ath Thibbi

‫ﻲﻧﺎﻌﻣ ﺎﻬﺑ ﻡﻮﻘﺘﺗ ﻰﺘﻟﺍ ﺚﻳﺪﺤﻟﺍ ﻅﺎﻔﻟﺍ‬

“lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”

Jadi pada dasarnya matan itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu
berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan
dalam sebuah hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita
dari Nabi atau berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang
lainnya,

a. Contoh matan
‫ ﺖﺎﻟﻗ ﺎﻬﻨﻋ ﷲ ﻰﺿﺭ ﺔﺸﺋ ﺎﻋ‬: ‫ ﷲ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ‬, ‫ﺩﺭ ﻮﻬﻓ ﻪﻨﻣ ﺲﻴﻟ ﺎﻣ ﺍﺬﻫ ﺎﻧﺮﻣﺃ ﻰﻓ ﺙﺪﺣﺃ ﻦﻣ‬. )‫ﻖﻔﺘﻣ ﻩﺍﻭﺭ‬
‫)ﻦﻴﻨﻣﺆﻤﻟﺍ ﻡﺃ ﻦﻋ ﻪﻴﻠﻋ‬

“warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah
bersabda: barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam
urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)

Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz
yang dimulai dengan ‫ ﺙﺪﺣﺃ ﻦﻣ‬hingga lafadz ‫ ﺩﺭ ﻮﻬﻓ‬atau dengan kata lain yang
dimaksud dengan bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz ‫ﺩﺭ ﻮﻬﻓ ﻪﻨﻣ ﺲﻴﻟ ﺎﻣ‬
‫“ ﺍﺬﻫ ﺎﻧﺮﻣﺃ ﻰﻓ ﺙﺪﺣﺃ ﻦﻣ‬barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan
termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak”.[5]

3. Mukharrij (rawi)

Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata
takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan,
mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang
mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang
pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya).

Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari
orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang
termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari
atau imam Muslim dan begitu seterusnya.

Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis
tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (‫ )ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ‬yang menunjukkan bahwa
beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya
yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah
mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.

Apabila kita mengutip matan hadits, dari kita tertentu, misalnya kitab shohih
al-bukhori, kemudian kita mencari matan hadits yang sama di kitab yang lain
(misalnya shohih muslim) dengan sanad yang berbeda, tetapi juga bertemu dengan
sanad al-bukhori,maka pekerjaan yang demikian ini disebut istikhraj, atau takhrij.
Sedang orang yang melakukan kegiatan tersebut juga dinamakan mukharij tersebut
dihimpun dalam satu kitab, maka kitab yang demikian itu dinamakan kitab
mustakhraj. Contohnya adalah kitab mustakhraj Abu Nu’aim, yaitu kitab mustakhraj
hadits untuk hadits-hadits yang dimuat dalam kitab shahih al-Bukhori.[7]

2.4 Hubungan Hadist dengan al-Quran


hubungan hadis dengan al-qur’an – Al-qur’an dan Hadith sebagai pedoman hidup,
sumber hujum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan
utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itulah
kehadiran Hadith, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan)
keumuman isi Al-qur’an tersebut.[5]

Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman


Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak
ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Al-qur`an dan hadist merupakan
dua sumber yang tidak bisa dipisahkan. Keterkaitan keduanya tampak antara lain:

a) As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum

Hubungan hadis dengan al-qur’an – Di sini hadith berfungsi memperkuat dan


memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran.[6]

Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua
dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur’an dan dalil penguat yang datang
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. berdasarkan hukum-hukum tersebut
banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah shalat, membayar zakat,
berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang
menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua serta banyak lagi yang lainnya.

Misalnya, Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al
Baqarah/2:183)

Dan hadith menguatkan kewajiban puasa tersebut:

Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan
Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan
ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim).

b) As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci

hubungan hadis dengan al-qur’an – sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut
secara mujmal dalam Al-Qur’an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish
dari ayat-ayat Al- Qur’an yang muthlaq dan ‘am. Karena tafsir, taqyid dan takhshish
yang datang dari As-Sunnah
itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini
Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memberikan

penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur’an dengan firman-Nya.

“Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”. [An-Nahl:44]

Diantara contoh As-Sunnah men-takhshish Al-Qur’an adalah:

“Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu, Yaitu:
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan“. [An-
Nisaa: 11] Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah:
para nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa yang mereka
tinggalkan adalah sebagai sadaqah. tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak
yang muslim atau sebaliknya, dan.. pembunuh tidak mewariskan apa-apa [Hadits
Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Hadith memberikan rincian terhadap pernyataan Al Qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat:
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (QS. Al Baqarah /2:110).

Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadith merincinya, misalnya shalat
yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:

Dari Thalhah bin Ubaidillah: bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada
Rasulullah SAW. dan berkata: “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang
difardukan untukku?” Rasul berkata: “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadith, misalnya sabda Rasulullah
SAW:

“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari). Hadith
membatasi kemutlakan ayat Al-Qur`an
hubungan hadis dengan al-qur’an – “Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya..” [Al-Maidah: 38].
Ayat ini tidak menjelaskan sampai dimanakah batas tangan yang akan di potong. Maka
dari As- Sunnahlah di dapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan. (Subulus
Salam 4: 53-55).

Contoh lain Al-qur`an mensyariatkan wasiat:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut
dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib
kerabatnya secara

makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al


Baqarah/2:180).

Hadith memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak
melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan
Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi
Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui
wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui
memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
Hadith memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al-Qur`an yang bersifat umum
hubungan hadis dengan al-qur’an – Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan
bangkai dan
darah:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih
atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang
dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang
disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak
panah, karena itu seHadith memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan
jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan
belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan
dua darah
. Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan
limpa.”(HR. Ahmad, Syafii, Ibn Majah, Baihaqi dan Daruqutni).

c) Hadith menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an

hubungan hadis dengan al-qur’an – Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang
hukumnya tidak ditetapkan secara pasti. Dalam hal ini, hadith berperan menetapkan
hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadith dibawah ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar.
(HR. Muslim dari Ibn Abbas).

Juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki.
Semua ini disebutkan dalam hadith-hadith yang shahih.

Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur’an dengan As-
Sunnah.

Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi


Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadith mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan Al- Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum
syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim
menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang
tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan
ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan

atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sedangkan yang
kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-
Qur’an.

Imam Syafi’i berkata: “Apa-apa yang telah disunahkan Rasulullah saw. yang tidak
terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana
Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya. “Artinya: Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, (Yaitu) jalan Allah yang
kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allahlah kembali semua urusan”.
[Asy-Syuura:
52-53].

Rasulullah saw. telah menerangkan hukum yang terdapat dalam Kitabullah, dan beliau
menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak terdapat dalam Kitabullah. Dan
segala yang beliau tetapkan pasti Allah mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya.
Allah menjelaskan barangsiapa yang mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan
barangsiapa yang tidak mengikuti beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya,
yang demikian itu tidak boleh seorang mahlukpun melakukannya. Dan Allah tidak
memberikan kelonggaran kepada siapapun untuk tidak mengikuti sunnah-sunnah
Rasulullah saw.[7]

Ibnul Qayyim berkata: “Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam
Al-Qur’an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi saw. yang wajib bagi kita
mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah
mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai perwujudan pelaksanaan perintah Allah
supaya kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah saw. tidak ditaati, maka
ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat
terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur’an dan terhadap apa-apa yang beliau
tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.[8] Allah berfirman:

“Artinya: Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah”. [An-Nisaa: 80].
bagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3).

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hadist merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran islam yang
menduduki urutan kedua setelah al-Quran. Sedangkan bila dilihat dari segi
kehujjahannya, hadist melahirkan hukum zhanny, kecuali hadist yang mutawatir.
Fungsi hadist terhadap al_Quran adalah sebagai bayan al-taqrir (penjelasan
memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran, sebagai bayan al-Tafsir
(menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran). Sebagai
bayan al-Tasyri’ ( mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaranyang tidak
didapati dalam al-Quran hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja) sebagai
bayan al-Nasakh (menghapus, menghilangkan, dan mengganti ketentuan yang
terdapat dalam al-Quran).
Hadist sebagai sumber ajaran terutama dalam kemandiriannya untuk
menentukan hukum yang tidak terdapat dalam al-Quran para ulama’ mengalami
perbedaan pendapat, ada yang menyetujui dan dilain pihak tidak menerima
kemandirian tersebut. Al-Quran itu adalah wahyu yang lafadz dan maknanya dari
Allah SWT disampaikan dengan wahyu yang terang. Adapun hadist qudsi, maka
ialah yang lafadznya dari Rasulullah SAW. Sedangkan hadist nabawi ma’na dan
lafadznya dari Rasulullah SAW baik dengan ilham dari Allah SWT maupun
ijtihatnya yang muncul setelah kenabian. Sunnah nabi yang dapat dijadikan
sumber ajaran agama adalah segala yang Nabi SAW kerjakan ketika sesudah
menerima Risalah atau diutus menjadi Rasul.

3.2. Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, kami sebagai penulis menyadari
bahwa makalah ini sangat lah jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sebagai
penulis memohon maaf jika terdapat banyak kesalahan maupun kekuranggan baik
dalam penulisan maupun percetakan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat konstruktif demi untuk menyempurnakan makalah ini dan
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hadits

Al-‘Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Yaqub,Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994

Studies in Hadith Methodologi and Literature Indianapolis: American Trust Publications,


1977.

Arkoun, Muhammad. Rethingking Islam Comon Question Uncomon Answers,


terj.Yudian Asmin dan Latiful Huluq dengan judul “Rethingkin Islam”,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.

Al-Baqi, Fuad, Muhammad, Abd. al-Mu’Jam al-Mufahras Li Alfaz al-Qur’an alKarim


Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya
Semarang: Toha Putra, 1989.

Al-Gazali, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw. terj. Muhammad alBaqir,
Bandung Mizan, 1996.

Husnan, Ahmad. Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya Jkarta: Media


Dakwah,Ismail, Syuhudi, M. Hadis Nabi : Antara Pengingkar dan Pembelanya Jakarta:Bulan
Bintang, 1996.

Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dengan Pendekatan IlmuSejarah,


Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.

Al-Khaththan, Syaikh Manna’.2005.Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta: Pustaka


AlKautsar.hal.73

Al-Qaththan,Al-Siba’i.Musthafa.1993.Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan


Hukum Islam.Jakarta:Pustaka Firdaus hal.84

Ash-Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbi.2005.Sejarah dan Pengantar Ilm


Hadits.Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.hal.131

Muzier Suparta, ilmu Hadist.......,57

Ibid,58

Ar-Risalah, 88-89.

Yazid Abdul Qadir Jawas, Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat islam, Pustaka al-
Kautsar, tt.

Anda mungkin juga menyukai