MUZARA’AH
Disusun oleh :
1. Khoirotul Fauziyah
2. Novi Dwi Kurnia
3. Naufal Iqbal Fawwaz
4. Ach Zaki Nailil Falach
2021/2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Tuhan semesta alam (The Lord of the world and
The Creator of insan) Allah SWT yang telah melimpahkan karunianya kepada kita semua,
sehingga kita masih diberi kesempatan untuk memperbanyak ibadah kita. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun uk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih 2. Selain itu, makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan tentang salah satu ruang lingkup fiqih muamalah yaitu
Muzara’ah, bagi pembaca dan bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pengampu yang telah memberi
tugas kepada kelompok kami untuk menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Mudah-mudahan makah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca pada
umumnya, kami ucapkan terima kasih.
Desember 2021
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
PENDAHULUAN
Manusia adalah merupakan makhluk sosial yang di ciptakan oleh Allah SWT, dalam
hidup manusia memerlukan orang lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat.
Dimana dalam bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain. Sedangkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup agar dapat melangsungksn kehidupan, maka Allah
menyerahkan sepenuhnya kepada manusia sepanjang tidak melewati batas-batas yang
telah di tentukanatau yang digariskan oleh agama.
Manusia dituntut untuk bekerja sama dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya
sehari-hari. Setiap induvidu mempunyai kemampuan fisik dan mental yang berbeda-beda,
maka dari itu dibutuhkan kerja sama untuk menutupi kekurangan yang mereka miliki.
Karena pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Alla SWT untuk membantu satu sama
lain agar mereka menyadari bahwa di dunia ini tidak yang sempurna melainkan Allah
SWT.
Kerja sama dalam bentuk Muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqih hukumnya
mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu disamping dapat dipahami dari firman Allah yang
menyuruh untuk saling tolong-menolong, juga secara khusus Hadits Nabi.
“Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah Saw bersabda (barangsiapa yang memiliki
tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia
tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)
Penggarapan tanah tidak boleh adanya unsur-unsur yang tidak jelas,seperti pemilik
tanah mendapat bagian tanaman bagian dari tanah sebelah sini, dan sipenggarap
mendapatkan tanaman di tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan tidak jelas karena hasilnya
belum ada, bias jadi bagian tanaman dari sebelah sini yaitu pemilik lahan bagus dan
bagian sebelah sana gagal panen ataupun sebaliknya. Dan bila keadaan ini terjadi maka
ada satu pihak yang dirugikan. Pada hal muzara’ah termasuk dari kerja sama yang harus
menanggung keuntungan maupun kerugian bersama-sama.
Penjelasan diatas tampaknya jelas bahwa praktek muzara’ah harus didasari atau
dilandasi dengan adanya suatu perjanjian terlebih dahulu baik itu secara tertulis maupun
lisan, dan pelaksanaan pun harus sesuai dengan apa yang pernah Rasulullah lakukan pada
masa itu.
1.2. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian muzara’ah ?
2. Jelaskan persamaan serta perbedaan muzara’ah dan mukhabarah ?
3. Jelaskan dasar hukum muzara’ah ?
4. Sebutkan syarat-syarat dan rukun muzara’ah ?
5. Jelaskan hal-hal yang membatalkan muzara’ah ?
6. Sebutkan hikmah muzara’ah ?
PEMBAHASAN
Muzara’ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar
dari bumi.
Menurut Hanabilah ;
Dalam kitab al-umm, Imam Syafi’I menjelaskan bahwa sunnah rosul menunjukkan
dua hal tentang makna muzara’ah yakni :
Pertama : kebolehan beramalah atas pohon kurma atau diperbolehkan bertransaksi
atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya ialah bahwa pohon kurma tersebut telah
ada, baru kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk dirawat sampai berbuah.
Namun sebelum kedua belah pihak (pemilik kebun dan pekerja) harus terlebih
dahulu bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian buah untuk pemilik
kebun sedangkan yang lainya untuk pekerja.
Kedua : ketidak bolehan muzara’ah dengan menyerahkan tanah kosong dan tidak
ada tanaman didalamnya kemudian tanah itu ditanami tanaman oleh pengarap dengan
tanaman lain. Muzara’ah adalah akad transaksi kerjasama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan
pertanian dan bibit kepada si penggarap untuk menanami dan memelihara dengan
imbalan pembagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Menurut para ulama ada yang berpendapat bahwa Muzara’ah sama dengan
mukhabarah. Menurut Hanafiyah, mukhabarah dan muzara’ah hampir tidak bisa
dibedakan, muzara’ah menggunakan kalimat “bi ba’d al-kharij min al-ard”,
sedangkan dalam mukhabarah menggunakan kalimat “bi ba’d ma yakhruju min al-
arad”, Menurut hanafiyah belum diketahi perbedaan tersebut berdasarkan pemikiran
Hanafiyah.
Menurut Dharin Nas, Al-syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah adalah
menggarap tanah denagan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut. Sedangkan
muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasikan dari
tanah tersebut.
Menurut Syaikh Ibrahim Al-bajuri berpendapat bahwa mukhabarah adalah
sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari
pengelola. Sedangkan muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah denagan sebagian
apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.
Berdasarkan dengan Imam Mawardi yang menyatakan bahwa mukhabarah sama
dengan muzara’ah. Yaitu menyewa tanah dengan ganti sebagian dari hasil panen.
Hanya saja berbeda pada asal kata mukhabarah ,yakni dikaitkan dengan praktik
demikian di khaibar.
Imam Taqiyuddin didalam kitab “kifayatul ahya” menyebutkan bahwa muzara’ah
adalah menyewa seseorang pekerja untuk menenami tanah dengan upah sebagian yang
keluar daripadanya. Sedangkan mukhabarah adalah transaksi pengolahan bumi
dengan upah sebagian hasil yang
keluar dari padanya.
Setelah diketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan
muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya adalah terjadi pada
pristiwa yang sama yakni pemilik tanah menyerahkan tanah kepada orang lain untuk
dikelola. Perbedaannya adalah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut
mukhabarah, jika modal dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
1. Dalam Al-Qur’an
Adapun dalam ayat lain, dalam Al-Qur’an Surat Al- Muzammil ayat 20.
2. Dalam hadist
Dalam Hadist disebutkan
Dalil al-Qur’an atau hadist tersebut diatas merupaka landasan hukum yang
dipakai oleh para ulama’ yang membolehkan akad perjanjian muzara’ah atau
mukhabarah.Menurut para ulama’ akad ini bertujuan untuk saling membantu antara
petani dengan pemilik tanah pertanian.Pemilik tanah tidak mampu mengerjakan
tanahnya, sedang petani tidak mempunya tanah atau lahan pertanian.
A. Syarat-syarat Muzara’ah
Menurut jumhur ulama, syarat-syarat muzara’ah, ada yang berkaitan
dengan orang-orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang akan
dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan jangka waktu berlaku akad.
1) Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, harus baligh
dan berakal, agar mereka dapat bertindak atas nama hukum. Oleh sebagian
ulama mazhab Hanafi, selain syarat tersebut ditambah lagi syarat bukan
orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap Mauquf, yaitu tidak
mempunyai efek hukum, seperti ia masuk islam kembali, namun, Abu
Yusuf dan Muhammad Hasan Asy- Syaibani, tidak menyetujui syarat
tambahan itu karena akad muzara’ah tidak dilakukan sesama muslim
saja, tetapi boleh juga antara muslim dengan non muslim.
2) Syarat yang berkaita dengan benih yang akan ditanam harus jelas
dan menghasilkan.
3) Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian adalah:
a) Lahan itu bisa diolah dan menghasilkan, sebab ada tanaman yang
tidak cocok ditanam didaerah tertentu.
b) Batas-batas lahan itu jalas.
c) Lahan itu sepenuhnya diserahkan kepada petani untuk diolah dan
pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengelolanya.
4) Syarat yang berkaitan dengan hasil sebagai berikut
a) Pembagian hasil panen harus jelas
b) Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa
ada pengkhususan seperti disisihkan lebih dahulu sekian persen.
c) Bagian atara amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama.
d) Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e) Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum.
5) Syarat yang berkaitan dengan waktu pun harus jelas didalam akad, sehingga
pengelola tidak dirugikan seperti membatalkan akad sewaktu- waktu.
a) Waktu yang telah ditentukan.
b) Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud.
c) Waktu tersebut memungkinkan dua belah pehak hidup menurut
kabiasaan.
6) Syarat yang berhubungan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut
disyaratkan berupa hewan atau yang lain dibebankan kepada pemilik tanah.
B. Rukun Muzara’ah
Jumhur ulama membolehkan akad muzara’ah, mengemukakan rukun yang
harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah.
a. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
Akid adalah seseorang yang mengadakan akad, disini berperan sebagai
penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak yang mengadakan akid, maka para
mujtahid sepakat bahwa akad muzara’ah atau mukhabarah sah apabila dilakukan
oleh : seseorang yemg telah mencapai umur, seseorang berakal sempurna dan
seseorang yang telah mampu berihtiar.
Jika tidak bisa terselenggara akad muzara’ah di atas orang gila dan
anak kecil yang belum pandai, maka apabila melakukan akad ini dapat terjadi
dengan tanpa adanya pernyataan membolehkan. Hal ini dibolehkan apabila
ada izin dari walinya. Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad
disyaratkan berkemampuan yaitu keduanya berakal dan dapat membedakan. Jika
salah seorang yang berakat itu gila atau anak kecil yang belum dapat
membedakan, maka akad itu tidak sah.
Adapun kaitannya dengan orang yang berakal sempurna, yaitu orang
tersebut telah dapat dimintai pertanggungjawaban, yang memiliki
kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk (berakal).Nampak padanya
bahwa ddoirinya telah mampu mengatur harta bendanya.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk
ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
Perbedaan Mukhabarah dan Muzara’ah adalah adalah pada modal, bila modal berasal
dari pengelola, disebut mukhabarah, jika modal dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
Syarat-syarat Muzara’ah, antara lain:
1. Benih harus dikeluarkan oleh pemilik tanah.
2. Bagian masing-masing pihak harus jelas.
3. Jenis benih yang akan ditanamkan harus diketahui.
Rukun Muzara’ah, antara lain:
1. Pemilik tanah,
2. Petani penggarap,
3. Objek al-muzaraah,
4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan.
Hal-hal yang membatalkan muzara’ah :
1. Habis masa Muzara’ah.
2. Salah seorang yang berakad meninggal dunia.
3. Adanya uzur.
Hikmah dari Muzara’ah adalah pemilik tanah dan penggarap tanah bersinergi
untuk bersama-sama mendapatkan bagian atas apa yang sudah disumbangkan kedua
belah pihak dengan penuh keikhlasan dan rida atas dasar saling tolong-menolong dan
percaya sehingga saling menguntungkan tidak saling merugikan.
3.2 Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, kami sebagai penulis menyadari bahwa
makalah ini sangat lah jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sebagai penulis
memohon maaf jika terdapat banyak kesalahan maupun kekuranggan baik dalam
penulisan maupun percetakan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif demi untuk menyempurnakan makalah ini dan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2010. “Fathul Baari (Kitab Shahih Al-Bukhari)”, Jakarta:
Buku Islam Rahmatan Cet.2.