Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MUZARA’AH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqh Muamalah 2

Dosen Pengampu : MHD. Sufi’y, SHI, M.Hum

Disusun Oleh:

1. Quaisyini Awaluddin (210202005)

JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) YASBA KALIANDA

LAMPUNG SELATAN

1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke Hadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat,
rahmat dan karunianya, saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
MUZARA’AH.
Terima kasih saya ucapkan kepada bapak MHD. Sufi’y, SHI, M.Hum yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pemahaman kami tentang
MUZARA’AH.

Terima kasih pula saya ucapkan kepada teman-teman yang telah membantu
saya dalam menyusun makalah ini.

Saya telah berupaya menyempurnakan makalah ini, namun seperti kata


pepatah, “Ketidaksempurnaan adalah suatu bagian yang menjadikan manusia
sempurna” maka saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
bapak MHD. Sufi’y, SHI, M.Hum dan teman-teman sekalian.

Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu saya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Saya sangat berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….iv

A. Latar Belakang................................................................................iv

B. Rumusan Masalah..........................................................................iv

C. Tujuan.............................................................................................v

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………..6

A. Pengertian Muzara’ah....................................................................6

B. Dasar Hukum atau Dalil Muzara’ah..............................................7

C. Rukun dan Syarat Muzara’ah........................................................7

D. Perbedaan Pendapat Tentang Muzara’ah.......................................8

E. Implikasi atau Dampak dari Sistem Muzara’ah.............................12

F. Berakhirnya Akad Muzara’ah........................................................12

BAB III PENUTUP……………………………………………………..14

A. Kesimpulan ...................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-


sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor pertanian.
Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari
hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Sebagian dari
mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi
ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi
kebutuhannya, mereka bekerjasama dengan yang memiliki lahan untuk menggarap
lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil. Namun ada juga mereka yang telah
memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum
mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja
di lahan milik orang lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik
yang mempunyai beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena
suatu sebab sehingga penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat sebagian
hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita
saat ini. Dari beberapa permasalahan ini ada baiknya kita rangkaikan menjadi suatu
kesatuan yang saling memenuhi atau membutuhkan antara permasalahan yang satu
dengan yang lainnya yaitu dalam bentuk kerjasama bagi hasil.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan di atas Islam mempunyai solusi salah satunya
memanfaatkan lahan pertanian dengan sistem muzara’ah. Jadi pembahasan makalah
kami kali ini adalah Muzara’ah Dalam Ekonomi Pertanian Islam, yang kami buat
rincian sebagai berikut:
1. Pengertian muzara’ah
2. Dasar hukum atau dalil muzara’ah
3. Rukun dan syarat muzara’ah

iv
4. Perbedaan pendapat tentang muzara’ah
5. Implikasi atau dampak dari sistem muzara’ah
6. Berakhirnya akad muzara’ah

C. Tujuan
1. Kita tahu pengertian dari muzara’ah
2. Kita tahu dasar hukum dari muzara’ah
3. Kita tahu rukun dan syarat muzara’ah
4. Kita tahu perbedaan pendapat muzara’ah dari para kalangan utama
5. Kita tahu dampak dari system muzara’ah
6. Kita tahu kapan berakhirnya akad Muzara’ah

v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah tharh al-
zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah al-hadzar (modal). Makna yang
pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki. “Al-
Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap tanah dengan (imbalan)
sebagian apa yang dihasilkan darinya”. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah
memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia
memperoleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.
Menurut istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti yang dikemukakan
oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, yang dikutif oleh Hendi Suhendi adalah sebagai
berikut:
“Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian
yang keluar dari bumi. Menurut Hambaliah muzara’ah adalah pemilik tanah yang
sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa
tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim
al-Bajuri bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa
yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah”.
Menurut Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain)
seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.
Jadi muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian
yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti kerjasama antara
pemilik lahan dengan petani penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah

vi
kepada petani untuk digarap agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya.
Misalnya seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebih sedikit dari pada itu.1
B. Dasar Hukum Muzara’ah
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
) ‫أخاه فإن أبى فليمسك أرضه‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa
yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat
Muslim).
‫َم ْن َكاَنْت َلُه َأْر ٌض َفْلَيْز َر ُع َها َفِإْن َلْم َيْز َر ْع َها َفْلَيْز َر ْع َها َأَخ اُه‬
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau
hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas,
bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.2

C. Rukun dan Syarat Muzara’ah


Menurut Hanafiah rukun muzara’ah ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara
pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja,
modal dan alat-alat untuk menanam”.
Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:

1. Pemilik tanah
2. Petani penggarap
3. Objek al-muzaraah
4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan

Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:


1. Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
1 Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, (Jjakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 277.
2 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm 153-155.

vii
2. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam
apa saja yang ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing
harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
4. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan
batas tanah.
5. Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6. Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam
muzara’ah.
Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad
telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
1. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian
tersebut
2. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman,
ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-
masing.
3. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
4. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada
kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
5. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku
sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu
dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.3
D. Perbedaan Pendapat tentang Muzara’ah
Munculnya Hadis tentang muzara`ah dari Rafi` bin Khudaij yang mengatakan
bahwa Rasulullah SAW. telah melarang dilakukannya muzara`ah setelah sebelumnya
ia memperbolehkannya, dengan dalil Hadis yang menceritakan bahwa telah datang
kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara`ah yang mereka lakukan
hingga menjadikan mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk
permasalahan mereka ini Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang

3 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm 156-157.

viii
terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukannya (muzara`ah). Bunyi Haditsnya
sebagai berikut:
‫َع ْن َر اِفِع ْبِن َخ ِد ْيِج َقاَل ُكَّناَاْكَثَر ْاَالْنَص اِر َح ْقًال َفُكَّنا ُنْك ِرىْاَالْر َض َع َلى َاَّن َلَنا َهِذِه َفُر َبَم ا َأْخ َر َج ْت َهِذِه َو َلْم ُتْخ ِر ْج َهِذِه‬
‫َفَنَهاَناَع ْن َذ ِلَك‬
Artinya: Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah di
Madinah melakukan muzara’ah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya
ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa
suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain
itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang”.
(H.R. Bukhari).
‫ َح َد َثِّنْي َع َّم اَي َأَّنُهْم َك اُنْو ا َيْك ُرْو َن اَألْر َض َع َلى َع ْهِد الَّنِبي َص َّلى ُهللا‬: ‫َع ْن َح ْنَظَلَة ْبِن َقْيٍس عن َر اِفِع ْبِن َخ ِد ْيٍج َقاَل‬
. ‫ َفَنَهى الَّنِبُّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع ْن َذ ِلَك‬,‫َع َلْيِه َو َس َّلَم ِبَم ا َيْنُبُت َع َلى اَألْر ِبَع اِء َأْو َش ْي ٍء َيْسَتْثِنْيِه َص اِح ُب اَألْر ِض‬
‫ َلْيَس ِبَها َبْأَس ِبالِّدْيَنِر َو الِّدْر َهِم‬:‫ َفَكْيَف ِهَي ِبالِّدْيَنِر َو الِّدْر َهِم ؟ َفَقاَل َر اِفٌع‬:‫َفُقْلُت ِلَر اِفٍع‬.
Artinya:“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku telah
menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman Nabi
dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah
dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang
hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka
Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.(HR
Bukhari)
‫عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد هللا بن عمر كان يكري المزارع فحدث أن رافع بن خديج يأثر عن رسول هللا‬
‫ أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج إليه على البالط وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رسول هللا‬: ‫صلى هللا عليه و سلم‬
‫صلى هللا عليه و سلم عن كراء المزارع فترك عبد هللا كراءها‬
Artinya: “Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu
Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi’ ibnu Khadij
meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka ia datang kepada
Rafi’ bersamaku dan bertanya mengenai hal tersebut. Jawab Rafi’: “Benar,
Rasulullah saw telah melarang seseorang menyewakan sawah”. Sejak itu Abdullah
tidak lagi mau menyewakannya.”(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)

ix
Dari beberapa Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw melarang
menyewakan tanah pertanian, berarti pemberian upah atau bagi hasil dari hasil
pertanian itu tidak dibolehkan sebagaimana hadits yang disampaikan oleh Rafi’ ibnu
Khadij. Namun hadits ini dibantah oleh Yazid ibnu Tsabit, yang mengatakan bahwa
hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ ibnu Khadij tidak sempurna sebagaimana yang
telah disampaikan oleh Rasulullah. Nafi’ ibnu Khadij hanya mendengarkan sepotong
dari sabda Rasulullah yaitu “Janganlah kamu menyewakan tanah” Sementara dia
tidak tahu apa masalah yang sebenarnya atau melatarbelakangi masalah tersebut
sehingga Rasulullah saw melarangnya. Yazid ibnu Tsabit lebih mengetahui hadits
tersebut dari pada Nafi’ ibnu Khadij, dimana Rasulullah melarang menyewakan tanah
dikarenakan pada suatu hari ada dua orang saling bunuh membunuh disebabkan
masalah penyewaan tanah yang tidak adil tersebut, maka keluarlah hadits tersebut.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:
‫ يغفر هللا لرافع بن خديج أنا وهللا أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين‬: ‫عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت‬
‫اقتتال فقال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فال تكروا المزارع فسمع قوله ال تكروا المزارع‬
Artinya: Dari Urwah ibnu Zubair berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu
Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw
melarang menyewakan tanah, dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang
bunuh membunuh sebab masalah penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda:
“Jika kamu bertengkar seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia
hanya mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An
Nasa’i)
Jadi munculnya hadis tentang muzara’ah dari Rafi’ bin Khudaij yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzara’ah setelah
sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa
dijadikan hujah larangan menyewakan tanah (muzara’ah) karena hadits tersebut yang
diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan
rasulullah saw saja, namun kita lihat dari latar belakang sehingga dikeluarkan hadits
tersebut, dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul
wurudnya dulu.

x
Dengan adanya bantahan dari Yazid ibnu Tsabit ini, maka telah jelas bahwa
tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzara’ah.
Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang
muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau memandang bahwa orang
tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu bukan
berarti melarang hukum muzara’ah secara hukum, melainkan arahan beliau kepada
orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
:‫ فذكرت لطاوس فقال‬،‫ إن رسول هللا نهى عنها‬:‫ما كنا نرى في المزارعة بأسا حتى سمعت رافع بن خديج يقول‬
‫ ألن يمنح أحدكم أرضه خير من أن يأخذ‬:‫قال لي أعلمهم (يقصد ابن عباس) إن رسول هللا لم ينه عنها ولكن قال‬
‫عايها خراجا معلوما – رواه الخمسة‬
“Kami tidak memandang bahwa di dalam muzara’ah itu ada larangan, hingga aku
mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa Rasulullah SAW melarangnya. Maka
aku bertanya kepada Thawus dan beliau berkata,”Orang yang paling mengerti
dalam masalah ini telah memberitahukan ku (maksudnya Ibnu Abbas
ra),”Sesunguhnya Rasulullah SAW tidak melarang muzara’ah, beliau hanya
berkata,”Memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak
tertentu.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)
Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya
tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan
menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu.
Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m
tertentu.
Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara
pembagian hasil, yaitu:
1. Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu,
baru dibagi hasil sesuai prosentase.
2. Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian
menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan,
tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan
dihasilkan di lahan satunya lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.

xi
Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada
pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya,
bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan.
Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan
dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan
terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari
hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu
banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit,
kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak
menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih
menyenangkan jiwa kedua belah pihak.4
E. Implikasi atau Dampak dari Sistem Muzara’ah
Diterapkannya bagi hasil sistem muzara’ah berdampak pada sektor pertumbuhan
sosial ekonomi, seperti:

1. Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-


pihak yang bekerjasama.
2. Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani
penggarap maupun pemilik tanah.
3. Dapat mengurangi pengangguran.
4. Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
5. Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan
ekonomi secara makro.

F. Berakhirnya Muzara’ah
Muzara’ah berakhir karena beberapa hal sebagai berikiut:

1. Jika pekerja melarikan diri, dalam kasus ini pemilik tanah boleh membatalkan
transaksi berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi

4 Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, (Jjakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 278

xii
boleh (tidak mengikat). Jika berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya
transaksi yang mengikat, seorang hakim memperkerjakan orang lain yang
menggantikannya.
2. Pekerja tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh
memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah menjadi haknya
karena ia mengerjakan pekerjaan.
3. Jika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan pendapat
yang mengkategorikannya sebagai transaksi yang mengikat, maka ahli waris
atau walinya yang menggantikan posisinya.
4. Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri dengan kerelaan.

BAB III

PENUTUP

xiii
A. Kesimpulan
Muzara’ah adalah salah satu bentuk ta’awun (kerja sama) antar
petani (buruh tani) dan pemilik sawah. Serigkali kali ada orang yang
ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan
sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu
menanaminya. Maka Islam mensyari’atkan muzara’ah sebagai jalan
tengah bagi keduanya. Pada prakteknya, muzara’ah mengacu pada
prinsip Profit and Loss Sharing System. Dasar yang menjadi acuan
praktek muzara’ah sendiri adalah hadits Nabi Saw. Diantaranya,
Hadits Riwayat Imam Bukhari, Muslim dan Nasa’i yang menyatakan
bahwa kaum Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah
dengan rasio bagi hasil 1/2, 1/3, ¼ dan lain sebagainya tergantung
kesepakatan dengan mengutamakan prinsip keadilan.
Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi
di tengah para sahabat dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu ‘Abbas
menceritakan bahwa Rasululah saw bekerja sama (muzara’ah) dengan
penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan
buah-buahan. “Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain
mengatakan bahwa tidak ada seorang muhajirin yang berpindah ke
Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi hasil pertanian
sepertiga atau seperempat.”
Diterapkanya sistem muzara’ah sangat berdampak pada
pertumbuhan sosial ekonomi dalam masyarakat serperti saling tolong-
menolong. dapat meningkatkan penghasilan kedua belah pihak yang
berkerjasama, dan dapat meningkatkan produksi dalam negeri,
sehingga dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA

xiv
Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000

Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, cet. Ke-6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

xv

Anda mungkin juga menyukai